Anda di halaman 1dari 7

MENGAPA HMJ TIDAK DIMINATI?

DAN BAGAIMANA HMJ BISA SANGAT


DIMINATI?

“Tak ada gading yang tak retak” begitulah kiranya pribahasa yang tepat bagi kepengurusan
kami, begitupun laporan ini yang masih jauh dari kata sempurna.

Hadirin hadirin sekalian, apakah kalian ‘ngeh bahwa setiap kepengurusan organisasi
manapun di Indonesia –yang mungkin pernah kita temui—pasti mengandung kata-kata ini
buat penutupan atau pembukaan LPJ-nya mereka?. Kalian pernah heran tidak, kapan ya
gadingnya bisa gak retak, atau setidaknya udah retak bisa gak diperbaiki?. Supaya enggak
kayak rumah tangga Gading betulan aja, kan? kalo susah diperbaiki ya cari pasangan lain,
eits.

Maksud saya biar diksinya gak mainstream, macem maneu lah kau ni Mei-Mei.
Gimana tah caranya, agar LPJ-an jadi sebuah moment seru. Misal, “tak ada gading yang tak
retak, tapi in Syaa Allah sedang proses peng-amplasan. Retaknya? ya gak kelihatan-keliatan
amat kok” misal jadi begitu. Gak ada yang salah, dan bisa buat para pendengarnya semangat,
bukan?. Setidaknya ada solusi tepat setelah permasalahan timbul?.

Hmm. Yah, mungkin tadi prolog. Tapi tujuan saya tadi bukan basa-basi, tenang. Biar
kalian konsentrasi aja, konsentrasi. Mari berkonsentrasi.

Langsung aja ya, yaelah.

Kalian suka bertanya-tanya gak dalam organisasi...

“Kenapa seseorang bisa nyaman di organisasi? dan kenapa yang lain tidak?”

“kenapa Orang yang sama bisa nyaman di organisasi A, tapi ngeluh dan kabur-kaburan mulu
di organisasi B?”

“atau kenapa organisasi sebelah banyak peminatnya, sedangkan organisasi kita sedikit yang
minat, padahal kita berada dalam naungan yang sama, MKO yang sama, satu Perfak. Kenapa
SDM mereka sampai bejibun dan keanggotaan harus disaring, tetapi organisasi kita masih
cari anggota sana sini?”.

Pertanyaan yang sama mungkin juga berlaku untuk HMJ BK Untirta.


“Kenapa ada periode dimana menjadi bagian kepengurusan HMJ begitu membanggakan dan
menyenangkan, dan ada periode dimana jadi bagian HMJ begitu memainkan hati? Padahal
kita jadi bagian penting dalam periode tersebut?”

“sebenernya apa sih yang buat organisasi diminati dan dicintai setiap anggota organisasi?”

Saya punya alasan sederhana. Kalian diharap catat baik-baik. Sebetulnya hanya satu faktor
kenapa ada organisasi bisa sangat diminati dan bisa sangat tidak diminati. Apa faktornya?
organisasi yang paling diminati dan dicintai setiap anggotanya adalah organisasi yang
“MEMBUDAYAKAN MENGHARGAI”. Ya, ini adalah kunci yang sederhana, bukan?.
Hanya jika ada “budaya menghargai” di Organisasi, maka organisasi itu bisa sangat
diminati.

Coba deh, saya minta klean klean klean jujur...

“kenapa kamu mencintai doi dan tidak mau lepas dari doi?”

“kenapa kamu bisa nyaman dan mencintai betul keluargamu?”

“Mengapa kita bisa begitu nyaman dan dekat dengan para sahabat, saudara atau orang-orang
sekitar kita ?”

“kenapa kita bisa nyaman di organisasi kita?”

Bukankah KARENA BERSAMA MEREKA, KITA MERASA BERHARGA, ya gak?.


Karena disaat bersama mereka, apapun yang kita lakukan akan dihargai dan diapresiasi?.
Disaat kita buat tulisan, mereka menyanjung kita. ketika kita membantu mereka, mereka
berterimakasih. Ketika kita ada bersama mereka, mereka peduli dan mereka menganggap
kita ada?. Bukan begitu?. Mereka menghargai kita bukan melalui materi. Penghargaan
mereka lebih dari sekedar ucapan, pokoknya semuanya tentang ketulusan, dan kita
merasakannya. Maka inilah yang susah didapet diorganisasi manapun. Memberi penghargaan
dan pengakuan kepada tiap anggota, dan para anggota merasa dihargai dan diakui.

Di dunia yang gak terbatas saat ini, bentuk penghargaan juga jadi gak terbatas. Tetapi
titik kesuksesan terbesar organisasi di dunia saat ini bisa di ukur, yaitu ketika para anggota
organisasi merasa dihargai dan diakui. Dan organisasilah yang menciptakan penghargaan dan
pengakuan itu. Sebab organisasi, mereka merasa berharga. sebab organisasi, mereka merasa
diakui oleh masyarakat. Bagaimana tidak sukses kalau organisasi telah menciptakan anggota
yang merasa sangat berharga dan merasa diakui?. Terserah setuju atau enggak, begitulah
kenyataannya.

Ora’ngaruh. No matter. La yanfa’. Gak peduli, seberapa hebat tujuan organisasimu,


seberapa visioner pemimpinmu, seberapa benar prinsip organisasimu, tapi, kalau enggak ada
budaya menghargai di organisasimu, maka gak heran, orang-orangmu akan keluar. Inget kata
Mantan Perdana Menteri Inggris di tahun 1800’an? Namanya Benjamin Disraeli –kita Cuma
ambil kata-katanya aja ya—, katanya “Bicaralah kepada orang-orang tentang diri mereka,
dan mereka akan memerhatikan anda”.

Puncak kesuksesan seorang ketua organisasi adalah, ketika ia memahami apapun


tentang anggotanya, dan anggotanya tahu, bahwa ketua mereka memahami mereka. Begitu
juga puncak kesuksesan organisasi adalah, ketika tiap anggota dalam organisasi tersebut bisa
saling memahami dan mereka tahu bahwa mereka dipahami.

Sobat, Di zaman yang serba Sosmed begini, setiap orang ingin dianggap ada, ingin
dirinya menjadi pusat perhatian. Hampir setiap orang berperilaku kepada arah dimana dirinya
akan dihargai dan diakui. Begitulah pola manusia kini, semuanya tentang eksistensi, mereka
ingin direspon dengan penghargaan dan pengakuan. Misal, kalau kalian tahu bahwa Jamilah
adalah orang yang Snap Whatsapp-nya udah kayak semut, gak kehitung statusnya, kalian
jangan buat Jamilah kayak kambing conge di organisasi kalau kalian gak mau Jamilah tiba-
tiba ngilang di organisasi. buatlah penghargaan walaupun kecil, tapi beresensi membuat
Jamiklah diakui, Jamilah merasa ada.

Sekarang, yang bisa saya bilang hanya “jangan heran”. “jangan heran kalo tiba tiba
Joni keluar, karena tiap acara dia jadi logistik tapi gak pernah di apresiasi”, “jangan heran
kalo si Payjo keluar organisasi, karena tiap dia ngeluarin ide, pasti ditolak karena dia punya
ormawa eksternal”, ataauuuu. “jangan heran, kalau tiba-tiba kating kalian gak mau dateng ke
setiap acara kalian, karena mereka jarang kalian anggap ada, dengan cara tidak pernah
mengajak mereka berdiskusi atau bermusyawarah”... ini Cuma misal ya. Dan kalau misal-
misal ini semua terjadi, maka saya Cuma bisa apa?. Yes, i just wanna say “jangan heran”

Nih ya, saya hanya ingin mengungkapkan fakta bahwa HMJ kurang diminati, Cuma
karena di HMJ kurang ada budaya menghargai:

1. Menghargai Latar Belakang


Seberapa sering saya dengar keluhan anggota HMJ yang berlatar belakang organisasi
eksternal bahwa mereka dianggap sebelah mata di HMJ atau organisasi internal lainnya.
Padahal niat mereka masuk eksternal hanya aktualisasi lebih dalam untuk pengalaman
mereka selama jadi mahasiswa. Selebihnya, mereka hanya mengembangkan prinsip.
Apabila ada yang senang terhadap prinsipnya, maka ia hanya menganjurkan untuk ikut.
Bukan berarti ia mempersuasikan keadaan internal supaya ia kuasai, tidak. Bagi saya ia
hanya menerapkan prinsip, kadang sesuai dan kadang tidak sesuai dengan keadaan
internal.

Stigma ini kadang juga hadir ke saya. padahal dunia Bimbingan dan konseling udah
menjadi bagian dari hidup saya. darah saya juga bisa dibilang biru konselor nih. Jurusan
BK udah mendarah daging, masa iya saya bawa-bawa kepentingan eksternal ke internal?.
Justru orang-orang eksternal masuk ke internal karena mereka ingin memperbaiki
keadaan internal, ya untuk kebaikan internal.

Mereka itu bisa melalui dua cara untuk melihat dunia. mereka enggak hanya melihat
dunia secara parsial, dimana mereka hanya melihat keadaan yang melekat dengan
mereka, keadaan jurusan, fakultas, atau kampus mereka aja. Kalau keadaan disekitar
pelupuk mata mereka baik-baik saja, mereka berkata “okay, there’s no problem”. Enggak
begitu mahasiswa ber-organ eksternal. Mereka melihat dunia secara integral, mereka
mau melihat dunia yang tidak melibatkan mereka, yah keadaan agama mereka secara
lebih luas, keadaan kampus secara global, enggak Cuma UNTIRTA aja, keadaan HMJ
juga bukan HMJ BK UNTIRTA aja. Mereka adalah orang-orang yang melihat apa yang
orang lain tidak melihatnya. Mereka melihat sesuatu yang lebih baik dari pada keadaaan
saat ini. Perbandingan mereka bukan hanya sebatas yang terlihat dipelupuk mata, mereka
melihat yang terbaik dari dunia ini, mereka kadang membawa perubahan untuk
perbaikan.

Namun ketika mereka ingin membawa perubahan menuju HMJ ke arah yang lebih
baik itu, beserta musyawarah-musyawarah yang diperlukan, cara yang sama seperti
anggota lainnya untuk memberi masukan atau evaluasi, mereka malah tidak diberi
kesempatan dan didepak dari diskusi yang ada, dan dianggap sebelah mata. Siapa yang
pernah merasakan hal serupa?. Jujurlah, saya banyak dengar cerita kok.

Berasal dari cara memandang latar belakang anggota secara negatif ini lah membuat
HMJ terbilang kurang menghargai latar belakang.
“prasangka seringkali menghentikan orang dalam melihat hal-hal sebagaimana adanya”
(Steven D. Levitt & Stephen J. Dubner)

2. Menghargai Pendapat

Pada November 2018, Saya betul-betul menyimak dan menyerapi apa yang di
diskusikan di UNY tentang masing-masing HMJ. HMJ BK UNTIRTA dan HMJ BK
UNY memaparkan struktur organisasi dan program kerjanya. Saya melihat betul bahwa
pengorganisasian HMJ BK UNY sangat rapih, walaupun setiap anggota pada tiap
devisinya sedikit, tapi program kerja mereka betul-betul jelas. Setiap devisi memiliki arah
kinerja yang terstruktur dan terpola.

Saya membandingkan dengan HMJ BK UNTIRTA. Saat itu ada pertanyaan,


“bagaimana kinerja Bidang Humas, Departemen Kominfo?”, semuanya bingung
menjelaskan. “ya seperti Humas, yang bertugas ke luar HMJ, menjalin hubungan
kemasyarakatan, ke organisasi lain”. Saya mempertanyakan, apakah setiap acara keluar
humas yang mengurusi?, nyatanya tidak. BPH lah yang paling memegang kendali disitu.
Proker besar bidang Humas adalah GCE dan Imabkin, tapi, apakah betul-betul mereka
yang memegang kendali tersebut?. nyatanya, anggota IMABKIN gak semuanya HMJ dan
berada di Humas, lalu bagaimana ini kinerjanya?.

Waktu sidang MKO menjelang Musyawarah Akhir Tahun di akhir Periode Kabinet
Kooperatif, saya ingin mengajukan pendapat yang sangat masuk akal, dan bisa
memperjelas arah kinerja tiap bidang di HMJ. Saya ingin mengajukan, bahwa “bidang
Humas di hapuskan”. “Untuk acara-acara IMABKIN dan GCE diserahkan ke bidang
keprofesian, Departemen Pendidikan” dan itu bagi saya benar-benar relevan, karena
bidang keprofesian di pendidikan masih “minim aksi” dan IMABKIN adalah organisasi
keprofesian. “lalu bidang Kerohanian dipindah ke Kominfo, karena esensi kinerja bidang
ini adalah dakwah, dan tugas Kominfo adalah Komunikasi dan Informasi” relevan
bukan?.

Kominfo jadi departemen komunikasi duniawi dan ukhrowi. Lalu proker besar
Kominfo apa?, tanpa Kominfo, proker-proker besar HMJ tidak akan terlaksana. Kominfo
selalu hadir dan berkontribusi walau tak pernah dilihat. Siapa yang bikin banner hampir
disetiap proker HMJ?, siapa yang bikin flyer? Siapa yang selalu menjadi pubdekdok?
Saya mantan anggota kominfo harus tau suka duka kominfo selama berada di HMJ dari
tahun ke tahun. Tujuan saya jelas menjadikan kominfo lebih fokus pada bidangnya yaitu
sebagai mediator. Setiap tahun, kominfo pasti bikin proker bikin channel youtube, isinya
vlog-vlog acara HMJ. Bikin press rilis, atau mengembangkan web jurusan. Dan proker-
proker tersebut memang sangat fundamental membawa HMJ lebih komunikatif. Eits,
Tapi nyatanya? Proker-proker itu enggak pernah terlaksana sampai saat ini, bukan?.
Karena kominfo terlalu terpecah fokusnya, SDM di kominfo terbatas, dan HMJ jarang
mengapresiasi kominfo. Dengan bantuan kerohanian sebetulnya kominfo bisa lebih
optimal dalam hal penyampaian, dan kerohanian bisa lebih terarah di Kominfo.

Nah, dengan konsep pendapat seperti itu, apakah saya terlihat ingin membawa
kepentingan eksternal ke internal?. Kalau tidak, kenapa nyatanya, waktu saya ingin
mengajukan pendapat seperti itu, ketika sidang MKO—yang saya sebutkan tadi—komisi
saya yang dikuasai oleh orang yang “katanya berpengalaman di Organisasi Internal”
memandang sinis saya, dan mengacuhkan saya. ia baru mendengar sedikit pendapat saya,
langsung ngomong “gak usah lah, ngapain juga ngerubah-ngerubah” dan anggota lain
mengikuti kebijakannya, karena dia ketua komisi. Apakah itu yang disebut dengan
menghargai pendapat? Setidaknya lah persilahkan saya bicarakan ke forum mengenai
pendapat tersebut, namun mereka? Tidak mempersilahkan saya. Akhirnya, pendapat saya
tadi hanya keluar untuk teman sebelah saya. Dan tidak ada perubahan pun perbaikan pada
HMJ. Padahal saya hanya ingin HMJ BK UNTIRTA berjalan sama efektifnya dengan
HMJ BK UNY, UPI atau Univ lainnya yang terbukti patut dijadikan contoh dalam
menjalankan roda organisasi internal masing-masing.

mungkin masih banyak lagi pendapat saya atau malah para anggota HMJ lainnya yang
hingga saat ini masih dipendam. Pertanyaannya, “apakah HMJ akan diminati apabila
setiap pendapat diacuhkan seperti itu?”. Budayakanlah menghargai pendapat

“pemimpin harus menanamkan sebuah karakter kedalam organisasi dan mendorong


tim untuk mengeksplorasi ide-ide baru” (Jonathan Gifford)

3. Menghargai Kinerja

Singkat saja tentang ini. Adalah suatu kebohongan apabila ada anggota yang bekerja
totalitas di HMJ namun ia berkata tidak mau diapresiasi atau dihargai kinerjanya. Saya
melihat betul betapa senangnya sahabat saya, Adam, yang selalu menjadi koor logistik
pada tiap acara—kecuali GCDS/pengabdian karena dia ketuplaknya—ketika ia
dinobatkan menjadi panitia ter-on-time ketika GCC 2017.

Intinya, setiap manusia memang harus melakukan segala sesuatu dengan ikhlas, tetapi
sebagai pemegang kendali atas pekerjaan manusia itu, anda harus membuat manusia yang
bekerja pada anda merasa berharga dan diakui, Agar ia bekerja dengan hati. Sebab pada
akhirnya kita semua ingin kalau orang-orang yang bekerja dengan kita adalah rekan dan
sahabat yang bekerja secara sukarela, yang tidak terlalu memikirkan seberapa besar upah
yang ia dapat, ia bekerja dengan senang hati. Tentu, ini semua butuh keterampilan
menghargai. Inilah hukum kinerja dan loyalitas. Bagaimana para anggota HMJ akan
loyal dan totalitas, apabila di HMJ tidak ada budaya menghargai kinerja?

“Persahabatan dibentuk dari telinga yang bersedia mendengarkan, hati yang


memahami, dan tangan yang menolong” (Frank Tyger)

4. Menghargai Waktu

Ini juga ingin saya jelaskan dengan singkat. Intinya ini PR buat kita semua. Satiap
evaluasi HMJ pasti ada bahasan waktu. “maaf ya, karena agak ngaret acaranya”,

“untuk kedepannya betul-betul akan didenda buat yang ngaret”,

“paling ngaret doang sih kendalanya”

HMJ masih minim budaya menghargai waktu. Enggak Cuma HMJ sih, organisasi
manapun di Indonesia kayaknya juga masih kurang menghargai waktu. Padahal udah saya
kasih kritik berkali-kali sama orang yang ngaret di HMJ, tapi tetep gak mempan.

Tapi saya hanya bersaran, bahwa solusi utama masalah disilin waktu bukanlah
penyadaran. Dengan cara mengkritik habis-habisan orang yang ngaret. Bukan, mereka
sebetulnya sudah tahu bahwa mereka ngaret dan itu salah. Semua orang sadar bahwa
waktu begitu berharga dari pada uang

“maa

#khususonteruntukHMJBKUNTIRTA

Anda mungkin juga menyukai