Anda di halaman 1dari 41

LEMBAR PENGESAHAN

REFEREAT
“Penggunaan Antibiotik pada Infeksi Saluran Cerna”

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Disusun oleh:

Lisda Yolanda 112017210

Telah Disetujui oleh Pembimbing:

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. Deka Larasati, SpPD, M.Biomed ................. ..................

Mengesahkan:

Koordinator Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam

dr. Ruswhandi, SpPD, K-GEH

1

Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pada kesempatan kali ini,
penulis bisa menyelesaikan tugas referat yang diberi judul “Penggunaan Antibiotik
pada Infeksi Saluran Cerna”.
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
“Penggunaan antibitik pada Infeksi Saluran Cerna” dan merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Deka Larasati, SpPD, M.Biomed yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan pengarahan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan masih
banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari
dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan
masukan yang berguna bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga referat ini
membawa manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 6 September 2018

2

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 5
2.1 Infeksi Saluran Cerna .......................................................................................... 5
2.1.1 Definisi ............................................................................................................. 5
2.1.2 Epidemiologi .................................................................................................... 5
2.1.3 Etiologi ............................................................................................................. 6
2.1.4 Patofisiologi ................................................................................................... 11
2.1.5 Manifestasi Klinis .......................................................................................... 12
2.1.6 Diagnosis ........................................................................................................ 13
2.1.7 Tatalaksana ..................................................................................................... 15
2.1.8 Pencegahan ..................................................................................................... 18
2.1.9 Komplikasi ..................................................................................................... 18
2.1.10 Prognosis ..................................................................................................... 19
2.2 Antibiotik .......................................................................................................... 19
2.2.1 Klasifikasi Antibiotik ..................................................................................... 20
2.2.2 Resistensi Antibiotik ...................................................................................... 21
2.2.3 Golongan Antibiotik ...................................................................................... 21
2.2.3.1 Golongan Inhibitor Sintesis Dinding Bakteri ............................................. 21
2.2.3.2 Golongan Inhibitor Sintesis Protein ........................................................... 29
2.2.3.3 Golongan Inhibitor Fungsi dan SIntesis Asam Nukleid ............................. 34
2.2.3.4 Golongan Penghambat Membran Sel ......................................................... 37
2.2.3.5 Golongan Inhibitor Metabolisme ............................................................... 38
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 41

3

BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Infeksi gastrointestinal adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas
yang paling penting di seluruh dunia. Patogen enterik adalah penyebab utama kematian
anak di dunia dan merupakan penyebab kematian kedua di antara semua usia. Banyak
infeksi enterik ditularkan ke manusia melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan
perbaikan dalam kualitas air, sanitasi dan praktik kebersihan makanan telah
menurunkan makanan dan penyakit di banyak wilayah di dunia. Sebaliknya, masalah
yang terkait dengan praktik modern distribusi massal dan luas dari produk makanan
kemungkinan besar telah berkontribusi pada transmisi penyakit pencernaan yang
ditularkan melalui makanan, karena makanan mungkin tidak disimpan dengan benar
pada titik manapun dalam proses dan makanan terkontaminasi di satu lokasi mungkin
dikirim ke berbagai wilayah dan bahan ke berbagai negara. Salah satu infeksi
gastrointestinal yang paling sering di Indonesia adalah yaitu gastroenteritis atau
ditandai dengan adanya diare pada gejala.1
Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia
terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Lebih dari seperempat anggaran
rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik. Di negara maju, 13-37%
dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara
tunggal maupun kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang
dirawat di rumah sakit mendapat antibiotik.2
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan resistensi
terhadap antibiotik. Resistensi merupakan dampak negatif dari pemakaian antibiotik
yang irasional, penggunaan antibiotik dengan indikasi yang tidak jelas, dosis atau lama
pemakaian yang tidak sesuai, cara pemakaian yang kurang tepat, status obat yang tidak
jelas, serta pemakaian antibiotik secara berlebihan.2

4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Infeksi Saluran Cerna


2.1.1 Definisi
Infeksi gastrointestinal adalah salah satu infeksi yang paling sering ditemukan
dalam perawatan primer. Meskipun mungkin tidak selalu parah dan sering dapat selesai
dengan cepat, namun hal tersebut bisa menjadi serius bagi beberapa populasi pasien
khusus. Infeksi gastrointestinal adalah infeksi virus, bakteri atau parasit yang
menyebabkan gastroenteritis atau diare akut, dimana terjadi peradangan pada saluran
pencernaan yang melibatkan lambung dan usus kecil.3
Gastroenteritis adalah peradangan pada saluran gastrointestinal (GI) yang
menyebabkan diare akut dan muntah. Enterotoksin bakteri diproduksi oleh bakteri
patogen mempengaruhi saluran GI yang menyebabkan muntah, sakit perut, diare dan
kadang-kadang disentri.4 Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan diare kronik yaitu diare yang berlangsung
lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab
diare yang terbanyak adalah diare infeksi.5

2.1.2 Epidemiologi5
Gastroenteritis atau diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh
dunia. Di Amerika Serikat, keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar
keluhan pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di
Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama
sampai dengan ke empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit. Di negara
maju diperkirakan insiden sekitar 0,5 – 2 episode/orang/tahun sedangkan di negara
berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99
juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya. WHO memperkirakan ada
sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.

5

2.1.3 Etiologi6,7
Mikroorganisme dapat memasuki saluran pencernaan melalui bahan makanan
atau minuman dan melalui jari tangan yang terkontaminasi mikroorganisme patogen.
Mayoritas mikroorganisme tersebut akan dihancurkan oleh asam klorida (HCL) dan
enzim-enzim di lambung, atau oleh empedu dan enzim di usus halus. Mikroorganisme
yang bertahan dapat menimbulkan penyakit. Misalnya demam tifoid, disentri amoeba,
hepatitis A, dan kolera. Patogen ini selanjutnya dikeluarkan melalui feses dan dapat
ditransmisikan ke inang lainnya melalui air, makanan, atau jari-jari tangan yang
terkontaminasi.

Escherichia coli
E. coli yang menyebabkan diare diklasifikasikan berdasarkan sifat virulensinya.
1. E. coli Enteropatogenik (EPEC)
EPEC merupakan penyebab diare yang penting pada bayi, terutama di negara
berkembang. EPEC menempel pada mukosa usus halus. Kadang-kadang EPEC
masuk ke dalam sel mukosa. Akibat infeksi EPEC adalah diare encer yang biasanya
sembuh sendiri walaupun dapat juga menjadi kronik.
2. E. coli Enterotoksigenik (ETEC)
ETEC, biasanya menginfeksi manusia melalui makanan, adalah penyebab umum
“diare wisatawan”. Faktor kolonisasi ETEC spesifik untuk mendorong perlekatan
ETEC pada sel epitel usus halus manusia. Beberapa strain ETEC menghasilkan
eksotoksin yang tidak tahan panas menyebabkan terjadi hipersekresi air dan klorida
yang banyak dan lama serta menghambat reabsorpsi natrium. Lumen usus teregang
oleh air, terjadi hipermotilitas dan diare selama beberapa hari. Beberapa strain
ETEC menghasilkan enterotoksin yang tahan panas yang merangsang sekresi
cairan. Strain yang memproduksi kedua toksin tersebut menyebabkan diare yang
lebih berat.
3. E. coli Enterohemoragik (EHEC)
EHEC menghasilkan verotoksin yang dinamai demikian karena efek sitotoksiknya
terhadap sel vero, suatu sel ginjal monyet Afrika. EHEC menimbulkan kolitis

6

hemoragik, diare yang berat, dan pada sindroma hemolitik uremik, suatu penyakit
yang mengakibatkan gagal ginjal akut, anemia hemolitik mikroangiopati, dan
trombositopenia. Serotipe E. coli yang menghasilkan verotoksin, O157:H7, adalah
serotipe yang paling sering ditemukan dan satu-satunya yang dapat diidentifikasi.
4. Enteroinvasif E. coli (EIEC)
EIEC menimbulkan penyakit yang sangat mirip shigelosis. Penyakit ini terjadi
paling sering pada anak-anak di negara berkembang dan pada pengunjung negara-
negara tersebut. Seperti Shigella, strain EIEC tidak memfermentasikan laktosa atau
memfermentasikan laktosa dengan lambat dan nonmotil. EIEC menimbulkan
penyakit dengan menginvasi sel epitel mukosa usus.
5. Enteroagregatif E. coli (EAEC)
EAEC menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di negara berkembang.
Organisme ini juga menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui makanan di
negara industri. Organisme ini ditandai oleh pola perlekatannya yang khas pada sel
manusia. EAEC juga menghasilkan toksin.

Vibrio cholerae
V. cholerae biasanya menginfeksi manusia melalui makanan atau minuman.
Diare terjadi sebanyak 20-30 L/hari, mengakibatkan dehidrasi, syok, asidosis, dan
kematian. V. cholerae tidak memasuki aliran darah tetapi tetap di dalam usus.
Organisme ini menempel pada mikrovili brush border sel epitel. Sekitar 60% infeksi
akibat V. cholerae klasik bersifat asimtomatik.
Masa inkubasinya adalah 1 – 4 hari. Secara tiba-tiba, timbul mual, muntah, dan
diare hebat yang disertai dengan kram abdomen. Feses yang tampak seperti air cucian
beras mengandung mukus, sel epitel, dan banyak bakteri. Terjadi kehilangan cairan dan
elektrolit secara cepat sehingga mengakibatkan dehidrasi hebat, kolaps sirkulasi, dan
anuria. Angka mortalitas tanpa terapi antara 25-50%.

7

Campylobacter jejuni dan Campilobacter coli
Kedua organisme ini merupakan penyebab diare yang sama seringnya dengan
Salmonella atau Shigella. Infeksi didapat melalui oral dari makanan, minuman, atau
kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi. C. jejuni sensitif terhadap
asam lambung, diperlukan konsumsi sekitar 104 organisme untuk menimbulkan infeksi.
Organisme ini bermultiplikasi di dalam usus kecil, menginvasi epitel, dan
menyebabkan inflamasi yang mengakibatkan munculnya sel darah merah dan sel darah
putih pada feses. Kadang-kadang bakteri ini masuk ke dalam aliran darah dan
menimbulkan gambaran klinis demam enterik. Manifestasi klinisnya adalah kram perut
yang akut, diare hebat, sakit kepala, malaise, dan demam. Biasanya penyakitnya
sembuh sendiri dalam waktu 5-8 hari.

Shigella sp.
Habitat Shigella terbatas pada saluran cerna manusia dan primata lain. Infeksi
Shigella hampir selalu terbatas di saluran cerna. Jarang terjadi invasi ke aliran darah.
Shigella sangat menular; dosis infektifnya adalah 103 organisme. Shigella sp. memiliki
endotoksin dan eksotoksin. Pada autolisis, semua Shigella melepaskan lipopolisakarida
yang toksik. Endotoksin ini kemungkinan yang berperan menimbulkan iritasi pada
dinding usus. S. dysenteriae tipe 1 (basil Shiga) menghasilkan eksotoksin yang tidak
tahan panas yang dapat mengenai usus dan sistem saraf pusat. Sebagai enterotoksin,
zat ini menimbulkan diare seperti verotoksin E. coli. Pada manusia, enterotoksin juga
menghambat absorpsi gula dan asam amino di usus halus. Setelah masa inkubasi yang
pendek (1-2 hari), secara mendadak timbul nyeri perut, demam, dan diare cair. Diare
ini disebabkan oleh kerja enterotoksin di usus halus. Sehari atau beberapa hari
kemudian, ketika infeksi mengenai ileum dan kolon, jumlah feses meningkat; feses
lebih kental tetapi sering mengandung lendir dan darah. Setiap pergerakan usus diikuti
oleh “mengedan” dan tenesmus (spasme rektum) yang mengakibatkan nyeri perut
bagian bawah. Pada lebih dari setengah kasus pada orang dewasa, demam dan diare
menghilang spontan dalam 2 – 5 hari.

8

Salmonella sp.
Organisme ini hampir selalu masuk melalui rute oral, biasanya bersama
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dosis infektif rata-rata untuk
menimbulkan infeksi klinis atau subklinis pada manusia adalah 105-108 bakteri
(mungkin cukup dengan 103 organisme Salmonella typhi). Tiga penyakit utama yang
disebabkan oleh Salmonella adalah demam enterik (tifoid), bakteremia dengan lesi
fokal, dan enterokolitis). Enterokolitis merupakan manifestasi infeksi yang paling
sering terjadi. Delapan hingga 48 jam setelah tertelannya Salmonella, timbul mual,
sakit kepala, muntah, dan diare hebat dengan beberapa leukosit di dalam feses. Sering
timbul demam ringan, tetapi biasanya sembuh dalam 2-3 hari. Terdapat lesi inflamasi
pada usus halus dan usus besar.

Yersinia enterocolitica dan Yersinia pseudotuberculosis


Y. enterolitica telah diisolasi dari binatang pengerat dan binatang domestik,
misalnya domba, sapi, babi, anjing, dan kucing, serta dari air yang terkontaminasi oleh
hewan-hewan tersebut. Transmisi ke manusia mungkin terjadi melalui kontaminasi
makanan, minuma, atau benda-benda lain. Y. pseudotuberculosis terdapat pada
binatang piaraan dan sawah serta burung, yang mengeluarkan organisme tersebut
melalui fesesnya. Infeksi pada manusia mungkin disebabkan oleh konsumsi bahan
yang terkontaminasi dengan feses binatang. Dibutuhkan inokulum sebanyak 108-109
bakteri yang memasuki saluran pencernaan untuk menimbulkan infeksi. Selama masa
inkubasi 5-10 hari, Yersinia bermultiplikasi di dalam mukosa usus, terutama ileum. Hal
ini menyebabkan inflamasi dan ulserasi, serta munculnya leukosit pada feses. Gejala
awalnya meliputi demam, nyeri abdomen, dan diare. Diare bervariasi dari cair sampai
berdarah dan dapat terjadi akibat enterotoksin atau invasi mukosa. Kadang-kadang,
nyeri abdomen yang terjadi dapat parah dan berada di kuadran kanan bawah sehingga
menimbulkan kecurigaan apendisitis. Satu sampai dua minggu setelah awitan penyakit,
beberapa pasien mengalami artralgia, artritis, dan eritema nodosum yang diduga terjadi
akibat reaksi imunologik terhadap infeksinya. Kebanyakan kasus, penyakit infeksi ini
cenderung sembuh dengan sendirinya.

9

Clostridium Invasif (misal: C. perfringens)
C. perfringens merupakan penyebab tersering keracunan makanan. Spora
mencapai jaringan melalui kontaminasi area-area yang mengalami trauma (tanah,
feses) atau dari saluran cerna. Sel-sel vegetatif bermultiplikasi, memfermentasi
karbohidrat yang terdapat dalam jaringan, dan menghasilkan gas. Distensi jaringan dan
gangguan asupan darah, bersamaan dengan sekresi toksin nekrotikan dan hialuronidase
memudahkan penyebaran infeksi. Nekrosis jaringan meluas, memberikan kesempatan
untuk meningkatnya pertumbuhan bakteri, anemia hemolitik, dan akhirnya toksikemia
berat dan kematian.
Klostridium invasif menghasilkan berbagai toksin dan enzim yang
menyebabkan penyebaran infeksi. Banyak toksin ini mempunyai sifat hemolitik,
nekrotikan, dan letal. Toksin alfa C. perfringens jenis A adalah lesitinase, dan kerja
letalya sebanding dengan kecepatannya memecah lesitin (kandungan membran sel
yang penting) menjadi fosforilkolin dan digliserida. Toksin theta mempunyai efek
hemolitik dan nekrotikan yang sama tetapi bukan merupakan suatu lesitinase. DNAse
dan hialuronidase, suatu kolagenase yang mencerna kolagen jaringan subkutan dan otot
juga dihasilkan.
Beberapa strain C. perfringens menghasilkan enterotoksin yang kuat, terutama
bila tumbuh dalam hidangan daging. Bila lebih dari 108 sel-sel vegetatif tertelan dan
melakukan sporulasi dalam usus, enterotoksin terbentuk. Toksin ini menyebabkan
diare yang hebat dalam 6-18 jam. Kerja toksin ini antara lain berupa hipersekresi yang
nyata dalam jejunum dan ileum, disertai hilangnya cairan dan elektrolit saat diare.
Gejala yang sering terjadi berupa mual, muntah, dan demam yang cenderung sembuh
sendiri.

Staphylococcus aureus
Stafilokokus dapat menyebabkan penyakit baik melalui kemampuannya untuk
berkembang biak dan menyebar luas di jaringan serta dengan cara menghasilkan
berbagai substansi ekstraselular. Sekitar 50% strain S. aureus dapat menghasilkan satu
atau lebih enterotoksin. Enterotoksin ini tahan terhadap panas dan resisten terhadap

10

kerja enzim usus. Enterotoksin merupakan penyebab penting keracunan makanan;
enterotoksin dihasilkan bila S. aureus tumbuh di makanan yang mengandung
karbohidrat dan protein. Ingesti 25 µg enterotoksin B dapat menyebabkan muntah dan
diare. Keracunan makanan akibat enterotoksin stafilokokus ditandai dengan waktu
inkubasi yang pendek (1-8 jam); mual hebat, muntah, dan diare; dan penyembuhan
yang cepat. Tidak ada demam.

2.1.4 Patofisiologi8
Diare dapat disebabkan karena salah satu atau beberapa mekanisme sebagai
berikut :
Diare osmotik. Disebabkan oleh osmolaritas intralumen usus lebih tinggi
dibandingkan dengan osmolaritas serum sehingga cairan dalam lumen usus menjadi
bertambah. Hal ini dapat terjadi pada intoleransi laktosa, malabsorbsi karbohidrat,
sprue, pemakaian obat laksatif (laktulosa, magnesium sulfat) atau obat antasida
magnesium hidroksida.
Diare sekretorik. Disebabkan oleh adanya peningkatan sekresi cairan intestinal dan
berkurangnya tingkat absorbsi. Bentuknya berupa diare cair, dan banyak serta tidak
mengandung darah atau pus. Pada umumnya disebabkan oleh enterotoksin (V. cholera,
E. coli, S. aureus), tumor endokrin, malabsorbsi garam empedu atau laksatif katartik.
Diare eksudatif atau inflamatorik. Disebabkan oleh proses inflamasi kronik dinding
usus berupa eksudasi mukus, darah dan protein. Misalnya pada inflammatory bowel
disease, infeksi invasif usus (Shigella, Salmonella, Tuberculosis, Amoeba, C. Difficile),
kolitis radiasi, divertikulitis, kolitis iskemik.
Diare dismotilitas. Disebabkan oleh masa transit usus yang cepat sehingga waktu
absorbs air oleh usus menjadi singkat untuk membuat feses menjadi padat. Keadaan ini
terjadi pada penyakit irritable bowel syndrome tipe diare, hipertiroid, dumping
syndrome pada postgastrektomi, tumor carcinoid. Atau gangguan motilitas yang
menyebabkan perlambatan transit usus, terjadi statis isi lumen usus yang berdampak
timbulnya pertumbuhan berlebih bakteri usus (bacterial overgrowth).

11

2.1.5 Manifestasi Klinis5
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan atau
demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut. Diare yang
berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat
menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan
renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik
yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang,
mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat, perbandingan bikarbonat berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan
sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah
usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal.
Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standar juga
rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang
sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan
timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa
nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal
ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi
kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi
paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien
yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.

12

2.1.6 Diagnosis3,5,8
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan
yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar
belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat
perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ketika gejala menunjukkan
infeksi gastrointestinal yang mungkin, diagnosis dapat dikonfirmasi melalui tes
laboratorium yang digunakan untuk deteksi kultur atau antigen dari spesimen tinja.
Dalam kasus-kasus tertentu (misalnya untuk E. coli, Salmonella, C. difficile, dsb),
pengujian kerentanan antibiotik digunakan untuk menentukan resistensi mikroba
terhadap terapi antibiotik.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Bila terdapat episode diare akut yang terjadi pada
satu kelompok orang yang menyantap makanan siap saji, maka kemungkinan diare
karena toksin bakteri. Traveller’s diarrhea adalah diare yang terjadi pada wisatawan
dan biasanya timbul karena perbedaan tingkat higiene sanitasi lingkungan. Diare yang
timbul pada pemakaian antibiotika yang lama, harus dipertimbangkan kemungkinan
karena C. Difficile. Diare yang terjadi tanpa kerusakan mukosa usus (non-inflamatorik
non-invasif) dan disebabkan oleh toksin bakteri (terutama E. Coli), biasanya
mempunyai gejala dimana feses benar-benar cair, tidak ada darah, nyeri perut dibagian
umbilicus (karena kelainan terutama di daerah usus halus), kembung, mual dan
muntah. Bila diare disertai muntah yang mencolok, biasanya disebabkan oleh virus atau
S. aureus dalam bentuk keracunan makanan. Bila diare yang terjadi dalam bentuk feses
bercampur darah, lendir dan disertai demam, biasanya disebabkan oleh kerusakan
mukosa usus (terutama kolon) yang ditimbulkan oleh invasi Shigella, salmonella dan
amuba. Pada umumnya diare akut bersifat sembuh sendiri dalam kurun waktu 3-5 hari
dengan pengobatan sederhana yang disertai rehidrasi.
Pemeriksaan Penunjang. Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan lekosit feses
(termasuk juga terhadap parasit dan telur parasit) dapat membantu diagnosis.
Sedangkan biakan feses banyak diperdebatkan manfaatnya. Pemeriksaan
sigmoidoskopi dan biopsy ditujukan pada kasus yang disertai perdarahan, bentuk
disentri dan tenesmus yang berlangsung lebih dari 3-4 hari.

13

Gambar 1. Pendekatan umum diare infeksi bakteri9

14

2.1.7 Tatalaksana10

Indikasi rawat inap pada pasien diare adalah dehidrasi sedang-berat, vomitus persisten,
diare yang progresif dan makin berat dalam 48 jam, lansia dan geriatri, pasien
immunokompromais, diare akut disertai komplikasi. Terapi diare akut terdiri atas
rehidrasi, nutrisi, terapi simtomatik dan terapi terhadap etiologi.

1. Rehidrasi
Pemberian cairan rehidrasi bergantung pada derajat dehidrasi pasien.
Oral. Diberikan pada pasien dengan diare akut tanpa komplikasi atau dehidrasi
ringan dan bias minum, menggunakan larutan dehidrasi oral atau oralit
direkomendasikan WHO.
Enteral. Pada pasien yang terus-menerus muntah dan tidak dapat mentoleransi
pemberian cairan per oral, cairan diberikan secara enteral menggunakan pipa
nasogastrik.
Parenteral. Diberikan pada diare akut dengan dehidrasi sedang-berat atau
komplikasi lain.
2. Nutrisi
Pemberian makanan harus langsung dimulai 4 jam setelah rehidrasi. Makanan
diberikan dalam bentuk small and frequent feeding dibagi menjadi 6 kali makan
sehari. Diet terdiri dari menu tinggi kalori dan mikronutrien, seperti nasi, gandum,
daging, buah dan sayur-sayuran. Susu sapi, kafein, alcohol dan buah-buahan kaleng
sebaiknya dihindari karena dapat memicu diare.
3. Simtomatik
Antimotilitas. Agen pilihan adalah loperamid 4 mg dosis awal, dilanjutkan 2 mg
tiap diare, maksimal 16 mg/24 jam. Loperamid tidak boleh diberikan pada diare
berdarah atau dicurigai diare inflamatorik (misalnya pasien demam atau nyeri perut
hebat).
Antisekretorik. Bismuth subsalisilat dengan agen terbaru Racecadotril aman
digunakan pada anak-anak, namun tidak ditunjukkan bermanfaat pada dewasa
dengan kolera.

15

Antispasmodik. Antispasmodik tidak boleh digunakan pada ileus paralitik.
• Hyoscien-n-butilbromid 10 mg. 2-3x sehari, maksimum 100 mg/hari.
• Ekstrak belladonna 5-10 mg,, 3x sehari.
• Papaverin 30-60 mg, 3x sehari.
• Mebeverin 35-100 mg, 3x sehari.
Pengeras feses
• Attapulgit 2 tablet @630 mg tiap diare, maksimal 12 tablet/hari.
• Smektit 9 g/24 jam dibagi dalam 3 dosis.
• Kaolin-pektin 2,5 tablet @550 mg/20 mg tiap diare, maksimal 15 tablet/24 jam.
4. Terapi definitif
Sebagian besar kasus diare akut disebabkan virus atau bakteri non-invasif self-
limited sehingga pemberian antibiotik tidak rutin diberikan. Pemberian antibiotik
irasional dapat menyebabkan resistensi antibiotik, adverse reaction, eradikasi flora
normal yang berguna, dan induksi pelepasan Shigatoxin yang dapat menyebabkan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS). Indikasi pemberian antibiotik adalah:
• Traveller’s diarrhea.
• Diare sekretorik Community Acquired dengan patogen telah berhasil diketahui.
• Analisis feses menunjukkan tanda-tanda inflamasi.
• Sindrom disentri.
• Pasien usia lanjut.
• Imunokompromais.
• Sepsis.
• Penggunaan prosthesis.

Lini pertama pada orang dewasa adalah kuinolon (Siprofloksasin 2x500 mg selama
5-7 hari), lini kedua kotrimoxazole 2x160/800 mg selama 7-14 hari.

16

Tabel 1. Terapi Spesifik Diare Akut Berdasarkan Etiologi10
Infeksi
Infeksi Bakteri Infeksi Virus
E.Coli (EPEC, ETEC, EHEC). Enterobacter. Shigella sp. Tidak diberikan antivirus, hanya terapi suportif dan
• Kuinolon (siprofloksasin 2x500 mg, 5 hari) simtomatik.
• Kotrimoksasol (2x160/800 mg, 5-7 hari)
Salmonella sp.
• Kloramfenikol (4x500 mg atau tiamfenikol 50
mg/kg/hari hingga 7 hari bebas demam)
• Kuinolon (siprofloksasin 2x500 mg, 5 hari)
• Kotrimoksasol (2x160/800 mg, 5-7 hari)
Campylobacter jejuni
• Kuinolon (mis. Siprofloksasin 2x500 mg, 5-7 hari)
• Makrolida (mis. Eritromisin 2x500 mg, 5 hari)
Vibrio cholera
• Tetrasiklin (4x500 mg, 3 hari)
• Doksisiklin (300 mg, dosis tunggal) Infeksi Jamur
• Kuinolon (siprofloksasin 30 mg/KgBB, dosis Candida sp., Cryptococus, Coccidiomycosis
tunggal) • Flukonazol 2x50 mg brp hari
• Azitromisin (1 g, dosis tunggal) • Itrakonazole 2x200 mg
Clostridium difficile • Amfoterisin B 1 mg/kg/24 jam
• Metronidazol (3x500 mg, 10 hari) Infeksi Parasit
• Vankomisin oral (1x125 mg, 10 hari) Glardia, Entamoeba
Yersinia enterocolytica • Metronidazole (3x250 mg, 5 hari)
• Aminoglikosida (streptomisin IM 30 mg/KgBB/24 Cryptosporodium
jam dibagi 2x dosis, 10 hari) • Paromomisin
• Kotrimoksasol (2x160/800 mg) • Azitromisin
• Kuinolon (siprofloksasin 2x500 mg, 5 hari) Entamoeba histolytica
• Metronidazol (3x500-700 mg, 5-10 hari)
• Tinidazole (2 g, dosis tunggal)

• Bila abses hepar atau colitis, tambahkan:
• Paromomisin (3x500 mg, 10 hari)
Isospora belii
• Kotrimoksasol (2x160/800 mg selama 10 hari,
dilanjutkan 3x160/800 mg selama 3 minggu)

17

Non Infeksi
Intoleransi laktosa Fase akut irritable bowel syndrome
• Stop makanan yang mengandung laktosa • Antlansietas
• Beri enzim lactase buatan • Antispasmodik
• Probiotik Fase akut inflammatory bowel disease
Alergi makanan • Antiinflamasi (5-ASA dan kortikosteroid)
• Stop makanan yang menyebabkan alergi Fase akut tirotoksikosis

• Kortikosteroid atau antihistamin • Atasi tirotoksikosis


• Simtomatik

2.1.8 Pencegahan5

Penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral dan dapat dicegah dengan
menjaga higiene pribadi seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, saat
keluar toilet. Makanan dan air merupakan penularan yang utama, air minum yang
digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk memasak
harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang keamanan air harus direbus
dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau hewan yang tidak
diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran. Semua
daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan
jus yang boleh dikonsumsi.

2.1.9 Komplikasi5

Komplikasi utama pada infeksi saluran cerna adalah kehilangan cairan dan
kelainan elektrolit, terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena
kolera kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi syok hipovolemik yang
cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan
asidosis metabolik. Syok hipovolemik dapat terjadi karena terlambatnya penanganan
medis, apabila syok yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul
Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ.
Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat
sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal.

18

Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis,
dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah
infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik untuk
terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah infeksi
C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita infeksi C.
jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita kelemahan motorik
dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot pernafasan. Mekanisme
dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre tetap belum diketahui. Artritis
pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena
Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.

2.1.10 Prognosis5

Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan


terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit,
morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika
Serikat, mortalitas berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada
infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik
hemolitik.

2.2 Antibiotik11
Antibiotik merupakan obat yang menangani infeksi bakteri. Antibiotik tidak
mempunyai efek pada infeksi virus. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu
mikroorganisme yang secara selektif menghambat pertumbuhan yang lain.
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian
antibiotik. Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi,

19

seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan
kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare
pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik dapat secara
empiris, tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi
kuman.

2.2.1 Klasifikasi Antibiotik11


Pembagian antibiotik dapat dibagi berdasarkan luasnya aktivitas antibiotik,
aktivitas dalam membunuh serta berdasarkan mekanisme obat antibiotik tersebut.
Berdasarkan luasnya aktivitas, antibiotik dibagi menjadi antibiotik spektrum
luas dan spektrum sempit. Istilah luas mengandung arti bahwa antibiotik ini dapat
membunuh banyak jenis bakteri sedangkan sebaliknya, istilah sempit hanya digunakan
untuk membunuh bakteri yang spesifik yang telah diketahui secara pasti. Penggunaan
spektrum luas digunakan apabila identifikasi kuman penyebab susah dilakukan namun
kerugiannya dapat menghambat pula bakteri flora normal dalam tubuh.
Berdasarkan aktivitas dalam membunuh, antibiotik dibagi menjadi
Bactericidal dan Bacteristatic. Antibiotik yang mempunyai sifat bakterisidal
membunuh bakteri target dan cenderung lebih efektif serta tidak perlu
menggantungkan pada sistem imun manusia. Sangat perlu digunakan pada pasien
dengan penurunan sistem imun. Yang termasuk baterisidal adalah β-lactam,
aminoglycoside, dan quinolone. Bakteriostatik justru bekerja menghambat
pertumbuhan bakteri dan dapat memanfaatkan sistem imun host obat bakteriostatik
yang khas adalah tetracycline, sulfonamide, tetracycline, dan clindamycin.
Bedasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi menjadi 5 jenis, yaitu :
A. Penghambatan sintetis dinding bakteri
B. Penghambat membran sel
C. Penghambatan sintetis protein di ribosom
D. Penghambatan sintetis asam nukleat
E. Penghambatan metabolik (antagonis folat)

20

2.2.2 Resistensi Antibiotik11
Resistensi obat antibiotik oleh mikroba dapat dibagai menjadi berikut:
1. Mikroba menghasilkan enzim yang merusak aktivitas obat. Contohnya stapilokokus
yang resisten terhadap penicillin menghasilkan β-lactamase yang merusak obat-
obat β-lactam.
2. Mikroba mengubah permeabilitas terhadap obat.
3. Mikroba mengembangkan suatu perubahan terhadap struktur sasaran bagi obat.
Berubahnya strukur protein reseptor pada ribosom 30S menyebabkan mikroba
resisten terhadap golongan aminoglikan.
4. Mikroba mengembangkan perubahan jalur metabolitk yang dihambat. Bakteri yang
resisten Sulfonamides tidak memerlukan PAB ekstraseluler dimana awalnya bakteri
ini sangat membutuhkannya.
5. Mikroba mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi
metaboliknya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat.
Resistensi di atas dapat bersifat genetik maupun non genetik. Non genetik dapat
berasal dari berubahnya bentuk suatu mikroba menjadi inaktif sehingga resisten
terhadap obat-obat yang kerjanya pada proses replikasi bakteri. Sedangkan genetik
dapat diturunkan dari mikroba satu ke keturunannya melalui mutasi kromosom atau
dari satu mikroba ke mikroba lain melalui plasmid. Resistensi silang terjadi dari satu
jenis antibiotik ke jenis lain. Misalnya suatu mikroba resisten terhadap suatu jenis
antibiotik dapat resisten terhadap jenis yang lain. Reaksi silang ini dapat terjadi pada
jenis-jenis yang berhubungan sacara kimia maupun tidak.

2.2.3 Golongan Antibiotik12


2.2.3.1 Golongan Inhibitor Sintesis Dinding Bakteri
Bakteri mempunyai lapisan luar yang kaku yang disebut dinding sel. Dinding
sel terdapat pada baik bakteri yang gram (+) maupun bakteri gram (-). Dinding ini
berfungsi mempertahankan bentuk sel dari perbedaan tekanan osmotik internal dan
eksternal yang sangat tinggi. Pada kedua bakteri mempunyai suatu lapisan yang
bernama Peptidoglycan. Lapisan ini berfungsi mensintetis dinding bakteri melalui

21

reaksi yang disebut transpeptidasi. Lapisan ini lebih tebal pada bekteri gram (+) dan
pada gram (-) di antara peptidoglikan dan dinding terdapat lapisan membran lemak
sehingga terdapat gambaran membran bilayer.
Proses penghambatan sintetis dinding bakteri dapat melalui 2 jalur. Jalur
pertama berasal dari penghambatan proses transpeptidasi. Semua obat β-lactam dapat
menghambat proses ini. Yang termasuk dalam antibiotik β-lactam adalah golongan
Penicillin, Cephalosporins, Carbapemems, dan Monobactam. Jalur berikutnya melalui
penghambatan sintetis peptidoglycan. Yang termasuk jalur kedua ini adalah
Vancomycin dan Bacitracin. Pembagian kelompok ini dapat dilihat pada gambar di
bawah.

PENGHAMBAT SINTETIS DINDING


BAKTERI

Antibiotik β-Lactam Non β-Lactam

Bacitracin
Penicillin Cephalosporin Carbapenem Monobactam
n
Ampicillin, Imipenem Aztreonam Vancomycin
Amoxicillin,
Azlocillin,
Carbenicillin, Generasi I Cefadroxil, Cephradrin, Cephalotin, Cephalexin, Cephapirin
Cloxacillin,

Dicloxacillin, Cefaclor, Cefamandol, Cefmetazole, Cefodoxim, Cefonicid,
Generasi II
Methicillin, Cefoxitin, Cefprozil, Cefotetan, Cefuroxime
Mezlocillin,
Nafcillin, Cefixime, Cefotaxime, Ceftazidime, Ceftizoxime,
Generasi III
Oxacillin, Ceftriaxone, Dan Moxalaktam
Penicillin G,
Penicillin V, Generasi IV Cefclidine, Cefepime, Cefluprenam, Cefoselis, Cefozopran,
Piperacillin, Cefpirome, Cefquinome
Ticarcillin

Gambar 2. Bagan Pembagian Antibiotik Golongan Inhibitor Sintetis Dinding Bakteri12

PENICILLIN
Penicillin yang paling terkenal dan pertama ditemukan adalah penicillin-G
yang ditemukan oleh Flamming pada 1929. Sifat dari penicillin-G adalah kepekaannya

22

terhadap penghacuran cincin β-lactam oleh senyawa β-lactamase dan tidak aktif secara
relative terhadap kebanyakan bakteri gram negatif. Pengembangan terhadap Penicillin
menghasilkan turunan-turunan penicillin yang lebih stabil terhadap asam dan aktif
terhadap bakteri gram (-) maupun gram (+).
Farmakokinetik. Absorpsi peroral berbeda-beda dari masing-masing obat penicillin
tergantung dari kestabilan asam dan ikatan proteinnya. Pemberian minimal harus
diberikan 1 jam sebelum atau sesudah makan untuk mengurangi ikatan pada makanan.
Absorpsi parenteral biasanya cepat. Pemberian IM sering menimbulkan iritasi dan
nyeri pada tempat suntikan. Pemberian IV bolus intermittent dengan tetesan kontinue
cenderung disukai.
Ekskresi dilakukan kebanyakan oleh ginjal. Sekitar 10% diekskresi di glomerulus dan
90% melalui tubulus dengan kecepatan 2 gr/jam kecuali nafcillin dimana 80%
diekskresi di dalam saluran empedu. Waktu paruh Penicillin-G adalah ½-1 jam dan
pada gagal ginjal dapat mecapai 10 jam. Ampicillin diekskresi lebih lama. Sekresi di
tubulus dapat dihambat dengan pemberian probensid dan digunakan pada jika ingin
mncapai kadar sistemik dan cairan serebospinal yang tinggi.
Kegunaan Klinik. Obat ini dikenal karena paling luas kegunaannya. Semua penicillin
oral harus diberikan minimal 1 jam sebelum/sesudah makan.
a. Penicillin-G
Obat ini masih digunakan pada infeksi pneumococcus, streptococcus,
meningococcus, staphilococcus yang tidak menghasilkan β-lactamase,
gonococcus, Treponema pallidum, Bacillus anthracic dan bakreti gram (+)
lainnya, clostridium, actinomyces, listeria, dan bacterioid. Kebanyakan dosis yang
digunakan adalah dosis sehari (6 gram) dan umumnya diberikan secara bolus
intermittent IV. Penicillin-V diindikasikan pada infeksi ringan saluran pernafasan
dengan dosis harian 1-4 g. Pemberian oral tidak boleh diberikan terhadap infeksi
yang berat.
b. Benzathine Penicillin
Obat ini berbentuk garam yang mempunyai kelarutan dalam air yang sangat rendah
dan menghasilkan kadar rendah tetapi bertahan lama. Kegunaannya adalah

23

diberikan secara 1,2 juta unit IM untuk profilaksi reinfeksi streptokokus selama 3-
4 minggu.
c. Ampicillin, Amoxicillin, carbenicillin, Ticarcillin, Piperacillin, mezlocillin,
Azlocillin
Obat ini berbeda dengan penicillin-G karena punya akitivitas lebih besar terhadp
bakteri gram (-). Ampicillin dan amoxicillin mempunyai aktivitas sama. Namun
amoxicillin lebih mudah diserap dalam usus. Diberikan secara oral untuk ISK oleh
bakteri koliformis gram (-) dan infeksi bakteri campuran saluran nafas (sinusitis,
otitis, bronkitis). Dosis yang diberikan adalah 250-500 mg 3x sehari. Obat ini
kurang efektif terhadap enterobakter, pseudomonas dan gastroenteritis salmonella
noninvasif.
Carbenicillin lebih efektif terhadap pseudomonas dan proteus namun lebih cepat
menjadi resisten. Pemberian dengan dosis 12-30g/hari IV biasanya diberikan
berkombinasi dengan antibiotik golongan lain untuk pengobatan sepsis
pseudomonas pada luka baker. Ticarcillin menyerupai carbenicillin tetapi
dosisnya lebih rendah (200-300mg/kg/hari).
d. Penicillin yang resisten terhadap β-lactamase
Golongan yang resisten terhadap β-lactamase adalah Oxacillin, Cloxacillin,
Dicloxacillin, dan Nafcillin. Methicillin jarang digunakan karena bersifat
nefrotoksis.
Indikasi: infeksi staflokokus penghasil β-lactamase
Dosis: 0,25-0,5 g setiap 4-6 jam peroral, untuk infeksi yang berat diberikan 8-12
g/hari nafcillin intermittent bolus IV tiap 2-4 jam (1-2 g tiap pemberian).
Efek Samping. Hipersensitivitas, neurotoksis pada dosis tinggi (>20.000 unit
intratekal atau >20 juta parenteral), dispepsia, nefrotoksis (Methycillin), dan gangguan
pendarahan (Cabenicillin).

24

CEPHALOSPORIN
Cephalosporin mirip dengan Penicillin namun lebih resisten terhadap β-
Lactamase dan cenderung lebih aktif terhadap bakteri gram (+) maupun gram (-).
Aktivitas dan cara kerja antimikroba beserta mekanisme resistensi cephalosporin sama
dengan penicillin

CEPHALOSPORIN GENERASI PERTAMA


Yang termasuk obat ini adalah Cefadroxil (Duricef), Cephradrin, Cephalotin
(cephalothin; Keflin), Cephalexin, (Keflex), Cephapirin (cephapirin; Cefadryl).
Aktivitas Antimikroba. Aktif terhadap kokus gram positif dan negatif, kokus anaerob.
Kokus gram positif : pneumokokus, streptokokus viridan, grup streptokokus A
hemolitikum dan S aureus. Gram negatif : E. coli, Klebsiella pneumoniae, dan Proteus
mirabilis. Kokus anaerob : (Peptococcus, Peptostreptococcus) biasanya sensitif
kecuali B fragilis
Farmakologi dan Dosis. Oral : Cefalexin, Cefradrin, dan Cefadroxil diabsorpsi di
usus bervariasi. Pemberian 500 mg peroral hanya menghasilkan kadara 15-20 µg/mL.
Kadar dalam urin biasanya sangat tinggi namun di jaringan biasanya kadarnya lebih
rendah. Dosis Cefalexin dan cefadrin diberikan 4 x 0, 25-0, 5 g dan cefadroxil diberikan
3 x 0,5-1 g. Ekskresi terutama di urin dan dapat dihambat dengan pemberian
probenesid. Pada penderita gagal ginjal dosis harus dikurangi. IV : infus IV diberikan
sebanyak 1 gram dan mencapai kadar puncak cefazolin sebanyak 90-120 µg/mL,
cefalotin dan cefazolin sebanyak 40-60 µg/mL, Dosisnya untuk Cefazolin 1-2 g /8 jam,
cefalotin dan cefapirin adalah 1-2 g/6 jam. IM : jarang dilakukan.
Kegunaan Klinik. Spectrum luas dan tidak terlalu toksis, namun obat ini jarang
digunakan selain sebagai obat alternatif untuk beberapa infeksi.
Indikasi: ISK, luka kecil yang terdapat stafilokokus, dan infeksi ringan lainnya.
Kontraindikasi: pengobatan infeksi berat, meningitis.

25

CEPHALOSPORIN GENERASI KEDUA
Contoh dari cephalosporin generasi kedua adalah cefaclor (Keflor, Raniclor),
cefamandol, cefmetazole, cefodoxim, cefonicid (monocid), cefoxitin, cefprozil (cefzil),
cefotetan, cefuroxime (ceftin).
Aktivitas Antimikroba. Aktivitas obat ini biasanya mirip dengan generasi pertama
namun mempunyai spektrum yang lebih luas terhadap bakteri gram (-) : enterobacter,
Klebsiella, dan Proteus indol-positif. Untuk pengobatan H influenza cefamandol,
cefuroxime, cefonicid, dan ceforanid lebih efektif. Untuk pengobatan B fragilis justru
cefoxitin, cefmetazole, dan cefotetan lebih efektif. Semua generai kedua tidak aktif
terhadap enterokokus dan P aeruginosa.
Farmakologi dan Dosis. Oral : Cefaclor, cefuroxim, cefprozil dapat diberikan peroral.
Dosis untuk dewasa biasanya 10-15 mg/kg/hari diberikan dalam 2-4 dosis terbagi. IV:
Setelah 1 gr IV dapat menghasilkan kadar serum 75-125 µg/mL. IM: Biasanya sangat
sakit. Pada gagal ginjal dibutuhkan penyesuaian dosis.

Kegunaan Klinik. Karena aktivitasnya terhadap H influenza, Cefaclor sering


digunakan untuk sinusitis dan otitis media pada pasien alergi atau tidak ada respon
terhadap Ampicillin. Hanya cefuroxim yang dapat menembus sawar otak. Cefoxitin,
cefmetazole, dan cefotetan yang efektif terhadap B. fragilis dapat digunakan untuk
infeksi bakteri anaerob tersebut seperti peritonitis dan divertikulitis.

CEPHALOSPORIN GENERASI KETIGA


Yang termasuk generasi ke 3 cephalosporin adalah cefixime, cefotaxime, Ceftazidime,
ceftizoxime, ceftriaxone, dan moxalaktam.
Aktivitas Antimikroba. Yang khas untuk generasi ketiga adalah mencangkupi gram
negatif yang luas dan dapat menembus sawar otak. Selain itu secara menetap generasi
ketiga juga aktif terhadap enterobacter citrobacter, S marcescens, dan Providencia,
serta Haemophilus dan Neisseria penghasil β-Lactamase.
Farmakologi dan Dosis. Kadar dalam darah adalah 60-140 µg/mL setelah pemberian
infus IV 1 gram. Kadar ini akan sama di semua jaringan dan dapat mencapai sistem
syaraf pusat. Waktu paruh untuk ceftriaxone (7-8 jam) setelah pemberian 15-30

26

g/kg/hari dibagi dalam dosis tiap 12-24 jam, namun pada meningitis dosis ini diberikan
setiap 12 jam. Obat lain punya waktu paruh 1-1,7 jam dapat disuntikan setiap 6-8 jam
dengan dosis 2-12 gram/hari. Ekskresi utama melalui empedu, jadi pada gagal ginjal
obat ini memerlukan penyesuaian dosis.
Kegunaan Klinik. Karena penetrasi ke sawar otak, obat generasi ketiga sering
digunakan untuk mengobati meningitis termasuk yang disebabkan oleh
meningokokusm H. influenza, dan bakteri gram (-) usus yang rentan. Pada sepsis yang
tidak diketahui penyebabnya obat ini juga sering digunakan.
Efek Samping. Efek samping terhadap cephalosporin yang dapat muncul pada
umumnya antara lain adalah alergi, hipoprotrombinemia dan kelainan perdarahan:
diberikan vitamin K 10 mg 2x seminggu untuk pencegahan, disulfiram-like effect
(penghambatan metabolisme alkohol) sehingga jangan dberikan untuk orang
alkoholisme.

OBAT β-LACTAM LAINNYA


Yang termasuk kelas β-Lactam yang lain adalah monobactam dan carbapenem.

MONOBACTAM
Obat ini mempunyai cincin β-Lactam monosiklik dan ternyata juga resisten
terhadap β-Lactamase serta aktif terhadap beberapa gram (-) seperti pseudomonas dan
Serratia. Kelemahan obat ini adalah tidak ada aktivitas terhadap bakteri gram (+) dan
bekteri anaerob. Contoh golongan ini adalah Aztreonam (azactam). Kadar dalam serum
adalah 100 µg/mL setelah pemberian 1-2 gram setiap 8 jam. Waktu paruh 1-2 jam dan
pada gagal ginjal dapat memanjang.

CARBAPENEM
Obat ini adalah obat baru dengan cincin β-Lactam. Contohnya adalah
Imipenem. Obat ini mempunyai spektrum luas terhadap bakteri gram (+), gram (-), dan
anaerob. Obat ini juga punya kelebihan resisten terhadap β-Lactamase. Namun obat ini
diinaktifkan di tubulus sehingga konsentrasi dalam urin menjadi rendah. Penetrasi baik

27

di jaringan tubuh dan cairan serebrospinal. Dosis biasanya 0,5-1 gram IV setiap 6 jam
(waktu paruh 1 jam).
Kegunaan secara pasti belum ditentukan namun mungkin digunakan atas
pengobatan terhadap infeksi yang telah resisten. Sejak Pseudomonas cepat menjadi
resisten terhadap imipenem, pemberian kombinasi obat ini dengan aminoglican perlu
dilakukan. Efek samping masih terbatas pada mual, muntah, diare, dan kulit kemerahan
serta pada gagal ginjal gejala ini semakin terlihat.

Vancomycin dan bacitracin merupakan penghambat sintetis dinding sel namun


bukan termasuk golongan β-Lactam.

VANCOMYCIN
Vancomycin dihasilkan oleh Sterptomyces. Obat ini aktif terhadap bakteri gram (+)
khususnya staphylococcus.
Aktivitas Antimikroba. Vancomycin bersifat bakterisid untuk gram (+) pada
konsentrasi 0,5-3 µg/mL. Banyak staphylococcus yang sudah resisten terhadap nafsilin
dapat dibunuh dengan obat ini serta resistensi vancomycin terjadi sangat lambat dan
jarang.
Farmakokinetik. Vancomycin tidak diabsopsi di usus. Pengobatan peroral digunakan
untuk mengobati enterokolitis. Pemberian IV dengan dosis 0,5 gram dapat mencapai
kadar serum 10-20 µg/mL (waktu paruh 1-2 jam). Ekskresi dilakukan oleh ginjal.
Kegunaan Klinik. Indikasi Vancomycin adalah untuk sepsis atau endocarditis yang
disebabkan oleh staphylococcus yang sudah resisten terhadap obat lain dengan dosis
0,5 gram IV tiap 6-8 jam. Pengobatan peroral dengan dosis 0,125-0,5 gram tiap jam
digunakan untuk enterokolitis terutama Clostridium difficle.
Efek Samping. Jarang terjadi efek samping. Flebitis pada tempat suntikan dan demam
mungkin terjadi. Gejala flushing yang luas dapat juga terjadi (red man syndrome).

28

BACITRACIN

Bacitracin merupakan campuran polipeptida siklik yang dihasilkan dari Tracy


Bacillus subtilis. Aktif terhadap mikroba gram (+). Karena efek toksisnya yang
sistemik bacitracin jarang digunakan. Aktivitas obat ini sama seperti vancomycin yaitu
untuk gram (+) khususnya staphylococcus. Obat ini susah diabsorpsi di usus kulit,
mukosa, atau yang lain jadi sering digunakan untuk pengobataan topical dengan dosis
500 unit/gram untuk menekan lesi permukaan kulit, pada luka, atau pada mukosa. Efek
sampingnya adalah kerusakan ginjal secara mencolok, menyebabkan proteinuria,
hematuria, dan retensi nitrogen sehingga suah tidak digunakan. Reaksi alergi pada
penggunakan topikal jarang terjadi.

2.2.3.2 Golongan Inhibitor Sintesis Protein

PENGHAMBAT SINTETIS PROTEIN DI RIBOSOM

Tetracycline Demeclocycline, Doxycycline, Minocycline,


Tetracycline
Amikacin, Gentamycin, Neomycin, Metilmicin,
Aminoglycoside
Streptomcin, Tobramycin

Macrolid Azitromycin, Clarithromycin, Erythromycin


e

Cholramphenic Thiamphenicol
ol

Lyncomycin Clindamycin

Gambar 3. Bagan pembagian golongan obat penghambat sintetis protein

Kerja penghambatan di masing-masing ribosom mempunyai mekanisme yang


berbeda. Golongan yang beraksi di ribosom 30S dan 70S adalah golongan tetracycline
dan amiglycoside. Sedangkan golongan lain beraksi di ribosom 50S. Penghambat
sintetis protein terbagi dalam 5 kelompok yaitu: Tetracyclin, Amoniglycoside,
Macrolide, Chloramphenicol, dan Lyncomycin.

29

TETRACYCLINE
Tetracycline cenderung merupakan antibakteri spektrum luas. Bersifat
bakteristatik baik untuk gram (+) dan gram (-), bakteri anaerob, riketsia, clamidia,
micoplasma, serta untuk beberapa protozoa misalnya amuba.
Farmakokinetik. Absopsi tetracycline di usus bervariasi antara beberapa obat.
Beberapa ada yang tetap di usus dan dikeluarkan di tinja. Obat chlortetracycline hanya
30% diasorbsi. Jenis lain hanya 60-80% untuk oxytetracycline dan demeclocycline, 90-
100% untuk doxycycline dan minocycline. Absorpsi paling baik di usus halus bagian
atas dan baiknya pada saat tidak makan karena dapat diganggu jika ada kation
bervalensi dua (Ca2+, Mg2+, Fe2+), terutama dalam susu dan antasida. Pemberian
parenteral tetracycline biasanya diracik dengan buffer khusus.
Dalam darah terjadi ikatan protein berbagai tetracycline sebesar 40-80%. Dengan dosis
oral 500 mg/6 jam dapat mencapai kadar 4-6 µg/mL untuk tetracycline hydrochlorid
dan oxytetracycline. Doycycline dan minocycline sedikit lebih rendah. Suntikan IV
membuat kadar lebih tinggi untuk sementara waktu. Distribusi tidak dapat mencapai
cairan serebrospinal. Minosiklin khas karena konsentrasi yang tinggi di air mata dan
air liur. Tetracycline dapat melintasi plasenta dan air susu. Ekskresi terutama di empedu
dan urin. Di empedu ekskresinya lebih banyak dan mungkin diabsorpsi kembali di usus
untuk mempertahankan kadar di serum. Sekitar 50% jenis tetracycline diekskresi di
glomerulus ginjal dan dipengaruhi oleh keadaan gagal ginjal. Doxicycline dan
minocycline diekskresi lebih lambat sehingga di dalam serum lebih lama
Kegunaan Klinik. Tetracycline merupakan obat spektrum luas pertama. Merupakan
obat terpilih untuk infeksi Mycoplasma pneumoniae, Clamidia, serta ricetsia. Obat ini
juga berguna untuk infeksi bakteri campuran infeksi saluran pernafasan seperti sinusitis
dan bronkitis. Dapat digunakan untuk infeksi Vibrio dan kolera namun resistensi telah
dilaporkan. Tetracycline efektif untuk infeksi - infeksi melalui hubungan seksual yang
disebabkan clamidia. Doxycycline efektif terhadap leptospirosis. Untuk protozoa yang
dapat dihambat oleh tetracycline adalah Entamoeba histolitika atau Plasmodium
falciparum (Doxicycline).
Efek Samping. Efek samping yag bisa timbul antara lain :

30

a. Efek samping pencernakan seperti mual, muntah dan diare karena engubah flora
normal. Hal ini merupakan alasan penghentian dan pengurangan pemberian
tetracycline.
b. Penumpukan di tulang dan gigi tetracycline sering terjadi. Kontra indikasi
pemberian pada ibu hamil karena dapat menumpuk di gigi janin yang menyeabkan
kekuning-kuningan pada gigi serta penumpukan di tulang yang menyebabkan
gangguan pertumbuhan pada janin dan anak umur dibawah 8 tahun.
c. Hepatotoksis juga dapat diberikan jika diberikan pada dosis besar atau telah terjadi
insuficiensi hepar sebelumnya.
d. Trombosis vena dapat terjadi pada pemberian IV
e. Hiperfotosensitif terutama demeclocycline
f. Reaksi vestibular seperti pusing, vertigo, mual, muntah (minocycline)

AMINOGLYCOSIDE
Aminoglycoside punya potensi ototoksis dan nefrotoksik. Penggunaan pada
umumnya digunakan terhadap bakteri enteric gram (-) terutama pada bakteriemia,
sepsis, atau endocarditis.
Mekanisme Kerja. Mekanisme kerja aminoglycoside adalah penghambatan
irreversible sintetis protein. Diawali dengan proses tranpot aktif yang bergantung pada
oksigen sehingga tidak efektif terhadap kuman anaerob. Proses selanjutnya adalah
berikatan dengan subunit 30S ribosom. Proses sintetis dihambat degan cara
mengganggu “komplek awal” pembentukan peptida, menginduksi kesalahan baca
mRNA, serta pemecahan polisom menjadi monosom yang tidak berfungsi.
1. Streptomycin
Streptomycin dihasilkan dari Streptomyces grieus. Turunannya adalah
dihidrostreptomycin. Aktivitas antibakteri dan resistensi masih sama dengan jenis
yang lain. Streptomycin efektif untuk mikobakteria dan beberapa spesies lain
(infeksi pes, tularemia, dan bruselosis dengan dosis 1 gram/hari) serta pengobatan
kombinasi untuk memperkuat efektifitas antibakteri yang lain. Efek Samping yang
bias timbul adalah alergi dan gangguan vestibular-vertigo dan keseimbangan.

31

2. Gentamycin dan Tobramycin
Baik gentamycin dan tobramycin efektif terhadap gram (+) dan gram negatif.
Spktrum aktivitas kedua obat ini sama dengan menghambat banyak strain
stafilokokus, koliform, dan bakteri gram (-) lainnya. Kombinasi yang efektif adalah
dengan dengan karbenisilin atau tikarsilin untuk pengobatan pseudomonas,
proteus, enterobacter, dan klebsiella. Namun banyak sterptokokus resisten
terhadap gentamycin.
Pemberian IM atau IV gentamycin atau tobramycin biasanya digunakan untuk
infeksi berat (sepsis) pseudomonas, enterobacter, proteus yang telah resisten
dengan obat lain. Dengan dosis 5-7 mg/kg/hari IM atau IV obat ini dipadukan
dengan cephalosporin atau penicillin untuk pengobatan yang lebih efektif.
Kombinasi dengan penicillin-G dapat digunakan untuk endokarditis yang
disebabkan oleh S viridans dan S faecalis. Efek samping kedua obat sama dengan
aminoglycoside lain, seperti nefrotoksisitas dapat terjadi.
3. Kanamycin dan Neomycin
Kedua obat ini juga berhubungan erat karena mempunyai resistensi silang yang
lengkap. Neomycin susah diasorpsi secara oral, ekskresi terutama di glomerulus.
Penggunaan secara perenteral obat ini telah lama dihindari karena efek nefrotoksis
dan ototoksis yang jelas setelah pemberian. Penggunaan peroral masih digunakan
untuk mengurangi flora usus sebelum pembedahan.
4. Amikacin
Amikacin merupakan turunan dari kanamycin yang kurang toksis namun lebih
resisten terhadap enzim penginaktif gentamycin sehingga digunakan terapi kedua
setelah gentamycin. Penggunaan amikacin efektif untuk banyak bakteri Proteus,
Pseudomonas, Enterobacter, dan Serratia.
5. Netilmycin
Keuntungan Netilmycin adalah obat ini cenderung lebih tahan terhadap
kerusakan yang ditimbulkan oleh bakteri yang resisten terhadap gentamycin dan
tobramycin. Indikasi terutama pada infeksi iatrofenik serta infeksi yang beresiko
untuk terjadi sepsis.

32

MACROLIDES
Penggunaan macrolide terbatas pada infeksi korinebakterium, klamidia,
mycoplasma dan legionella. Contoh macrolide adalah Azitromycin, Clarithromycin,
Erythromycin, dan Spiramycin.
1. Erythromycin
Erythromycin merupakan obat macrolide yang dihasilkan dari Streptomyces
erythreus. Aktvitas dapat hilang pada suhu 200C dan pH asam. Sediaan pada
umumnya berupa garam. Erythromycin masih efektif terhadap organisme gram
positif, terutama pneumokokus, streptokokus, dan korinebakterium. Organisme
lain seperti mycoplasma, Clamydia trachomatis, dan Helicobacterium juga peka.
Resistensi dijumpai pada beberapa pneumokokus dan streptokokus dengan
perubahan pada reseptor. Dikontrol dengan genetik dan plasmid.
Karena tidak tahan asam, erythromycin basa dirusak di dalam lambung dan
pemberian peroral harus diberikan dalam bentuk enteric coating atau dalam bentuk
stearat ester. Dosis peroral 2 g/hari mencapai kadar serum 2 µg/mL. Sejumlah besar
hilang dalam feses. Distribusi tidak dapat menembus sawar otak. Obat ini
menembus plasenta dan mencapai janin. Ekskresi dilakukan dalam empedu.
Erythromycin digunakan dalam infeksi Corynebacterium (difteri, sepsis,
eritrasma), infeksi klamidia pada saluran pernafasan, neonantus, mata, atau
genialia, Pneumonia oleh Mycoplasma dan Legionella. Dosis oral diberikan 0,25-
0,5 gram/6 jam. Efek samping yang bisa muncul berupa anoreksia, mual, muntah,
dan sifat toksis terhadap hepar.
2. Spiramycin
Spiramycin punya spectrum yang sama dengan erythromycin namun lebih
lemah. Keutungannya adalah daya penetrasi yang kuat di jaringan mulut,
tenggorokan dan saluran nafas sehingga sering digunakan untuk ISPA yang sukar
dicapai dengan antibiotik lain.

33

CHLORAMPHENICOL
Chloramphenicol mempunyai efek kuat penghambat sintetis protein mikroba.
Obat ini bersifat bakteriostatik untuk kebanyakan bakteri, namun tidak efektif untuk
klamidia. Mekanisme resistensi muncul dengan berkurangnya permeabilitas terhadap
chloramphenicol dan munculnya senyawa cholramphenicol acetyltransferase yang
dapat menginaktifasikan obat ini. Obat ini sangat efektif untuk infeksi antara lain:
a. Salmonella simtomatik
b. Infeksi serius H influenza seperti meningitis,
c. Infeksi meningokokus dan pneumokokus pada SSP
d. Infeksi anaerobik pada SSP
Pemberian diberikan secara oral (2 gram/hari) maupun parenteral
(chloramphenicol suksinat 25-5 mg/kg/hari). Obat ini dapat mencapai SSP dengan
kadar yang sama dengan di dalam serum. Obat ini mudah diinaktifasikan di dalam hati.
Ekskresi terutama di tubulus ginjal dan sebagian kecil di empedu. Dosis tidak perlu
dikurangi pada gagal ginjal namun sangat dikurangi pada gagal hati.

CLINDAMYCIN/LYNCOMYCIN
Clindamycin merupakan turunan dari lyncomycin. Keduanya mempunyai
aktivitas yang menyerupai erythromycin namun clindamycin lebih kuat dalam
mengatasi infeksi banyak bakteri kokus gram (+), kecuali enterokokus, Haemophilus
Neisseria, dan Mycoplasma yang resisten. Pemberian secara oral 0,15-0,3 gram/6 jam
sedangkan untuk IV diberikan 600 mg/8 jam. Obat ini tidak dapat mencapai SSP.
Ekskresi terutama di dalam hati, empedu dan urin. Indikasi yang penting adalah untuk
mengobati infeksi anaerob berat oleh Bacterioid dan kuman anaerob lainnya.
Penggunaan lainnya sering kali digunakan pada infeksi yang berasal dari saluran
genital wanita seperti sepsis karena keguguran atau abses pelvis.

2.3.3.3 Golongan Inhibitor Fungsi dan Sintesis Asam Nukleid


Obat-obat penghambat sintetis DNA terdiri dari 3 golongan mekanisme, yaitu
(1) Golongan inhibitor replikasi DNA bekerja dengan mem-blok aksi gyrase dan DNA

34

topoisomerase. (2) Golongan inhibitor polymerase menghambat dengan cara berikatan
kuat dengan rNA polymerase. (3) Golongan inhibotor metabolik nukleid seperti
Acyclovir menghambat sintetis DNA dengan cara konversi senyawa ini menjadi
tiphosphate dan menghambat thymidine kinase dan polymerase DNA sehingga ada
penambahan DATP ke dalam DNA dan kekurangan tymine untuk replikasi DNA.

PENGHAMBAT SINTETIS DNA

Inhibitor Replikasi Inhibitor Polimerase Inhibitor Motabolisme


rNA Nukelotid

Quinole Rifampycin Acyclovir

Floroqunolone

Netroimidazole

Metronidazole

Gambar 4. Bagan pembagian golongan penghambat sintetis DNA

QUINOLONE
Quinolone merupakan turunan obat dari nalidixic acid. Obat-obat pendahulu
quinolone ini mempunyai spektrum yang lebih kecil dan biasanya digunakan untuk
antiseptik saluran kemih. Turunan terbaru yang mempunyai aktivitas antimikroba lebih
baik terbagi menjadi beberapa generasi, antara lain:
Tabel 2. Nama-Nama Obat Golongan Quinolone

Generasi Nama Obat

Generasi ke – I Cinoxacin, flumequine, nalidixic acid, oxolinic acid, piromidic acid,


pipemidic acid, rosoxacin

Generasi ke – II Ciprofloxacin, enoxacin, fleroxacin, lomefloxacin, nadifloxacin,


norfloxacin, ofloxacin, pefloxacin, rufloxacin

Generasi ke – III Balofloxacin, gatifloxacin, grepafloxacin, levofloxacin, moxifloxacin,


pazufloxacin, sparfloxacin, temafloxacin, tosufloxacin

Generasi ke – IV Clinafloxacin, garenoxacin, gemifloxacin, sitafloxacin, trovafloxacin,


prulifloxacin.

35

Pemberian quinolone diberikan secara oral dan ekskresi terutama di ginjal.
Quinolone sering digunakan dalam infeksi saluran kemih walaupun disebabkan karena
infeksi bakteri yang kebal terhadap bermacam-macam obat. Norfloxacin 400 mg atau
ciprofloxacin 500 mg diberikan peroral 2 kali sehari. Selain itu juga dapat diberikan
untuk diare infeksi, infeksi tulang, sendi, intra abdominal, serta pada infeksi
mikobakterium

METRONIDAZOLE
Metronidazole sering digunakan sebagai obat antiprotozoa untuk pengobatan
tricomoniasis, giardia lambia, B coli, serta infeksi amubiasis lainnya. Namun selain itu
metronidazole mempunyai efek antibakteri trhadap banyak kuman anaerob.
Metronidazole diberikan secara oral dan kemudian tersebar di jaringan tubuh sampai
ke serebrospinal. Ekskresi terutama di urin. Untuk pengobatan infeksi anaerob,
metronidazole sering digunakan untuk menurunkan infeksi pasca operasi apendektomi,
bedah kolon, dll. Beberapa infeksi seperti B fragilis, klostridia kadang-kadang masih
menunjukkan respon.

RIFAMPYCIN
Rifapycin masih terbukti aktif terhadap beberapa kokus gram (+) dan (-), serta
beberapa bakteri enteric, mikobakterium, klamidia, dan poxvirus. Sayangnya banyak
laporan mengenai resistensi bakteri yang cepat terhadap pengobatan tunggal rifamycin
sehingga tidak boleh diberikan sendiri. Rifampycin diabsopsi baik secara peroral, dan
diekskresikan melalui hati ke dalam empedu. Rifampycin diberikan dengan dosis 600
mg/hari dapat diberikan untuk pengobatan TB bersamaan dengan pemberian INH,
etambutol, dll. Efek sampingnya menimbulkan warna oranye pada urin.

36

2.3.3.4 Golongan Penghambat Membran Sel
Yang termasuk golongan obat ini adalah polymyxin, polyenes, imidazole, dll.
Kerja golongan ini adalah mengganggu intregitas fungisonal membran sitoplasma
sehingga terjadi kematian pada bakteri. Polymyxin bekerja pada membran bakteri gram
(-) yang kaya fosfatidil dan bekerja seperti detergen. Polyenes juga bekerja hampir
sama namun melekat pada jamur karena jamur mengandung ergosterol sehingga akan
terbentuk sebuah pori. Mekanisme lain ditunjukkan oleh imidazole dengan cara
penghambatan sintetis ergosterol.

PENGHAMBAT MEMBRAN SEL

Polymyxin

Polyenes

Imidazole

Gambar 5. Bagan pembagian obat penghambat fungsi membran sel

POLYMYXIN
Polymyxin merupakan golongan polipeptida basa dan aktif terhadap bakteri
gram (-). Obat ini mempunyai efek nefrotoksis yang hebat sehingga banyak
ditinggalkan kecuali polymyxin B dan E. Polymyxin bekerja sebagai bakterisidal dan
tidak dapat diabsorpsi di dalam usus sehingga diberikan secara parenteral. Walaupun
begitu konsentrasi di dalam darah dan jaringan cenderung rendah karena diikat erat
oleh sel-sel mati. Ekskresi terutama di ginjal. Penggunaan polymyxin sekarang dibatasi
pada penggunaa topical. Lerutan polymyxin B 1-10 mg/mL diberikan pada permukaan
yang terinfeksi, atau disuntikkan ke dalam pleura ataupun sendi. Efek samping yang
ditakutkan pada pemberian sistemik adalah efek nefrotoksisnya.

37

2.3.3.5 Golongan Inhibitor Metabolisme
Golongan ini mempunyai efek kerja seperti pada golongan penghambat sintetis
DNA, yaitu penghambatan dalam proses pembentukan purin.

PENGHAMBAT METABOLIK

SULFONAMIDE Mafenide, Silver Sulfadiazine,


Succinysulfathiazole,
Sulfacetamide, Sulfadiazine,
THRIMETHROPIN Pyrimethamine,
thrimethropim
Campur Co-trimoxazole
an
Gambar 6. Bagan pembagian golongan penghambat metabolik

SULFONAMIDE
Sulfonamide bekerja secara bakteriostatik. Cara kerjanya adalah pengubahan
sulfonamide oleh enzim dihidrofolat sintase menjadi seperti asam folat yang tidak
berfungsi. Normalnya enzim inilah yang bertugas mengubah PABA menjadi asasm
dihidrofolat. Jadi sulfonamide hanya efektif terhadap bakteri-bakteri yang tidak dapat
membuat PABA atau membutuhkan PABA ekstrasel. Resistensi muncul apabila
bakteri tersebut bermutasi memproduksi PABA yang berlebihan, perubahan struktur
enzim.
Sulfonamide kebanyakan diberikan secara peroral dan dapat didistribusikan ke
semua jaringan termasuk ke cairan serebrospinal. Ekskresi terutama dilakukan oleh
glomerulus ginjal dengan kadar dalam urin bisa mencapai 10-20 kali konsentrasi dalam
darah. Penggunaan sulfonamide sering digunakan secara peroral untuk infeksi saluran
kemih yang belum diobati sebelumnya, infeksi clamidia pada mata dan saluran genital.
Infeksi bakteri seperti streptokokus B-hemolitikum, meningokokus dulu digunakan
namun sekarang sudah banyak terjadi resisten.
Efek samping yang dilaporkan adalah pengendapan sulfonamide di saluran
kemih sehingga dapat menyebabkan obstruksi. Efek ini dapat dicegah dengan
pemberian sulfonamide paling larut. Efek lainnya adalah gangguan hematopoetik

38

berupa anemia (heolitik atau aplastik) granulositopenia, trombositopenia, dan reaksi
leukomoid.

THRIMETHROPIN
Absorpsi thrimethropin baik melalui usus dan distribusi luas seperti
sulfonamide. Sifatnya lebih larut dalam lipid. Pengobatan dengan thrimethropim
tunggal dapat diberikan untuk infeksi saluran kemih akut. Selain itu karena
thrimethropim dapat terakumulasi pada cairan prostat dan cairan vagina, thrimethropim
sering digunakan pada infeksi prostate dan vagina. Efek samping serupa dengan
sulfonamide berupa gangguan hematopoetik seperti anemia megaloblastik, leukopenia,
dan granulositopenia.

CO-TRIMOXAZOLE
Gabungan kombinasi antara sulfonamid dan thrimethripin ini sering kali
digunakan. Penggunaan obat ini biasanya berupa pengobatan pilihan untuk infeksi
pneumonia oleh P carinii, entriris karena Shigella dan infeksi salmonella sistemik
setelah resisten terhadap ampisilin dan kloramfenicol. Penggunaan lain adalah
pengobatan infeksi saluran kemih dan prostat. Tidak disarankan bagi penderita gagal
ginjal dan gangguan fungsi hati yang berat, profiria.

39

BAB 3
Kesimpulan

Pada infeksi saluran cerna khususnya diare akut harus dilakukan pemeriksaan
klinis yang baik untuk menentukan diagnosis yang tepat melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk mengetahui penyebabnya.
Penatalaksanaan diare akut terdiri dari rehidrasi, diet, obat anti diare, dan obat anti
mikroba apabila diketahui bahwa penyebabnya adalah infeksi. Antibiotik adalah
senyawa-senyawa yang dapat menghambat dan membunuh bakteri
Antibiotik dapat terbagi berdasarkan aktivitas dalam membunuh yaitu
bakteriosid dan bakteriostatik dan berdasarkan tempat mekanisme kerja yaitu
menghambat sintetis dinding bakteri, membran sel, sintetis protein di ribosom, sintetis
asam nukleat, dan metabolik (antagonis folat). Resistensi terhadap antibiotik muncul
karena beberapa mekanisme seperti dihasilkannya enzim yang merusak aktivitas obat;
pengubahan permeabilitas terhadap obat; adanya perubahan terhadap struktur sasaran
bagi obat; adanya perubahan jalur metabolitk yang dihambat; adanya perubahan enzim
yang tetap dapat melakukan fungsi metaboliknya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh
obat.

40

Daftar Pustaka

1. Lamps, LW. Surgical Pathology of the Gastrointestinal System: Bacterial, Fungal,


Viral and Parasitic Infections. London: Springer New York Dordecht Heidelberg.
2009. h.1
2. Mahmudah F, Sumiwi SA, dan Hartini S. Studi Penggunaan Antibiotik
Berdasarkan ATC/DDD dan DU 90% di Bagian Bedah Digestif di Salah Satu
Rumah Sakit di Bandung. Sumedang: Universitas Padjajaran. 2016: 5(4). h. 294.
3. Anonim. Gastrointestinal Infections. Diambil dari: http://www.biomerieux-
diagnostics.com/gastrointestinal-infections#top SA: bioMerieux. 2018. Pada
tanggal 2 September 2018.
4. Islam MA, Asadulghani M. Infections of Gastrointestinal System: Etiology and
Prevention of Food-borne Bacterial Gastroenteritis Chapter 2. India: Jaypee
Brothers Medical Publisher (P) Ltd. h.12.
5. Zein U, Sagala KH, Ginting J. Diare Akut Disebabkan Bakteri. Sumatera Utara:
Universitas Sumatera Utara. 2004. P1-2,4-5,13-4
6. Ramadhan P. Mikroorganisme Patogen: Penyebab Penyakit pada Manusia.
Diambil dari
https://www.academia.edu/23142001/MIKROORGANISME_PATOGEN_PENY
EBAB_PENYAKIT_PADA_MANUSIA. Pada tanggal 2 September 2018. h. 7.
7. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. 23rd ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. h. 207-295.
8. Djojoningrat D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Pendekatan Klinis Penyakit
Gastrointestinal. Jakarta: InternaPublishing. 2014. h 1735-6.
9. Amin LZ. Tatalaksana Diare Akut. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. 2015: 42 (7). h.505.
10. Lilihata G, Syam AF. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014. h. 584-9.
11. Anonim. Medical Definition of Antibiotics. 2016. Diambil dari
https://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=8121. Pada tanggal 2
September 2018.
12. Rosen, E.J., Quinn, F.B., (2000), Microbiology, infections, and antibiotic therapy,
diambil dari http://www.utmb.edu/ otoref/grnds/Infect-0003/Infect-0003.pdf. Pada
tanggal 2 September 2018. h. 5-8.

41

Anda mungkin juga menyukai