Anda di halaman 1dari 4

Keratitis Punctata Supefisialis

Oleh: Lalu W.J. Hardi


KORNEA
1. Fisiologi
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform, avaskuler dan
deturgenes. Deturgenes, atau keadaan dehidrasi relative jaringan kornea dipertahankan oleh
pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih
penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cidera kimiawi atau fisik pada
endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu
telah beregenerasi. Penguapan air dari film air mata prakornea akan mengkibatkan film air
mata akan menjadi hipertonik; proses itu dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang
yang menarik air dari stroma kornea superfisialis untuk mempertahankan keadaan dehidrasi
(1).
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut lemak dapat melalui
epitel utuh, dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat
melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air sekaligus(1).

2. Resistensi Kornea Terhadap Infeksi


Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea.
Namun sekali ini cedera, stroma yang avaskuler dan membrane bowman mudah terkena
infeksi oleh berbagai macam mikroorganisme, seperti bakteri, amuba, dan jamur.
Streptococcus pneumonia (pneumokokkus) adalah bakteri pathogen kornea sejati; pathogen
lain memerlukan inokulum yang berat atau hospes yang lemah (mis; defisiensi imun) agar
dapat menimbulkan infeksi(1).
Moraxella liquefacies, yang terutama terdapat pada peminum alcohol (sebagai akibat
kehabisan piridoxin), adalah contoh klasik oportunismen bakteri, dan dalam tahun-tahun
belakangan ini sejumlah oportunis kornea baru telah ditemukan. Diantaranya adalah serratia
marcens, kompleks mycobacterium fortuitum-chelonei, streptococcus viridians,
staphylococcus epidermidis, dan berbagai organism coliform dan proteus, selain virus dan
jamur(1).
Kortikosteroid local atau sistemik akan mengubah reaksi imun hospes dengan berbagai
cara dan memungkinkan organisme oportunistik masuk dan tumbuh dengan subur(1).

3. Fisiologi Gejala
Karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, kebanyakan lesi kornea, superfisisalis
maupun dalam (benda asing kornea, abrasi kornea, phlyctenule, keratitis interstisisal),
menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat oleh gesekan palpebra
(terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Karena kornea
berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan cahaya, lesi kornea umunya agak
mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat(1).
Fotofobia pada penyakit kornea adalah akibat kontraksi iris beradang yang sakit.
Dilatasi pembuluh iris adalah fenomena reflex yang disebabkan iritasi pada ujung saraf
kornea. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis
herpes karena hipestasi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik
berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umunya menyertai penyakit kornea, umumnya
tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen(1).
4. Investigasi Penyakit Kornea
Gejala dan tanda
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah
dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan flurescein dapat memperjelas lesi epitel
superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop
(slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai
kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat
menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel
terlihat dengan cara ini(1).
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan adanya
riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan abrasi merupakan dua lesi
yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat
infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan keratitis
herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya pula
ditanyakan pemakaian obat local oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid,
yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama
keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit
sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi
khusus(1).
KERATITIS
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan
kornea yang terkena; yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau
bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa)
yang mengenai lapisan stroma(2).

Keratitis superfisialis
Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah:
1. Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit infeksi virus antara lain virus herpes simpleks, herpes zoster dan vaksinia(2).
2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan untuk
menyerang kornea(2).
3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimale atau
sel goblet yang berada di konjungtiva(2).
4. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga keratitis
neuroparalitik(2).
5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan banyak
didapatkan pada petani(2).
6. Keratitis profunda
Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain:
- Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
- Keratitis sklerotikans.

KERATITIS PUNCTATA SUPERFISISALIS THYGESON


Keratitis punctata superfisialis adalah penyakit bilateral recurens menahun yang jarang
ditemukan, tanpa pandang jenis kelamin maupun umur. Penyakit ini ditandai kekerutan epitel
yang meninggi berbentuk lonjong dan jelas, yang menampakkan bintik-bintik pada
pemulasan dengan flurescien, terutama di daerah pupil. Kekeruhan ini tidak tampak dengan
mata telanjang, namun mudah dilihat dengan slit-lamp atau kaca pembesar. Kekeruhan
subepitelial dibawah lesi epitel (lesi hantu) sering terlihat semasa penyembuhan penyakit
epitel ini(1,4).
Etiologi
Belum ditemukan organisme penyebabnya, namun dicurigai virus. Pada satu kasus
berhasil diisolasi virus varicella-zoster dari kerokan kornea (1,3). Penyebab lainnya dapat
terjadi pada moluskulum kontangiosum, acne roasea, blefaritis neuroparalitik, trachoma,
trauma radiasi, lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahan pengawet
lainnya (2).
Manifestasi klinis
Iritasi ringan, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan fotofobia adalah gejala
satu-satunya. Konjungtiva tidak terkena (1,4).
Keratitis epithelial sekunder terhadap blefarokonjungtivitis stafilokokus dapat
dibedakan dari keratitis punctata superfisialis karena mengenai sepertiga kornea bagian
bawah. Keratitis epithelial pada trachoma dapat disingkirkan karena lokasinya dibagian
sepertiga kornea bagian atas dan ada pannus. Banyak diantara keratitis yang mengenai kornea
bagian superfisialis bersifat unilateral atau dapat disingkirkan berdasarkan riwayatnya(1).

Terapi
Pasien diberi air mata buatan, tobramisin tetes mata, dan sikloplegik(2). Pemberian
tetes kortikosteroid untuk jangka pendek sering kali dapat menghilangkan kekeruhan dan
keluhan subjektif, namun pada umunya kambuh. Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi
parut atau vaskularisasi pada kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun.
Pemberian kortikosteroid topical untuk waktu lama memperpanjang perjalanan penyakit
hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak teriduksi steroid dan glaukoma.
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala, khususnya pada kasus
yang mengganggu(1).

DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan, Daniel G et al. 2002. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta: Widya Medika. Hal:
129 – 152
2. Ilyas, Sidarta. 2002. Ilmu Penyakit Mata edisi–2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal: 113 –
116
3. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Hal: 56
4. Thygeson, Phillips. 1950. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American
Medical Association; 144:1544-1549. Available at : http://webeye. ophth.uiowa.edu/
dept/service/cornea/cornea.htm (accessed: december 2008)
5. Reed, Kimberly K. 2007. Thygeson's SPK photos. Nova Southeastern University College
of Optometry 3200 South University Drive Ft. Lauderdale, Florida. Available at:
http://www.fechter.com/Thygesons.htm. (accessed: december 2008)

Anda mungkin juga menyukai