Anda di halaman 1dari 8

HIWALAH (PEMINDAHAN HUTANG)

MAKALAH

Disusun guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Fiqh Mu’amalah

Dosen Pengampu: Moh. Farid Fad, M.Si

Disusun Oleh Kelompok 6 PAI 3D:

Mega Octa D 1603016055

Nur Afifah 1803016155

Trianita N 1803016156

Irfan Nur Rohman 1803016161

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM WALISONGO

SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Dengan demikian Islam telah mengatur cara
hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap. diantaranya, ber-muamalah kepada
sesama manusia. Di antara muamalat yang telah diterapkan kepada kita ialah Al
Hiwalah.
Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan kepada
manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan
manusia. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang dalam
muamalah adalah al hiwalah.
Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang,akan
tetapi bisa juga digunakan sebagai pemindah dana dari individu kepada individu yang
lain atau syarikat dan firma. sebagai mana telah digunakan oleh sebagian sistem
perbankan. Dalam hal ini penulis berkesempatan untuk mengkaji tentang al Hiwalah.
Yang berkaitan dengan definisi, dalil yang berkaitan, rukun dan syara, dan jenis-jenis
hiwalah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan Hiwalah?
2. Apakah landasan hukum Hiwalah?
3. Apa sajakah Rukun dan Syarat Hiwalah?
4. Apa saja yang mengakhiri Akad Hiwalah?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Hiwalah
2. Mengetahui landasan hukum Hiwalah
3. Mengetahui rukun dan syarat Hiwalah
4. Mengetahui hal-hal yang mengakhiri akad Hiwalah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa yang dimaksud hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil,artinya ialah
memindahkan atau mengoperkan. Maka Abbdurrahman al Jaziri berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah1:

‫اَلنَّ ْق ُل ِم ْن َم َح ٍّل اِلَى َم َح ِل‬


“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”

Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah para ulama mendefinisikan hiwalah


sebagai berikut:
1) Wahbah al-Juhaili berpendapat, hiwalah adalah pengalihan kewajiban membayar
utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berhutang kepadanya atas
dasar saling mempercayai.
2) Imam Taqiyyudin berpendapat,hiwalah adalah pemindahan utang dari beban
seseorang menjadi beban orang lain.
3) Syihabudin al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah adalah akad atau
transaksi yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang yang lainnya,2

B. Dasar Hukum
Hiwalah merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan oleh
masyarakat. Hal ini didasarkan kepada hadist nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :
)‫ظ ْل ٌم َواِذَا اُتْ ِب َع اَ َحدُ ُك ْم َعلَى َم ِلي ِ فَ ْليُتْ ِب ْع (رواه البخاري ومسلم‬
ُ ِ ‫ط ُل ْالغَ ِني‬
ْ ‫َم‬

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kedzaliman. Dan jika salah
seseorang diantara kamu di hiwalahkan kepada orang kaya yag mampu maka turutlah.”
(Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim).

1
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) hlm.99.
2
Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Renada Media Grup, 2010)
hlm.254.

2
Pada hadist Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang mengutangkan, jika
orang yang berutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan,
hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan selanjutnya hendaklah ia mengikuti atau
menagih utangnya kepada orang yang di hiwalahkannya. Dengan cara seperti ini
diharapkan haknya dapat dibayar dan dapat dipenuhi.3

C. Rukun dan Syarat Hiwalah


1. Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah menurut Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab dari orang yang
memindahkan (al-muhil) dan qobul dari orang yang memindahkan (al-muhil) dan yang
dipindahi utang Sedangkan menurut Malikiyah rukun hiwalah ada empat, yaitu: Muhil
(orang yang memindahkan) , Muhal bih ( hutang), Muhal ‘alaih (orang yang menerima
hiwalah), Shighat ( ijab dan qobul).
Syafi’iyah dan Hanabilah menambahkan dua rukun lagi, yaitu dua utang muhal
kepada muhil, dan utang muhil kepada muhal ‘alaih.
Muhil adalah orang yang memindahkan utang, yakni orang yang mempunyai hutang
(al-mudin), sedangkan muhal adalah orang yang piutangnya dipindahkan (ad-dain), dan
muhal ‘alaih adalah orang yang dipindahi hutang, yakni orang yang dibebani tugas untuk
membayar utang.
Adapun sighat yang digunakan dalam hiwalah adalah setiap kata atau lafal yang
mengandung arti pemindahan. Dalam ijab misalnya muhil mengatakan: “ utangmu saya
pindahkan kepada si Fulan.” Sedangkan qabul dari muhal dan muhal ‘alaih: “Saya
terima, atau saya setuju.”
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai shigot. Menurut Hanafiyah
diperlukan, karena dialah yang dibebani tanggungan atas pemindahan hak atau utang
tersebut. Demikian pula perlu persetujuan muhal (orang yang piutangnya dipindahkan),
karena utang tersebut miliknya yang semula berada dalam tanggungan muhil. Menurut
Hanabilah dan Zhahiriyah dalam hiwalah hanya diperlukan persetujuan muhil,
sedangkan muhal dan muhal ‘alaih wajib menerima pemindahan hutang tersebut.
Menurut Malikiyah dalam pendapat yang masyhur dan Syafi’iyah, untuk sahnya

3
Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Renada Media Grup, 2010)
hlm.255.

3
hiwalah disyaratkan persetujuan muhil dan muhal saja, sedangkan persetujuan muhal
‘alaih tidak diperlukan, karena ia menjadi objek hak dan tasarruf.
Menurut Jum’hur ‘Ulama yang terdiri dari Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah,
rukun hiwalah ada 6 yakni:
a. Muhil
b. Muhal
c. Muhal ‘alaih
d. Piutang milik muhal yang wajib dilunasi oleh muhil
e. Piutang milik muhil yang wajib dilunasi oleh muhal
f. Shigot (Ijab dan Qabul).
2. Syarat-syarat Hiwalah
Syarat-syarat hiwalah berkaitan dengan rukun yakni muhil, muhal, muhal ‘alaih, dan
muhal bih.
a. Syarat-syarat Muhil
1) Muhil harus memiliki kecakapan dalam melakukan akad, yakni dia harus
baligh dan berakal.
2) Persetujuan Muhil. Dengan demikian, apabila ia dipaksa untuk melakukan
hiwalah maka tidak sah hiwalah tersebut.
b. Syarat-syarat Muhal
1) Muhal harus memiliki kecakapan dalam melakukan akad, yakni dia harus
baligh dan berakal.
2) Persetujuan Muhal. Apabila muhal dipaksa untuk melakukan hiwalah maka
tidak sah hiwalah tersebut.
3) Pernyataan qobul dari muhal harus diucapkan di dalam majelis akad hiwalah.
Syarat ini menurut Abu Hanifah dan Muhammad, merupakan syarat in’iqad,
sedangkan menurut Abu Yusuf syarat ini merupakan syarat nafadz.
c. Syarat-syarat Muhal ‘Alaih
1) Muhal ‘Alaih harus memiliki kecakapan dalam melakukan akad, yakni dia
harus baligh dan berakal.
2) Muhal ‘Alaih setuju atas pemindahan utang tersebut.
3) Qobul diucapkan di dalam majelis akad.
d. Syarat- syarat Muhal Bih
1) Muhal bih harus berupa utang, yakni utang muhil kepada muhal. Apabila
objeknya bukan utang, maka akadnya bukan hiwalah, melainkan wakalah.

4
2) Utang tersebut adalah utang yang sudah tetap ( lazim).4

D. Berakhirnya Akad Hiwalah


Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila :
1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad hiwalah meng-fasakh (membatalkan)
akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap dengan adanya pembatalan akad
itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama
demikian pula pihak pertama kepada pihak ketiga.
2. Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3. Pihak kedua wafat sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi
harta pihak kedua.
4. Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam
akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.
5. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang
yang dialihkan itu.
6. Hak pihak kedua menurut hanafi, tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga
mengalami muflis (bangkrut), atau wafat dalam keadaan muflis atau dalam keadaan
tidak ada bukti otentik tentang akad hiwalah, pihak ketiga mengingkari akad itu.
Menurut ulama maliki, syafi’i dan hambali, selama akad hiwalah sudah berlaku
tetap, karena persyaratan yang ditetapkan sudah terpenuhi, maka akad hiwalah tidak
dapat berakhir.5

4
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Sinsar Grafika Offset, 2010), hlm. 449-452.
55
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2012), hlm. 268-269.

5
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hiwalah ialah memindahkan hutang atau mengoperkan. Pengertian hiwalah menurut para
‘ulama berbeda-beda yaitu: Wahab al-juhaini berpendapat, hiwalah adalah pengalihan
kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berhutang atas
dasar saling mempercayai. Hwalah juga mempunyai dasar hukum yaitu:

)‫ظ ْل ٌم َواِذَا اُتْ ِب َع ا َ َحدُ ُك ْم َعلَى َم ِلي ِ فَ ْليُتْ ِب ْع (رواه البخاري ومسلم‬
ُ ِ ‫ط ُل ْالغَ ِني‬
ْ ََ

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kedzaliman. Dan jika salah seseorang
diantara kamu di hiwalahkan kepada orang kaya yang mampu maka turutlah” (Hadist Bukhari
dan Muslim).

Rukun hiwalah di bagi menjadi 6 yaitu: Muhil, Muhal, Muhal’alaih, Piutang milik muhal yang
wajib dilunasi oleh muhil, Piutang milik muhil yang dilunasi oleh muhal, dan shigot (ijabdan
qobul). Namun ada juga syarat dari hiwalah yang berkaitan dengan rukun yakni muhil, muhal,
muhal ‘alaih, dan muhal bih yakni: Muhil, Muhal, Muhal ‘alaih, dan Muhal Bih.

6
DAFTAR PUSTAKA

Al-Fauzan, Saleh. 2005. fiqh Sehari-hari. (Jakarta: Gema Inasani Press)

Ghazali, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan dkk. 2010. Fiqh Mu’amalah. (Jakarta: Kencana Renada
Media Grub)

Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Mu’amalah. ( Jakarta: Sinsar Grafika Offset)

Anda mungkin juga menyukai