PENDAHULUAN
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan laporan ini adalah mengetahui
perjalanan penyakit salah seorang pasien, sehingga dapat menilai kondisi pasien dari
awal terjadinya penyakit hingga post diberikan tindakan.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Usia : 64tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Datang ke Rumah Sakit pada Tanggal : 27 Desember 2012 dari poli bedah rujukan dari
poli penyakit dalam
Bangsal : Edelweis
B. ANAMNESIS
Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan atas dan menjalar sampai dengan ke
pinggang, nyeri dirasakan kurang lebih 1 minggu yang lalu, nyeri hilang timbul terasa panas
dan perih. Tidak ada demam, mual ataupun muntah, kadang kadang suka pusing berputar –
putar
RPO: pasien sudah berobat ke dokter umum di RSU tidar 1 minggu yang lalu dan sudah di
USG.
2
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 Desember di ruang Edelweis Rumah Sakit
tingkat II dr. Soedjono
D. ASSESSMENT
E. PLANNING
Planning Diagnostik
o Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap, BT, CT
o Pemeriksaan EKG
o Foto Lumbosakral AP
Planning Terapi
o Simptomatik
o Sharox 2 x 1
o Meloxicam 1 x 1
o Trixon
3
o Suportif
o Infus RL 20 tpm
o Puasa untuk persiapan operasi besok
FOLLOW UP
Tgl S O A P
29 Nyeri pada VS: td 120/80 Post op Therapi
des daerah post s/n 36,5/ 84 kolesistektomi - awasi VS
2012 operasi, status generalis: hari ke – 1 - Puasa
pusing (-), tampak sakit sedang - Trixon
mual(-). kepala: CA -/- SI -/- - Ranitidin
Muntah (-), thoraks: cor dan - Antrain
demam (-). pulmo DBN - kalnex
abdomen:
Isupel, bekas luka
membaik, rembesan
darah +, pus(-),
Drain (+)
Abu +
Pal NT (-)
Per timpani
Kateterurin
berwarna kuning
pekat, darah (-)
30 Nyeri pada VS: td 120/90 Post op Terapi lanjutkan
des luka bekas Tampak sakit kolesistektomi Medikasi luka
2012 operasi, sedang hari ke – 2 Coba minum
4
pusing (-), Kepala : CA-/- SI -/- mobilisasi
demam (-) Thoraks : cor dan
mual pulmo DBN
muntah (-), Abdomen:
Isupel, luka
operasi membaik,
rembesan darah (-),
drain (+)
A BU (+)
Pal NT (-)
Pertimpani
Kateter : urin
berwarna kuning
pekat
31 Keluhan (-) VS : TD 120/90 Post op Terapi lanjut
des Kepala : CA-/- SI-/- kolesistektomi Medikasi luka
2012 Tampak sakit ringan hari ke – 3 Aff drain
Thoraks: cor dan Diet bubur
pulmo DBN
Abdomen :
I supel, luka
operasi membaik,
drain (+)
ABu (+)
Pal NT (-)
Per timpani
1 Keluhan (-) VS: TD 210/120 Post op Therapi lanjut
Jan BAB dan Tampak sakit ringan kolesistektomi Medikasi luka
5
2013 BAK Kepala: CA -/- SI -/- hari ke – 4
normal Thoraks: DBN
Abdomen :
I supel, rembesan
darah (-), luka
membaik
A: BU(+)
Pal: NT (-)
Per: timpani
6
HASIL PEMERIKSAAN USG (18 Desember 2012)
Vesika felea : ukuran normal, dinding DBN, tampak batu dengan ukuran 17,9 mm
7
Pancreas : ukuran normal, echostructure parenchym homogen, permukaan rata,
nodul (-)
Lien : ukuran dbn, echostructure parenchym homogen, permukaan rata, v. Lienalis dbn
Renal sin – dx: UKURAN Dbn, echostructure parenchyme dbn, batas kortikomedular dbn,
PCS tak melebar, tidak tampak batu
Kesan : Cholelitiasis
LAPORAN OPERASI
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. ANATOMI
9
Gambar 1: Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.
Arteria cystica mengantar darah kepada ductus choledochus dan ductus cysticus. Arteria
cystica biasanya berasal dari ramus dexter arteria hepatica propria di sudut antara ductus
hepaticus communis dan ductus cysticus (Moore K. & Agur A., 2002).
10
3.2. KOLELITIASIS
Kolelitiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang
membentuk suatu material yang menyerupai batu yang dapat ditemukan dalam kandung
empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-
duanya (Schwartz S., Shires G., Spencer F., 2000).
EPIDEMIOLOGI
Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada
wanita dikarenaan memiliki faktor risiko, diantaranya : obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak
dan genetik (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).
Insidens kolelitiasis di negara Barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa
dan lanjut usia. Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak
tahun 1980-an angkanya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi (Jong W.
& Sjamsuhidajat R., 2005).
ETIOLOGI
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor predisposisi
terpenting, yaitu :
2. Statis Empedu
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan komposisi kimia dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan
11
kontraksi kandung empedu atau spasme spingter Oddi atau keduanya dapat
menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat
dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu (Hadi S., 2002).
FAKTOR RISIKO
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor risiko. Namun, semakin banyak
faktor risiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor risiko
tersebut antara lain :
Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40 – 50 tahun. Sangat sedikit
penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin
bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu
(Lesmana L., 2000).
Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan
4 : 1. Di Indonesia, jumlah penderita wanita lebih banyak daripada laki-laki (Lesmana
L., 2000).
Obesitas
Pada orang yang mengalami obesitas dengan indeks massa butuh (BMI) tinggi maka
kadar kolestrol dalam kandung empedu sangat tinggi sehingga akan menurunkan
garam empedu dan mengurangi kontraksi atau pengosongan kandung empedu
(Lesmana L., 2000).
Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu (Lesmana L., 2000).
Aktivitas fisik
12
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
kolelitiasis (Lesmana L., 2000).
Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena dalam jangka laa mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga risiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu
(Lesmana L., 2000)
Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto Rontgen terlihat
intinya. Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan licin atau noduler.
Batu ini tidak mengandung Kalsium sehingga tidak dapat dilihat pada pemotretan sinar-
X biasa.
Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu yaitu
mengandung batu empedu kholesterol yang soliter di mana pada permukaannya
terdapat endapan pigmen kalsium.
Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam kalsium dan matriks
dari bahan organik. Batu ini biasanya berganda, kecil, amorf, bulat, berwarna hitam atau
hijau tua
13
Bagan 1: proses pembentukan batu pigmen
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (± 80%), dan terdiri atas kolestrol,
pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein. Biasanya berganda dan
sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.
MANIFESTASI KLINIS
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi
dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah
subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu
dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini
berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah
14
kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan
inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 –
60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke
abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina
pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis
kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,
abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini
timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering
mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan
dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus
sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran
sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif
yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul
15
pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar
spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
Diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan tanda klinis yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Selain itu, diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
kepastian diagnosis. Pmeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah :
Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk batu kandung empedu, kecuali bila terjadi
komplikasi kolesistitis akut bida didapatkan leukositosis, kenaikan kadar bilirubin
darah dan fosfatase alkali. Apabila terjadi sindrom Mirrizi akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu (Hadi S., 2002).
1. Uji Ekskresi Empedu
Fungsinya mengukur kemampuan hati untuk mengkonjugasi dan
mengekskresikan pigmen.
16
mengekskresi pigmen empedu. Bilirubin ini akan meningkat bila terjadi
gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi. Nilai normalnya antara 0,1-0,3
mg/dl (Kee, L.J.).
o Bilirubin Urin/Bilirubinia
Merupakan bilitubin terkonjugasi diekskresi dalam urin bila kadarnya
meningkat dalam serum, mengesankan adanya obstruksi pada sel hati atau
saluran empedu. Urin berwarna coklat bila dikocok timbul busa berwarna
kuning (Kee, L.J.).
17
o Ultrasonografi
Penggunaan USG dalam mendeteksi batu di saluran empedu sensitivitasnya
sampai 98% dan spesifitas 97,7%. Keuntungan lain dari pemeriksaan cara ini
adalah mudah dikerjakan, aman karena tidak infasif dan tidak perlu persiapan
khusus, ditambah pula bahwa USG dapat dilakukan pada penderita yang sakit
berat, alergi kontras, wanita hamil dan tidak tergantung pada keadaan faal hati.
Ditinjau dari berbagai segi keuntungannya, pemeriksaan USG sebaiknya
dipakai sebagai langkah pemeriksaan awal. Dengan pemeriksaan ini bisa
ditentukan lokasi dari batu tersebut, ada tidaknya radang akut, besar batu,
jumlah batu, ukuran kandung empedu, tebal dinding, ukuran CBD (Common
Bile Duct) dan jika ada batu intraduktal (Hadi S., 2002).
o Tomografi Computer
Keunggulan tomografi komputer adalah dengan memperoleh potongan obyek
gambar suara secara menyeluruh tanpa tumpang tindih denagn organ lain,
karena mahalnya biaya pemeriksaan, maka alat ini bukan merupakan pilihan
utama (Hadi S., 2002).
o Kolesistografi
Foto dengan pemberian kontrak baik oral maupun intravena diharapkan batu
yang tembus sinar akan terlihat. Jika kandung empedu tidak tervisualisasikan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang dengan dosis ganda zat kontras.
Goldberg dan kawan-kawan menyatakan bahwa reliabilitas pemeriksaan
kolesistografi oral dalam mengidentrifikasikan batu kandung empedu kurang
lebih 75%. Bila kadar bilirubin serum lebih dari 3 mg% kolesistografi tidak
dierjakan karena zat kontras tidak diekskresi ke saluran empedu (Hadi S.,
2002).
KOMPLIKASI
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis
kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,
abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan
mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
18
a. Kolesistitis Akut
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan
sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan
manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus
atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan
atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh
rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).
Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke punggung
atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan,
yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri
tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas
sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20%
kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka atau
laparoskopik (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).
b. Kolesistitis Kronis
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering
mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan
dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti
koledokolitiasis, pankreatitis dan kolangitis (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).
c. Pankreatitis Akut
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan
gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis
akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan
akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis
(Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).
19
TERAPI
A. Tindakan Operatif
1. Kolesistektomi
Terapi terbanyak pada penderita kandung empedu adalah dengan operasi. Kolesistektomi
dengan atau tanpa eksplorasi duktus komunis tetap merupakan tindakan pengobatan untuk
penderita dengan batu empedu simptomatik. Pembedahan untuk batu empedu tanpa gejala
masih diperdebatkan, banyak ahli menganjurkan terapi konservatif. Sebagian ahli lainnya
berpendapat lain, mengingat “silent stone” akhirnya akan menimbulkan gejala-gejala
bahkan komplikasi, maka mereka sepakat bahwa pembedahan adalah pengobatan yang
paling tepat yaitu kolesistektomi efektif dan berlaku pada setiap kasus batu empedu kalau
keadaan umum penderita baik.
- Adanya keluhan bilier apabila mengganggu atau semakin sering atau berat
- Adanya komplikasi atau pernah ada komplikasi batu kandung empedu
- Adanya penyakit lain yang mempermudah timbulnya komplikasi misalnya DM,
kandung empedu yang tidak tampak pada foto kontras dan sebagainya.
-
2. Kolesistostomi
20
B. Tindakan Non-Operatif
1. Terapi Disolusi
- Wanita hamil
Efek samping pengobatan CDCA yang terlalu lama menimbulkan kerusakan jaringan hati,
terjadi peningkatan transaminase serum, nausea dan diare. Asam Ursodioxycholat
(UDCA) merupakan alternatif lain yang dapat diterima dan tidak mengakibatkan diare
atau gangguan fungsi hati namun harganya lebih mahal. Pada saat ini pemakaiannya
adalah kombinasi antara CDCA dan UDCA, masing-masing dengan dosis 7,5 mg/kg berat
badan/hari. Dianjurkan dosis terbesar pada sore hari karena kejenuhan cairan empedu akan
kolesterol mencapai puncaknya pada malam hari.
Mekanisme kerja dari CDCA adalah menghambat kerja dari enzim HMG Ko-a reduktase
sehingga mengurangi sintesis dan ekskresi kolesterol ke dalam empedu. Kekurangan lain
dari terapi disolusi ini selain harganya mahal juga memerlukan waktu yang lama serta
tidak selalu berhasil (Devid D., Sabiston, 1994).
ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar terapinya adalah disintegrasi
batu dengan gelombang kejut sehingga menjadi partikel yang lebih kecil. Pemecahan batu
menjadi partikel kecil bertujuan agar kelarutannya dalam asam empedu menjadi
21
meningkat serta pengeluarannya melalui duktus sistikus dengan kontraksi kandung
empedu juga menjadi lebih mudah (Devid D., Sabiston, 1994).
Setelah terapi ESWL kemudian dilanjutkan dengan terapi disolusi untuk membantu
melarutkan batu kolesterol. Kombinasi dari terapi ini agar berhasil baik harus memenuhi
beberapa kriteria mengingat faktor efektifitas dan keamanannya (Devid D., Sabiston,
1994).
1. Kriteria Munich :
- Batu radiolusen
arah batu
2. Kriteria Dublin :
- Batu radiolusen
maksimal
Terapi ESWL sangatlah menguntungkan bila dipandang dari sudut penderita karena dapat
dilakukan secara rawat jalan, sehingga tidak mengganggu aktifitas penderita. Demikian
juga halnya dengan pembiusan dan tindakan pembedahan yang umumnya ditakutkan
penderita dapat dihindarkan. Namun tidak semua penderita dapat dilakukan terapi ini
karena hanya dilakukan pada kasus selektif. Di samping itu penderita harus menjalankan
diet ketat, waktu pengobatan lama dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, serta dapat
22
timbul rekurensi setelah pengobatan dihentikan. Faal hati yang baik juga merupakan salah
satu syarat bentuk terapi gabungan ini, karena gangguan faal hati akan diperberat dengan
pemberian asam empedu dalam jangka panjang (Devid D., Sabiston, 1994).
ESWL dapat dikatakan sangat aman serta selektif dan tidak invasif namun dalam
kenyataannya masih terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi misalnya rasa sakit
di hipokondrium kanan, kolik bilier, pankreatitis, ikterus, pendarahan subkapsuler hati,
penebalan dinding dan atrofi kandung empedu (Devid D., Sabiston, 1994).
C. Dietetik
Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi istirahat
pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil kemungkinan
batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk
memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh (Devid D., Sabiston, 1994).
Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung empedu
tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang dapat menyebabkan
gangguan pencernaan makanan juga harus dihindarkan.
Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi, maka diet
dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak mengeluarkan gas akan sangat
membantu.
- Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.
- Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori
dikurangi.
- Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak
PENCEGAHAN
23
BAB IV
PENUTUP
NY. S datang ke poli bedah RST atas rujukan dari poli interna , datang dengan
keluhan nyeri perut pada adaerah epigastrium dan daerah lumbal kanan menjalar sampai
dengan ke pinggang, tidak ada mual ataupun muntah. Kadang suka pusing berputar – putar.
Pasien pernah memeriksakan keluhan ke dokter di RSU tidar dan telah di USG. Hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan di RST didiagnosis bahwa pasien
menderita kolelitiasis.
Gejala yang diperlihatkan oleh pasien dengan kolelitiasis umumnya sangat bervariasi,
meskipun terdapat ciri yang khas yaitu kolik bilier dengan gambaran nyeri pada kuadran
kanan atas yang dapat menjalar sampai ke punggung tepat di bawah tulang skapula, namun
gejala tersebut tidak selalu spesifik seperti itu. Pada pasien ini terdapat nyeri kolik bilier, akan
tetapi gejala lainnya tidak terlalu spesifik. Untuk itu diperlukan pemeriksaan fisik yang lebih
teliti serta bantuan pemeriksaan penunjang.
24
DAFTAR PUSTAKA
Devid C., Sabiston, 1994, Sistem Empedu, Sars MG, L John Cameron, Dalam Buku Ajar
Bedah, Edisi 2, hal 121, Penerbit EGC, Jakarta
Jong W., Sjamsuhidajat R., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
Kee, L.J., Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Lesmana L., 2000, “Batu Empedu” dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi 3, hal :
380-4, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Moore K., Agur A., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta
Schwartz S, Shires G, Spencer F., 2000, Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery)
Edisi 6, hal : 459-64, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
25