Anda di halaman 1dari 12

Surface Area Analyzer

A. Penjelasan Alat
Surface Area Analyzer (SAA) merupakan salah satu alat utama dalam karakterisasi material.
Alat ini khususnya berfungsi untuk menentukan luas permukaan material, distribusi pori dari
material dan isotherm adsorpsi suatu gas pada suatu bahan.
Alat ini prinsip kerjanya menggunakan mekanisme adsorpsi gas, umumnya nitrogen, argon dan
helium, pada permukaan suatu bahan padat yang akan dikarakterisasi pada suhu konstan
biasanya suhu didih dari gas tersebut. Alat tersebut pada dasarnya hanya mengukur jumlah gas
yang dapat dijerap oleh suatu permukaan padatan pada tekanan dan suhu tertentu. Secara
sederhana, jika kita mengetahui berapa volume gas spesifik yang dapat dijerap oleh suatu
permukaan padatan pada suhu dan tekanan tertentu dan kita mengetahui secara teoritis luas
permukaan dari satu molekul gas yang dijerap, maka luas permukaan total padatan tersebut
dapat dihitung.
Tentunya telah banyak teori dan model perhitungan yang dikembangkan para peneliti untuk
mengubah data yang dihasilkan alat ini berupa jumlah gas yang dijerap pada berbagai tekanan
dan suhu tertentu (disebut juga isotherm) menjadi data luas permukaan, distribusi pori, volume
pori dan lain sebagainya. Misalnya saja untuk menghitung luas permukaan padatan dapat
digunakan BET teori, Langmuir teori, metode t-plot, dan lain sebagainya. Yang paling banyak
dipakai dari teori – teori tersebut adalah BET (lihat pada kategori dasar teori).
Gambar diatas adalah contoh alat SAA dari perusahaan Quantachrome dengan seri Autosorb-
1. Gambar A adalah port untuk keperluan degassing. Seri ini memiliki 2 port untuk keperluan itu.
Tampak satu port sedang dipakai untuk degassing sampel yang diletakkan dalam tabung dan
diselimuti bagian bawah tabung dengan mantel pemanas. Gambar B adalah port analisa yang
pada gambar baru tidak terpakai. Gambar C adalah kontainer untuk menampung zat pendingin.
Jika kita memakai gas nitrogen maka kita perlu memakai nitrogen cair dengan suhu sekitar 77
K. Jika memakai penjerapan argon maka kita perlu argon cair. Sehingga mungkin ini menjadi
kendala juga ketika akan mengoperasikan alat ini di Indonesia yang belum punya banyak
instalasi gas dalam kondisi cairnya. Sedangkan gambar D adalah panel yang menunjukkan
layout dari proses analisa dilengkapi indikator – indikator lampu yang dapat menandakan setiap
valve dalam posisi dibuka atau ditutup.

B. Persiapan Sampel
Preparasi sampel untuk analisa luas permukaan cukup sederhana. Namun juga tergantung dari
seri alat, biasanya seri lama mengharuskan bahan dipeletkan terlebih dahulu agar tidak
menghasilkan debu yang dapat merusak alat. Namun pada versi baru alat sudah diberi
pengaman sehingga sampel berbentuk serbuk langsung dapat dianalisa. Hanya saja perlu
diperhatikan jika sampel terlalu ringan maka akan terjadi peristiwa elutriasi pada saat tabung
sampel dikenai tekanan vakum yang dapat mempengaruhi hasil analisa. Solusinya disamping
dipeletkan, dapat juga dengan memakai tabung sampel yang sesuai. Biasanya alat ini
memberikan banyak alternatif bentuk tabung yang spesifik untuk kondisi sampel tertentu.
Beberapa jenis tabung sampel disajikan pada gambar dibawah ini. Tabung yang memiliki
tempat sampel besar biasanya dipakai untuk serbuk sedangkan yang kecil untuk pelet atau
serbuk yang tidak mudah melayang.

Alat ini hanya memerlukan sampel dalam jumlah yang kecl. Biasanya berkisar 0.1 sampai 0.01
gram saja. Persiapan utama dari sampel sebelum dianalisa adalah dengan menghilangkan gas
– gas yang terjerap (degassing). Alat surface area analyzer ini terdiri dari dua bagian utama
yaitu Degasser dan Analyzer. Degasser berfungsi untuk memberikan perlakuan awal pada
bahan uji sebelum dianalisa. Fungsinya adalah untuk menghilangkan gas – gas yang terjerap
pada permukaan padatan dengan cara memanaskan dalam kondisi vakum. Biasanya
degassing dilakukan selama lebih dari 6 jam dengan suhu berkisar antara 200 – 300C
tergantung dari karakteristik bahan uji. Namun jika tidak ada waktu degassing selama 1 jam
juga sudah memenuhi yang biasanya alat ini dilengkapi dengan metode pengecekan
kesempurnaan proses degassing dengan menekan tombol tertentu pada komputer pengendali.
Kemudian setelah dilakukan degassing maka bahan uji dapat dianalisa. Proses degassing
dilakukan dengan cara menutup ujung tabung berisi sampel dengan mantel pemanas dan ujung
atas dihubungkan dengan port degas seperti pada gambar dibawah ini.

C. Proses Analisa
Setelah sampel selesai didegas, maka dapat langsung dianalisa. Sebelum analisa tentunya
perlu ditimbang berat sampel setelah degas. Supaya benar – benar diketahui berat sampel
sebenarnya setelah dibersihkan dari gas – gas yang terjerap. Kemudian yang perlu dilakukan
sebelum nenjalankan analisa biasanya adalah mengisi kontainer pendingin dengan gas cair.
Kemudian mengeset kondisi alalisa. Waktu analisa bisa berkisar antara 1 jam sampai lebih dari
3 hari untuk satu sampel. Jika hanya ingin mengetahui luas permukaan maka kita hanya
membutuhkan 3 – 5 titik isotherm sehingga proses analisa menjadi singkat. Namun jika kita
ingin mengetahui distribusi pori khususnya material yang mengandung pori ukuran mikro (<
20A) maka memerlukan 2 – 3 hari untuk satu kali analisa dengan menggunakan gas nitrogen
sebagai adsorbennya. Sebenarnya waktu analisa bisa dipersingkat jika kita menggunakan jenis
gas lain misalnya CO2.
Sebenarnya alat ini sangat mudah dioperasikan karena bersifat ototmatis. Untuk memulai
analisa setelah mengisi data – data mengenai berat sampel dan berapa titik amalisa yang
diinginkan dilakukan dengan memencet tombol pada software di komputer pengendali. Proses
analisa selesai secara otomatis akan kembali ke posisi semula.
D. Contoh Hasil Analisa
Hasil analisa disajikan dalam grafik ataupun tabulasi. Alat ini dilengkapi dengan perangkat lunak
yang dapat menghitung hampir semua data yang diperlukan seperti: luas permukaan, volume
pori, distribusi pori dengan berbagai metode perhitungan.dibawah ini contoh tampilan isotherm
dari karbon aktif dengan perhitungan PSD nya ditampilkan dalam grafik.
Alat ini harganya relatif mahal lebih dari 800 juta rupiah untuk dapat memilikinya. Kemudian
biaya operasionalnya cukup mahal juga karena membutuhkan gas dalam fase cair. Namun
sepengetahuan penulis di Indonesia sudah ada beberapa institusi penelitian yang memilikinya
meski masih seri lama dari alat ini.

QUESTION
1. terimaksih artikelnya, sangat enambah wawasan, kla ada contoh data running dari awal
dan cara mengolahnya sangat membantu…

Pada prinsipnya alat surface analyzer sanat mudah dioperasikan. Sebelum analisa, kita
hanya menentukan berapa titik adsorpsi yg ingin kita ukur (dinytakan dalam nilai p/po).
Nantinya alat akan mengukur berapa banyak gas yg terjerap pada tiap titik p/po yg kita
masukkan sebelumnya kemudian data akan dinyatakan dalam tabel tau grafik isotherm
adsorpsi (baca artikel terkait di dasar teori). Setelah didapat titik-titik data tersebut maka
didalam alat sudah dibekali dengan software penghitung cukup lengkap tinggal kita
tentukan ingin dihitung apa dengan metode apa. Misalkan akan menghitung luas
permukaan, maka tersedia metode BET, BJH, Langmuir dsb tinggal kita pilih dan
software akan menghitungnya secara cepat.
2. Apa perbedaan prinsip antara metode BET, BJH dan langmuir?Bagaimana untuk
mengetahui jumlah lapisan gas yang terserap ( multilayer) yang dipakai sebagai faktor
koreksi metode BET?Bagaimana cara perhitungan distribusi pori dengan data P/Po
dengan beberapa titik volume gas yang terserap pada berbagai kesetimbangan?
Terimaksih penjelasannya

Beda BET, BJH dan Langmuir ada pada persamaannya, pemakaian masing-masing tergantung bahan apa
yg dianalisa atau kemungkinan proses adsorpsi yg terjadi. Misalkan diduga proses adsorpsi berlangsung
secara single layer jadi langmuir lebih tepat dipakai. Jika multilayer bisa dipakai BET secara umum. BJH
biasanya dipakai untuk bahan yg mengandung pori ukuran mesopore. Jumlah layer gas terjerap biasanya
disimbolkan dengan huruf t (kecil), bisa dihitung menggunakan rumus yg ada. Jika memakai software yg
tersedia maka bisa dihitung secara otomatis. Persamaan yg menghubungkan ukuran pori dengan jumlah
gas teradsoprsi pada P/Po tertentu salah satunya adalah kelvin equation yg bisa dipakai utk menentukan
distribusi pori. trimakasih
3. mau tanya,dalam penghitungan luas permukaan suatu padatan berpori digunakan gas
nitrogen,nah proses penyerapannya terjadi secara endoterm atau eksoterm?
tolong dijelaskan hubungannya dengan hukum termodinamika..?

Bukan proses penyerapan (absorpsi) tapi penjerapan (adsorpsi). Biasanya proses penjerapan bersifat
eksotermis.

4. Jika kita memakai gas nitrogen maka kita perlu memakai nitrogen cair dengan suhu sekitar 77 K. mengapa?
mohon penjelasannya. Terimakasih

Adsorpsi (penjerapan) gas pada padatan sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin rendah suhu maka
semakin banyak yang bisa dijerap. HArapan dari analisis ini supaya molekul hidrogen bisa mengisi semua
pori padatan atau bisa melapisi semua permukaan padatan jadi semakin banyak akan semakin baik.
Dipakainya nitrogen cair dimaksudkan untuk menjaga suhu ketika analisis konstan, yaitu konstan pada suhu
didih nitrogen.

5. mau tanya, kalau degassingnya dengan suhu kamar apa yang terjadi? pengaruhnya apa? boleh minta
emailnya gak?

Degassing atau ada yg menyebut offgas secara umum adalah penghilangan molekul gas yang terjerap di
permukaan menggunakan panas dan dalam kondisi vakum. Semakin tinggi panas maka semakin mudah
gas yg teradsorb secara alami dipermukaan pori akan lepas sehingga permukaan akan bersih dan siap
untuk diukur porositasnya menggunakan prinsip adsorpsi gas (nitrogen). MAsalahnya jika material tidak
tahan panas maka dianjurkan tetap memanaskan pada suhu yg tidak merusak padatan dengan
konsekuensi harus ditambah waktu degassingnya. Sebenarnya selama anda melakukan proses tersebut
ada fasilitas untuk mengecek apakan proses degass sudah cukup baik atau belum. Jika sudah cukup maka
biasanya akan ada notifikasi ‘pass’ dilayar komputer.

6. ada satu hal lagi yang mau saya tanyakan pak, pada analisis pore size distribution, ada
yang menggunakan metode DFT, ada juga BJH. apa perbedaan kedua metode
tersebut? kapan menggunakan dft dan kapan bjh?

Hasil poresize dianalisa dgn DFT dan BJH tentu beda krn teori persamaan n pendekatan yg beda. Setau
saya DFt cocok dipakai untuk poresize ukuran micropores sexang bjh yg mesopores. Silahkan pelajari
sendiri kedua teori tsb. Di manual alat jg dibahas sdikit ttg teori2 yg dipakai utk perhitungan. Bsa cek
kebiasaan jg utk bahan tertentu pakai metode mana dgn membaca banyak paper mngenai bahan tsb.

7. berapa gram bahan yang dibutuhkan untuk analisa bet untuk 1 sampel ?

Relatif sedikit sampel yg dibutuhkan utk analisa ini, biasanya dibawah 1 gram. Untuk masing-masing alat
memiliki titik optimal, misalkan supaya sampel yang diukur surface area totalnya berkisar pada 20m2. KAlau
terlalu banyak sampel yg dimasukkan akan menjadikan analisanya terlalu lama, kalau terlalu sedikit
memang menjadi tidak akurat. JAdi misal akan mengukur surface area suatu material yg kita duga luas
permukaan spesifik sekitar 200 m2/gram, maka supaya luas permukaan terukur pada kisaran 20m2 sampel
yang dianalisa sebaiknya hanya 0,1 gram. Namun jika akan mengukur sampel dengan luas permukaan
spesifik yg besar misal diatas 1000 m2/g mau tidak mau kita harus melebihi titik optimal luas permukaan
total yg disarankan karena nanti jika tetap memakai batasan optimal sampel yg kita masukkan akan sangat
sedikit sehingga kesalahan penimbangan menjadi sangat besar.

8. untuk surface area menunjukan 0.000m2/g apa penyebabnya ? dengan menggunakan


sampel LTO 0.1512g?
kemungkinan bisa disebabkan dari sample ID yang tumpang tindih atau sama dgn sample sebelumnya
ataupun bisa di sebabkan dari degassing yang tidak sempurna sehingga berat sample yang masuk pada
saat pengukuran tidak sesuai yang menyebabkan grafik untuk sample tersebut tidak sesuai. Analisa di
laboratorium Saya pun terkadang terjadi hasil yang demikian yaitu 0.000 m2/g namun setelah dilakukan
analisa ulang dengan mengganti sample ID dan juga degassing yang sesuai hasilnya menunjukkan angka
yang yang sebenarnya. Di PT Indonesia Chemical Alumina menggunakan juga alat SSA dari brand
Quantachrome jenis Quadrasorb IV.

Isotherm
Pemahaman mengenai luas permukaan dan porositas dari suatu material dapat dicapai dengan
memahami isoterm adsorpsinya. Ketika kuantitas dari adsorbat (bahan yang dijerap) pada
permukaan material dapat diukur dalam kisaran tekanan relatif yang lebar pada suhu konstan
maka akan mengasilkan sebuah isotherm. Isotherm yang dihasilkan oleh suatu material dengan
adsorbat tertentu memiliki bentuk yang unik dan biasanya dapat dikategorikan pada salah satu
dari lima kategori isoterms sebagai berikut.

Tipe I, atau isotherm Langmuir, berbentuk lengkung dan mendekati sejajar pada P/Po
mendekati 1. Tipe I ini biasanya dijumpai pada material yang memiliki pori ukuran mikro (500A).
Tipe ini merepresentasikan proses adsorpsi berlapis – lapis yang tanpa halangan.
Tipe III, isotherm berbentuk cekung pada seluruh kisaran P/Po. Tipe ini cukup jarang dijumpai.
Contoh yang terkenal adalah isoterm dari uap air pada karbon tidak berpori.
Tipe IV, isoterm diasosiasikan dengan adanya fenomena kondensasi kapiler dalam pori ukuran
meso (mesoporous) yang diindikasikan dengan slop yang tajam pada tekanan relatif yang
tinggi. Bentuk isotherm ini pada awalnya mengikuti bentuk isotherm tipe II.
Type V isotherms are uncommon, corresponding to the type III, except that pores in the
mesopore
range are present.
Tipe V, isotherm ini tidak umum dijumpai, serupa dengan kondisi pada isotherm tipe III namun
kemungkinan didalam bahannya juga mengandung pori berukuran meso (mesoporous).

Karakteristik Nanomaterial 1
Nanomaterial sebenarnya bukan ilmu yang baru. Ditemukan peninggalan sejarah berupa
keramik yang diberikan dekorasi berupa glasir yang mengandung dispersi logam seperti
tembaga dan perak dengan ukuran partikel mencapai nanometer untuk memberikan efek optik
tertentu. Gambar dibawah merupakan contoh keramik tersebut dan hasil SEM dari bahan
glasirnya.

sumber: http://www.unizar.es
Kemudian pembuatan nanomaterial juga sudah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang
sejak lama seperti dalam katalisis, karbon hitam, sol, uap silika, dan industri pigmen dalam hal
pembuatan serbuk nano oksida, dispersi skala nano, dan cara pebuatan nanopartikel. Dibawah
ini akan dibahas beberapa efek penting yang dimiliki benda jika ukurannya diperkecil menuju
skala nano.
1.Efek permukaan
Kemudian karakteristik kunci dari nanomaterial yang pertama adalah jumlah atom permukaan
yang signifikan. Semakin kecil ukuran benda maka permukaan atom penyusun benda tersebut
yang terekspos dipermukaan benda akan memiliki fraksi yang semakin besar. Misalkan benda
berbentuk kubus dengan panjang sisi L terdiri dari kubus – kubus kecil dengan panjang sisi d
sebesar 1/3 nm. Semakin kecil kubus maka semakin besar fraksi atom penyusun yang
terekspos seperti dalam hasil hitungan tabel dibawah ini.

Misalkan kita akan memotong sebuah kubus menjadi dua. Kita asumsikan Nb adalah jumlah
ikatan kimia yang terlepas, dan e adalah kekuatan ikatan kimia, sedangkan p adalah jumlah
atom per luas permukaan baru maka energi permukaan dapat dinyatakan sebagai berikut:

Jika benda tersusun dari kristal dengan struktur FCC maka bisa kita hitung energi permukaan
pada masaing – masing bidang permukaannya. Gambar dibawah dapat digunakan sebagai
ilustrasi hitungan tersebut.

Dari gambar diatas, maka dapat disimpulkan jika bidang {111} dari FCC merupakan permukaan
yang paling stabil karena mengandung energi permukaan yang paling kecil. Hal ini
menyebabkan permukaan dari bahan kristalin nanopartikel cenderung tersusun dari bidang
{111} seperti pada gambar berikut berupa gambar TEM dari nanopartikel emas yang
membentuk faset dengan bidang [111].

Secara umum dapat disimpulkan sifat dari nanomaterial yang berkaitan dengan atom
permukaan adalah sebagai berikut:
1. Nanomaterial memiliki luas permukaan yang besar serta jumlah atom dipermukaan yang
besar.
2. Memiliki energi permukaan dan tegangan permukaan yang tinggi.
3. Permukaan dari partikel kristalin dengan ukuran nano cenderung membentuk faset
4. Bidang faset cenderung tersusun dari bidang yang paling rapat.
5. Permukaan bersifat sangat reaktif dan mudah teroksidasi.
6. Perhatian perlu diberikan ketika menyimpan logam partikel nano karena bisa terjadi ledakan.
2. Efek Ukuran
Dalam skala nanometer, sifat baru dan fenomena unik dari bahan akan muncul. Hal ini
diakibatkan karena ukuran dari nanomaterial menjadi komparabel dengan banyak parameter
fisis seperti ukuran gelombang kuantum, mean free path, ukuran koherensi, dan domain
dimensi yang kesemuanya menentukan sifat – sifat dari material. Dalam ilustrasi dibawah ini
digambarkan perubahan suhu leleh dari logam emas yang merupakan fungsi dari ukuran
partikelnya.

3. Efek Kuantum
Efek kuantum dapat dijelaskan dengan Teori Kubo, yang dideskripsikan dengan persamaan
berikut.
Ketika perbedaan energi (delta E) lebih besar dari nilai k.T (maksimal internal energi dari
sistem), maka akan banyak sifat yang ada pada bulk material yang hilang dan digantikan
dengan sifat yang unik.

Pita energi yang kontinyu tergantikan oleh energi level yang terpisah jika ukuran partikel
mendekati radius Bohr dari elektron dalam padatan hal ini dikenal dengan efek kuantum. Untuk
nanomaterial, energi bandgap sangat sensitif terhadap morfologinya (ukuran, bentuk, defek)
dan dari distribusi komposisinya. Dibawah ini diilustrasikan perubahan sifat optikal dari emas
disebabkan perubahan ukuran.

Karakteristik Nanomaterial 2
Dalam pembahasan karakteristik nanopartikel awal telah disebutkan beberapa efek kunci yang terjadi pada reduksi
ukuran benda sampai ke skala nano yaitu: efek permukaan, efek ukuran dan efek kuantum. Kombinasi dari efek –
efek tersebut menimbulkan munculnya sifat fisis yang berbeda dari sifat yang dimiliki oleh bulk materialnya.
Beberapa perubahan akan dicontohkan dibawah ini.
1. Perubahan struktur kristal.
Misalkan pada senyawa Tantalum. Pada kondisi bulk Ta memiliki struktur kristal kubik, namun ketika ukuran
diperkecil maka struktur kristal beralih ke tetragonal. Hal ini dibuktikan oleh hasil analisa menggunakan XRD seperti
pada gambar dibawah ini.

2. Sifat termal
Secara umum nanomaterial memiliki titik lebur yang lebih rendah dan panas spesifik yang lebih tinggi dibanding
sifat bulk-nya. Kemudian reduksi ukuran ke skala nano akan menurunkan suhu sintering dan suhu pengkristalan
dikarenakan kandungan energi permukaannya yang tinggi.

3. Sifat Mekanik
Kekerasan dan kekuatan dari bahan logam dan aloy berukuran nano dapat meningkat sampai dengan satu order
diatas ukuran normalnya. Ketika bahan keramik direduksi sampai skala nano sifat duktilitasnya meningkat sangat
signifikan.

4. Sifat Listrik
Sifat konduktivitas cenderung mengalami pembalikan ketika terjadi reduksi ukuran. Nanokeramik dan nanokomposit
memiliki kecenderungan menghantarkan listrik, sedangkan nanologam menjadi bersifat isolator. Contohnya Cu
nanopartikel bersifat isolator sedangkan SiO2 nanopartikel bersifat penghantar listrik yang baik.
5. Sifat katalisis
Nanomaterial cenderung memiliki aktivitas katalisis yang lebih baik. Hal ini disebabkan luas permukaan yang
bertambah dan atom diujung – ujung permukaan semakin banyak mengakibatkan bertambahnya reaktivitas dari
bahan. Dibawah ini dicontohkan data aktivitas dari logam emas untuk mengkatalis oksidasi CO dengan semakin
mengecilnya ukuran partikel.

Masih beberapa sifat – sifat yang lain yang mengalami perubahan atau peningkatan misalnya sifat kemagnetan, sifat
optis dan difusi permukaan.

Anda mungkin juga menyukai