Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara tropis dan sering sekali terjadi bencana seperti banjir
sehingga mudah sekali kuman berkembangbiak, juga kesadaran masyarakat yang sangat
rendah untuk menjaga kebersihan sehingga penyebaran penyakit sangat mudah.
Demam thypoid merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak-
anak maupun orang dewasa. Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan
kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian
tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Penyakit thypoid
abdominallis sangat cepat penularanya yaitu melalui kontak dengan seseorang yang menderita
penyakit typhus, kurangnya kebersihan pada minuman dan makanan, susu dan tempat susu
yang kurang kebersihannya menjadi tempat untuk pembiakan bakteri salmonella,
pembuangan kotoran yang tak memenuhi syarat dan kondisi saniter yang tidak sehat menjadi
faktor terbesar dalam penyebaran penyakit Thypoid.
Dalam masyarakat, penyakit ini dikenal dengan nama thypus, tetapi didalam dunia
kedokteran disebut dengan Tyfoid fever atau thypus abdominalis, karena pada umumnya
kuman menyerang usus, maka usus bisa jadi luka dan menyebabkan pendarahan serta bisa
mengakibatkan kebocoran usus.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas terdapat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa anatomi fisiologi demam thypoid?
2. Apa definisi dari demam thypoid?
3. Apa saja etiologi dari orang demam thypoid?
4. Apa saja klasifikasi dari demam thypoid?
5. Bagaimana patofisiologi demam thypoid?
6. Apa saja manifestasi klinis demam thypoid?

1
7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada penderita demam thypoid?
8. Apa saja komplikasi pada demam thypoid? Apa saja pemeriksaan diagnostik pada demam
thypoid?
9. Bagaimana penatalaksanaan pada penderita demam thypoid?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami tentang anatomi fisiologi demam thypoid
2. Mengetahui dan memahami tentang definisi demam thypoid
3. Mengetahui dan memahami tentang etiologi demam thypoid
4. Mengetahui dan memahami tentang klasifikasi demam thypoid
5. Mengetahui dan memahami tentang patofisiologi demam thypoid
6. Mengetahui dan memahami tentang manifestasi klinis demam thypoid
7. Mengetahui dan memahami tentang pemeriksaan penunjang demam thypoid
8. Mengetahui dan memahami tentang komplikasi demam thypoid
9. Mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan demam thypoid

D. Manfaat
1. Keilmuan / Teori
Menambah ilmu pengetahuan terutama dalam keperawatan keluarga yang berhubungan
dengan penyakit demam tifoid.
2. Bagi Perawat / Mahasiswa
Sebagai bahan bacaan dan menambah wawasan bagi mahasiswa kesehatan khususnya
mahasiswa ilmu keperawatan mengenai demam tifoid.
3. Bagi Masyarakat / Keluarga
Bagi masyarakat dapat memberikan gambaran tanda-tanda dan gejala serta penyebab
penyakit demam tifoid di masyarakat sehingga dapat melakukan pencegahan terhadap
penyakit tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi 9


Fisiologi sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus)
adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya
menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang
bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Anatomi dan fisiologi sistem pencernaan yaitu :
1) Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Mulut
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan masuk untuk system
pencernaan yang berakhir di anus. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir.
Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan
sederhana terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf
olfaktorius di hidung, terdiri dari berbagai macam bau. Makanan dipotong-potong oleh gigi
depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-
bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus
bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai
mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang
memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara
sadardan berlanjut secara otomatis.

2) Faring

Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Didalam lengkung


faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar
limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara
jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung,
didepan ruas tulang belakang keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung,
dengan perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan rongga
mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian

3
superior yaitu bagian yang sama tinggi dengan hidung, bagian media yaitu bagian yang
sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior yaitu bagian yang sama tinggi dengan laring.
Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan
tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut orofaring, bagian ini berbatas
ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior disebut laringofaring yang menghubungkan
orofaring dengan laring.

3) Esofagus

Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring
pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian
yaitu bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah (campuran otot
rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

4) Lambung (gaster)

Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga bagian yaitu
kardia, fundus dan antrium. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang
berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang
melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting yaitu lendir, asam klorida (HCL), dan
prekusor pepsin (enzim yang memecahkan protein). Lendir melindungi sel-sel lambung
dari kerusakan oleh asam lambung dan asam klorida menciptakan suasana yang sangat
asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi
juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai
bakteri.

5) Usus halus

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut
zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang
melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang
dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula

4
dan lemak. Lapisan usus halus terdiri dari lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot
melingkar, lapisan otot memanjang dan lapisan serosa. Usus halus terdiri dari tiga bagian
yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).

a. Usus dua belas jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak
setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua
belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale
dan berakhir di ligamentum treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal,
yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaputperitoneum. pH usus dua belas jari yang
normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Lambung melepaskan makanan ke
dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus.
Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa
di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada
lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.

b. Usus kososng (Jejenum)

Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus
dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang
seluruh usus halus antara 2 sampai 8 meter, 1 sampai 2 meter adalah bagian usus
kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan
mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat
jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus.

c. Usus penyerapan (ileum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia ileum memiliki panjang sekitar 2 sampai 4 meter dan terletak
setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH
antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam
empedu.

5
6) Usus besar (colon)

Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi
utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens
(kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan
rektum). Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga
berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi
normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada
bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan
dikeluarkannya lendirdan air, dan terjadilah diare.

7) Rektum dan Anus

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon
sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu
pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka
timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena
penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan
keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi
tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang
dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang
lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda
BAB. Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar
dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari
usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh
melalui proses defekasi (buang air besar) yang merupakan fungsi utama anus.

6
Gambar 1 Anatomi Sistem Pencernaan

B. Definisi Typhoid
Demam Typhoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan
dan gangguan kesadaran. 3,4
Demam Typhoid atau Typhoid Fever atau Typhus Abdomalis adalah penyakit yang
disebabkan oleh Salmonella Typhii. 7
Tifus Abdomalis (Demam Typhoid) adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang diawali
diselaput lendir usus dan jika tidak diobati, secara progresif menyerbu jaringan diseluruh
tubuh. 6

7
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan, Demam Thypoid adalah penyakit infeksi
akut yang terjadi pada saluran percernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu yang
disebabkan oleh kuman Salmonella Thyposa dan dapat masuk melalui makanan, minuman
yang sudah terkontaminasi oleh feses dan urine dan mengalami gangguan kesadaran.

C. Etiologi 3,5
Typhoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh salmonella
typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, salmonella typhi C. Penyakit ini
mempunyai tanda-tanda khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung kurang lebih 3
minggu disertai gejala demam, nyeri perut, dan erupsi kulit. Ada dua sumber penularan
salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah
orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam
tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
Bakteri salmonella dapat hidup pada ruangan dan suhu yang rendah selama beberapa
hari dan dapat bertahan hidup pada bahan makanan kering,sampah dan tinja selama beberapa
minggu. Salmonella typhi dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui maanan dan minuman
yang telah tercemar oleh kuman. Sebagian besar kuman yang masuk kesaluran cerna
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian kecil sisanya masuk kedalam usus halus dan
kemudian berkembangbiak. Bila sistem kekebalan pada usus halus kurang baik, maka kuman
dapat menembus usus halus lau masuk kealiran darah dan akhirnya menimbulkan gejala.

D. Klasifikasi 8
Menurut WHO (2003), ada tiga macam klasifikasi demam typoid dengan perbedaan gejala
klinis:
1. Demam typoid akut non komplikasi
Demam typoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalis fungsi bowel (konstifasi pada pasien dewasa,dan diare pada anak-anak), sakit
kepala, malaise dan anoksia.
2. Demam typoid dengan komplikasi
Pada demam typoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi
parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien

8
dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, dan meningkatan
ketidaknyamanan abdomen
3. Keadaan carier
Keadaan carier typoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Carier
typoid bersifat kronis dalam hal sekresi salmonella typhi di feses.

E. Patofisiologi 6,11
1. Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh
Salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat dimusnahkan oleh
asam HCL lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik, maka basil Salmonella akan menembus sel-sel epitel (sel
M) dan selanjutnya menuju lamina propia dan berkembang biak di jaringan limfoid plak
peyeri di ileum distal dan kelejar getah bening mesenterika.
2. Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening mesenterika mengalami hiperplasia.
Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui ductus thoracicus dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotalial tubuh, terutama hati, sumsum tulang, dan limfa melalui
sirkulasi portar dari usus.
3. Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi limfosit, zat plasma, dan sel mononuclear.
Terdapat juga nekrosis fokal dan pembesaran limfa (splenomegali). Di organ ini, kuman S.
Thypi berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi, sehingga mengakibatkan
bakterimia kedua yang disertai tanda dan gejala infeksi sistemik (demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, dan gangguan mental koagulasi).
4. Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini dapat berlangsung hinga
ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan perforasi usus. Endotoksin basil menempel
di reseptor sel endotel kapiler dan dapat mengakibatkan komplikasi, seperti gangguan
neuropsikiatrik kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. Pada minggu
pertama timbulnya penyakit, terjadi jyperplasia (pembesaran sel-sel) plak peyeri. Disusul
kemudian, terjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi plak peyeri pada minggu
ketiga. Selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi proses penyembuhan ulkus
dengan meninggalkan sikatriks (jaringan parut).

9
Gambar 2 Patofisiologi Demam Typoid

F. Manifestasi Klinik 4
Manifestasi klinis tifus abdomalis adalah sebagai berikut :
 Nyeri kepala, lemah dan lesu.
 Demam tidak terlalu tinggi berlangsung selama 3 minggu, minggu pertama peningkatan
suhu tubuh berpluktuasi biasanya suhu meningkat pada malam hari dan turun pada pagi
hari. Minggu kedua suhu tubuh terus meningkat. Minggu ketiga suhu mulai turun dan dapat
kembali normal.
 Gangguan pada saluran cerna ; holitosis, bibir kering dan pecah, lidah kotor (coated
tongue), meteorismus, mual, tidak nafsu makan, hepatomegali, splenomegali
disertai dengan nyeri perabaan.
 Penurunan kesadaran ; apatis atau somnolen.
 Bintik kemerahan pada kulit (roseola) akibat emboli bakteri pada kapiler kulit.
 Hepatosplenomegali
Menurut Mansjoer (432; 2000) masa tunas 7-14 (rata-rata 3-30) hari. Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal berupa rasa tidak enak badan. Pada kasus khas
terdapat demam retimen pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan

10
meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan
demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga. Lidah kotor yaitu ditutupi
selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan limpa
membesar yang nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat konstipasi, tetapi mungkin normal
bahkan dapat diare.1
Sedangkan gambaran klinik demam tifoid pada anak menurut Ngastiyah (237;
2005).biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas : 10 – 20 hari, yang tersingkat
4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30
hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang. Menyusul
gambaran klinik yang biasa ditemukan ialah :
 Demam
Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remitten dan
suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, pada minggu ketiga
suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
 Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare atau normal.
 Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Di samping itu gejala tersebut mungkin terdapat gejala lain yaitu pada
punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena
emboli basil dalam kapiler kulit, yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam.
Kadang ditemukan bradikardia dan epistaksis pada anak besar

G. Pemeriksaan Penunjang 2

11
Pengkajian diagnostik yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium dan radiografi
meliputi hal-hal berikut ini:
a. Pemeriksaan darah
Untuk mengidentifikasi adanya anemia karena asupan makanan yang terbatas
malabsobsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran seldarah
merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah leukosit antara 3000-4000 mm3
ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran leukosit oleh
endotoksin. Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari tepi. Trombositopenia terjadi pada
stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit
meningkat akibat rangsangan endotoksin, laju endap darah meningkat.
b. Pemeriksaan urine
Didapatkan proteinuria ringan (< 2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan leukosit
dalam urine.
c. Pemeriksaan feses
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya peredaran darah usus dan
perforasi.
d. Pemeriksaan bakteriologis
Untuk identifikasi adanya kuman Salmonella pada biakan darah tinja, urine, cairan
empedu, atau sumsum tulang.
e. Pemeriksaan serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji
serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes
TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA).
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang
luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk

12
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).
 Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat
dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung
membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil
dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai
prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa
penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya
didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat
ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya

13
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada
anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya
(1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.
 Tes TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat
menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
 Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.

14
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan
penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar
84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar
89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit
demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat
yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana
biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila
disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.
 Metode Enzyme-Linked Immunosorbent (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA.
Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada
sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada
penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine

15
didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan
serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd.
Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut
akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif
juga pada kasus dengan Brucellosis.

H. Komplikasi 3
Kompliksi yang sering adalah pada usus halus, namun hal tersebut jarang terjadi. Apabila
komplikasi ini dialami oleh seorang anak, maka dapat berakibat fatal. Golongan pada usus
halus ini dapat berupa:
 Perdarahan usus, apabila sedikit, maka perdarahan tersebut hanya ditemukan jika
dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak maka dapat terjadi
melena, yang bisa disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan. Perforasi usus biasanya
timbul pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum.
 Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di
rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan
diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
 Peritonitis, biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu neyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegak
(defense musculain) dan nyeri tekan.
 Komplikasi di luar usus, terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis
(bakteremia), yaitu meningitis, kolesistisis, ensefelopati, dan lain-lain, komplikasi di luar
usus ini terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

I. Penatalaksanaan 4
Obat-obatan yang dipakai untuk penyakit demam tifoid adalah :
1. Antibiotik
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga memerlukan
antibiotik. Antibiotik lini pertama adalah chloramphenicol, amoxicillin, atau cotrimoxazole.
16
Antibiotik lini kedua adalah golongan fluoroquinolone (ofloxacin, ciprofloxacin) atau
golongan cephalosporine (ceftriaxone, cefixime, atau cefotaxime). Lama pemberian
antibiotik adalah 7-14 hari. Tirah baring selama demam sampai dengan 2 minggu normal
kembali. Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan.
Antibiotik yang banyak digunakan adalah kloramfenikol 100mg/kg/hari dibagi dalam 4
dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Kloramfenikol tidak bias
diberikan bila jumlah leukosit < 2000 ul. Bila pasien alergi, dapat diberikan golongan
penisilin atau kotrimoksazol.
2. Penurun panas
Penurun panas yang sering diberikan adalah paracetamol.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan pada demam tifoid berat.
4. Diet lunak rendah serat, dan makan makanan bergizi Penderita penyakit demam Tifoid
selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter
untuk di konsumsi, antara lain :
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan
mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan
seterusnya.
5. Pemberian cairan yang cukup untuk mencegah dehidrasi
Kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika
terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis bakteri
akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk
memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi.

J. Pencegahan Demam Tifoid


Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak
tertular oleh bakteri Salmonella. Pencegahan dilakukan secara umum dan khusus/imunisasi.

17
Demam tifoid dapat dicegah dengan kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan. Beberapa
petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid secara umum diantaranya:
1. Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid
atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan
sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan
toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
2. Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk
itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng
sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air
minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar
mandi.
3. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah
dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk
menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan
air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak.
Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak
mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
4. Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik
adalah makanan yang masih panas. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan
di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin
terkontaminasi.
Pusat control penyakit dan pencegahan telah menidentifikasi imunisasi menjadi
agenda penting bagi Negara berkembang yang menjadi tempat berkembang salmonella
thypi.

18
Ada tiga macam vaksin untuk melawan tifoid ini, yaitu:
No. Tipe Vaksin Komposisi Dosis Keberhas Efek
ilan (%) Samping

1. parenteral vaksin sel Tersusun atas zat 60-67% Reaksi local


tak aktif asan karbol panas yang berat
sel vaksin yang
tidak aktif
2. Parenteral Natibodi Sekali 63-72% -sakit pada
Capsular poly virulensi berupa suntikan daerah
accharide butir 25 mcg tusukan
vaccine Vi polysaccharide (0,5 ml) - demam
[ViCPs] (3%)
-tidak enak
badan
-muntah
3. Vaksin hidup S.thypi hidup 3-4 kapsul 60-90% -sakit pada
yang diperlemah yang abdomen
(Ty21a vaksin) diperlemah - mual
- muntah
- diare
- ruam

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demam tifoid adalah suatu infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan
800/100.000 penduduk per tahun, tersebar dimana-mana, dan ditemukan hamper sepanjang
tahun.
Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada
anak besar, umur 5-9 tahun. Dengan keadaan seperti ini, adalah penting melakukan
pengenalan dini demam tifoid, yaitu adanya 3 komponen utama : Demam yang
berkepanjangan (lebih dari 7 hari), Gangguan susunan saraf pusat / kesadaran.

B. Saran
Dari uraian makalah yang telah disajikan maka kami dapat memberikan saran untuk
selalu menjaga kebersihan lingkungan , makanan yang dikonsumsi harus higiene dan
perlunya penyuluhan kepada masyarakat tentang demam tifoid.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, 2000. Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta : Media Aesculapius


2. Muttaqin, 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : Salemba Medika
3. Nursalam, 2005;153. lmu Kesehatan Anak. Jakarta : Salemba Medika
4. Suriadi, 2006 ;255-256. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : Sagung Seto.
5. Suprianti, 2015. Demam Typoid,. https://id.scribd.com.doc.Makalah-Typhoid
6. Tambayong, 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
7. Tapan, 2004. Dokter Internet Flu, HFMD, Diare Pada Pelancong, Malaria, Demam
Berdarah, dan Tifus. Jakarta : Pustaka Populer Obor
8. WHO, 2013. Child Mortality Report 2013, http://www.who.int
9. Wikipedia, 2011. Berkas:Rongga Mulut Palatum. http://id.wikipedia.org.
10. Yonathan, 2013. Hubungan Antara Kualitas Sarana dan Prasarana Rumah dan Perilaku
Sehat Dengan Kejadian Demam Typhoid Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngaliyan Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013.
http://ejournals1.ac.id/index.php/jkm.
11. Yulianto, 2011. Sistem Pencernaan. http://konsepbiologi.wordpress.com.

21

Anda mungkin juga menyukai