Anda di halaman 1dari 3

PELANGGARAN HAK WARGA NEGARA

TEMPO.CO, Situbondo – Asyani, 63 tahun, terdakwa pencurian kayu jati, menangis histeris
saat menjalani persidangan ketiga di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, pada Kamis,
12 Maret 2015. Nenek yang dalam persidangan sebelumnya duduk bersimpuh di lantai dan
meminta ampun kepada majelis hakim itu menangis saat melihat pelapornya, Sawin, mantri
Perhutani.

Warga Dusun Kristal, Desa/Kecamatan Jatibanteng, Situbondo, itu menjalani sidang dengan
jadwal tanggapan jaksa atas pembelaan kuasa hukum terdakwa. Mulanya,
Asyanidiam tertunduk mendengarkan tanggapan jaksa penuntut umum, Ida Haryani, selama
30 menit.

Setelah jaksa penuntut membacakan tanggapannya, Asyani langsung menangis


histeris.Dia menuding Sawin, yang berdiri di pintu samping ruang sidang. “Sawin, kamu
yang tega memenjarakan saya. Padahal saya sudah datang ke rumahmu untuk meminta maaf.
Kamu tega sama saya,” tutur Asyani berteriak lalu terdiam setelah ditenangkan oleh kuasa
hukumnya, Supriyono.

Asyani adalah tukang pijat. Dia didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun. Asyani dituduh mencuri 38
papan kayu jati di lahan Perhutani di desa setempat.

Asyani dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan ke Polsek Jatibanteng pada 4 Juli 2014. Nenek
empat anak itu kemudian ditahan pada 15 Desember 2014. Selain Asyani, tiga orang lain juga
ikut ditahan, yakni menantu Asyani, Ruslan; pemilik mobil pick up, Abdussalam; dan
Sucipto, tukang kayu.

Dalam tanggapannya, jaksa Ida Haryani menuturkan pihaknya memiliki bukti-bukti kuat
bahwa 38 papan kayu itu memang diambil Asyani di lahan Perhutani. “Terdakwa tidak
mampu menunjukkan dokumen kepemilikan kayu tersebut,” katanya.

Supriyono menyesalkan sikap jaksa itu, yang dinilainya terlalu formalistis dalam menangani
kasus tersebut. Padahal faktanya, kayu jati itu ditebang dari lahan milik Asyani yang telah
dijual pada 2010. “Ada surat keterangan kepala desa kalau lahan tersebut dulunya milik
Asyani,” ucap Supriyono.
Sebelumnya, Asyani juga telah menyatakan itu secara langsung di hadapan majelis hakim
ketika memohon ampun. Menurut dia, kayu jati itu peninggalan suaminya yang telah
meninggal.

Adapun agenda persidangan lanjutan pada Senin, 16 Maret mendatang, adalah putusan sela
oleh majelis hakim.

PEMBAHASAN

Kasus nenek Asyani ini sebenarnya banyak kejanggalan. Surat keterangan yang akan
dibacakan dalam persidangan, bahwa surat keterangan sah hasil hutan (SKSHH) tidak relevan
dalam kasus nenek Asyani, karena hak-hak nenek Asyani sudah diatur dalam pasal 11 ayat 4
Undang undng no 18 tahun 2013 dan pasak 68 Undang undang no 41 tahun 1999 pasal 11
ayat 4.

Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan atau disekitar kawasan hutan yang
melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk
keperluan sendiri dan tidak tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang
berwenang sesuai ketentuan peraturan undang undang.

Selain itu, sesuai pasal 68 Undang undang no 41 tahun 1999 ayat 1 ” masyarakat berhak
menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan”.

Seharusnya kasus kecil tidak usah dibesar-besarkan. Apalagi ini menyangkut masyarakat
kecil dan lemah mereka yang tidak tahu apa-apa malah kena hukum. Beda sekali dengan
kasus yang menimpa para pejabat, hanya tinggal sogok sana sini langsung semua beres terima
jadi tanpa adanya hukuman sedikit pun. Pelanggaran hak warga negara terutama masyarakat
kecil dan lemah ini sudah sangat sering terjadi di negara kita. Mengambil tidak seberapa tapi
hukumannya itu loh yang dibesar-besarkan.

SOLUSI

Pasal 28 UUD NKRI 1945 menjamin adanya hak berserikat, menyatakan pikiran baik secara
lisan maupun tulisan. Pasal ini merupakan salah satu dasar utama adanya kehidupan
kenegaraan yang berdinamika di mana setiap orang bebas mendirikan organisasi dan bebas
pula menyatakan pendapat. Dari penjelasan tersebut mencerminkan bangsa Indonesia
menjamin pelaksanaan HAM, dimana dalam pelaksanaanya memerlukan dukungan dari
semua pihak seperti tokoh masyarakat, LSM, POLRI, TNI dan kalangan profesi hukum,
ekonomi, politik, sertapolitical will pemerintah Indonesia. Perjalanan bangsa Indonesia
menuju masyarakat yang demokratis tanpa melupakan budaya bangsa yang sudah berakar
beratus-ratus tahun lampau tetap harus berlandaskan pada prinsip supremasi hukum,
transparansi, akuntabilitas, profesionalisme serta prinsip musyawarah dan mufakat. Adapun
langkah-langkah pembentukan sistem hukum yang ditempuh bangsa Indonesia dalam upaya
penegakan HAM adalah sebagai berikut:
a. Prinsip transparansi; yaitu pembahasan naskah RUU harus terbuka, artinya DPR dan
Presiden dalam membuat UU harus terbuka menerima masukan dari masyarakat.

b. Prinsip supremasi hukum; yaitu kepastian hukum, persamaan kedududkan didepan hukum
dan keadilan hukum berdasarkan proporsionalitas.

c. Prinsip profesionalisme; yaitu dalam penyusunan dan pembentukan hukum keikutsertaan


dan perananan pakar-pakar hukum dan non hukum yang releVan harus diutamakan sehingga
diharapkan dapat melahirkan perundang-undangan yang berkualitas.

d. Internalisasi nilai-nilai HAM; yaitu wujud nyata dari pengakuan rakyat dan pemerintah
terhadap hak-hak asasi manusia sehingga diharapkan memberikan karakteristik tersendiri
terhadap setiap produk hukum dan perundang-undangan.

Selanjutnya langkah-langkah hukum yang ditempuh pemerintah Indonesia telah diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan yakni :

1. UUD NKRI 1945

2. UU No. 5 Thn 1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan
atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia .

3. UU No. 9 Thn 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum

4. UU No. 39 Thn 1999 tentang HAM

5. UU No. 26 Thn 2000 tentang pengadilan HAM

6. UU No. 23 Thn 2004 tentang PKDRT

7. UU No. 12 Thn 2006 tentang UU kewarganegaraan

8. UU No. 23 Thn 2002 tentang perlindungan anak


Dan yang lebih penting usutlah kasus tersebut sampai menemukan titik terang. Bagi para
aparatur negara berpikirlah yang jernih agar masyarakat kecil tidak lagi dirampas haknya
untuk hidup tenteram, aman, nyaman, dan damai.

2. Hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam


Tidak ada manusia yang diizinkan untuk merendahkan martabat. Pada peristiwa tersebut korban
baik Salim Kancil maupun Tosan mengalami tindak kekerasan antara lain, dipukul dengan benda
tajam, batu dan sebagainya serta distrum di hadapan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut telah
mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana dijamin Pasal 33 ayat (1) UU 39 Tahun
1999 tentang HAM, Pasal 7 UU 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak
Sipil dan Politik, Pasal 16 ayat (1) UU 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusia atau Merendahkan
Martabat Manusia.

Anda mungkin juga menyukai