Anda di halaman 1dari 4

IMUNISASI DALAM ISLAM

OLEH:

H. DUSKI SAMAD

Ketua MUI Kota Padang

A. IMUNISASI IKHITIAR

Kesehatan adalah kebutuhan utama (al hajat). Islam menetapkan prinsip


menjaga nyawa adalah satu dari tujuan syariat (maqasidus syariah). Inti ajaran
Islam adalah merealisasikan kemaslahatan (jalb al-mashlahah) dan mencegah
terjadinya kemadaratan (daf'u al-madlarrah). Bahaya di sini adalah yang
menimpa manusia baik bahaya yang mengancam fisik maupun psikis.
Tujuannya adalah agar manusia dapat menjalankan tugasnya sebagai hamba
sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi ini dengan baik. Dengan
demikian Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga
kesehatan dan berobat ketika diserang penyakit.

Menjaga kesehatan dapat dilakukan pada dua fase; (i) melakukan upaya
preventif agar tidak terkena penyakit; dan (ii) berobat manakala sakit agar
diperoleh kesehatan kembali. Salah satu langkah lengkah preventif menjaga
kesehatan adalah mencegah timbulnya penyakit yang sedang mewabah,
salah satunya melalui vaksinasi. Masalah kemudian muncul ketika diketahui
bahwa dalam proses pembuatan vaksin menggunakan barang haram/najis
atau berinteraksi dengan barang haram/najis, seperti porcine (khinzir).

Nabi mengajarkan bahwa keutamaan mukmin adalah secara fisik kuat dan
sehat. Mukmin yang kuat lebih baik dari mukmin yang lemah (hadits).
Anjuran untuk hidup sehat itu misalnya perintah agar anak diajarkan
memamanh dan berkuda atau berolah raga. Bersamaan dengan itu Allah
memerintahkan makan yang halal dan bergizi. Menghindari yang
membahayakan dalam segala bentuknya. Perintah untuk menjaga kesehatan,
dengan sendirinya adalah perintah untuk melakukan seluruh sarana yang
mewujudkan kesehatan, dan menghindarkan diri hal yang menyebabkan
ketidaksehatan, juga melakukan langkah preventif untuk mencegah
terjadinya penyakit.

Salah satu teori hukum Islam yang dipakai oleh ulama madzhab dalam
penetapan hukum adalah sadd al-dzari'ah, yaitu menutup peluang terjadinya
akibat buruk atau tindakan preventif atas dampak yang ditimbulkan. Dalam
perspektif hukum Islam, pencegahan penyakit hukumnya wajib untuk
merealisaikan tujuan yang lebih besar, yakni kemaslahatan dan kesehatan

1
yang paripurna. Pencegahan secara dini terhadap terjangkitnya suatu
penyakit, seperti dengan imunisasi polio, campak, dan juga DPT serta BCG,
termasuk vaksinasi meningitis adalah cermin perintah untuk menjaga
kesehatan secara preventif.

B. BEROBAT DENGAN YANG HALAL

Imunisasi sebagai bentuk preventif, fiqih Islam disebut sebagai ikhtiar


menjaga diri adalah yang boleh dan dianjurkan. Masalah baru menimbulkan
pertanyaan ketika vaksinnya bersentuhan dengan benda haram. Dalam fikih
Islam, berobat harus menggunakan barang yang halal. Ditegaskan, Allah
tidak menjadikan obat pada barang yang haram. Untuk menghasilkan
produk halal, di samping bahannya (dzat) harus halal, proses produksinya
juga terjaga dari kontaminasi bahan haram dan/atau najis.

Pada prinsipnya pengobatan harus dilakukan dengan barang yang halal.


Penggunaan barang halal tidak terbatas pada dzatnya, melainkan juga di
dalam proses produksinya. Barang yang halal, jika diproduksi dengan
melalui proses yang tidak benar secara fikih, misalnya menggunakan bahan
baku atau bahan penolong yang haram/najis maka hukumnya tetap haram
sepanjang belum dilakukan penyucian secara syar'i. Hal ini berlaku umum,
baik bagi makanan, minuman, maupun obat-obatan yang kepentingannya
untuk dikonsumsi.

C. FATWA IMUNISASI DAN MEASLES RUBELLA (MR)


Bila obat, makanan dan vaksin tidak ada yang halal, maka mengunakan yang
haram juga dibolehkan. dalam menetapkan hukum makan, minum, obat dan
vaksin sudah ada beberapa fatwa MUI.
1. Fatwa MUI 1 Juni 1980 tentang Makanan dan Minuman yang Bercampur
dengan Barang Haram/Najis disebutkan bahwa (1) Setiap makanan dan
minuman yang jelas bercampur dengan barang haram/najis hukumnya
haram. (2) Setiap makanan dan minuman yang diragukan bercampur
dengan barang haram/najis hendaknya ditinggalkan. (3) Adanya
makanan dan minuman yang diragukan bercampur dengan barang
haram/najis hendaklah Majelis Ulama Indonesia meminta kepada instansi
yang bersangkutan memeriksanya di laboratorium untuk dapat
ditentukan hukumnya.
2. FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN POLIO KHUSUS (IPV)
Tahun 2002 Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin,
yang berasal dari --atau mengandung-- benda najis ataupun benda terkena
najis adalah haram. Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang

2
menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum
ada IPV jenis lain yang suci dan halal.
3. FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN POLIO ORAL (OPV)
Tahun 2005. Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin,
yang berasal dari --atau mengandung-- benda najis ataupun benda terkena
najis adalah haram. Pemberian vaksin OPV kepada kepada seluruh balita,
pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada OPV jenis lain yang
produksinya menggunakan media dan proses yang sesuai dengan syariat
Islam.
4. FATWA NO. 4 tahun 2016 tentang Imunisasi. Fatwa MUI menyatakan,
ajaran Islam mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan
melalui upaya preventif agar tidak terkena penyakit. Salah satu caranya
yaitu dengan imunisasi. “Imunisasi adalah tindakan medis yang
bermanfaat untuk mencegah penyakit berat, kecacatan dan kematian,”
tulis MUI dalam fatwa tersebut.
5. Berkaitan dengan imunisasi MR MUI sudah mengeluarkan rekomendasi,
menunggu keluarnya fatwa MUI yang sedang dalam proses administrasi.
1. Pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik
melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
2. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin Measles Rubella (MR)
halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat.
3. Komisi Fatwa mendukung pelaksanaan program imunisasi sebagai
salah satu ikhtiar untuk menjaga kesehatan, dengan menggunakan
vaksin yang halal.
4. Pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi
halal seluruh vaksin yang digunakan termasuk vaksin Measles Rubella
(MR) yang akan digunakan, serta meminta produsen untuk segera
mengajukan sertifikasi halal terhadap produk vaksin.
5. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin Measles
Rubella (MR) yang halal dan melakukan sertifikasi halal sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat perlu melakukan
sosialisasi pelaksanaan imunisasi secara umum termasuk rencana
pelaksanaan imunisasi Measles Rubella (MR).
7. Orang tua dan masyarakat perlu berpartisipasi menjaga kesehatan,
termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi
program termasuk imunisasi Measles Rubella (MR) yang akan
dilaksanakan.
Menperhatikan kebutuhan pada imunisasi sebagai hajat hidup orang
perorang dan masyarakat maka adalah boleh secara umum. Ketika vaksin
halal belum tersedia, maka vaksin haram juga dibolehkan karena darurat dan
hajat. Fatwa MUI sebagai dasar hukum bagi masalah yang tidak terdapat
nash sharih wajib menjadi pegangan umat dan pemerintah. Padang,
26112017.

3
4

Anda mungkin juga menyukai