Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

KEJADIAN KEKAMBUHAN (RELAPSE) PASCA REHABILITASI NAPZA

DISUSUN OLEH :
ZILA MEIFANZA HANIFAH
1102016235

KELOMPOK 3
BLOK ELEKTIF
DRUG ABUSE
TUTOR : dr. YURIKA SANDRA,M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2018-2019
ABSTRAK

Latar belakang : Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk orang yang telah
rehabilitasi akan menjadi kambuh kembali (relapse).
Deskripsi kasus : Seorang pria, berusia 37 tahun dengan riwayat menggunakan NAPZA selama 15 tahun
dengan jenis ganja, shabu, dan ekstasi. Sudah sering mencoba berhenti sendiri untuk tidak menggunakan
NAPZA dan tahun 2019 merupakan ke dua kalinya untuk direhabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan
Obat (RSKO).
Metode : Data didapatkan berdasarkan wawancara oleh penulis dengan pasien (Tuan S) pasien yang
sedang rehabilitasi di RSKO. hasil wawancara tersebut akan dibandingkan dengan beberapa literature
yang ada.
Diskusi : Rehabilitasi NAPZA merupakan upaya terapi yang mencakup perawatan medis, psikososial atau
kombinasi keduanya baik perawatan rawat inap jangka pendek ataupun jangka panjang. namun, 70 persen
pecandu narkoba mengalami relapse setelah keluar dari tempat rehabilitasi.
Kesimpulan : Potensi terjadinya kekambuhan kembali (relapse) sangat besar setelah rehabilitasi akibat
banyaknya faktor pencetus yang masih berada disekitar pasien seperti lingkungan kerja dan
pertemanannya setelah keluar dari pusat rehabilitasi.
Keywords : Kekambuhan kembali NAPZA, Relapse, Rehabilitasi.
LATAR BELAKANG

Diketahui bahwa penyalahgunaan narkoba setiap tahunnya terus meningkat.


World Drugs Reports 2018 yang diterbitkan United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC), menyebutkan sebanyak 275 juta penduduk di dunia atau 5,6 % dari penduduk
dunia (usia 15-64 tahun) pernah mengonsumsi narkoba. Sementara di Indonesia, BNN
selaku focal point di bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) mengantongi angka penyalahgunaan narkoba tahun
2017 sebanyak 3.376.115 orang pada rentang usia 10-59 tahun. (PUSLIDATIN, 2019)

NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif) adalah obat yang bersifat
alamiah, sintesis, maupun semi sintesis yang menimbulkan efek penurunan kesadaran,
halusinasi, serta daya rangsang. Menurut UU Narkotika pasal 1 ayat 1 menyatakan
bahwa narkotika merupakan zat buatan atau pun yang berasal dari tanaman yang
memberikan efek halusinasi, menurunkan kesadaran, serta menyebabkan kecanduan.
(BNN, 2019) Zat adiktif atau narkoba atau napza adalah zat psikoaktif yang bekerja pada
SSP (Susunan Syaraf Pusat) dan berpengaruh terhadap proses mental (Sabarinah dan
Diah, 2014). Sehingga dapat disimpulkan bahwa narkotika adalah obat atau zat yang
dapat menenangkan syaraf, mengakibatkan ketidaksadaran, atau pembiusan,
menghilangkan rasa nyeri dan sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang,
dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan, dan
yang ditetapkan oleh Menteri kesehatan sebagai Narkotika. (Fransisca, 2011)

Sebagai wujud dari keseriusan negara untuk menangani permasalahan narkotika


yang semakin merebak sampai ke pelosok negeri, maka sudah banyak diterbitkan
banyak peraturan di Indonesia salah satunya Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika yang mengamanatkan pencegahan, perlindungan, dan penyelamatan
bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika serta menjamin pengaturan upaya
rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika, pada Pasal 54
disebutkan bahwa “korban penyalah guna dan pecandu narkotika wajib direhabilitasi”.
Amanat undang undang tersebut sesuai dengan konsep penyalahgunaan narkotika dari
segi kesehatan. (Oetari, 2011)

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk


membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut
diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (Evelyn, 2015). Namun, tidak menutup
kemungkinan untuk orang yang telah rehabilitasi akan menjadi kambuh kembali (relapse)
yang merupakan suatu peristiwa dimana seorang pecandu yang telah beberapa lama
tidak memakai (clean) kemudian kembali memakai dan terus memakai zat adiktif (Erika,
2016). Bahkan menurut BNN menyatakan 70 persen pecandu relapse setelah
direhabilitasi. (Ratna, 2018) Faktor-faktor yang menyebabkan relapse sangat beragam,
menurut hasil penelitian Kardita penyalahguna atau ketergantungan NAPZA yang
kambuh karena adanya dorongan dari lingkungan teman sebaya mereka yang masih
menggunakan NAPZA (Kardita, 2017), faktor ekonomi, faktor keluarga yang tidak
harmonis. (Habibi et al, 2015) Faktor biologi, Faktor Psikologi, dan Faktor lingkungan
(Sabarinah dan Diah, 2014)

Dari uraian di atas maka penulis betujuan untuk melihat bagaimana Kejadian
Kekambuha (Relapse) Pasca Rehabilitasi NAPZA.

PRESENTASI KASUS

Tuan S 37 Tahun, bekerja sebagai Polisi asal Riau, dan seorang duda dengan dua
anak dibawa oleh kedua orangtuanya ke Badan Narokotika Nasional (BNN) Pekanbaru
dan dinyatakan urin positif metamfotamin. Dari BNN pekanbaru lalu dirujuk ke RS
Ketergantungan Obat (RSKO). Faktor yang menyebabkan Tuan S menyoba NAPZA
karena keinginan sendiri dan diberitahu teman rekan kerjanya (polisi). Selain itu pemicu
lain ialah akibat kelelahan, stress, depresi, dan dilingkungan tetangga nya juga ada
pemakai. Uniknya, dalam pemeriksaan barang hasil tangkapan pengguna NAPZA, Tuan
S mengaku bahwa polisi akan mencoba NAPZA tersebut karena tidak tersedianya alat,
sehingga mereka harus tes NAPZA tersebut pada diri mereka sendiri (polisi), alat untuk
memeriksa NAPZA baru tersedia tahun 2012, sementara Tuan S sudah menjadi polisi
sejak 2005.

Tuan S telah menggunakan NAPZA sejak 2000. NAPZA yang digunakan oleh
Tuan S yaitu ganja kering, Shabu yang dipakai dengan bong dan ekstasi berupa pil. Saat
pertama kali menggunakannya dilakukan bersama dengan teman-teman sepemakai di
kos-kosan yang mereka sewa atau rumah salah satu temannya dan semakin lama
mereka pakai sendiri-sendiri.

Gejala yang dirasakan saat menggunakan NAPZA tergantung dengan yang


dipakai, saat memakai shabu Tuan S merasa ringan, dingin, lebih pendiam sementara
untuk ganja napsu makan menjadi meningkat, lebih bersemangat, percaya diri, bahkan
tahan untuk tidak tidur 2-3 hari. Namun, efek samping yang muncul setelah pemakaian
NAPZA, Tuan S merasa stress, depresi hingga ada upaya menyakiti diri sendiri,
halusinasi dan peningkatan gairah.

Hubungan keluarga setelah memakai NAPZA sangat berubah total karena pola
pikir berubah, cenderung menghindari keluarga akibat dapat terlihat jelas perilakunya
saat memakai NAPZA sehingga ia cenderung untuk berkumpul dengan teman-teman
yang memakai, mengakibatkan perceraian dengan istrinya, perubahan sikap terhadap
anaknya, ekonomi keluarga terganggu (pengeluaran NAPZA 6-8 juta per bulan) dan
menghindar untuk bekerja karena akan ada sanksi jika ketahuan menggunakan NAPZA
dikalangan polisi. Konflik yang muncul juga ada dikalangan sesama teman pemakainya
urusan hutang pinjam NAPZA.

Tuan S sudah sering mencoba untuk berhenti menggunakan NAPZA, ia


termotivasi oleh anak-anaknya dan adiknya. pada tahun 2012 Tuan S mencoba berhenti
sendiri dan bertahan hingga 7 bulan, tahun 2016 mencoba berhenti sendiri dan bertahan
6 bulan, tahun 2018 di rehab di BNN Lido selama 3 bulan namun, saat keluar
menggunakannya kembali karena terpengaruh oleh teman-teman sepemakai sehingga
tahun 2019 menjalani rehab kembali dengan program 3 bulan. Tuan S mengaku sulit
untuk bertahan tidak menggunakan NAPZA baik mencoba bertahan sendiri maupun
rehab. karena, di lingkungannya masih banyak pengguna (tempat kerja dan teman
pemakai) yang di temui dan masih berhubungan dengan mereka. Selama Tuan S
mencoba berhenti sendiri tanpa rehab, Tuan S merasakan demam dan sendi-sendi ngilu
yang dapat hilang dengan sendirinya namun, jika tidak hilang Tuan S akan mengonsumsi
panadol atau pergi ke dokter. Selama di RSKO, Tuan S sudah diberi tatalaksana 1
minggu detoksifikasi dengan obat pagi, siang, malam (5 butir) yang di tapering off menjadi
1x per hari juga obat tambahan sesuai dengan keluhannya.

Selama rehabilitasi Tuan S merasa pola hidup yang teratur dan lebih sehat.
Karena ada jadwal kegiatan dari pagi hingga malam (ada bel di setiap kegiatannya)
seperti kelas / seminar, shalat berjamaah dan olahraga. namun, ia merasa bosan dan
jenuh akibat kegiatan yang monoton karena program rehab yang ada mengikuti teori
pavlov untuk mengubah kebiasaan dengan dilakukannya kegiatan yang berulang-ulang.
Di rehabilitasi ini ada 4 fase, Induksi, Primary, Pre Re-entry, dan Re-entry. Saat ini Tuan
S sudah di fase Primary. Untuk naik dari fase-fase tersebut mereka akan di uji dan dinilai
oleh teman-temannya.

Harapan Tuan S setelah keluar dari rehabilitasi yaitu menjadi sehat, pola hidup
lebih teratur dan tidak memakai NAPZA lagi. Tuan S juga berpesan untuk jangan pernah
sekalipun mencoba narkoba, pasti ketergantungan dan ketagihan.

DISKUSI

Meningkatnya populasi penyalah guna narkotika membuat pemerintah perlu


mengambil langkah yang tepat untuk menurunkan jumlah penyalah guna dan
menyelamatkan penyalah guna narkotika. Upaya tersebut ditindaklanjuti dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
mengamanatkan pencegahan, perlindungan, dan penyelamatan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan narkotika serta menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika, pada Pasal 54 disebutkan bahwa
“korban penyalah guna dan pecandu narkotika wajib direhabilitasi” (Oscar, 2014)

Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan


NAPZA baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan mengubah
perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat. Rehabilitasi NAPZA juga merupakan
upaya terapi (intervensi) berbasis bukti yang mencakup perawatan medis, psikososial
atau kombinasi keduanya baik perawatan rawat inap jangka pendek ataupun jangka
panjang. (Aryani, 2018)

Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu : Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial. Proses rehabilitasi medis meliputi asesmen, penyusunan
rencana rehabilitasi, program rehabilitasi rawat jalan atau rawat inap dan program pasca
rehabilitasi. Rawat inap sesuai dengan rencana rehabilitasi yang telah disusun dengan
mempertimbangkan hasil asesmen yang meliputi intervensi medis. Intervensi medis
antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik, dan/ atau terapi rumatan
medis, serta terapi penyakit komplikasi. Intervensi psikososial dilakukan melalui
konseling adiksi narkotika, wawancara motivasional, terapi perilaku dan kognitif, dan
pencegahan kekambuhan. Pelaksanaan rawat inap meliputi intervensi medis melalui
program detoksifikasi, terapi simtomatik, dan terapi penyakit komplikasi. Intervensi
psikosial antara lain melalui konseling individual, kelompok, keluarga atau vokasional.
(Laurentius, 2014)

Macam-macam terapi rehablitiasi menurut Peraturan Menteri kesehatan Republik


Indonesia Nomor 2415/MENKES/PER/XII/2011 yaitu: Rawat jalan rumatan
(metadon/buprenofin) untuk pecandu heroin/opiat, Rawat jalan non rumatan (terapi
simptomatik dan psikososial) untuk pengguna ganja, shabu, ekstasi tanpa komplikasi fisik
/ psikiatris, dan Rawat inap jangka pendek atau panjang untuk pengguna atau pecandu
dengan komplikasi fisik / psikiatris. (Budi dan Riza, 2014) Di RSKO dilakukan terapi
rumatan dengan metadon dan tablet kombinasi bufrenorfin dan naloksan. Penelitian
menunjukkan bahwa pada kondisi terapi yang optimal, hasil terapi bufrenorfin-naloksan
sebanding dengan metadon. (Laurentius, 2014) Kegiatan yang dilakukan selama
rehabilitasi terdiri dari : Medis, gizi, spiritual, budi pekerti, motivasi, tanggungjawab,
evaluasi, bimbingan kelompok, bimbingan individu, dan relaksasi (games, nonton film,
olahraga) sehingga mereka siap untuk kembali ke lingkungan mereka kembali. (Khairul,
2012)

Setelah menjalani program rehabilitasi tidak menutupi kemungkinan akan


mengalami relapse. Menurut BNN 70 persen pecandu narkoba mengalami relapse pada
tahun 2018. (BNN, 2018) Bahkan, berdasarkan laporan RSKO tahun 2013, 65,17%
pasien rawat jalan dan rawat inap penyalah guna narkoba di RSKO adalah pasien
penyalah guna narkoba dengan status pengguna lama. (KEMENKES RI, 2014) Kambuh
atau relapse merupakan terjadinya kembali pola lama penyalahguna (adiksi) dimana
pemakaian narkoba berlangsung kembali secara rutin. Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya relapse antara lain, status ekonomi tinggi, jenis NAPZA yang di pakai, faktor
teman yang sesama pengguna, hubungan keluarga yang tidak harmonis (Habibi, 2016),
dan Usia (Deny et al, 2017) Pendapat lain, Irwan membagi faktor penyebab relapse
NAPZA menjadi 2 yaitu : faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
diketahui memiliki pengaruh terhadap terjadinya relaps yakni efikasi diri, motivasi,
craving, coping, emotional states, dan outcome expetancies ; stres; conduct problem;
depresi dan gangguan kecemasan; serta Mood. Faktor eksternal yang memiliki pengaruh
terhadap relaps yaitu konflik interpersonal dan tekanan sosial; dukungan sosial dan
sejarah keluarga; serta sosial keluarga, lingkungan, dan economic employment
environment. (Irwan, 2015)

Faktor ekonomi yang tinggi sangat rentan untuk relapse didukung oleh hasil
penelitian Habibi tahun 2016 dimana dari status ekonomi tinggi memiliki kemungkinan
1,96 kali untuk relapse. (Habibi, 2016)

Jenis NAPZA yang digunakan juga berpengaruh dengan kejadian relapse,


dibandingkan ganja, shabu-shabu memiliki potensi 1,69 kali untuk relapse. Sabu-sabu
merupakan narkotika golongan I, dimana narkotika tersebut hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan dan dapat merangsang
fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Bubuk shabu-shabu yang berbentuk
kristal ini sangat mudah didapat dan sangat mudah juga dipakainya, dan pemakainya
tidak pernah sakauw atau merasa kesakitan kalau lagi nagih, tetapi bubuk kristal ini
sangat jahat karena langsung merusak otak. (Habibi, 2016)

Faktor keluarga mendukung 1,78 kali untuk menyebabkan relapse. Adanya


hubungan faktor keluarga dengan kekambuhan (relapse) karena keluarga yang jarang
berkumpul bersama, orang tua lebih sering diluar rumah daripada dirumah dan orang tua
sering bertengkar bahkan orang tua tidak peduli meskipun anaknya keluar malam, serta
memiliki orang tua yang bercerai, baik itu cerai mati maupun cerai hidup. Secara garis
besar keluarga yang berpengaruh negatif terhadap seseorang ialah keadaan di dalam
keluarga dimana tidak terdapat keharmonisan sehingga timbul situasi yang tidak kondusif
dan tidak terdapat rasa nyaman dalam sebuah keluarga. (Habibi, 2016) Menurut Irda
tahun 2018 mengungkapkan, Semakin kuat dukungan emosional dari keluarga
penyalahguna napza pasca rehabilitasi maka semakin kuat pula upaya pencegahan
relapse yang dilakukannya. (Irda, 2018)

Faktor teman memiliki risiko 81,1% untuk menyebabkan relapse. (Deny et al,
2017) Adanya hubungan teman/kelompok dengan kekambuhan (relapse) dikarenakan
sebagian besar responden memiliki teman yang juga merupakan pengguna narkoba,
lebih banyak mengahabiskan waktu dengan teman ketimbang keluarga sehingga teman
memiliki pengaruh yang lebih besar (Habibi, 2016) dan dikarenakan stigma negatif yang
ada di masyarakat mengenai para pecandu narkoba saat kembali ke lingkungannya.
(Deny et al, 2017)

Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat
beberapa tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan
lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat yang lebih
dewasa akan lebih percaya dari pada orang belum cukup tinggi kedewasaannya. Masa
remaja merupakan masa yang paling rawan dalam penyalahgunaan narkoba (17-24
tahun). Namun , orang dewasa (30-41 tahun) lebih banyak relapse karena permasalahan
dalam rumah tangga dan pekerjaan. (Deny et al, 2017)

Pasien Tuan S merupakan pasien rehabilitasi di RSKO karena penggunaan


NAPZA yaitu jenis metamfetamin (shabu). Pasien ini sudah 15 tahun menggunakan
NAPZA dan sudah memakai berbagai jenis NAPZA seperti ganja, shabu dan ekstasi.
Pasien sudah sering untuk mencoba berhenti menggunakan NAPZA dan saat ini
merupakan kali ke 2 pasien untuk melakukan program rehabilitasi. Saat menjalankan
program rehab banyak kegiatan yang dilakukan setiap harinya yang sudah dijadwalkan
sehingga terbentuknya suatu kebiasaan yang teratur dan lebih sehat. Seperti kelas,
olahraga, dan kegiatan keagamaan. namun, Tuan S juga merasa kegiatan yang ada
sangat monoton, membosankan dan membuat jenuh. Keluarga dan anak sangat
mendukung dan memotivasi pasien untuk sembuh namun, tantangan terbesar yang Tuan
S hadapi setelah menyelesaikan program rehabilitasi dan kembali ke lingkungannya
(pekerjaan dan pertemanan) merupakan kemungkinan terbesarnya untuk menjadi
relapse.

Pencegahan relapse dapat dilakukan melalui pendekatan perilaku kognitif untuk


manajemen diri yang berfokus pada pengajaran individu untuk mendapatkan alternatif
terhadap situasi yang memiliki resiko tinggi akan terbentuknya kembali perilaku relaps,
ada tiga kondisi yang beresiko tinggi akan membentuk perilaku relaps kembali yaitu
emosi negatif, konflik interpersonal, dan tekanan sosial. Program yang dapat
dilaksanakan untuk pencegahan relaps yaitu aftercare program. Program yang ditujukan
bagi mantan residen ini bertujuan agar individu mempunyai tempat atau kelompok yang
sehat dan mengerti tentang dirinya serta memiliki lingkungan hidup yang positif. (Irwan,
2015)

Pada dasarnya, islam melarang kita mengonsumsi atau menggunakan sesuatu

yang membahayakan diri. Misalnya alkohol, rokok dan berbagai jenis narkoba (ganja,
heroin, morfin, kokain dan sebagainya) walaupun dalam Alqur’an tidak ada/tidak

diketemukan terminologi narkoba. Begitu juga dalam hadis-hadis Rasul tidak dijumpai

istilah narkoba karena narkoba merupakan istilah baru yang muncul sekitar abad dua

puluh. Meskipun nash (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah Saw) tidak menyebut narkoba

secara eksplisit akan tetapi nash mengatur secara jelas dan tegas prinsip-prinsip dasar

yang dapat dijadikun acuan dalam menemukan dalil pendukung berkaitan dengan

permasalahan narkoba seperti ayat dibawah ini. (Khanza, 2017)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis berterimakasih kepada rumah Sakit Ketergantungan obat (RSKO) yang terlah
memberikan kesempatan untuk mengumpulkan informasi dari pasien. Terimakasih
kepada dr. Hj. RW. Susilowati, M.Kes, PA selaku koordinator blok elektif, dr. Nasrudin
Noor, Sp.KJ, selaku dosen pengampu dalam kepeminatan drug abuse, dr. Yurika
Sandra, M.Biomed selaku tutor yang membimbing selama blok elektif, serta teman-
teman bidang kepeminatan drug abuse yang telah membantu dalam pengerjaan
laporan kasus.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan


kejadian kekambuhan kembali (relapse) sangat besar pasca rehabilitasi NAPZA akibat
banyaknya faktor eksternal dan internal berupa motivasi, mood, status ekonomi, jenis
NAPZA yang dipakai, lingkungan teman, pekerjaan, dan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Alhamuddin. 2015. Merawat jiwa menjaga tradisi : Dzikir Dan Amal Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah Dalam Rehabilitasi Korban NAPZA Sebagai Terapis Ala Islam
Nusantara. Vol. 12, No. 1 Januari-Juni 2015.
BNN. 2019. Pengertian Narkoba Dan Bahaya Narkoba Bagi Kesehatan.
https://bnn.go.id/pengertian-narkoba-dan-bahaya-narkoba-bagi-kesehatan/.
Diakses tanggal 13 November 2019.
Budi Raharjo dan Riza Sarasvita. 2014. Program Waib Lapor Pecandu Narkotika.
Kementrian
Kesehatan RI
Deny Kurniawan, Ratna Yuliawati , Ari Hamdani. 2017. Hubungan antara keadaan
keluarga
dengan perilaku relapse (Kekambuhan) narkoba pada residen. PROMOTIF:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 7, Nomor 2. ISSN 2503-1139.
Erika Waty. 2016. Gambaran Penyebab Kekambuhan kembali (relapse) pada Pecandu
Narkoba
di Panti Rehabilitasi Narkoba Doulos Jakarta Timur tahun 2016. Esa Unggul.
Jakarta
Evelyn Felicia. 2015. Kendala Upaya Rehabilitasi bagi Pecandu narkotika oleh Badan
Narkotika
Nasional Provinsi (BNNP) Yogyakarta.
Fransisca Novita. 2011. Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta usaha Pencegahan
dan
Penanggulangannya. https://media.neliti.com/media/publications/12297-ID-
bahaya-penyalahgunaan-narkoba-serta-usaha-pencegahan-dan-
penanggulangannya-suatu.pdf . Diakses pada tanggal 13 November 2019.
Habibi , Syahrul Basri , Fitri Rahmadhani. 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan
Kekambuhan Pengguna Narkoba pada Pasien Rehabilitasi di Balai Rehabilitasi
Badan Narkotika Nasional Baddoka Makassar Tahun 2015. Makasar.
Hafied Ali Gani. 2015. Rehabilitasi sebagai upaya depenalisasi bagi pecandu narkotika.
Malang.
Irda Yunitasari. 2018. Hubungan Dukungan Keluarga dan Selfefficiency dengan Upaya
Pencegahan Relapse pada Penyalahguna NAPZA Pasca Rehabilitasi di Badan
Narkotika nasional Provinsi Kalimantan Timur. PSIKOBORNEO, 2018, 6 (2) :
420-434 ISSN 2477-2674.
Irwan Syuhada. 2015. Faktor Internal dan Intervensi pada Kasus Penyandang Relaps
Narkoba.
Malang. ISBN: 978-979-796-324-8
Kaedita Puspa. 2017. Analisis Survival untuk Mengetahui besaran risiko terjadinya
Kekambuhan kembali (relapse). Surabaya.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Buletin jendela data dan informasi kesehatan. ISSN
2088-270X
Khairul. 2012. Rehabilitasi Remaja Pecandu NAPZA di Instalasi Wisma Sirih Sungai
Bangkok Pontianak.
Khanza Safitra. 2017. Narkoba dalam Pandangan Islam dan Dalilnya.
https://dalamislam.com/info-islami/narkoba-dalam-pandangan-islam. Diakses
pada 18 November 2019.
Laurentius Panggabean. 2014. Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Kementrian
Kesehatan RI.
Luh Nyoman Alit Aryani. 2018. Metode Rehabilitasi Gangguan Pengguna Napza.
Oetari Poernamasasi, S.AP. 2011. Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba.
Kementrian
kesehatan RI.
Oscar Primadi. 2014. Data dan Informasi Kesehatan Hari Anti Narkoba Internasional.
Kementerian Kesehatan RI.
PUSLIDATIN. 2019. Penggunaan Narkotika di Kalangan Remaja Meningkat.
https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-meningkat/. Diakses
pada tanggal 14 November 2019
Ratna Puspita. 2018. BNN : 70 Persen Pecandu Narkoba relapse setelah di
Rehabilitasi.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/03/20/p5w2eo428-bnn-70-
persen-pecandu-narkoba-relapsee-setelah-rehabilitasi. Diakses pada 14
November 2019
Sabarinah Prasetyo dan Diah Setia Utami. 2014. Prevensi Sekunder Pemakaian Zat
Adiktif.
Kementrian Kesehtan RI.

Anda mungkin juga menyukai