Anda di halaman 1dari 18

9

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Umum


2.1.1 Pengertian Lanjut Usia (Lansia)
Berdasarkan pengertian lanjut usia secara umum, seseorang dikatakan lanjut
usia (lansia) apabila usianya mencapai 65 tahun keatas (Effendi dan Makhfudli,
2009). Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO seseorang disebut lanjut usia
(elderly) jika berumur 60-74 tahun. Menurut Prof. DR. Ny. Sumiati Ahmad
Mohammad, Guru Besar Universitas Gajah Mada Fakultas Kedokteran usia 65 tahun
keatas disebut masa lanjut usia. Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada
daur kehidupan manusia (Budi,1999). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4)
UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (psikologi dari Universitas Indonesia), lanjut
usia merupakan kelanjutan usia dewasa antara usia 65 tahun hingga tutup usia.
Menurut Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, lanjut usia dikelompokkan menjadi
tiga yaitu usia 70-75 tahun (young old); usia 75-80 tahun (old); usia lebih dari 80
tahun (very old).
Di Indonesia, pemerintah melalui Undang – Undang RI No. 13 tahun 1998
menyatakan bahwa yang disebut lansia adalah mereka yang telah mencapai usia 60
tahun atau lebih. Kesejahteraan lansia juga diatur dalam Undang – Undang No. 13
tahun 1998, pada pasal 8 yang menerangkan bahwa pemerintah, masyarakat,
keluarga bertanggung jawab atas terwujudnya upaya peningkatan kesejahteraan
sosial lanjut usia (www.dpr.go.id). Berdasarkan beberapa pendapat menurut ahli dan
peraturan yang berhubungan dengan lansia, penulis membuat kategori lansia dari
usia 60 tahun ke atas.

2.1.2 Pengertian Lanjut Usia Terlantar


Menurut Dinas Sosial Jogjakarta (2011), yang tergolong lansia terlantar
merupakan lansia yang mengalami hambatan dalam menikmati masa tuanya karena
faktor-faktor dari keluarga dan lingkungannya. Secara garis besar, lansia terlantar
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
10

1. Terlantar secara ekonomi


Lansia yang kebutuhan-kebutuhannya terhambat karena faktor kemiskinan,
tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tidak mendapatkan akses
memperoleh hiburan, transportasi dan komunikasi yang memungkinkan dia
bertemu dengan teman-teman seumurannya.
2. Terlantar secara sosial
Lansia yang kesepian secara psikologis, karena faktor-faktor tertentu seperti
ditinggal oleh pasangannya, anaknya, cucunya atau teman-temannya yang
sudah meninggal duluan. Ketiadaan aktivitas, kekurangan perhatian, dan faktor
lainnya yang menyebabkan lansia terlantar secara sosial.

2.1.3 Kategori Lansia


Berdasarkan tingkat keaktifannya, lansia dibagi menjadi 3 kategori, yaitu go
go’s yang bersifat aktif bergerak tanpa bantuan orang lain, slow go’s yang bersifat
semi aktif, dan no go’s yang memiliki cacat fisik dan sangat tergantung pada orang
lain. Cooper dan Francis juga mengelompokkan lansia menjadi 3 bagian berdasarkan
usia dengan penjelasan sebagai berikut:

Tabel 5. Pengelompokan Lansia

Sumber: Najjah, Konsep Home pada Panti Sosial Tresna Werdha, 2009

Berdasarkan pembagian kategori lansia, perancangan desain untuk lansia perlu


memperhatikan ketiga kategori lansia agar dapat menciptakan ruang yang sesuai dan
mewadahi perilaku lansia selaku pengguna.

2.1.4 Penurunan Kondisi Pada Lansia


Secara normal, seseorang yang berada pada keadaan usia lanjut akan
mengalami penurunan berbagai organ atau sistem tubuh, baik dari segi anatomi
11

maupun fungsional (Hurlock, 1996). Beberapa penurunan yang terjadi pada lansia
adalah sebagai berikut:
1. Penurunan fisik, meliputi penurunan kemampuan visual, temperatur,
pendengaran, kemampuan indera perasa, penurunan fungsi sistem motorik (otot
dan rangka), antara lain berkurangnya daya tumbuh dan regenerasi,
kemampuan mobilitas dan kontrol fisik, semakin lambatnya gerakan tubuh, dan
sering terjadi getaran otot (tremor). Jumlah otot berkurang, ukurannya menciut,
volume otot secara keseluruhan menciut dan fungsinya menurun. Terjadi
degenerasi di persendian dan tulang menjadi keropos (osteoporosis). Semakin
tua usia seseorang, tingkat kecerdasan semakin menurun, memori berkurang,
kesulitan berkonsentrasi, lambatnya kemampuan kognitif dan kerja saraf.
2. Penurunan psikologis yang mencakup demensia (suatu gangguan
intelektual/daya ingat yang sering terjadi pada orang yang berusia > 65 tahun),
depresi, gangguan kecemasan, gangguan tidur.
3. Penurunan sosial dimana masa pensiun menyebabkan sebagian lansia sering
merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya, seperti perasaan kehilangan
status atau kedudukan sosial sebelumnya, baik di dalam masyarakat, tempat
kerja atau lingkungan, kehilangan pertemanan baik di lingkungan masyarakat,
kehilangan gaya hidup yang biasa dijalaninya, kesepian atau merasa terisolasi
dari lingkungan di sekitarnya.

2.1.5 Pengertian Panti Werdha


Pengertian panti werdha menurut Departemen Sosial RI adalah suatu tempat
untuk menampung lansia dan jompo terlantar dengan memberikan pelayanan
sehingga mereka merasa aman, tentram dengan tiada perasaan gelisah maupun
khawatir dalam menghadapi usia tua. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) mendefinisikan panti werdha sebagai rumah tempat memelihara dan
merawat lansia. Secara umum, Panti werdha mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Pusat pelayanan kesejahteraan lanjut usia (dalam memenuhi kebutuhan pokok
lansia
2. Menyediakan suatu wadah berupa kompleks bangunan dan memberikan
kesempatan pula bagi lansia melakukan aktivitas-aktivitas sosial-rekreasi
3. Bertujuan membuat lansia dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat
dan mandiri. Sesuai dengan permasalahan lansia, pada umumnya
penyelenggaraan panti werdha mempunyai tujuan antara lain:
 Agar terpenuhi kebutuhan hidup lansia.
 Agar dihari tuanya dalam keadaan tentram lahir dan batin.
 Dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan mandiri.
12

2.1.6 Prinsip-Prinsip Perancangan Panti Werdha


Dalam artikel “Pynos dan Regnier”17 (1994) tertulis tentang 12 macam prinsip
yang diterapkan pada lingkungan dalam fasilitas lansia untuk membantu dalam
kegiatan-kegiatan lansia. Kedua-belas prinsip ini dikelompokkan dalam aspek
fisiologis dan psikologis, yaitu sebagai berikut:
1. Aspek fisiologis
a. Keselamatan dan keamanan, yaitu penyediaan lingkungan yang memastikan
setiap penggunanya tidak mengalami bahaya yang tidak diinginkan. Lansia
memiliki permasalahan fisik dan panca indera seperti gangguan penglihatan,
kesulitan mengatur keseimbangan, kekuatan kaki berkurang, dan radang
persendian yang dapat mengakibatkan lansia lebih mudah jatuh atau cedera.
Penurunan kadar kalsium di tulang, seiring dengan proses penuaan, juga dapat
meningkatkan resiko lansia mengalami patah tulang. Permasalahan fisik ini
menyebabkan tingginya kejadian kecelakaan pada lansia.
b. Signage/orientation/wayfindings, keberadaan penunjuk arah di lingkungan
dapat mengurangi kebingungan dan memudahkan menemukan fasilitas yang
tersedia. Perasaan tersesat merupakan hal yang menakutkan dan
membingungkan bagi lansia yang lebih lanjut dapat mengurangi kepercayaan
dan penghargaan diri lansia. Lansia yang mengalami kehilangan memori
(pikun) lebih mudah mengalami kehilangan arah pada gedung dengan
rancangan ruangan-ruangan yang serupa (rancangan yang homogen) dan tidak
memiliki petunjuk arah.
c. Aksesibilitas dan fungsi, tata letak dan aksesibilitas merupakan syarat
mendasar untuk lingkungan yang fungsional. Aksesibilitas adalah kemudahan
untuk memperoleh dan menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas bagi lanjut
usia untuk memperlancar mobilitas lanjut usia.
d. Adaptabilitas, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Lingkungan harus dirancang sesuai dengan pemakainya,
termasuk yang menggunakan kursi roda maupun tongkat penyangga. Kamar
mandi dan dapur merupakan ruangan dimana aktivitas banyak dilakukan dan
keamanan harus menjadi pertimbangan utama.
2. Aspek psikologis
a. Privasi, yaitu kesempatan bagi lansia untuk mendapat ruang/tempat
mengasingkan diri dari orang lain atau pengamatan orang lain sehingga bebas
dari gangguan yang tak dikenal. Auditory privacy merupakan poin penting
yang harus diperhatikan.
13

b. Interaksi sosial, yaitu kesempatan untuk melakukan interaksi dan bertukar


pikiran dengan lingkungan sekeliling (sosial). Salah satu alasan penting untuk
melakukan pengelompokan berdasarkan umur lansia di panti werdha adalah
untuk mendorong adanya pertukaran informasi, aktivitas rekreasi, berdiskusi,
dan meningkatkan pertemanan. Interaksi sosial mengurangi terjadinya depresi
pada lansia dengan memberikan lansia kesempatan untuk berbagi masalah,
pengalaman hidup dan kehidupan sehari-hari mereka.
c. Kemandirian, yaitu kesempatan yang diberikan untuk melakukan aktivitasnya
sendiri tanpa atau sedikit bantuan dari tenaga kerja panti werdha. Kemandirian
dapat menimbulkan kepuasaan tersendiri pada lansia karena lansia dapat
melakukan aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehari-hari tanpa bergantung
dengan orang lain.
d. Dorongan/tantangan, yaitu memberi lingkungan yang merangsang rasa aman
tetapi menantang. Lingkungan yang mendorong lansia untuk beraktivitas
didapat dari warna, keanekaragaman ruang, pola-pola visual dan kontras.
e. Aspek panca indera, kemunduran fisik dalam hal penglihatan, pendengaran,
penciuman yang harus diperhitungkan di dalam lingkungan. Indera penciuman,
peraba, penglihatan, pendengaran, dan perasaan mengalami kemunduran
sejalan dengan bertambah tuanya seseorang. Rangsangan indera menyangkut
aroma dari dapur atau taman, warna dan penataan dan tekstur dari beberapa
bahan. Rancangan dengan memperhatikan stimulus panca indera dapat
digunakan untuk membuat rancangan yang lebih merangsang atau menarik.
f. Ketidak-asingan/keakraban, lingkungan yang aman dan nyaman secara tidak
langsung dapat memberikan perasaan akrab pada lansia terhadap
lingkungannya. Tinggal dalam lingkungan rumah yang baru adalah
pengalaman yang membingungkan untuk sebagian lansia. Menciptakan
keakraban dengan para lansia melalui lingkungan baru dapat mengurangi
kebingungan karena perubahan yang ada.
g. Estetik/penampilan, yaitu suatu rancangan lingkungan yang tampak menarik.
Keseluruhan dari penampilan lingkungan mengirimkan suatu pesan simbolik
atau persepsi tertentu kepada pengunjung, teman, dan keluarga tentang
kehidupan dan kondisi lansia sehari-hari.
h. Personalisasi, yaitu menciptakan kesempatan untuk menciptakan lingkungan
yang pribadi dan menandainya sebagai “milik” seorang individu. Tempat
tinggal lansia harus dapat memberikan kesempatan bagi mereka untuk
mengungkapkan ekspresi diri sendiri dan pribadi.

2.2 Tinjauan Khusus


14

Tinjauan khusus mencakup pembahasan yang lebih dalam mengenai


pendekatan yang digunakan untuk penelitian, yakni:
2.2.1 Pengertian Arsitektur Perilaku
Dalam buku Arsitektur dan Perilaku Manusia, dijelaskan bahwa Arsitektur
adalah ruang fisik untuk aktivitas manusia yang memungkinkan pergerakan manusia
dari satu ruang ke ruang lainnya, yang menciptakan tekanan antara ruang dalam
bangunan dan ruang luar. Arsitektur dapat terbentuk karena ada persepsi dan
imajinasi manusia sebagai pengguna (Joyce Marcella, 2005:26).
Arsitektur menciptakan suasana, membentuk ruang kegiatan, yang menjadi
salah satu fasilitator atau penghalang perilaku. Akan tetapi, arsitektur sendiri tidaklah
menentukan terbentuknya perilaku. Diperlukan kesadaran bahwa keberhasilan suatu
lingkungan memenuhi kebutuhan manusia terletak pada bagaimana lingkungan
tersebut mampu mendukung terjadinya lingkungan sosial yang positif. Ada hubungan
langsung antara kebutuhan fisik dan kebutuhan sosial.

2.2.2 Model-Model Pemetaan Arsitektur Perilaku


Dalam arsitektur perilaku terdapat pemetaan perilaku (behavioral mapping)
yang berfungsi untuk memetakan perilaku pengguna. Dari beberapa teknik survey
yang dipakai dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, teknik behavioral
mapping dikembangkan oleh Ittelson sejak tahun 1970-an, yang merupakan teknik
yang sangat populer dan banyak dipakai karena relatif mudah dipahami dan memiliki
kekuatan utama pada aspek spasialnya. Artinya, dengan teknik ini akan didapatkan
sekaligus suatu bentuk informasi mengenai suatu fenomena (terutama perilaku
individu dan sekelompok manusia) yang terkait dengan system spasialnya. Dengan
kata lain, behavioral mapping secara spesifik dengan perilaku manusia di
lingkungannya.
Dikatakan oleh Sommer (1986) bahwa behavioral mapping digambarkan
dalam bentuk sketsa atau diagram mengenai suatu area dimana manusia melakukan
berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perilaku dalam peta,
mengidentifikasikan jenis dan frekuensi perilaku, serta menunjukkan kaitan antara
perilaku tersebut dengan wujud perancangan yang spesifik. Pemetaan perilaku dapat
dilakukan secara langsung pada saat dan tempat dimana melakukan pengamatan atau
dilakukan kemudian berdasarkan catatan-catatan yang dilakukan.
Terdapat dua cara untuk melakukan pemetaan perilaku (Haryadi, 2005:83)
yakni:
1. Place-centered mapping (Pemetaan Berdasarkan Tempat)
Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau sekelompok
manusia memanfaatkan, menggunakan, atau mengakomodasikan perilakunya
15

dalam suatu situasi waktu dan tempat yang tertentu. Dengan kata lain,
perhatian dari teknik ini adalah satu tempat yang spesifik baik kecil ataupun
besar. Dalam teknik ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
membuat sketsa dari tempat atau setting, meliputi seluruh unsur fisik yang
diperkirakan mempengaruhi perilaku pengguna ruang tersebut. Peneliti dapat
menggunakan peta dasar yang telah dibuat sebelumnya. Akan tetapi yang perlu
diingat bahwa peneliti harus akrab dengan situasi tempat atau area yang akan
diamati. Langkah berikutnya adalah membuat daftar perilaku yang akan
diamati serta menentukan simbol atau tanda sketsa atas setiap perilaku.
Kemudian, dalam satu kurun waktu tertentu, peneliti mencatat berbagai
perilaku yang terjadi dalam tempat tersebut dengan menggambarkan simbol-
simbol pada peta dasar yang telah disiapkan.

Gambar 3. Place Centered Map


Sumber: Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, 2005

2. Person-centered mapping (Pemetaan Berdasarkan Individu)


Berbeda dengan teknik place-centered mapping, teknik ini menekankan pada
pergerakan manusia pada suatu periode waktu tertentu. Teknik ini akan
berkaitan dengan tidak hanya satu tempat atau lokasi, akan tetapi dengan
beberapa tempat atau lokasi. Apabila pada place-centered mapping penelitian
berhadapan dengan banyak manusia, pada person-centered mapping ini peneliti
berhadapan dengan seseorang yang khusus diamati. Tahap pertama yang harus
dilakukan dengan teknik ini adalah memilih sampel person atau sekelompok
manusia yang akan diamati perilakunya. Tahap berikutnya adalah mengikuti
pergerakan dan aktivitas yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang
yang kita amati tersebut. Pengamatan ini dapat dilakukan dengan membuat
sketsa-sketsa dan catatan-catatan pada suatu peta dasar yang sudah disiapkan.
16

Pengamatan dapat dilakukan secara kontinu atau hanya pada periode-periode


tertentu saja, tergantung dari tujuan penelitiannya.

Gambar 4. Person Centered Map


Sumber: Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, 2005
2.3 Studi Literatur Panti Werdha
2.3.1 Panti Werdha Residencias assistidas

Gambar 5. Facade Residencias assistidas


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Nama : Residencias Assistidas


Lokasi : Alcácer do Sal (Portugal)
Tahun proyek : 2006-2007
Tahun konstruksi : 2008-2010
Client : Santa Casa da Misericordia de Alcácer do Sal
Kontraktor : Ramos Catarino, Sal
Arsitektur lanskap : ABAP Luis Alçada Batista
Luas Bangunan : 3640 m2
Rancangan panti werdha tersebut berlokasi di Portugal yang dirancang oleh
Engitarget dan Ida, dengan luas bangunan sebesar 1560 m2 dan luas tanah sebesar
3640 m2, yang menawarkan fasilitas-fasilitas yang lengkap dan memiliki
perencanaan bangunan selayaknya di hotel dan rumah sakit, dimana pengguna
mendapatkan pelayanan seperti di hotel dan perawatan yang diperlukan seperti di
17

rumah sakit, sehingga pengguna merasa nyaman dan tidak merasa tertekan dengan
keadaannya, serta tidak merasa tidak dihargai dengan keterbatasannya.

Gambar 6. Site plan Residencias assistidas


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Gambar 7. Rooftop Residencias assistidas


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Bentuk bangunan tidak mengubah kontur tanah dan bangunan yang dirancang
menyesuaikan diri dengan kontur tanah yang ada, sehingga ini menjadi daya tarik
tersendiri dalam desainnya. Desainnya yang unik pada bagian atap dapat digunakan
sebagai jalan tanpa harus melalui tangga sehingga pengguna dapat naik melalui ekor
bangunan.

Gambar 8. Concept Design of Residencias assistidas


18

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Desain bangunannya cukup menarik karena tidak seperti bentuk panti werdha
umumnya dengan bentuk push and pull. Bagian push menjadi koridor sementara
yang pull menjadi bagian-bagian ruang kamar. Manfaat lain dari bentuk push and
pull ini bangunan dapat memanfaatkan udara dan pencahayaan alami bangunan
dengan baik. Adanya bentuk push and pull ini sendiri didasari oleh konsep bentuk
papan catur.

Gambar 9. Interior of Residencias assistidas


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Warna putih terlihat dominan pada facade dan kontras dengan lingkungan
sekitar. Massa bangunan secara keseluruhan terdiri dari massa-massa yang lebih
kecil, yang saling bersambung, dan disusun secara tak beraturan dalam tatanan yang
linear. Pencahayaan di dalam ruang mengoptimalisasi cahaya alami melalui konsep
push and pull. Cahaya yang masuk ke dalam bangunan menggunakan cahaya dari
skylight. Disamping itu ada juga penerangan buatan yang berupa indirect light, yang
tersembunyi di antara plafon dan dinding.

Gambar 10. Corridor of Residencias assistidas


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015
19

Interior bangunan didominasi dengan warna putih, baik lantai, dinding, dan
plafon terlihat agak mengkilap. Elemen bangunan banyak didominasi oleh material
beton, aluminium, dan kaca. Meskipun design bangunan didominasi oleh warna putih
yang monokrom, tidak lantas membuat suasana lorong menjadi mencekam.

2.3.2 Veronica House Elderly Care Facility

Gambar 11. Facade Veronica House Elderly Care Facility


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Nama : Veronica House Elderly Care Facility


Lokasi : Stuttgart, Germany
Tahun proyek : 2010
Arsitek : Norman Binder dan Andrew Thomas Mayer
Panti Werdha yang berlokasi di Stuttgart, Germany yang didesain oleh Norman
Binder dan Andrew Thomas Mayer tersebut merupakan sebuah panti yang berubah
fungsi dan di renovasi untuk perencanaan tempat tinggal kaum lansia. Lantai
dasarnya terdiri dari cafe umum, ruang rapat, ruang staff. Ruang administrasi berada
di lantai atas dan di antara kedua lantai terdapat ruang komunitas dan tempat tinggal
untuk lansia dengan 12 tempat tidur di setiap lantainya.
20

Gambar 12. Communal Area of Veronica House Elderly Care Facility


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Struktur di dalam disesuaikan dengan bentuk dan aktivitas lansia. Untuk


mengimplementasikan desain yang baik, berbagai hal yang berhubungan dengan
desain bangunan dipertimbangkan dalam perencanaan. Tempat tinggal mengarah ke
utara dan terdapat sebuah dapur yang besar sekaligus merupakan tempat untuk
berkumpul dan bersantai. Orientasi dapur mengarah ke selatan dan menghadap taman
dan teras.

Gambar 13. Interior of Veronica House Elderly Care Facility


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Gambar 14. Plan of Veronica House Elderly Care Facility


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

2.3.3 The Hodos Centre for the Elderly


21

Gambar 15. Facade The Hodos Centre for the Elderly


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Nama : The Hodos Centre for the Elderly


Lokasi : Hodos, Slovenia
Tahun proyek : 2010
Arsitek : Ravnikar Potokar
Luas Bangunan : 2473m2
Perancangan panti werdha tersebut terletak di Hodos, Slovenia oleh seorang
arsitek yang bernama Ravnikar Potokar. Proyek tersebut dibangun pada tahun 2010
dengan areanya seluas 2473m2.

Gambar 16. Communal Area of The Hodos Centre for the Elderly
Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Lokasinya yang berada di tengah-tengah pusat desa Hodos, dengan bentuk L di


desain dengan bentuk modern, dan di cat merah bata.
22

Gambar 17. Section of The Hodos Centre for the Elderly


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Bangunan tersebut didesain dengan memperhatikan aspek-aspek perancangan


panti werdha dan desain lingkungan yang baik. Penggunaan elemen-elemen
bangunan berupa kisi-kisi yang sekaligus facade pada bangunan memaksimalkan
cahaya matahari yang masuk ke bangunan. Pada koridor-koridor terbentuk garis
komunikasi dan menjadi sebuah tempat bersosialisasi dengan alam.

Gambar 18. Interior of The Hodos Centre for the Elderly


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

2.3.4 Armstrong Place Senior Housing

Gambar 19. Facade Armstrong Place Senior Housing


23

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Arsitek : David Baker & Partners


Lokasi : San Fransisco, California, USA
Client : BRIDGE Housing
Kontraktor : Nibbi Brother General Contractors
Tahun Proyek : 2011
Luas Area Proyek : 131,800 m2
Pembangunan kompleks untuk lansia ini berada di bekas kawasan industri,
dengan campuran perumahan yang inovatif. Konsep townhomes yang diterapkan
pada perumahan lansia ini untuk menghindari para lansia terisolasi dengan
kehidupan sendiri.

Gambar 20. View of Armstrong Place Senior Housing


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Desain yang menarik oleh sang arsitek dengan menempatkan sebuah open
space di tengah-tengah hunian yang besar berupa ruang sosialisasi atau vocal point
bagi penghuni townhome, dimana ruang terbuka tersebut dilengkapi dengan taman,
tempat duduk dan jalan setapak dengan landscape menarik dan semua balkon
penghuni berorientasi kepada ruang terbuka tersebut dan saling berhadapan sehingga
dapat menciptakan kebersamaan antar penghuni.
24

Gambar 21. Concept Design of Armstrong Place Senior Housing


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Beberapa ruangan pada hunian di pull dan pada bagian yang di pull
menggunakan material yang contrast sehingga bentuk bangunan tidak monoton dan
lebih menarik secara estetik. Pedestrian didesain dengan 2 tipe yang berbeda, ada
yang tegak lurus dan ada yang berbelok-belok yang tujuannya agar lansia selaku
pengguna yang berjalan di sekitar tapak tidak merasa bosan dan dapat
menikmatinya.

Gambar 22. Section of Armstrong Place Senior Housing


Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Dari 124 townhomes, 64 unit merupakan unit dengan 3 dan 4 kamar tidur
supaya mereka dapat hidup secara berkeluarga. Beberapa elemen dirancang untuk
kebutuhan akses kursi roda, seperti lebar tangga, lift dan pedestrian dengan
memperhatikan standar desain panti werdha yang baik dan benar.
Berdasarkan keempat studi literatur diatas, dapat dilihat perbandingan dalam
tabel dibawah ini:

Tabel 6. Perbandingan Studi Literatur

Sumber: Dokumen Pribadi

Dari perbandingan-perbandingan dan penjelasan di atas, mempertegas teori-


teori sebelumnya bahwa:
1. Vegetasi merupakan salah satu faktor penting dalam merancang desain untuk
panti werdha
2. Lokasi perancangan perlu memperhatikan kaitannya dengan kondisi
lingkungan sekitar, dengan letak yang strategis dan memenuhi standar desain
panti werdha yang baik dan benar
3. Perlu adanya vocal point atau ruang terbuka yang di desain semenarik
mungkin yang menjadi ruang komunal bagi penghuni
25

4. Perlu desain ruang yang dapat mewadahi aktivitas lansia secara bersamaan
sehingga mereka juga dapat saling berinteraksi satu sama lain
5. Dengan menyediakan ramp bagi pengguna untuk menuju ke atap bangunan
merupakan suatu desain yang menarik, namun tidak efektif karena diperlukan
lahan yang sangat besar dan perlu memperhatikan aspek-aspek yang mencakup
kenyamanan dan keamanan bagi lansia sebagai penghuni
6. Konsep push and pull terdapat pada beberapa desain panti werdha dan dapat
menjadi bagian desain yang menarik dan berfungsi untuk mendapatkan udara
dan pencahayaan alami dengan lebih efisien.

2.4 Alur Kerangka Berpikir

PEMILIHAN TOPIK
Environmentally Sustainable, Healthy and Livable Human Settlement

PEMILIHAN TEMA
Pendekatan Arsitektur Perilaku

LATAR BELAKANG RUMUSAN MASALAH


 1. Jumlah lansia yang terus meningkat 1. Kebutuhan ruang dan perhatian pada
 2. Kehidupan aktivitas Jakarta yang aktivitas lansia
padat 2. Wujud perencanaan lingkungan pada
 3. Kurang sarana yang baik dan panti werdha yang menunjang kebutuhan
memenuhi standar dan aktivitas lansia

TUJUAN PENELITIAN

LANDASAN TEORI

UMUM KHUSUS
 Lansia Arsitektur Perilaku
 Panti Werdha

METODE PENELITIAN
Kualitatif
FEEDBACK

ANALISA DAN BAHASAN


Analisa aspek bangunan, lingkungan, dan
manusia khususnya terkait dengan perilaku

KESIMPULAN PENELITIAN

SKEMATIK DESAIN
26

PERANCANGAN

Gambar 23. Alur Kerangka Berpikir


Sumber: Dokumen Pribadi

Anda mungkin juga menyukai