Anda di halaman 1dari 26

Sindroma Kompartement dan Fraktur Tertutup pada Ekstremitas Bawah

Cindy Grace Asnani/102016235


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat 11510

Abstrak
Fraktur berarti deformasi atau diskontinuitas dari tulang oleh tenaga yang melebihi
kekuatan tulang. Fraktur dapat diklasifikasikan menurut garis fraktur (transversal, spiral,
oblik, segmental, komunitif), lokasi (diafise, metafise, epifise) dan integritas dari kulit serta
jaringan lunak yang mengelilingi (terbuka atau compound dan tertutup). Fraktur merupakan
cedera yang sering terjadi pada kecelakaan baik itu kecelakaan kerja, rumah tangga, maupun
lalu lintas. Angka kecelakaan di Indonesia bisa dikatakan cukup tinggi. Pada penelitian
sebelumnya di Indonesia, proporsi cedera patah tulang atau amputasi paling tinggi terjadi
karena kecelakaan lalu lintas. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kecelakaan lalu
lintas menjadi pembunuh terbesar ketiga di Indonesia setelah penyakit jantung koroner dan
penyakit tuberculosis/TBC. Namun, seringkali kejadian patah tulang tidak ditangani secara
cepat dan tepat sehingga kondisi korban kecelakaan pun menjadi semakin parah dan bahkan
fatal. Fraktur Cruris merupakan fraktur tulang panjang yang sering terjadi. Fraktur cruris
merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian
proksimal, diafisis, atau persendian pergelangan kaki. Fraktur pada lokasi ini sangat sering
dijumpai pada kecelakaan lalu lintas. Menurut data Depkes RI (2011), dari 45.987 orang
dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 14.027 orang mengalami fraktur
cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang
kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.
Kata Kunci : Fraktur, Kecelakaan, Ekstremitas Bawah
Abstract
Fracture means deformation or discontinuity of the bone by force that exceeds the
strength of the bone. Fractures can be classified according to fracture lines (transversal,
spiral, oblique, segmental, communitive), location (diaphyzed, metaphyzed, epiphise) and
integrity of the skin and soft tissue that surrounds (open or compound and closed). Fractures
are injuries that often occur in accidents be it work, household or traffic accidents. The
accident rate in Indonesia can be said to be quite high. In previous studies in Indonesia, the
highest proportion of fracture injuries or amputations occurred due to traffic accidents.
According to the World Health Organization (WHO), traffic accidents are the third largest
killer in Indonesia after coronary heart disease and tuberculosis / tuberculosis. However,
often the occurrence of fractures is not treated quickly and precisely so that the condition of
the accident victims becomes more severe and even fatal. Cruris fracture is a long bone
fracture that often occurs. Cruris fracture is a term for tibia and fibula fractures that usually
occurs in the proximal, diaphysis, or ankle joints. Fractures at this location are very common
in traffic accidents. According to data from the Ministry of Health of the Republic of
Indonesia (2011), of 45,987 people with lower limb fractures due to accidents, 14,027 people
had cruris fractures, 3,775 people had tibia fractures, 970 people had fractures on small
bones in the legs and 336 people had fibula fractures.
Keywords : Fracture, Accident, Lower Extremity

1
Pendahuluan
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang
patah dapat berupa trauma langsung, Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis
trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat
dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah
tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah
tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi, sedangkan trauma tumpul dapat
menyebabkan fraktur tertutup yaitu apabila tidak ada luka yang menghubungkan fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit.1
Data WHO tahun 2011-2012, di Indonesia terdapat 1,3 juta orang menderita fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas menjadi pembunuh terbesar ketiga di
Indonesia setelah penyakit jantung koroner dan penyakit tuberculosis/TBC. Namun,
seringkali kejadian patah tulang tidak ditangani secara cepat dan tepat sehingga kondisi
korban kecelakaan pun menjadi semakin parah dan bahkan fatal. Tetapi fraktur juga bisa
terjadi akibat faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi.
Menurut Departemen Kesehatan RI 2015 prevalensi fraktur akibat kecelakaan di
Indonesia sangat tinggi, yaitu sekitar 46,2%. Terutama 45.987 orang dengan kasus fraktur
ekstremitas bawah, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang
mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 9702 orang mengalami fraktur
pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula. Data yang di
peroleh dari DK di RSCM terdapat 235 kasus fraktur. Fraktur cruris berada di urutan 1
dengan jumlah penderita fraktur tibia sebanyak 118 atau 50,21% dan fraktur fibula sebanyak
70 atau 29,7 % selama periode tahun 2014-2015.
Anamnesa
1. Auto anamnesa
a. Keluhan utama: biarkan penderita bercerita tentang keluhan sejak awal dan apa
yang perlu dirasakan sebagai ketidak beresan, bagian apa dari
anggotanya/lokalisasi perlu dipertegas sebab ada pengertian berbeda. Kemudian
ditanyakan gejala suatu penyakit atau beberapa penyakit yang serupa sebagai
pembanding. Untuk dapat melakukan anamnesis demikian perlu pengetahuan
tentang penyakit.
b. Riwayat penyakit sekarang: bisa ditanyakan kapan fraktur, mekanisme terjadinya
fraktur, pengobatan yang telah didapat, bagaimana cara penanganannya dan

2
bagaimana hasilnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan penderita datang untuk
meminta pertolongan.
i. Nyeri/sakit
Sifat dari sakit:
Lokasi setempat/ meluas/ menjalar
Apa ada penyebabnya; misalnya trauma
Sejak kapan dan apa sudah mendapat pertolongan
Bagaimana sifatnya: pegel/ seperti di tusuk-tusuk/ rasa panas/ ditarik-
tarik/ terus menerus atau hanya waktu bergerak/ istirahat dst.
Apakah keluhan ini untuk pertama kali, atau sering hilang timbul
ii. Kekakuan;
Pada umumnya mengenai persendian. Apakah hanya kaku, atau
disertai nyeri, sehingga pergerakan terganggu?
Kelemahan;
Apakah yang dimaksudkan instability atau kekuatan otot menurun/
melemah. Kelumpuhan.
iii. Kelainan bentuk
Angulasi/ rotasi/ discrepancy (pemendekan/ selisih panjang)
Benjolan atau karena ada pembengkakan.2
c. Riwayat penyakit dahulu: ditanyakan apakah pasien dulu pernah mempunyai
penyakit yang serius, trauma, pembedahan.
d. Riwayat keluarga: Penyakit herediter atau menular misalnya apakah keluarga
pasien ada yang mempunyai penyakit Diabetis Melitus, apakah mempunyai
penyakit pada tulang.
e. Riwayat peribadi: menggambarkan hobi, olahraga, pola makan, minum alcohol,
kondisi lingkungan baik di rumah, sekolah atau tempat kerja yang mungkin ada
hubungannya dengan kondisi pasien.3

2. Allo anamnesis

Pada dasarnya sama dengan auto anamnesis, bedanya yang menceritakan adalah orang lain.
Hal ini penting bila kita berhadapan dengan anak kecil.

3
Pertolongan Pertama pada Kegawatdaruratan Fraktur Ekstrimitas

Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan


kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun fungsi
ekstrimitas seperti semula.1

Primary Survey1

Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai
sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakam
operasi dengan segera. Dalam melakukan suatu penatalaksanaan kegawatdaruratan, terdapat
prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien
dengan trauma. Tujuan dilakukannya penatalaksanaan awal adalah untuk mempertahankan
hidup, mencegah kondisi menjadi lebih buruk, dan meningkatkan kemungkinan pemulihan
kedepannya. Penatalaksanaan awal dapat dilakukan dengan pengecekan primary survey dan
secondary survey.

Primary survey terdiri dari:

a. Airway

Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi. oleh karena itu
hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan
jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara
mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien
tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal.

b. Breathing

Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan
otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian. Menjamin terbukanya airway merupakan
langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang memadai

4
menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis. Apabila pernafasan tidak
adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara
yang efektif. Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita. Pulse oxymeter adalah metoda yang
noninvansif untuk mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus.

c. Circulation

penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni
dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume darah menurun
perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. Wajah
yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis
(kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Perdarahan eksternal harus cepat
dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan cara menekan pada sumber
perdarahan baik secara manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila
terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar.
Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin.

d. Dissability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis


secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-
tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis.

Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab


yaitu, Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, Trauma pada sentral
nervus sistem, Pengaruh obat-obatan dan alkohol, Gangguan atau kelainan metabolik.

e. Exposure

Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut

5
kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang
sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.

Secondary Survey1

Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah anamnesis
dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera cedera lain yang
mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila
pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien,
yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau
mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui
dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada
cedera yang belum diketahui saat primary survey, Selain riwayat, AMPLE, penting juga
untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit

Regio Cruris:

Look : Deformitas (+/-), Edema (+/-), hematom (+/-), luka, Bullae(+/-)

Feel : Nyeri tekan (+/-), krepitasi (+/-), meraba a. Dorsalis pedis dan a.Tibialis
posterior, capillary refill time

Move : ROM ( terbatas/tidak)

Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan dalam secondary survey adalah
pemeriksaan darah dan rontgen

 Pemeriksaan Radiologi, Dengan pemeriksaanradiologis, dapat ditentukan lokalisasi


fraktur, jenis fraktur, sama ada transversal, spiral oblikatau rotasi/angulasi. Dapat
ditentukan apakah fraktur pada tibia dan fibula atau tibia saja ataufibula saja. Juga dapat
ditentukan apakah fraktur bersifat segmental. Foto yang digunakanadalah foto polos AP
dan lateral. Hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan rontgen adalah harus meliputi dua
sendi (proksimal dan distal), dua sisi (AP dan lateral), dan dua tulang (kanan dan kiri).
Dapat juga dimanfaatkan untuk mengevaluasi hasil terapi.
 Pemeriksaan Laboratorium, pada fraktur, test laboratorium yang perlu diketahui:
hemoglobin, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED)

6
meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pemeriksaan laboratorium ini juga
penting untuk mengetahui adanya infeksi atau komplikasi yang terjadi. Jika terjadi
infeksi, akan ditandai dengan peningkatan leukosit. Ca dan P meningkat saat masuk masa
penyembuhan.
Gejala Klinis
Ditemukan gejala fraktur berupa pembengkakan, nyeri dan sering ditemukan
deformitas misalnya penonjolan tulang keluar kulit. Sindroma kompartemen bisa muncul di
awal cedera maupun kemudian. Sehingga perlu pemeriksaan serial dan perhatian pada
ekstremitas yang mengalami cidera. Sindroma kompartemen terdiri dari: pain,
pallor, paralysis, paresthesia, pulselessness.4,5
Pemeriksaan Fisik
Pasien yang mengalami fraktur diafisis tibia merasakan nyeri di tungkai setelah mengalami
kecelakaan. Informasi mengenai mekanisme trauma dan waktu terjadinya, apakah ada reduksi
atau manipulasi yang dilakukan pada ekstremitas, dan riwayat medis pasien harus didapatkan
dengan lengkap saat terjadi fraktur.6
- Inspeksi (Look)
Seluruh pakaian yang melekat pada ekstremitas pasien harus dilepaskan dari tungkai.
Gambaran dari ekstremitas tersebut harus dicatat adakah luka terbuka, memar, bengkak, dan
hangat pada perabaan. Luka harus diperiksa ukurannya, lokasinya, dan derajat
kontaminasinya.6
a. Deformitas
Deformitas sering menunjukkan level dari fraktur. Dari adanya kelainan bentuk, bisa
diduga adanya fraktur dari tulang.6
b. Membandingkan dengan tungkai yang kontralateral
Untuk melihat apakah ada udem di bagian tungkai, maka tungkai yang sakit di
bandingkan dengan yang sehat. Beratnya udem juga memperlihatkan tingkat
keparahan dari cidera.6
c. Warna
Warna dari ekstremitas memberikan informasi mengenai perfusi dari tungkai. Warna
yang kemerah-merahan menunjukkan oksigenasi darah di kapiler baik. Warna yang
keabu-abuan menunjukkan penurunan dari oksigenasi jaringan.6
d. Gerakan
Setelah melihat tungkai pasien, seorang dokter harus melihat apa yang bisa pasien
lakukan dengan tungkainya sebelum melakukan palpasi atau memanipulasinya.
7
Perhatikan saat fleksi, ekstensi dari lutut, ankle, dan ujung kaki. Terkadang pasien
merasa sakit pada bagian ini saat pemeriksaan.6
- Palpasi (Feel)
a. Pulsasi
Jangan lupa untuk meraba A. poplitea, A. dorsalis pedis, dan A. tibialis posterior.6
b. Palpasi langsung
Jika terasa nyeri dan krepitasi pada palpasi, kemungkinan ada fraktur.6
- Fraktur Terbuka
Jika terdapat fraktur terbuka, yang berarti terdapatnya luka terbuka, maka harus
direncanakan untuk irigasi dan debridemant. Jika ada luka terbuka yang jaraknya jauh dari
fraktur terbuka, perlu diperiksa apakah di bawah luka tersebut ditemukan fraktur terbuka, dan
ini dilakukan setelah luka dibersihkan dengan antiseptik dan harus dengan instrumen steril.6
Pemeriksaan Khusus
Tes Khusus- Tes stabilitas sendi lutut yaitu3:

 Anterior Drawer design


 Posterior Drawer design
 Test Mc-Murray: Pada posisi tungkai bawah rotasi eksterna 15, bunyi snap yang
teraba atau terdengar pada waktu tungkai bawah pasien digerakkan dari posisi
ekstensi ke fleksi 90 menunjukkan adanya robekan meniskus medial. Bunyi yang
sama terdengar pada waktu tungkai bawah dirotasi internal 30& digerakkan dari
fleksi ke ekstensi, menunjukkan robekan pada meniskus lateral

Gambar 1: Anterior dan Posterior Drawer Test

8
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium
untuk mendapatkan gambaran penyakit secara dini dan mencakup antara lain:
 Pemeriksaan darah rutin(Hemoglobin,Leukosit,Hematokrit,Thrombosit)

Pemeriksaan Radiologi
Foto rontgen mencakup dari femur dan ankle. Dengan pemeriksaan radiologis, dapat
ditentukan lokalisasi fraktur, jenis fraktur, sama ada transversal, spiral oblik atau
rotasi/angulasi. Dapat ditentukan apakah fraktur pada tibia dan fibula atau tibia saja atau
fibula saja.6 Juga dapat ditentukan apakah fraktur bersifat segmental. Foto yang digunakan
adalah foto polos AP dan lateral. CT scan tidak diperlukan.6
Pemeriksaan X-Ray mengikut Rules of Two:

 2 posisi (Antero posterior dan lateral) lihat contoh gambar dibawah ini
 2 Sendi( Sendi atas& bawah tulang yang patah)
 2 Ekstremitas (kanan & kiri)- Anak-anak

Working Diagnosis (WD)


Fraktur tertutup 1/3 proksimal tibia dextra dengan sindroma kompartemen cruris dextra.
Definsi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan dan atau tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur cruris atau
tibia adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya yang
terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikena stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur kruris merupakan istilah untuk patah tulang tibia dan
fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian
pergelangan kaki.

9
Etologi
Menurut Apley bahwa penyebab terjadinya fraktur dibedakan menjadi 4 macam yaitu a)
fraktur karena trauma langsung ( direct violence ), b) fraktur karena trauma tak langsung
(indirect violence), c) fraktur akibat kelelahan tulang (fatique fracture) dan d) karena kondisi
patologis (pathological fracture ). Fraktur yang terjadi pada kasus ini adalah fraktur karena
trauma langsung pada tibia plateu akibat kecelakaan lalu lintas.
Mekanisme trauma
Fraktur diafisis tibia terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan menimbulkan fraktur
tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan fraktur tipe
spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas antara 1/3 bagian proximal dan 1/3 bagian
distal. Tungkai bawah bagian depan sangat sedikitditutupi otot sehingga fraktur pada daerah
tibia sering bersifat terbuka. Penyebab utama terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas.
Trauma yang dapat menyebabkan patah tulang dapat berupa trauma langsung,misalnya
benturan pada tungkai bawah menyebabkan patahnya tulang tibia dan dapat juga berupa
trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang
klavikula atau radius distal patah. Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma,
kekuatan dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang(fraktur terbuka).

 Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum
tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut Terjadi perdarahan, kerusakan
tulang dan jaringan sekitarnya.
 Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanalis medullaris antara tepi tulang
dibawah periostium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon
inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik yang ditandai: vasodilatasi dari plasma
dan leukosit.
 Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
 Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum
tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut
masuk ke dalam pembuluh darah yang mensuplai darah pada organ-organ yang lain.
 Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemia dan menyebabkan

10
protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya
edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung saraf, yang bila berlangsung lama
bisa menyebabkan Compartment Syndrome.
 Tulang yang mengalami fraktur,jaringan lunak di sekitarnya mengalami
kerusakan,periostium terpisah dari tulang,terjadi pendarahan dan membentuk bekuan
darah sehingga terbentuk jaringan granulasi,sel osteogenik berdiferensiasi menjadi
kondroblas dan osteoblas. Terjadi pembentukan kalus di sekitar lokasi fraktur dan
kembali membentuk tulang yang intak.

Klasifikasi Fraktur.⁶
1. Menurut Depkes RI (1995), berdasarkan luas dan garis fraktur meliputi:
 Fraktur Komplit- Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas
sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang
dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
 Fraktur Inkomplit-Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan
garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks (masih ada
korteks yang utuh).
2. Menurut Black dan Matassarin(1993), fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia
luar meliputi:
 Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi,kulit masih utuh dan
tulang tidak menonjol melalui kulit.
 Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit karena ada hubungan
dengan dunia luar,maka berpotensi mendapat infeksi.
3. Menurut Long(1996) fraktur dibagi menurut garis patah tulang yaitu:

Jenis Fraktur Penjelasan


Linier Fraktur berbentuk 1 garis lurus biasanya pada antebrachii, cruris
atau cranium. Fraktur yang tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang. Pada fraktur ini mudah dikontrol dengan bidai gips.
Cominutiva Biasa pada trauma hebat atau terkena peluru. Terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
Spiral dan Traumanya bersifat rotary dan diikuti interposisi dengan jaringan
oblique sekitarnya, biasa pada antebrachii dan cruris. Yang oblique, garis
patahnya membentuk sudut terhadap tulang.

11
Avulsi Fraktur yang disertai dengan robekan ligament, tendon, dan otot
(memisahkan fragmen tulang pada tempat insersi tendon ataupun
ligament)
Epifise Merupakan pure cartilaginous fraktur yang mengenai epifise.
Salter&Harris membagikan fraktur ini kepada 5 tipe.
Impresi/Kompresi Fraktur berbentuk linier atau kominutiva dimana ada fragmen yang
menekan ke dalam. Fraktur Kompresi biasa terjadi pada columna
vertebralis.
Greenstick Fraktur tidak sempurna, sering terjadi pada anak- anak, Korteks
tulangnya sebagian masih utuh begitu juga periosteumnya. Fraktur
ini akan segera sembuh dan mengalami remodeling ke bentuk dan
fungsi normal.
Segmental Dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darah. Sulit ditangani karena
biasanya salah satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah
menjadi sulit untuk menyembuh sehingga perlu proses pembedahan.

Gambar 5: Jenis Fraktur Tulang


Gejala Fraktur Tulang:

1) Nyeri: Dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme
otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.

12
2) Bengkak/oedema: Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang
terlokalisir pada daerah fraktur dan daerah di jaringan sekitarnya.

3) Memar : Disebabkan karena pendarahan dibawah kulit.

4) Spasme Otot: Kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar fraktur.

5) Penurunan sensasi: Akibat kerusakan saraf, terkenanya saraf karena oedema.

6) Gangguan fungsi: Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur,nyeri atau


spasme otot paralysis.
7) Mobilitas abnormal: Kebanyakannya terjadi pada fraktur tulang panjang.
8) Krepitasi: Rasa gemertak yang terjadi jika bagian-bagian tulang digerakkan.
9) Deformitas: Abnormalitas dari tulang hasil trauma dan pergerakan otot yang
mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal.
10) Shock hipovolemik: Terjadi sebagai kompensasi jika terjadi pendarahan hebat.

13
Patofisiologi

14
Komplikasi

Komplikasi Lokal:
Segera -Kulit abrasi,laserasi,penetrasi
(Komplikasi yang -Pembuluh darah robek
terjadi saat -Sistem saraf: Sumsum tulang belakang,saraf tepi motorik dan
fraktur atau sensorik.
segera setelahnya) -Otot
-Organ dalam: Jantung,paru,hepar,limpa dan kandung kemih(fraktur
pelvis)
Umum:
-Rudapaksa/fraktur multiple
-Syok: Hemoragik,neurogenik
Komplikasi Dini Lokal:
(Komplikasi yang -nekrosis kulit, gangren, compartment syndrome, thrombosis
terjadi beberapa vena,infeksi sendi, osteomyelitis.
hari setelah Umum:
kejadian) -Acute Respiratory Distress Syndrome,emboli paru,tetanus.
Komplikasi Lama Lokal:
(Komplikasi -sendi: ankilosis fibrosa,ankilosis osal.
terjadi setelah -tulang: gagal taut/salah taut.distrofi reflex,osteoporosis
fraktur tulang pascatrauma,gangguan pertumbuhan,osteomielitis dan fraktur
lama) berulang.
-Otot/tendo: penulangan otot,rupture tendon.
-Saraf: kelumpuhan saraf lambat
Umum:
-Batu ginjal akibat imobilisasi lama di tempat tidur.

15
Komplikasi umum post operasi
1) Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupainternal fiksasi yang
dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karenaluka yang tidak steril.
2) Delayed union
Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulangtetapi terhambat
yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinyaperedaran darah ke fragmen.
3) Non union
Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5bulan mungkin
disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum danpergerakan pada tempat fraktur .
4) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanyadefisiensi suplay darah.
5) Mal union
Terjadi penyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benarseperti adanya angulasi,
pemendekan, deformitas atau kecacatan.
Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan operasi yaitu kerusakanjaringan dan
pembuluh darah pada daerah yang dioperasi karena incisi. Pada lukaoperasi yang tidak steril
akan terjadi infeksi yang dapat menyebabkan prosespenyambungan tulang dan penyembuhan
tulang terlambat.
Penatalaksanaan

Prinsip umum penanganan fraktur terdiri dari 4R:

 Recognition-Membuat diagnosis yang benar berdasarkan anamnesis,waktu kejadian


dan lokalisasi yang cedera.
 Reposition-Mengembalikan tulang yang patah ke arah/alignment yang benar,
pengembalian fragment distal terhadap proksimal dan memastikan kedudukan serta
neurovascular terjamin baik.
 Retaining-Tindakan mempertahankan kedudukan hasil reposisi, fiksasi luar dengan
gips dan dalam dengan implant seperti K-wire,plate&screw.
 Rehabilitation-Mengembalikan fungsi alat atau anggota gerak karena penyambungan
fraktur butuh waktu yang lama. Tujuan pengobatan fraktur adalah  mengembalikan
fungsi tulang yang patah dan ekstremitasnya dalam keadaan normal, dalam jangka
waktu sesingkat mungkin dengan cara konservatif atau operatif:

16
Konservatif:

1. Dengan proteksi saja.


2. Dengan imobilisasi dengan memasang gips atau bidai pada fraktur yang inkomplit
atau fraktur dengan keadaan baik.
3. Traksi- manual- fiksasi externa
4. Perbaikan gizi atau asupan calcium yang lebih untuk memperkuat tulang.
5. Pengobatan dari segi farmakologis.

Operatif :

1. Reposisi tertutup dengan bimbingan radiologis.


2. Reposisi terbuka (ORIF)-menggunakan plate & screw serta Intramedullary rod untuk
menstabilkan tulang yang mengalami fraktur.
3. Fiksasi externa
Peranti fiksasi luaran yang melekat pada tulang dengan menggunakan pin atau
kabel dan terdiri daripada frame luaran. Alat fiksasi eksterna terdiri dari
pelbagai jenis dari frame uniaksial sederhana hingga ke frame lingkaran
kompleks untuk masalah fraktur yang lebih sukar.
Keuntungan utama adalah operasi minimal invasif dan aplikasi lebih fleksibel.
Kekurangan menggunakan fiksasi externa adalah infeksi pada pin-track,
penerimaan pasien yang rendah dan tahap yang lebih tinggi untuk timbulnya
malunion.
Alat ini sangat sesuai untuk digunakan dalam situasi di mana pelaksanaan
fiksasi dalaman mungkin sukar atau berisiko. Contohnya termasuk fraktur
metafisis distal tulang di mana telah ada sebelumnya osteomyelitis, fraktur
multipel atau kerosakan kulit luas dan pembengkakan berikutan trauma energy
tinggi. Fiksasi luaran boleh digunakan untuk sementara dalam situasi ini
sampai fiksasi dalaman dianggap selamat.
Antara indikasi untuk fiksasi luaran adalah:
 Fraktur tertutup dengan cedera jaringan lunak di sekitarnya.
 Beberapa fraktur terbuka
 Fraktur Juxta-artikular dimana nail&plate secara teknikal sukar.
 Stabilisasi sementara fraktur tulang panjang pada multipel trauma

17
 Kaki memanjang selepas pemendekkan pasca-trauma
 Koreksi deformitas sudut / putaran kompleks pasca-trauma

Gambar 6: External Fixation

4. Fiksasi Interna

Peranti fiksasi dalaman terbahagi dalam dua kategori utama: peranti intramedulla
dan plate. Variasi lain yang digunakan, seperti skru atau teknik pengkabelan.
Intramedulla nail banyak digunakan dalam rawatan patah tulang tungkai bawah
tulang panjang pada orang dewasa. Implant ini boleh dimasukkan dengan operasi
minimal invasif dan sangat baik untuk memulihkan keselarasan panjang dan
putaran. Peranti ini mempunyai tahap potensi yang sangat rendah terhadap
malunion serta komplikasi lain, seperti jangkitan.
Fiksasi interna merupakan pilihan rawatan menggantikan fraktur tidak stabil di
mana reduksi yang lemah akan lebih compromise untuk penyembuhan dan
memberikan hasil yang fungsional. Hal ini sering digunakan dalam patah tulang
terbuka high energy trauma dan patah tulang dengan saraf yang berkaitan
kecederaan pembuluh darah, untuk menghasilkan persekitaran/lingkungan luka
yang stabil.

Gambar 7: Contoh Operasi Plate&Screw


18
Indikasi dilakukannya operasi adalah :

Fraktur yang tidak bisa dengan terapi konservatif atau timbulnya bahaya avaskuler
nekrosis tinggi.
Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup.
Fraktur yang dapat direposisi secara tertutup tapi sulit dipertahankan.
Fraktur yang berdasarkan pengalaman, memberi hasil yang lebih baik dengan operasi.
Excisional arthroplasty (membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi) dan
eksisi fragmen.

Prognosis

Pada kasus fraktur, prognosisnya bergantung dari tingkat keparahan serta tata laksana dari
tim medis terhadap pasien dengan korban fraktur. Jika penanganannya cepat, maka
prognosisnya akan lebih baik. Sedangkan dari tingkat keparahan, jikafraktur yang di alami
ringan, maka proses penyembuhan akan berlangsung dengan cepat dengan prognosis yang
baik. Tapi jikalau pada kasus yang berat prognosisnya juga akan buruk. Penderita dengan
usia yang lebih muda akan lebih bagus prognosisnya dibandingpenderita dengan usia lanjut.

Pada kasus Sindrom kompartemen, dapat bersifat sangat destruktif. Prognosis baik
dapat dicapai dengan penanganan yang cepat dan apabila sindrom kompartemen dapat
dikenali sedini mungkin. Makin lambat ditangani, makin besar risiko kerusakan
permanen otot dan saraf.

Pencegahan

 Selalu mengenakan sabuk pengaman saat mengemudi atau mengandarai mobil bagi
mengurangi efek fraktur jika terjadinya kecelakaan atau trauma. Memakai helm untuk
pengendara motor.
 Pakailah padding yang benar dan peralatan keselamatan ketika berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga.
 Mendapat paparan sinar UV matahari (pagi dan sore) yang cukup untuk mendapatkan
vitamin D yang cukup.
 Meningkatkan bekalan vitamin C: Vitamin C penting dalam penyembuhan luka, dan
membantu menghasilkan protein kolagen yang penting untuk pembentukan tulang

19
sihat. Makan kaya dengan vitamin C seperti jeruk, semangka, betik, paprika merah,
stroberi, brokoli.
 Meningkatkan pengambilan makanan yang kaya vitamin K. Selain membantu
pembekuan darah, vitamin K merupakan sebahagian penting daripada proses biokimia
yang mengikat kalsium ke tulang. Ini juga diperlukan untuk pembentukan osteocalcin,
protein tulang. Selain itu, vitamin K membantu mempertahankan kalsium tubuh
dengan mengurangkan kehilangan kalsium dalam urin. Vitamin K didapatkan dari
makanan hijau, sayur-sayuran dan minyak sayur (canola, zaitun dan kacang soya).

Sindrom Kompartemen

Definisi

Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi di mana tekanan dalam kompartemen


otot menjadi begitu tinggi, sehingga suplai darah ke daerah tersebut terganggu. Kondisi ini
bisa kronis, karena otot terlalu berkembang atau akut akibat trauma dan perdarahan ke
dalam kompartemen. Sindrom kompartemen akut adalah keadaan darurat medis yang
membutuhkan perawatan segera dalam waktu 12 jam.
Kompartemen osteofascial merupakan ruangan yang berisi otot, saraf, dan
pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot yang masing-masing
dibungkus oleh epimisium. Fascia merupakan serabut otot dalam satu kelompok, berfungsi
untuk mencegah jaringan yang rusak membengkak dan meningkatkan tekanan, lalu
membuat isinya menjadi tidak berfungsi dengan baik.7

Epidemiologi

Insidensi dari sindrom kompartemen akut tergantung dari trauma yang terjadi.
DeLee dan Stiehl mengatakan 6% dari fraktur terbuka tibial akan berujung dengan sindrom
kompartemen dibandingkan dengan fraktur tertutup tibia sekitar 1.2% akan berujung
menjadi sindroma kompartemen. Rorabeck dan Macnab melaporkan keberhasilan
dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Hasil penelitian studi kasus oleh
McQueen, sindrom kompartemen didiagnosa lebih sering pada laki-laki disbanding
perempuan. Hal ini dikarenakan kebanyakan pasien trauma adalah laki-laki. Selain itu,
ditemukan insidens terjadinya sindroma kompartemen akut setiap tahun sekitar 7,3 per
100.000 untuk pria dan 0,7 per 100.000 untuk wanita. McQueen memeriksa 164 pasien
yang didiagnosis sindroma kompartemen, dari penelitian McQueen ditemukan penyebab

20
yang paling sering menyebabkan sindroma kompartemen akut adalah fraktur. Dalam hal
ini, fraktur yang paling sering terjadi, yaitu fraktur diafisis os tibia dan fraktur os radius
distal.7-8

Etiologi

Terdapat berbagai penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain:

1. Penurunan volume kompartemen kondisi ini disebabkan oleh:

 Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas

 Penutupan defek fascia

2. Peningkatan tekanan eksternal:

 Prolonged compression pada ekstremitas

 Balutan yang terlalu ketat

 Berbaring di atas lengan

 Pemasangan gips

3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman, beberapa hal yang bisa menyebabkan
kondisi ini antara lain:

 Perdarahan atau trauma vaskuler

 Peningkatan permeabilitas kapiler

 Penggunaan otot yang berlebihan/extremely vigorous exercise, terutama gerakan yang


eksentrik/aneh, seperti extension under pressure

 Luka bakar

 Operasi

 Gigitan ular

 Obstruksi vena, misalnya karena terdapat blood clot pada vaskular ekstremitas.

21
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,
dimana 45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.7-9

Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5P yaitu:

1. Pain (nyeri)

Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada
trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika
munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak
semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang
tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. Biasanya nyeri
yang dirasakan dideskrpsikan seperti terbakar. Nyeri tidak bisa dijadikan dasar pasti
untuk diagnosa, contohnya pada kasus fraktur terbuka, kita tidak tahu rasa sakitnya
berasal dari frakturnya atau dari peningkatan komparemen.

2. Pallor (pucat)

Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.

3. Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)

Pulsasi perifer biasanya normal terutama pada ekstremitas atas pada sindrom
kompartemen akut.

4. Paresthesia (rasa baal)

Parastesia atau baal adalah gejala yang tidak biasa diandalkan untuk keluhan
awal, penurunan hasil pemeriksaan 2 titik lebih bisa diandalkan pada saat awal untuk
mendiagnosis.

5. Paralysis

Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan
hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.

Pada sindrom kompartemen akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:

a. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari atau
beraktivitas selama 20 menit.
b. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
c. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.7-9

22
Tatalaksana

Tujuan dari terapi/penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit


fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Penanganan yang menjadi pilihan untuk sindrom kompartemen akut adalah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa
hal, seperti masalah memilih waktu yang tepat masih diperdebatkan. Semua ahli bedah
setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi.

Terapi/penanganan sindrom kompartemen secara umum meliputi:

1. Terapi Non Medikamentosa

Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Bentuk terapi ini meliputi:

a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen


yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih
memperberat iskemia
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut kontriksi
dilepas. Semua perban dan gips harus dilepas. Melepaskan 1 sisi gips bisa mengurangi
tekanan intrakompartemen sebesar 30%, melepaskan 2 sisi gips dapat menghasilkan
pengurangan tekanan intrakompartemen sebesar 35%.
c. Pada pasien dengan fraktur tibia dan sindrom kompartemen dicurigai, lakukan
imobilisasi pada tungkai kaki bawah dengan meletakkan plantar dalam keadaan fleksi.
Hal ini dapat menurunkan tekanan kompartemen posterior yang mendalam dan tidak
meningkatkan tekanan kompartemen anterior. (Pasca operasi, pergelangan kaki
diletakkan dalam posisi 90° untuk mencegah deformitas equinus)

2. Terapi Medikamentosa

a. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen.
b. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.

23
c. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat mengurangi
tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi
kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui
kemampuan dari radikal bebas.
d. Obat-obatan opiod, non-opoid, dan NSAID digunakan untuk mengatasi rasa nyeri.
Tetapi harus diperhatikan efek samping dari obat-obatan tersebut sebelum memilih
obat mana yang akan digunakan.

3. Terapi Bedah

Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai >30 mmHg.


Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi
otot.

Jika tekanannya <30 mm Hg, maka daerah yang terkena cukup diobservasi
dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan membaik,
evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi, jika memburuk,
maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi
adalah 6 jam.

Secara umum pada saat ini, banyak ahli bedah menggunakan tekanan
kompartemen 30 mmHg sebagai indikasi untuk melakukan fasciotomi. Mubarak dan
Hargens merekomendasikan dilakukannya fasciotomi dilakukan pada pasien berikut:

 Pasien yang normotensif dengan temuan klinis yang positif, yang memiliki
tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari 30 mmHg, dan durasi tekanan yang
meningkat tidak diketahui atau dianggap lebih dari 8 jam.

 Pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar, dengan tekanan


intrakompartemen lebih dari 30 mmHg.

 Pasien dengan hipotensif dan tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari
20 mmHg.

Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.
Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih

24
efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan risiko
kerusakan arteri dan vena peroneal.7-9

Komplikasi

Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan


menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:

1. Nekrosis pada saraf dan otot dalam kompartemen yang ireversibel/permanen


2. Kontraktur volkman: merupakan pemendekan otot-otot lengan bawah permanen
merupakan hasil trauma, yang memberikan deformitas tangan menjadi clawlike di
tangan, jari-jari tangan, dan pergelangan tangan. Biasanya terjadi pada anak-anak.
3. Jaringan parut otot, kontraktur, dan kehilangan fungsi anggota badan
4. Infeksi
5. Rhabdomyolysis
6. Kerusakan ginjal/acute kidney injury (AKI)9

Prognosis

Prognosis ini tergantung dari waktu saat menentukan diagnosis dan pengambilan
tindakan pengobatan. Hal lain yang mempengaruhi juga adalah daerah tempat terjadinya
sindrom kompartemen, serta penggunaan ektremitas tersebut dalam akitivitas sehari-hari.
Sindrom kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek. Toleransi otot untuk
terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan ireversibel terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika
diagnosa terlambat, dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun
fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami defisit motorik
dan sensorik yang persisten.

Kesimpulan
◦ Dari pembahasan, hipotesis diterima pasien diduga mengalami sindroma
kompartemen pada region kruris dan fraktur tertutup pada tibia. Diagnosis dan
penanganan yang cepat dapat menghidarkan prognosis yang buruk.

25
Daftar Pustaka
1. Torsten B, Moeller MD, Emil RMD.Pocket atlas of radiographic anatomy. 2nd ed.
Thieme. New York; 2000.p.164-7.
2. Arthur CG, John EH. Textbook of medical physiology. 11th ed. Elsevier Inc.
Philadelphia; 2006.p.982-3.
3. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. EGC. Jakarta;
2005.h.840-841.
4. Putz R, Pabst R. Atlas anatomi manusia sobotta. Edisi ke-23. EGC. Jakarta; 2000.h.284.
5. Jon CT. Netters concise orthopaedic anatomy. 2nd ed. Saunders Philadelphia;
2010.p.293-4.
6. Brinker. Review of orthopaedic trauma. 11th ed. Saunders Company. Pennsylvania;
2001.p.127-35.
7. Konstantakos EK, Dalstrom DJ, Nelles ME, Laughlin RT, Prayson MJ (December
2007). Diagnosis and Management of Extremity Compartment Syndromes: An
Orthopaedic Perspective. Am Surg 73 (12): 1199–209. PMID 18186372. (Diunduh
bulan November 2019).
8. Richarf P (2009). Compartment Syndrome, Extremity. Available at:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic739.htm. (Diunduh bulan November 2019)
9. Undersea and Hyperbaric Medical Society. Crush Injury, Compartment syndrome,
and Other Acute Traumatic Ischemias. Available at:
http://www.uhms.org/ResourceLibrary/Indication... (Diunduh bulan November 2019)

26

Anda mungkin juga menyukai