Anda di halaman 1dari 20

A.

LATAR BELAKANG

Indonesia termasuk salah satu negara kesatuan. Negara kesatuan disebut

juga dengan uniterisme atau eenbeistaat, ialah suatu negara merdeka dan

berdaulat, dimana di seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah

(pusat) yang mengatur seluruh daerah, jadi tidak terdiri dari beberapa daerah

yang berstatus negara bagian (deelstaat) atau negara dalam negara. Dengan

demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu

pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaaan serta wewenang tertinggi

dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijakan pemerintahan dan

melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah, di

dalam maupun di luar negeri.1

Sebelum perubahan UUD2 1945, Republik Indonesia menganut prinsip

supremasi MPR3 sebagai salah satu bentuk varian sistem supremasi parlemen

yang dikenal didunia. Paham kedaulatan rakyat yang dianut diorganisasikan

melalui pelembagaan MPR yang dikontruksikan sebagai lembaga penjelmaan

seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat yang disalurkan melalui prosedur

perwakilan politik (political representation) melalui DPR4, perwakilan daerah

(regional representation) melalui Utusan Daerah, dan perwakilan fungsional

(functional representation) melalui Utusan Golongan. Ketiganya dimaksudkan

untuk menjamin agar kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat benar-benar

1
Trianto dkk, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2007. hal 139
2
UUD (Undang-Undang Dasar)
3
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
4
DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat )

1
tercermin dalam keanggotaan MPR sehingga lembaga yang mempunyai

kedudukan tertinggi tersebut sah disebut sebagai penjelmaan seluruh rakyat.

Sebagai organ negara atau lembaga negara yang diberi kedudukan tertinggi,

sehingga Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan negara diharuskan tunduk

dan bertanggung jawab. Lembaga MPR itu disebut sebagai pelaku tertinggi

kedaulatan rakyat bahkan dalam Pasal I ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan

dirumuskan dengan kalimat : ”Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.5

Sekarang, ketentuan Pasal I ayat (2) tersebut diubah rumusannya menjadi

“Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar”. Rumusan ini dimaksudkan untuk mempertegas bahwa (a) Kedaulatan

atau kekuasaan tertinggi itu berada dan berasal atau bersumber dari rakyat

seluruhnya; (b) Kedaulatan rakyat tersebut harus pula diselenggarakan atau

dilaksanakan menurut ketentuan UUD itu sendiri; dan (c) Organ pelaku atau

pelaksana prinsip kedaulatan rakyat itu tidak terbatas hanya MPR saja,

melainkan semua Lembaga Negara adalah juga pelaku langsung atau tidak

langsung kekuasaan yang bersumber dari rakyat yang berdaulat tersebut. DPR

adalah pelaku kedaulatan rakyat dibidang pembentukan undang undang,

sedangkan Presiden dan Wakil Presiden adalah pelaksana kedaulatan rakyat

dibidang pemerintahan negara. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan

Badan Pemeriksa Keuangan yang juga dipilih oleh rakyat secara tidak langsung

5
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Perss,
2011. hal 149

2
dapat pula disebut sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat dibidang

tugasnya masing-masing.6

Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur

kelembagaan Republik Indonesia terdapat delapan buah organ negara yang

mempunyai kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan

konstitusional dari UUD. Kedelapan organ tersebut adalah:

1. Dewan Perwakilan Rakyat;

2. Dewan Perwakilan Daerah;

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat;

4. Badan Pemeriksa Keuangan;

5. Presiden dan Wakil Presiden;

6. Mahkamah Agung;

7. Mahkamah Konstitusi;

8. Komisi Yudisial.

Disamping kedelapan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga

atau institusi yang di atur kewenangannya dalam UUD, yaitu:

1. Tentara Nasional Indonesia;

2. Kepolisian Negara Indonesia;

3. Pemerintah Daerah;

4. Partai Politik.

6
Ibid., hal 150

3
Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut

fungsinya, namun kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan undang-

undang, yaitu (1) bank sentral yang tidak disebutkan namanya “Bank

Indonesia”, dan Komisi Pemilihan Umum yang juga bukan namanya karena

ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan

Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiaran pemilihan umum

merupakan lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangan dari

undang-undang.7

Oleh karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara

kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar

(constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya

berdasarkan perintah Undang-Undang (Legislatively entrusted power), bahkan

dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangan berasal

dari/atau bersumber dari Keputusan Presiden.8

Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang

mengatur dan menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara dengan didukung oleh sistem tertentu terhadap setiap penyimpangan

terhadapnya. Bentuk-bentuk aturan seperti itu tumbuh sendiri dalam pergaulan

hidup bermasyarakat dan bernegara ataupun sengaja dibuat menurut prosedur-

prosedur yang ditentukan dalam sistem organisasi kekuasaan dalam

masyarakat yang bersangkutan. Makin maju dan kompleks kehidupan suatu

7
Ibid., hal 151
8
Ibid., hal 152

4
masyarakat, makin berkembang pula tuntutan keteraturan dalam pola-pola

perilaku dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan akan keteraturan ini

kemudian melahirkan sistem keorganisasian yang makin berkembang menjadi

semacam organizational imperative. Makin maju suatu masyarakat, semakin

berkembang pula kecenderungan masyarakatnya untuk mengikatkan diri

dalam sistem keorganisasian yang teratur.9

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan

dalam penyelenggaraaan kekuasaan negara. Upaya pembatasan kekuasaan itu

dilakukan dengan mengadakan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan

internal kekuasaan negara itu sendiri. Berdasarkan Perubahan Pertama

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kehadiran Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) juga dalam Pasal 20, yang diadopsikan dalam naskah UUD 1945 di

mana DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang memiliki fungsi

legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945

tergambar jelas bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan,

lembaga utamanya adalah DPR.10

DPR merupakan Lembaga legislatif yang para anggotanya terpilih

melalui mekanisme Pemilihan Umum. Sebagai sebuah institusi,

keberadaannya sangat penting dan strategis dalam melaksanakan perannya

guna mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean

9
Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta. Sinar
Gradika, 2012. hal 1-2
10
Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010. hal 134

5
governance) dalam menjalankan fungsinya perlu senantiasa mengedepankan

komitmen moral dan profesionalitas. Komitmen tersebut menjadi sangat

penting sebagai upaya untuk mewujudkan DPR yang produktif, terpecaya, dan

beribawa. Pembentukan DPR dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur

parlemen Indonesia. Perubahan terhadap ketentuan tersebut diadopsikan dalam

naskah Perubahan Pertama dan Kedua, DPR merupakan lembaga perwakilan

berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat berdasarkan jumlah penduduk

secara generik.11

Kedudukan DPR adalah kuat, dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh

Presiden. Untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan kedudukan dan

peran dasar, DPR memerlukan aturan main yang tegas dan jelas yang

diperuntukan bagi dirinya sendiri maupun dalam hubungan kerjanya dengan

badan pemerintahan lainnya. Dalam tradisi tata kelola pemerintahan di

Indonesia, aturan main ini dirumuskan dalam Undang-Undang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD serta Tata Tertib (Tatib) DPR yang berlaku khusus untuk

urusan internal DPR, yang termasuk dalam Tata tertib DPR adalah batasan-

batasan perilaku anggota yang secara khusus dirumuskan dalam Kode Etik

dengan unit penegaknya. Ketentuan tersebut juga dimaksudkan untuk

menjadikan DPR berfungsi secara optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat

11
A.M. Fatwa, Potret Konstitusi, Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kompas, 2009.
hal 313

6
sekaligus memperkukuh pelaksanaan saling mengawasi dan saling

mengimbangi oleh DPR.12

Setiap lembaga-lembaga negara memiliki alat kelengkapan, dimana alat

kelengkapan ini dibentuk dan dijalankan oleh anggota dari setiap lebaga-

lembaga negara tersebut untuk membantu setiap lembaga negara dalam

menjalankan peran dan fungsinya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Juga dapat mengawasi individu Anggota dewan dalam menjalankan suatu

jabatan yang di ampunya.

Seperti halnya MKD, yaitu salah satu alat kelengkapan dalam DPR yang

notabene diposisikan untuk mengawasi secara internal setiap anggota dewan di

DPR. Sebagai contoh pada kasus yang terjadi dalam ruang lingkup DPR salah

satunya mengenai ketua DPR yang diduduki oleh Setya Novanto periode 2014-

2019. Jakarta13 - Kegaduhan politik sepanjang tahun 2015 ini ditutup dengan

prahara 'papa minta saham' yang berujung mundurnya Setya Novanto dari kursi

Ketua DPR RI. Kasus 'papa minta saham' menjadi tontonan politik paling

hangat sepanjang tahun 2015. Adalah Menteri ESDM Sudirman Said yang

melaporkan Setya Novanto saat itu masih Ketua DPR ke Mahkamah

Kehormatan Dewan. Sudirman melaporkan Setya Novanto terkait pencatutan

nama Presiden dan Wapres dalam perbincangan tentang saham Freeport antara

12
Ibid., hal 116
13
https://news.detik.com/berita/3107222/panasnya-kasus-papa-minta-saham-mundurnya-
novanto-dari-kursi-ketua-dpr . Diakses pada senin, 19 juni 2017 pukul 15:13

7
Presiden PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, Setya Novanto, dan

pengusaha Reza Chalid.

Dari Permasalahan yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk

mengkaji dan meneliti permasalahan dengan Judul : Peran Mahkamah

Kehormatan Dewan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan

permasalahan yaitu :

1. Bagaimana Peran Mahkamah Kehormatan Dewan Berdasarkan

Undang – Undang No. 17 Tahun 2014 ??

C. KERANGKA TEORI

Sesuai dengan tema penelitian ini yaitu “Peran Majelis Kehormatan

Dewan Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” teori yang penulis gunakan

sebagai krangka acuan untuk menelaah permasalahan diatas terdiri atas Negara

Hukum Grand theory, dan Trias Politica Apply Theory.

Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang mempelajari berbagai

aspek teoritis maupun praktis dari hukum positif tertentu secara tersendiri dan

dalam keseluruhannya secara interdisipliner, yang bertujuan memperoleh

8
pengentahuan dan penjelasan yang lebih baik, lebih jelas dan lebih mendasar

mengenai hukum positif yang bersangkutan.14

Trias politica sebagai Apply Theory untuk memudahkan peneliti dalam

mengurai permasalahan dari tema yang diambil oleh peneliti.

1. Negara Hukum

Pemikiran atau konsepsi manusia merupakan anak zaman yang lahir

dan berkembang dalam situasi kesejarahan dengan berbagai pengaruhnya.

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum juga lahir dan

berkembang dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep

negara hukum dianggap sebagai konsep universal, tetapi pada dataran

implementasinya ternyata memiliki karakteristik beragam. Hal ini karena

pengaruh situasi kesejarahan tadi, di samping pengaruh falsafah bangsa,

ideologi negara, dan lain-lain.15

Terdapat berbagai macam model negara hukum seperti (1) negara

hukum nomokrasi islam, (2) negara hukum menurut konsep Eropa

Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, (3) negara hukum menurut

konsep Anglo-Saxon (rule of law), (4) konsep socialist legality, dan (5)

konsep negara hukum Pancasila.16

Negara ada tidak dengan sendirinya, melainkan secara sadar

diciptakan oleh rakyat. Rakyat inilah yang ketika negara terbentuk,

14
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2011. hal 87
15
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2013. hal 1
16
Ibid., hal 1

9
menjadi warga negara dari negara tersebut. JJ Rosseau mengemukakan

bahwa yang dimaksud dengan rakyat bukanlah penjumlahan dari

individu-individu, tetapi satu kesatuan individu-individu yang

mempunyai kehendak yang sama yang disebut dengan volonte generale.

Jika rakyat diartikan penjumlahan individu-individu, maka kehendak

yang ada padanya bukanlah volonte generale, melainkan volonte de tous.

Jika negara dipegang oleh beberapa orang dan kehendak negara

merupakan kehendak dari beberapa orang ini, maka volonte generale akan

jatuh menjadi volonte de corps. Begitu pun jika negara dipegang oleh satu

orang yang mempunyai kehendak sendiri, maka volonte generale akan

jatuh menjadi volonte particuliere.17 Volonte generale sebagai wujud

kehendak bersama untuk bernegara didasari pada cita bersama untuk

mencapai tujuan bernegara. Cita bersama inilah yang kemudian menjadi

staatsidee dari suatu negara. Negara hukum dalam pengertiannya sebagai

staatsidee menempatkan hukum sebagai penuntun dalam

penyelenggaraan negara. Konsep ini tidak muncul secara sambil lalu,

melainkan lahir dari situasi kesejarahan di mana absolutisme tumbuh dan

berkembang. Pengaruh dari situasi kesejarahan itu pula yang menjadikan

implementasi negara hukum dipraktikkan secara beragam. Meski negara

hukum diimplementasikan secara beragam, motif yang

17
Volonte generale ditujukan untuk kepentingan umum, volonte de corps ditujukan untuk
kepentingan golongan, volonte de tous ditujukan untuk kepentingan semua orang tetapi bukan
sebagai satu kesatuan, sedangkan volonte particuliere ditujukan untuk kepentingan perseorangan.
Lihat: JJ von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pembangunan,
1988, Cet. Ke 6, hlm. 171 - 182

10
melatarbelakanginya sama, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah

dengan hukum. Mengenai unsur-unsur dari negara hukum, Friedrich

Julius Stahl mengemukakan adanya empat unsur pokok negara hukum,

yaitu:

1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia;


2. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
3. Negara didasarkan pada Trias Politika; dan
4. Adanya peradilan administrasi negara.18

Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan

terjemahan langsung dari rechsstaat. Konsep rechsstaat lahir dari suatu

perjuangan menentang absolutism sehingga sifatnya revolusioner,

sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini

tampak dari isi atau kriteria rechsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep

rechsstaat bertumpu atas system hukum continental yang disebut civil

law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas system hukum

common law. Karakteristik civil law adalah administrative, sedangkan

karakteristik common law adalah judicial.19

2. Trias Politica

Keberadaan fungsi legislatif DPR ini tidak dapat dilepaskan dari

konsep Trias Politica yang ditawarkan oleh Montesquieu yang berlatar

belakang kengeriannya menyaksikan sistem pemerintahan yang

memutuskan kekuasaan dalam satu tangan. Menurut konsep Trias Politica

18
Muhamad Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2004. hal 89
19
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada
2006. hal 74

11
kekuasaan dalam negara dipisah-pisahkan dalam tiga bidang kekuasaan

yakni, kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Eksekutif, dan Kekuasaan

Yudikatif.

Konsep tentang lembaga dalam bahasa Belanda biasa disebut

staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga

negara, badan negara, atau disebut juga organ negara. Dalam kamus

hukum Belanda-Indonesia, kata saatsorgan itu diterjemahkan sebagai alat

perlengkapan negara. Oleh karena itu, istilah lembaga negara, organ

negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara seringkali

dipertukarkan satu sama lain.

Memang benar bahwa istilah organ, lembaga, badan, dan alat

perlengkapan itu sering kali di anggap identik dan karena itu sering saling

dipertukarkan. Akan tetapi satu sama lain sebenarmnya dapat dan

memang perlu dibedakan, sehingga tidak membingungkan. Untuk

memahami secara tepat, maka tidak ada jalan lain kecuali mengetahui

persis apa yang dimaksud, dan apa kewenangan dan fungsi yang dikaitkan

dengan organisasi atau badan yang bersangkutan.20

Trias politica dalam konsep Montesquieu maka tugas pemerintah

dalam konstitusionalisme ini hanya terbatas pada tugas eksekutif, yaitu

melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh parlemen atas nama

rakyat. Dengan demikian pemerintahan dalam demokrasi yang

20
Moh. Mahfud MD, Hukuim dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogjakarta Gama Media,
1999. hal 22

12
mempunyai peranan yang terbatas pada tugas eksekutif. Dalam kaitannya

dengan hukum konsep konstitusionalisme atau demokrasi konstitusional

abad ke-19 yang memberi peranan sangat terbatas pada negara ini disebut

negara hukum yang formal (klasik). Dalam klasifikasi yang oleh Arief

Budiman didasarkan kriteria kenetralan dan kemandirian negara konsep

demokras inkonsitusional abad ke 19 atau negara hukum formal ini bisa

disebut sebagai negara pluralisme, yaitu negara yang tidak mandiri yang

hanya bertindak sebagai penyaring berbagai keinginan dari dalam

masyarakat. Dalam negara pluralis ini setiap kebijaksanaan yang

dikeluarkan bukanlah atas inisiatif yang tibul dari kemandirian negara

melainkan lahir dari proses penyerapan aspirasi masyarakat secara penuh

melalui parlemen.21

Tidak terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh

yang amat luas dalam pemikiran kekuasaan negara. Pendapat

Montesquieu yang dikutipkan dimaknai bahwa cabang-cabang kekuasaan

negara benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan sama sekali.

Dengan pemahaman seperti itu, karena sulit untik membuktikan ketiga

cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak

pendapat yang mengatakan bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah

dipraktikkan secara murni atau tidak pernah dilahirkan dalam fakta, tidak

21
Moh.Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia ( studi tentang unteraksi
politik dan kehidupan ketatanegaraan). Op.cit., hal 27

13
realistis dan jauh dari kenyataan.22 Karena itu, jimly asshiddiqie

menyatakan :

“konsepsi trias politica yang diidealkan oleh montesquieu jelas


tidak relavan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi
mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara
ekslusif dangan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.
Kenyataan dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang
kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, bahwa ketiganya
bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya sesuai
denagn prinsip checks and balances”23
Jika disimak secara cermat, Montesquieu tidak mengatakan bahwa

antara cabang kekuasaan negara yang ada tidak punya hubungan satu

sama lainya. Montesquieu lebih menekankan pada masalah pokok,

cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu tangan

atau dalam satu organ negara. Namun secara umum dipahami,

Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat diantara cabang-

cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya

mempunyai satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan

oleh satu cabang kekuasaan negara saja. Padahal, Montesquieu

menghendaki agar fungsi satu cabang kekuasaan negara tidak dilakukan

oleh cabang kekuasaan lain atau dirangkap oleh cabang kekuasaan yang

lain. Secara ideal, fungsi teori pemisahan kekuasaan mestinya dimaknai

bahwa dalam menjalankan fungsi atau kewenangan, cabang kekuasaan

22
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi (menguatnya model legislasi parlementer
dalam sistem presidensial indonesia), Jakarta; Rajawali Pers, 2010. hal 76
23
Jimly Asshiddiie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mhkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006.
hal 17

14
negara punya eksklusivitas yang tidak boleh disentuh atau dicamputi oleh

cabang kekuasaan negara yang lain.24

Kerangka pemikiran

Negara Hukum

Trias Politica

Legislatif Yudikatif Eksekutif

DPR

MKD

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Bagaimanakah Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan

Berdasarkan Undang – Undang No. 17 Tahun 2014. Sehingga dalam

penelitian ini dengan harapan dapat menemukan jawaban atas permasalahan

yang diajukan.

E. KEGUNAAN PENELITIAN

Berdasarkan data dalam Indeks Judul Skripsi Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman di PII Fakultas Hukum Universitas Jenderal

24
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi (menguatnya model legislasi parlementer
dalam sistem presidensial indonesia), Op.cit, hal 77

15
Soedirman, Penulis tidak melihat satu skripsi pun yang berjudul Peran

Mahkamah Kehormatan Dewan Berdasarkan Undang – Undang No. 17 Tahun

2014 sebagai judul skripsinya. Dengan demikian diharapkan penulisan ini

dapat membantu menambahkan pengetahuan terhadap peran Mahkamah

kehormatan Dewan Berdasarkan Undang-Undang No 17 Tahun 2014.

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

dan pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Tata Negara serta

dapat bermanfaat dalam pengembangan pustaka Hukum Tata Negara.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat menambah

referensi kepustakaan khususnya Hukum Tata Negara di Fakultas

hukum Universitas Jenderal Soedirman dan dapat menambah

wawasan serta ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu Hukum Tata

Negara.

F. METODE PENELITIAN

1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Yuridis Normatif artinya penelitian hukum yang meletakkan hukum

sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud

16
adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-

undangan, putusan pengadilan serta doktrin (ajaran para sarjana).25

2. Metode pendekatan

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum yaitu

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus26

(case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conceptual approach).27 Apabila dalam penelitian hukum, peneliti

menggunakan statute approach sebagai metode pendekatannya, peneliti

harus mencari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu

hukum yang diajukan. Apabila peneliti menggunakan metode pendekatan

case approach, peneliti harus mengumpulkan putusan-putusan pengadilan

yang berkaitan dengan isu hukum yang diajukan. Apabila peneliti

menggunakan metode pendekatan historical approach, peneliti harus

menelaah naskah akademik suatu peraturan perundang-undangan. Apabila

peneliti menggunakan metode pendekatan comparative approach, peneliti

harus mengumpulkan peraturan perundang-undangan atau putusan

pengadilan negara lain. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah apabila

25
Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan
Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal 34
26
Case approach berbeda dengan case study. Keliru jika mencantumkan case approach
sebagai metode pendekatan dalam melakukan penelitian hukum, padahal nyata-nyata bahwa yang
ditelitinya hanya satu buah putusan. Penelitian terhadap satu buah putusan pengadilan merupakan
case study bukan case approach, dan case study bukan merupakan metode pendekatan di dalam
penelitian hukum.
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2005, Edisi
Revisi, hlm. 133

17
peneliti menggunakan metode pendekatan conceptual approach, yang

dikumpulkan bukan peraturan perundang-undangan atau putusan

pengadilan, tetapi menelusuri buku-buku hukum yang mempunyai

relevansi dengan isu hukum yang diajukan. Metode pendekatan dalam

penelitian ini mempergunakan pendekatan perundang-undangan (statute

approach), dan pendekatan kasus (case approach).

3. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Yuridis Normatif artinya penelitian hukum yang meletakkan hukum

sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud

adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-

undangan, putusan pengadilan serta doktrin (ajaran para sarjana).28

4. Suber Bahan Hukum

Jenis sumber bahan hukum yang dipergunakan di dalam penelitian

hukum dibedakan menjadi sumber bahan hukum primer berupa peraturan

perundang-undangan serta sumber bahan hukum sekunder berupa literatur-

literatur hukum.29

5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan atau materi data yang akan digunakan dalam

penelitian ini merupakan sumber data yang diperoleh :

a. Bahan Hukum Primer

28
Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan
Empiris, op.,cit, hal 34
29
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, op.,cit, hal 181

18
Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan

melakukan inventarisasi terhadap bahan hukum primer, Dalam

penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah semua

aturan/ peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

penelitian ini seperti berupa Undang-Undang Dasar, Undang-

Undang Nomer 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan

DPRD.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisa dan memahami bahan hukum primer berupa literatur

atau pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Dalam penelitian ini, bahan hukum sekuder yang digunakan adalah

literatur-literatur hukum dan non-hukum yang berkaitan dengan

penelitian ini, seperti peraturan perundang-undangan, buku-uku

literatur, karya ilmiah sarjana, dan pokok permasalahan yang diteliti.

6. Metode Penyajian Bahan Hukum

Metode pengolahan bahan hukum dalam penyusunan penelitian ini

akan diolah dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan

rasional. Keseluruhan bahan hukum yang diperoleh dihubungkan

sedemikian rupa satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok

permasalahan yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang ada.

19
7. Metode Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang diperoleh akan diuraikan secara

kualitatif yaitu menjabarkan norma-norma hukum, khususnya Hukum Tata

Negara. Dengan melihat kondisi intristik aturan hukum, ilmu hukum

mempelajari gagasan hukum yang bersifat mendasar, umum, dan teoritis.

20

Anda mungkin juga menyukai