Anda di halaman 1dari 5

BAB III

KAJIAN PERANGKAT MANAJEMEN PERKOTAAN

3.1 Kajian Perangkat Manajemen Perkotaan dalam Sektor Informal Kota


(Pedagang Kaki Lima)
Kajian perangkat manajemen perkotaan dilakukan melalui eksplorasi perangkat atau
instrumen yang berpotensi dapat digunakan untuk mengelola kasus manajemen kota terkait
Sektor Informal Kota khususnya Pedagang Kaki Lima (PKL).
3.1.1 Tahapan Pengelolaan Sektor Informal Kota (PKL) dengan Penataan dan
Pemberdayaan PKL
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, penataan PKL
adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk
melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan lokasi PKL dengan
memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan,
ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemberdayaan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Penerintah Daerah, dunia
usaha dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim usaha dan
pengembangan usaha terhadap PKL sehingga mampu tumbuh dan berkembang baik kualitas
maupun kuantitas usahanya. Pembinaan dalam penataan dan pemberdayaan PKL meliputi:
1) Pendataan
2) Perencanaan Penyediaan Ruang Bagi Kegiatan Sektor Informal
3) Fasilitasi Akses Permodalan
4) Penguatan Kelembagaan
5) Pembinaan dan Bimbingan Teknis
6) Fasilitasi Kerja Sama Antar Daerah
7) Mengembangkan Kemitraan dengan Dunia Usaha
Tujuan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima sebagai berikut:
1) Memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan
peruntukannya;
2) Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi
mikro yang tangguh dan mandiri; dan
3) Untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan
prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.
3.1.2 Kajian Teoritik Urban Design, Penataan Aspek Ekonomi, Penataan Aspek Fisik,
dan Penataan Aspek Sosial
A. Urban Design
Menurut Shirvani (1985), Urban Design berkaitan erat dengan kebijakan dalam
perancangan fisik kota, yang melibatkan sekelompok orang dalam suatu kurun waktu
tertentu, disamping itu juga berkaitan erat dengan manajemen fisik kota, baik lingkungan
alami maupun lingkungan binaan. Kota terbentuk sebagai fungsi dari aktivitas manusia
yang luas dan kompleks yang terakumulasi dari waktu ke waktu. Di sisi lain kota dapat
dipandang juga sebagai bentukan fisik buatan manusia (Urban Artefact) dalam skala
besar yang terbentuk dan terakumulasi dari waktu ke waktu pula. Elemen-elemen fisik
tersebut terbentuk karena adanya fungsi-fungsi kegiatan yang berlangsung dalam suatu
kota, kegiatan-kegiatan tersebut dapat berupa suatu mekanisme ekonomi seperti pusat
perbelanjaan, toko, pusat perkantoran, tempat hiburan, tempat keagamaan, tempat sosial
dan sebagainya. Menurut Hamid Shirvani (1985) dalam Urban Design Process adalah
sebagai berikut:
1) Penggunaan Lahan (Landuse)
Merupakan elemen pokok desain perkotaan, dimana tata guna lahan menentukan
dasar perencanaan dalam dua dimensi bagi terlaksananya ruang tiga dimensi. Untuk
saat ini, masalah pokok yang perlu dipertimbangkan adalah perencanaan ragam fungsi
lahan antara kegiatan yang satu dengan yang lain dalam satu lingkungan fisik dan
infrastruktur.
2) Ruang Terbuka (Open Space)
Dalam konteks urban adalah semua jalan, jalur pejalan kaki, taman-taman, seperti
elemen-elemen terbuka (kursi, pohon, lampu, patung, jam dan sebagainya), termasuk
bangunan-bangunan disekitarnya serta hubungan antara ruang terbuka umum dan
ruang terbuka pribadi.
3) Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)
Merupakan elemen inti dari urban design dan bukan hanya bagian dari estetika sistem
pejalan kaki yang baik, tetapi juga dapat mengurangi ketergantungan bagi kendaraan
bermotor dalam areal perkotaan. Pengalaman berjalan merupakan kriteria dalam
perancangan pejalan kaki yaitu aman, nikmat, senang, nyaman dan menarik.
4) Pendukung Kegiatan (Activity Support)
Dukungan aktivitas meliputi semua penggunaan dan aktivitas yang membantu ruang-
ruang umum perkotaan, karena aktivitas dan ruang-ruang fisik selalu merupakan
pelengkap satu sama lain. Bentuknya yaitu lokasi fisik sebagai pelengkap satu sama
lain. Bentuk lokasi dan karakteristik sebuah daerah tertentu akan mengundang fungsi
pemakaian dan aktivitas tertentu pula. Dalam hal ini kawasan pedagang kaki lima
termasuk dalam elemen aktivitas penunjang yang didefinisikan sebagai
elemen/potensi yang mendukung kegiatan tertentu, lebih lanjut lagi dikatakan oleh
Shirvani bahwa aktivitas penunjang adalah suatu elemen kota yang mendukung dua
atau lebih pusat kegiatan umum yang berada di kawasan pusat kota yang memiliki
konservasi pelayanan cukup besar.
B. Penataan Aspek Ekonomi
Untuk lingkup mikro terdapat bina ekonomi usaha yang langsung menyentuh pada
masyarakat. Pembinaan ini berupa peningkatan ketrampilan teknik dan manajerial,
penyediaan fasilitas pembiayaan mikro (micro finance) dan pada umumnya ditekakan
pada pihak pelaku. Pelatihan, pendampingan, pembimbingan bantuan modal investasi
maupun modal kerja pembentukan organisasi, pembukaan akses dan informasi maupun
sumber pembiayaan, hal tersebutlah yang tercakup dalam melaksanakan bina ekonomi
dan usaha di kampung (kuswartojo, 2005).
Adanya pengembangan ekonomi lokal bisa dijadikan sebuah penataan permukiman
dalam aspek ekonomi. Pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan
ekonomi masyarakat disuatu wilayah dengan bertumpu pada kekuatan lokal, baik itu
kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan
manajemen kelembagaan (capacity of intitution) maupun aset pengalaman (Satiadella,
2007). Pengembangan ekonomi lokal diarahkan untuk tujuan akhirnya saling berkaitan,
yaitu : penciptaan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, berkurangnya jumlah
penduduk miskin, terwujudnya kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood).
C. Penataan Aspek Fisik
Dengan adanya dimensi sosial pada ruang pergerakan tersebut, ruang pergerakan
tidak sekedar sebagai ruang semata tetapi merupakan tempat untuk melaksanakan
kegiatan. Menurut Oka (2004) terlihat beberapa penataan dalam segi fisik adalah sebagai
berikut :
- Penataan jalan, prinsip-prinsip yang harus digunakan adalah jalan harus
merupakan elemen yang terbuka dan memiliki nilai visual yang positif, jalan harus
dapat memberi orientasi bagi pemakai/pengemudi dan memberikan kejelasan
lingkungan, sektor publik dan privat harus berkerjasama untuk mencapai tujuan
tersebut.
- Penataan pendestrian, adalah jalur khusus bagi pejalan kaki yang dapat berupa
trotoar, pavement, side walk, pathway dan sebagainya.
D. Penataan Aspek Sosial
Pemahaman atas aspek geografi sosial kota, dan kota sebagai organisme sosial
kiranya sudah waktunya mendapat tempat yang memadai, baik dalam panduan
penyusunan penataan kota, maupun dalam produk rencana itu sendiri. Dengan melibatkan
ahli-ahli sosial dalam pembangunan kota, untuk tidak menjadikan kota sekedar sebagai
mesin ekonomi yang “garang”, tetapi memiliki wajah sosial yang teduh.

3.2 Best Practice Penataan Sektor Informal Kota (Pedagang Kaki Lima)
3.2.1 Strategi Penataan dan Pengembangan Sektor Informal Kota Semarang
Penataan sektor informal di Kota Semarang perlu dilakukan secara integratif dengan
mempertimbangkan rencana tata ruang yang telah disusun dan juga nilai-nilai estetika kota
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan kota. Penataan pedagang kaki lima merupakan
salah satu upaya untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh pedagang kaki lima.
Penataan pedagang kaki lima terdiri dari penguatan identitas pedagang kaki lima sebagai ikon
kota, penataan kapling PKL, pengaturan aktivitas PKL, dan penataan parkir.
1) Penguatan Identitas PKL Sebagai Ikon Kota
Pedagang kaki lima selain berdampak langsung pada perekonomian Kota Semarang
juga berpengaruh pada identitas kota. Pedagang kaki lima yang ada di Malioboro,
menjadi ikon Kota Yogyakarta yang menyediakan berbagai souvenir dan barang industri
kreatif lainnya sehingga mampu menarik pengunjung. Hal ini yang diterapkan pada
strategi penataan pedagang kaki lima di Kota Semarang yakni dengan penguatan identitas
pedagang kaki lima yang ada di Kota Semarang.
2) Penataan Kapling PKL
Penataan Kapling pedagang kaki lima bertujuan untuk menghasilkan suatu
keteraturan sehingga menghilangkan kesan semrawut pada pedagang kaki lima. Selain
untuk mengurangi kesemrawutan, penataan kapling pedagang kaki lima bertujuan untuk
mempermudah pengelolaan pedagang tersebut. Penataan kapling pedagang kaki lima
dilakukan dengan cara konsolidasi lahan untuk menambah luasan lahan berjualan
pedagang kaki lima. Konsolidasi lahan merupakan Konsolidasi lahan merupakan
kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah
serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan untuk meningkatkan
kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi
aktif masyarakat terutama pedagang kaki lima.
3) Pengaturan Aktivitas PKL
Salah satu upaya penataan pedagang kaki lima adalah dengan pengaturan aktivitas
pedagang kaki lima. Sebagai contoh pengaturan aktivitas pedagang kaki lima yang ada di
Kota Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta menyediakan jalan Gladag untuk berjualan
pedagang kaki lima pada malam hari. Hal ini juga diterapkan pada aktivitas pedagang
kaki lima di Kota Semarang seperti di kawasan Tlogosari, dimana keberadaan pedagang
kaki lima membawa kesemrawutan pada lingkungan. Pengaturan aktivitas pedagang kaki
lima dilakukan dengan pengaturan waktu maupun pengaturan fungsi jalan sehingga dapat
digunakan sebagai lokasi berjualan pedagang kaki lima. Pengaturan waktu berjualan
pedagang kaki lima telah diterapkan di Kota Semarang seperti pada Simpang Lima yang
pedagangnya berjualan sore hingga pagi hari. Sedangkan untuk pengaturan fungsi jalan
dapat dilakukan di beberapa jalan lokal maupun jalan lingkungan dengan
mengalihfungsikan jalan untuk aktivitas jual beli pedagang kaki lima pada malam hari,
seperti pada jalan Tlogosari, lingkungan Kota Lama dan jalan lain yang berpotensi untuk
aktivitas pedagang kaki lima.
4) Penataan Parkir
Parkir merupakan salah satu komponen penunjang keberlangsungan aktivitas
pedagang kaki lima. Dengan penataan parkir diharapkan dapat mengurangi hambatan
samping lalu lintas sehingga mengurangi kemacetan. Penataan parkir dibutuhkan hampir
di setiap lokasi berjualan pedagang kaki lima karena kondisi eksistingnya, banyak lokasi
berjualan pedagang kaki lima tidak memiliki lahan parkir. Lahan parkir untuk pengunjung
pedagang kaki lima dapat disediakan dengan memanfaatkan halaman perkantoran dan
bangunan luas yang sudah tidak digunakan saat sore atau malam hari (hanya aktif hingga
sore hari).

Anda mungkin juga menyukai