Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kegiatan

PENYULUHAN PROLANIS HIPERTENSI

Oleh:

dr. Veggy Pratama Ananda Putra

Pendamping:
dr. Yunita Saraswati

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS KOTO KATIAK KOTA PADANG PANJANG
PERIODE 14 FEBRUARI – 10 JUNI 2019
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi adalah salah satu penyakit yang paling umum di dunia yang mempengaruhi
manusia dan merupakan faktor resiko mayor terjadinya stroke, miokard infark, vaskular disease
dan gagal ginjal kronik. Meskipun banyak penelitian yang luas dalam beberapa dekade terakhir
ini tetapi etiologi dari kebanyakan kasus orang dewasa yang mengalami hipertensi masih belum
diketahui dan ketidaktahuan masyarakat luas untuk mengontrol tekanan darah. Mengingat
mobriditas dan mortalitas yang disebabkan oleh hipertensi adalah tinggi, maka pencegahan dan
pengobatan hipertensi merupakan tantangan penting bagi petugas kesehatan. Untungnya,
kemajuan dan ujicoba dalam penelitian dalam pemahaman patofisiologi hipertensi dan
penatalaksanaan terhadap penyakit ini meluas.

Data epidemiologis menunjukan bahwa dengan meningkatnya populasi usia lanjut, maka
jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah. Dimana baik
hipertensi sitolik dan diastolic sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65
tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade
terakhir tidak menunjukan kemajuan lagi (pola kurva mendatar), dan pengendalian tekanan darah
ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi.

Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar dari negar-negara yang
sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES)
menunjukan bahwa dari tahu 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-
31%., yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15
juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 90% dari
seluruh dari seluruh kasus hipertensi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
1. PENGATURAN TEKANAN DARAH 1

Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah jantung (cardiac output)
dan resistensi vaskular perifer (peripheral vascular resistance). Curah jantung merupakan hasil
kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke volume), sedangkan isi
sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena (venous return) dan kekuatan kontraksi miokard.
Resistensi perifer ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastilitas pembuluh darah
dan viskositas darah. Semua parameter di atas dipengaruhi beberapa faktor antara lain system
syaraf simpatis dan parasimpatis, system Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA) dan faktor
lokal berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah.

Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu cenderung meningkatkan tekanan darah dengan
meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitas miokard dan meningkatkan
resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis bersifat depresif, yaitu menurunkan tekanan
darah karena menurunkan frekuensi denyut jantung. SRAA juga bersifat presif berdasarkan efek
vasokontriksi angiotensin II dan perangsangan aldosterone yang menyebabkan retensi air dan
natrium di ginjal sehingga meningkatkan volume darah. Selain itu terdapat sinergisme antara
sistem simpatis dan SRAA yang saling memperkuat efek masing-masing.

Sel endotel pembuluh darah memproduksi berbagai bahan xasoaktif yang sebagiannya
bersifat vasokonstriktor seperti endotelin, tromboksan A2 dan angiotensin II local dan sebagian
lagi bersifat vasodilator seperti endothelium-derived relaxing factor (EDRF) yang dikenal juga
dengan nitric oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2). Selain itu, jantung terutama atrium kanan
memproduksi hormon yang disebut atriopeptin (atrial natriuretic peptide, APN) yang bersifat
diuretic, natriuretic dan, vasodilator yang cenderung menurunkan tekanan darah.

2. DEFINISI

Hipertensi adalah tekanan darah yang meningkat dengan sistolik ≥140mmHg atau
diastolik ≥90mmHg.2

3. HIPERTENSI ESENSIAL

Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial.


Atau banyak penulis sering menyebutnya hipertensi primer, untuk membedakannya dengan
hipertensi sekunder karena sebab-sebab yang diketahui.3 Hipertensi Esensial cenderung familial
dan ada kemungkinan diakibatkan antara lingkungan dan faktor genetik. Prevalensi dari
hipertensi esensial akan meningkat dengan seiringnya bertambah usia, dan relatif individu usia
muda dengan tekanan darah tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi. Ada
kemungkinan bahwa hipertensi esensial mewakili spectrum gangguan dengan perbedaan
patofisiologi. Sebagian besar penderita dengan hipertensi, meningkatnya resistensi perifer dan
cardic output normal atau menurun. Namun pada penderita yang usia lebih muda dengan
hipertensi ringan atau tidak stabil mungkin cardiac output didapatkan normal dan resistensi
perifer mungkin menurun.2

Saat Plasma Renin Activity (PRA) diplot terhadap ekskresi Na, sekitar 10-15% dengan
penderita hipertensi mempunyai PRA yang tinggi dan 25% mempunyai PRA yang rendah.
Tingginya renin mempunyai vasokonstriktor dari hipertensi, sedangkan penderita yang rendah
renin tergatung volume hipertensi. Ketidakseimbangan gabungan antara plasma aldosterone
dengan tekanan darah menggambarkan penderita dengan hipertensi esensial. Gambaran ini
nampak pada orang-orang Afrika dan Amerika dan PRA cenderung lebih rendah. Hal ini
menimbulkan kemungkinan bahwa kenaikan sedikit aldosteron dapat menyebabkan hipertensi
setidaknya pada beberapa kelompok penderita yang tidak memiliki aldosteronisme primer

3
terbuka. Selanjutnya, spironolactone, antagonis aldosteron, mungkin menjadi agen anti hipertensi
yang efektif untuk beberapa penderita dengan hipertensi esensial. 2

4. KLASIFIKASI HIPERTENSI

4.1. Joint National Committee 7

Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The Seventh Report of
The Joint National Committee on Prevention, Detection, Eveluation, and Tretment of High
Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2. 4

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7


Klasifikasi TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Tekanan Darah

Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89

Hipertensi stadium 1 140 – 159 Atau 90 – 99

Hipertensi stadium 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik


4.2. World Health Organization (WHO)
WHO dan International Society of Hypertension Working Group (ISHWG) telah
mengelompokan hipertensi kedalam klasifikasi optimal, normal-tinggi, hipertensi ringan,
hipertensi sedang, dan hipertensi berat. 4

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah World Health Organization (WHO) dan


International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG)
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 Dan < 80
Normal < 130 Dan < 85
Normal tinggi / 130 – 139 Atau 85 – 89
pra hipertensi
Hipertensi derajat I 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi derajat II 160 – 179 Atau 100 – 109
Hipertensi derajat III ≥ 180 Atau ≥ 110

4.3. Chinese Hypertension Society (CHS)

Menurut Chinese Hypertension Society, pembacaan tekanan darah <120/80 mmHg


termasuk normal dan kisaran 120/80 hingga 139/89 mmHg termasuk normal tinggi. 4

Tabel 3. Klasifikasi menurut Chinese Hypertension Society (CHS)

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal < 120 < 80
Normal Tinggi 120 – 129 80 – 84
130 – 139 85 – 89

4
Hipertensi tingkat 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi tingkat 2 160 – 179 100 – 109
Hipertensi tingkat 3 ≥180 ≥ 110
Hipertensi sistol ≥140 ≤90
terisolasi ( ISH )

4.4. European Society of Hypertension (ESH)

Klasifikasi yang dibuat oleh European Society of Hypertension adalah :

1. Jika tekanan darah sistol dan diastole pasien berada pada kategori yang berbeda,
maka resiko kardiovaskuler, keputusan pengobatan dan perkiraan efektivitas
pengobatan difokuskan pada kategori dengan nilai lebih tinggi.
2. Hipertensi sistol terisolasi harus dikategorikan berdasarkan pada hipertensi sistol-
diastol ( tingkat 1, 2 dan 3 ). Namun tekanan diastole yang rendah (60-70 mmHg)
harus dipertimbangkan sebagai resiko tambahan.
3. Nilai batas untuk tekanan darah tinggi dan kebutuhan untuk memulai pengobatan
adalah fleksibel tergantung pada resiko kardiovaskular total. 4

Tabel 4. Klasifikasi menurut European Society of Hypertension (ESH)


Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal 120 – 129 80 – 84
Normal Tinggi 130 – 139 85 – 89
Hipertensi tahap 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi tahap 2 160 – 179 100 – 109
Hipertensi tahap 3 ≥180 ≥ 110
Hipertensi sistol ≥140 < 90
terisolasi ( ISH )

4.5 International Society on Hypertension in Black (ISHIB)

(ISHIB) memberikan rekomendasi klasifikasi dan pedoman baru karena kejadian


hipertensi yang lebih tinggi serta hasil pengobatan kardiovaskular dan ginjal yang buruk pada
etnis Amerika keturunan Afrika. 4

Tabel 5. Klasifikasi hipertensu menurut ISHIB


Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal Tinggi 130 – 139 85 – 89
Hipertensi tingkat 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi tingkat 2 160 – 179 100 – 109
Hipertensi tingkat 3 ≥180 ≥ 110
Hipertensi sistol ≥140 < 90
terisolasi ( ISH )

4.5. Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Pada perhimpunan ilmiah nasional 13-14 januari 2007 di Jakarta diluncurkan suatu
consensus mengenai pedoman penanganan hipertensi di Indonesia. 4

1. pedoman yang disepakati para pakar berdasarkan prosedur standard an ditunjukan


untuk meningkatkan hasil penanggulangan ini kebanyakan diambil dari pedoman
Negara maju dan Negara tetangga.
2. Tingkat hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan diastolik
dengan merujuk hasil JNC 7 dan WHO.

5
3. Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan : tingginya tekanan
darah, adanya faktor resiko lain, kerusakan organ target dan penyakit penyerta
tertentu.

Tabel 6. Klasifikasi hipertensi hasil konsensus perhimpunan hipertensi Indonesia.


Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi tingkat 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi tingkat 2 ≥ 160 ≥ 100
Hipertensi sistolok ≥ 140 < 90
terisolasi

5. PATOGENESIS 3

Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktor yang timbul terutama karena interaksi
antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor- faktor resiko yang mendorong timbulnya kenaikan
tekanan darah tersebut adalah :

1. Faktor resiko, seperti : Diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok, genetic.
2. Sistem saraf simpatis
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokontriksi
Endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan
interstitium juga memberikan konstribusi akhir.
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin dan
aldosteron.

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan


darah yang mempengaruhi rumus dasar :

6
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer

Endotelium
Exces Reduce stress Genetic obesity
derived
sodium nephrone alteration
factors
intake number

Renal Decreased Sympathetic Renin - Cell Hyper


sodium Filtration nervous angiotensin membrane insulinemia
retentio surface overactivity excess alteration
nn

Fluid Venous
volume constiction

Preload Contractability Functional Structural


constriction hypertrophy

BLOOD PRESURE = CARDIAC OUTPUT X PERIPHERAL RESISTANCE


Hypertension = Increased CO And/or Increased PR

Autoregulation
Gambar 1. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah.11

6. PATOFISIOLOGI 4

6.1. Hemodinamik pada Hipertensi

Keseimbangan antara curah jantung dan resistensi vaskuler perifer berperan penting
dalam pengaturan tekanan darah normal. Pada hipertensi esensial, pasien mempunyai curah
jantung normal terjadi peningkatan resistensi perifer. Resistensi perifer ditentukan oleh ateriol
kecil. Kontraksi otot polos yang berkepanjangan mengakibatkan penebalan dinding pembuluh
darah ateriol, sehingga menyebabkan penigkatan resistensi perifer yang tidak dapat pulih
kembali.

Dimulai sejak remaja, bertambahnya usia menyebabkan terjadinya perubahan


hemodinamik tekanan darah sistol yang berbanding lurus dengan usia bersifat paralel dengan
peningkatan tekanan darah diastol dan tekanan darah arteri rata-rata (MAP/Mean Arterial
Pressure). Peningkatan pada sistol, diastol dan tekanan arteri rata-rata hingga usia 50 tahun
disebabkan oleh adanya peningkatan resistensi periperal vaskuler. Setelah mencapai 50 tahun
hingga 60 tahun, tekanan diastol menurun dan tekanan detak jantung meningkat. Tekanan darah
sistol mengalami peningkatan pada usia lanjut.

6.2 Sistem Renin-Angiotensin

Renin merupakan enzim yang dihasilkan oleh sel jukstaglomelurar ginjal. Berbagai faktor
seperti status volume, asupan natrium dan stimulasi saraf simpatik menentukan kecepatan sekresi
renin. Hampir 20% pasien dengan hipertensi esensial mengalami penekanan aktivitas renin.

7
Sekitar 15% pasien mengalami aktivitas renin di atas normal. Peningkatan plasma renin ini
meningkatkan tekanan arteri. Sistem Renin – Angiotensin adalah salah satu sistem endokrin
penting yang dapat mengatur tekanan darah secara efektif. Renin berperan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang dengan cepat diubah menjadi angiotensin II pada
paru-paru oleh enzim pengubah angiotensin (Angiotensin Converting Anzyme, ACE).

Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat yang menyebabkan peningkatan tekanan darah.


Angiotensin II juga menstimulasi pelepasan aldosteron dari bagaian glomerulus kelenjar adrenal
yang menyebabkan retensi natrium dan air, sehingga meningkatkan tekanan darah. Sistem renin
lokal pada ginjal, jantung, pembuluh arteri, dan renin angiotensin lokal epikrin atau sistem
parakrin juga berperan mengatur tekanan darah.

6.3 Sistem Saraf Otonom

Sistem saraf otonom memegang peranan penting dalam pengaturan tekanan arteri.
Peningkatan aktivitas system saraf simpatis telah diimplikasi sebagai precursor utama hipertensi.
Terjadi ketidak seimbangan beberapa neurotransmitter dan neuromodulator pada kondisi
hipertensi, yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan peningkatan pelepasan
noradrenalin dari pasca-sinap saraf simpatik. Pada subjek yang sensitive dan hipertensif terhadap
NaCl, asupan NaCl meningkatkan aktivitas sisten saraf simpatik. Stimulasi system saraf simpatik
dapat menyebabkan konstriksi arteriolar dan juga dilatasi. Hal ini menyebabkan perubahan
tekanan darah jangka pendek akibat stress dan olahraga.

Hipertensi merupakan akibat dari interaksi beberapa mekanisme dalam tubuh seperti system
saraf otonom, system renin angiotensin dan faktor lain seperti natrium, hormone dan volume
sirkulasi darah.

6.4 Disfungsi Endotel

Sel endotel melepaskan faktor relaksasi dan faktor konstriksi yang memperngaruhitonus
otot polos pembuluh darah dan juga berperan dalam patofisiologi hipertensi esensial.
Vasodilatasi akibat endotellium diatur oleh nitrit oksida (NO) dan prostasiklin. Faktor konstriksi
turunan endotel adalah endotelin-1, prostanoid vasokonstriktor, angiotensin II dan anion
superoksida. Pelepasan faktor relaksasi dan kontraksi terjadi secara seimbang pada keadaan
fisiologis.

6.5 Bahan Vasoaktif

Banyak bahan vasoaktif yang terlibat pada pengaturan tekanan darah normal. Bradikinin
adalah vasodilator kuat yang diinaktivasi oleh ACE. Endotelin adalah vasokonstriktor endotel
yang kuat yang menghasilkan peningkatan tekanan darah yang dipicu oleh makan asin/berkadar
garam tinggi. Ini juga mengaktifkan system rnin-angiotensin local. Nitrit oksida yang dihasilkan
oleh endotel arteri dan vena menyebabkan vasodilatasi, peptide natriuretic atrial adalah hormone
yang dihasilkan dari atrium jantung yang berperan pada peningkatan volume darah. Akibatnya
natrium meningkat dan terjadi ekskresi air dari ginjal. Gangguan pada system ini dapat
menyebabkan retensi air sehinga menyebabkan hipertensi. Transport natrium melintasi dinding
sel pembuluh darah otot polos juga diperkirakan mempengaruhi tekanan darah melalui
interrelasinya dengan transport kalsium

6.6 Sensitivitas Insulin

Pada pasien hipertensi, adanya kondisi resistensi insulin atau hiperinsulinemia berperan
dalam peningkatan tekanan arteri. Hal ini diperkirakan merupakan bagian dari sindrom x atau
sindrom Reaven. Dan disebabkan oleh obesitas sentral, dyslipidemia dan tekanan darah
tinggi.kebanyakan dari populasi dengan hipertensi mengakami resistensi insulin atau

8
hiperinsulinemia. Peningkatan tekanan arteri pada keadaan hiperinsulinemia kemungkinan
disebabkan oleh 4 mekanisme, yaitu :

1. Peningkatan aktivitas simpatik sebagai hasil peningkatan retensi natrium akibat


hiperinsulinemia.
2. Hipertrofi otot polos sebagai akibat aksi mitogenik insulin.
3. Peningkatan kadar kalsium sitosolik pada pembuluh darah yang sensitive terhadap insulin
dan jaringan ginjal.
4. Nonmodulasi akibat resistensi insulin.

6.7 Faktor Genetik

Hipertensi merupakan salah satu gangguan genetik yang bersifat kompleks. Hipertensi
esensial biasanya terkait dengan gen dan faktor genetik, dimana banyak gen turut berperan pada
perkembangan gangguan hipertensi. Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga sebagai
pembawa (carrier) hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk terkena hipertensi.
Faktor genetic menyumbang 30% terhadap perubahan tekanan pada populasi yang berbeda.
Sebanyak 50 gen telah diketahui mempunyai keterkaitan dengan hipertensi, perubahan gaya
hidup seperti pola asupan makanan juga berperan penting dalam terjadinya hipertensi pada
keluarga. Gen yang berperan pada patofisiologi penyakit hipertensi adalah :

1. Gen simerik yang mengandung promotor gen 11β-hidroksilase dan gen urutan
selanjutnya untuk memberi kode pada gen aldosterone sintase, sehingga menghasilkan
produksi ektopik aldosterone.
2. Saluran natrium endotel yang sensitive terhadap amilorid yang terdapat pada tubulus
pengumpul. Mutasi gen ini menyebabkan peningkatan aktivitaas aldosterone, penekanan
system renin plasma dan hypokalemia.
3. Kerusakan gen 11β-hidroksilase dehydrogenase menyebabkan sirkulasi konsentrasi
kortisol normal untuk mengaktifkan reseptor mineralokortikoid, sehingga menyebabkan
sindrom kelebihan mineralokortikoid.

6.8 Faktor Intrauterine

Hipertensi pada remaja dipengaruh oleh berat badan saat lahir. Bukti menunjukan bahwa
kebanyakan bayi dengan berat badan rendah dapat mengalami hipertensi pada masa remaja dan
dewasanya dan biasanya terkait dengan beberapa ketidaknormalan metabolit seperti diabetes
mellitus, hiperlipidemia dan obesitas. Bayi dengan berat badan lahir rendah uang lahir dari ibu
yang mempunyai tekanan darah di atas rata-rata selama kehamilan juga dapat menderita
hipertensi.

6.9 Ginjal, Obesitas dan Hipertensi

Tekanan ginjal natriuresis memegang peranan penting dalam pathogenesis hipertensi.


Penelitian menunjukan pada hipertensi kronis terdapat gangguan tekanan natriuresis. Pencegahan
tekanan natriuresis dengan mengatur tekanan perfusi ginjal dapat mencegah ketidak seimbangan
natrium dan karenanya mencegah hipertensi.

Terdapat penelitian yang menunjukan bahwa kelebihan berat badan dan obesitas
memegang peranan penting dalam patofisiologi hipertensi. Hipertensi terkait dengan obesitas
disertai gangguan tekanan natriuresis. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan reabsorpsi
natrium akibat kecepatan filtrasi glomerular dan aliran plasma ginjal yang meningkat.

Pada obesitas yang berkepanjangan terdapat kerusakan glomerular dan gangguan tekanan
natriuresis ginjal akibat peningkatan tekanan arteri, vasodilatasi ginjal, hiperfiltrasi glomelrular,
dan aktivitas neurohumoral. Kesemuanya ini mengakibatkan terjadinya pengurangan fungsi
ginjal dan hipertensi yang lebih hebat.

Reabsorpsi natrium terkait dengan penambahan berat badan adalah akibat :

9
1. Peningkatan aktivitas simpatik ginjal
2. Aktivasi system renin-angiotensin
3. Perubahan fisiologi didalam ginjal.
7. Kerusakan Organ Target 3

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah :

1. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Angina atau Infark miokard
c. Gagal jantung
2. Otak
a. Stroke atau Transien Ischemic Attack
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati

Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat


melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak
langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor AT1 angiotensin II, stress oksidatif,
down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga
membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam
timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya
ekspresi transforming growth factors-β (TGF- β).

Adanya kerusakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah, akan
memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas pasien hipertensi
terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit kardiovaskuler.

Faktor resiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi antara lain adalah :

1. Merokok
2. Obesitas
3. Kurangnya aktivitas
4. Dyslipidemia
5. Diabetes mellitus
6. Mikroalbuminuria atau perhitungan LFG < 60 ml/menit
7. Umur ( laki-laki >55 tahun, perempuan 65 tahun)
8. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular premature (laki-laki <55
tahun, perempuan < 65 tahun)

Pasien dengan prehipertensi beresiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi


hipertensi; mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam
sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali resiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit
kardiovaskular dari pada yang tekanan darahnya lebih rendah.

Pada orang yang berumur lebihh dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmhg
merupakan faktor resiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada
yang tekananan diastolic :

1. Resiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darag 115/75 mmHg, meningkat
dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg.
2. Resiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor
resiko lainnya.
3. Individu berumur 55 tahun memiliki 90% resiko untuk mengalami hipertensi.

10
8. DIAGNOSIS

Evaluasi pada pasien penyakit hipertensi bertujuan untuk :

1. Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular lainnya atau
menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan
pengobatan.
2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular.

Evalusi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien,
riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.

Anamnesis meliputi :

1. Lama penderita hipertensi dan derajat tekanan darah


2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-obat
analgesic dan obat bahan lain.
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor- fakto resiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
b. Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olah raga
g. Kepribadian

4. Gejala kerusakan organ


a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, TIA, deficit sensoris
atau motoris
b. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal : haus, polyuria, nokturia, hematuria
d. Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor- faktor pribadi, keluarga dan lingkungan

Pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk mengevaluasi adanya penyakit
penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi sekunder.

Pengukuran tekanan darah :

1. Pengukuran dikamar pemeriksa


2. Pengukuran 24 jam (ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
3. Pengukuran sendiri oleh pasien

Pengukuran di kamar pemeriksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien istirahat
selama 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran dan peletakan
manset ( panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa) dan stetoskop harus benar
(gunakan suara Korotkoff fase I dan V untuk penentuan sistolik dan diastolic). Pengukuran
dilakukan dua kali, dengan sela antara 1 sampai 5 menit, pemgukuran tambahan dilakukan jika
hasil kedua pengukuran sebelumnya sangat berbeda. Konfirmasi pengukuran pada lengan
kontralateral dilakukan pada kunjungan pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah.
Pengukuran denyut jantung dengan menghitung nadi (30 detik) dilakukan saat duduk segera

11
sesudah pengukuran tekanan darah. Untuk orang usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana
diperkirakan ada hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah pada posisi
berdiri.

Beberapa indikasi pengukuran ABPM antara lain :

1. Hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodic


2. Hipertensi office atau white coat
3. Adanya disfungsi saraf otonom
4. Hipertensi sekunder
5. Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi
6. Tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan antihipertensi
7. Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari :

1. Tes darah rutin


2. Glukosa darah ( sebaiknya puasa)
3. Kolesterol total serum
4. Kolesterol LDL dan HDL serum
5. Trigliserida serum (puasa)
6. Asam urat serum
7. Kreatinin serum
8. Kalium serum
9. Hemoglobin dan hematocrit
10. Urinalisis
11. Elektrokardiogram

9. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah

1. Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal
ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria

Selain pengobatan hipertensi, pengpobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta
lainnya seperti diabetes mellitus atau dyslipidemia juga dilaksanakan hingga mencapai mencapai
target terapi masing-masing kondisi.

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi


nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua penderita hipertensi dengan tujuan menurunkan
tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit penyerta lainnya.

Terapi nonfarmakologis berupa :

1. Melakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat


2. Menurunkan berat badan berlebihan
3. Menurunkan konsumsi alcohol berlebih dan berhenti merokok
4. Latihan fisik
5. Menurunkan asupan garam
6. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.

12
Terapi Farmakologis berupa :

Obat-obat antihipertensi meliputi Diuretik, penghambat system adrenergic, vasodilator,


penghambat system-renin-angiotensin, antagonis kalsium.

1. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan
volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibtanya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan
darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretic juga menurunkan resistensi perifer sehingga
menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga kuat akibat penurunan natrium di ruang interstitial
dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal
ini terlihat jelas pada diuretic tertentu seperti golongan tiazid yang mulai menunjukan efek
hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah
jantung akan kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat
penurunan resistensi perifer.

A. Golongan Tiazid

Terdapat beberapa golongan obat yang termasuk golongan tiazid antara lain hidroklorotiazid,
bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretic lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida
(indapamid dan klortalidon). Obat golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama
(symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat.

B. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)

Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden begian epitel tebal dengan cara menghambat
kontransport Na+ ,K+, Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat
dan efek diuretiknya lebih kuat dari golongan tiazid, oleh karena itu diuretic kuat jarang
digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
serum >2,5 mg/dl) atau gagal jantung.

13
Termasuk dalam golongan diuretic kuat antara lain furosemide, torasemid, bumetamid dan
asam etakrinat. Waktu paruh diuretic kuat umunya pendek sehingga diperlukan 2 atau 3 kali
sehari.

Efek samping diuretic kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa diuretic kuat
menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah, sedangkan tiazid meninmbulkan
hipokalsiuria dab meningkatkan kalsium darah.

C. Diuretik Hemat Kalium

Amirolid, triamterene dan spironolakton merupakan diuretic lemah. Penggunaannya terutama


diuretic lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretic lain intik mencegah
hypokalemia. Diuretic hemat kalium dapat menimbulkan hyperkalemia bila diberikan pada
pasien dengan gagal ginjal atau bila kombinasi dengan ACEI, ARB, β-blocker, AINS atau
dengan suplemen kalium. Penggunaan harus dihindarkan bila kreatinin serum >2,5mg/dl.

Spirolakton merupakan antagonis aldosterone sehingga merupakan obat yang tepilih pada
hiperaldosteronisme primer (Sindrom Conn). Obat ini sangat berguna pada pasien dengan
hiperurisemia, hypokalemia dan dengan intoleransi glukosa. Berbeda dengan golongan tiazid,
spirolakton tidak mempengaruhi kadar Ca++ dan gula darah.

Efek samping spirolakton antara lain ginekomastia, mastodinia, gangguan menstruasi dan
penurunan libido pada pria.

Obat Dosis (mg) Pemberian Sediaan


A. Diuretik
Tiazid
Hidroklorotiazid 12,5-25 1 x sehari Tab 25 dan 50 mg

Klortalidon 12,5-25 1 x sehari Tab 50 mg

Indapamid 1,25-2,5 1 x sehari Tab 2,5 mg

Bendroflumetiazid 2,5-5 1 x sehari Tab 5 mg

Metolazon 2,5-5 1 x sehari Tab 2,5; 5 dan 10


mg

Metolazon rapid 0,5-1 1 x sehari Tab 0,5 mg


acting

Xipamid 10-20 1 x sehari Tab 2,5 mg

B. Diuretik
Kuat
Furosemid 20-80 2-3 x sehari Tab 40 mg, amp 20
mg

Torsemid 2,5-10 1-2 x sehari Tab 5, 10, 20, 100


mg, Ampul 10
mg/mL (2 dan 5
mL)

Bumetanid 0,5-4 2-3 x sehari Tab 0,5; 1 dan 2 mg

As. Etakrinat 25-100 2-3 x sehari Tab 25 dan 50 mg

C. Diuretik
Hemat
Kalium

14
Amilorid 5-10 1-2 x sehari

Spirolakton 25-100 1 x sehari Tab 25 dan 100 mg

Triamterene 25-300 1 x sehari Tab 50 dan 100 mg

2. Penghambat Sistem Adrenergik


A. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Blocker)

Mekanisme antihipertensi, berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian


β-blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain :

1. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan


curah jantung
2. Hambatan sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi
angiotensin II
3. Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas
baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergic perifer dan peningkatan biosintesis
prostasiklin.

Penurunan tekanan darah oleh β-blocker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek
ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh
tekanan darah lebih lanjut stelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan
hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan garam.

Penggunaan β-blocker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai
sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung coroner (khususnya sesudah infark
miokard akut), pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpai kelainan konduksi, dan
pada pasien yang memerlukan antidepresan trisiklik atau amtipsikotik (karena efek antihipertensi
β-blocker tidak dihambat oleh obat-obatan tersebut). Β-blocker lebih efektif pada pasien usia
muda dan kurang efektif pada pasien usia lanjut.

Semua β-blocker di kontraindikasikan pada pasien asma bronkial atau PPOK karena dapat
menyebabkan bronkospasme dan β-blocker dapat menyebabkan bradikardia, blockade AV,
hambatan nodus SA. Β-blocker merupakan obat yang paling baik untuk hipertensi dengan angina
stabil kronik.

B. Penghambat Adrenoreseptor Alfa (α-blocker)

Hanya α-blocker yang selektif menghambat reseptor alfa -1 yang digunakan sebagai
antihipertensi. α-blocker non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan
reseptor α2 di ujung saraf adrenergic akan meningkatkan pengelepasan norepinefrin dan
meningkatkan aktivitas simpatis.

Mekanisme antihipertensi, hambatan reseptor α-1 menyebabkan vasodilatasi di ateriol dan


venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi menyebabkan aliran
balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung venodilatasi ini dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal, menyebabkan reflex
takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka panjang reflex
kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensi tetap bertahan

α-blocker memiliki beberapa keunggulan antara lain efek positif terhadapt lipid darah
(menurunkan LDL, dan trigliserida, dan meningkatkan HDL) dan mengurangi resistensi insulin,
sehingga cocok intuk pasien hipertensi dengan dyslipidemia dan/atau diabetes mellitus. α-
blocker juga sangat baik untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi prostat, karena hambatan
reseptor α-1 akan merelaksasi otot polos prostat dan sfingter uretra sehingga mengurangi retensi

15
urin. Obat ini juga memperbaiki insufisiensi vascular perifer, tidak mengganggu fungsi jantung,
tidak mengganggu aliran darah ginjal dan tidak berinteraksi dengan AINS.

Efek samping, hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis awal atau pada
peningkatan dosis, terutama dengan obat yang singkat seperti prazosin.gejalaya berupa pusing
sampai sinkop. Sebaiknya gunakan dosis kecil dan diberikan sebelum tidur. Efek sampingnya
sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung tersumbat, mual dan lain-lain.

C. Adrenolitik Sentral

Metildopa, klonidin, guanfasin, guanabenz, moksinidin, rilmedin. Yang palimg sering


digunakan adalah metildopa dan klonidin. Guanabenz dan guanfasin sudah jarang digunakan dan
analog klonidin yaitu moksonidin dan rilmedin masih dalam penelitiann.

D. Penghambat Saraf Adrenergik

Reserpin, guanetidin, guanadrel

E. Penghambat Ganglion

Trimetafan, obat ini merupakan satu-satunya penghambat ganglion yang digunakan klinik,
walaupun sudah semakin jarang. Kerjanya cepat dan singkat dan digunakan untuk menurunkan
tekanan darah pada :

1. Hipertensi darturat, anuerisma aorta


2. Untuk menghasilkan hipotensi yang terkendali selama operasi besar
3. Vasodilator

Hidralazin, minoksidil dan diazoksid

4. Penghambat Sistem Renin-Angiotensin


A. Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme ( ACE-Inhibitor)

Kaptopril merupakan ACE-Inhibitor yang terutama dan banyak digunakan di klinik untuk
pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Secara umum ACE-Inhibitor dibedakan atas dua
kelompok :

1. Yang bekerja langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril


2. Prodrug, contohnya enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril,
fosinopril dan lain-lain.

Obat ini dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif. ACE-Inhibitor menghambat Angiotensin I
menjadi Angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi fan penurunan sekresi aldosterone. Selain
itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan
berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan
tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosterone akan menyebabkan eksresi air dan natrium
dan retensi kalium.

Efek samping berupa hipotensi, batuk kering, hyperkalemia, rash, gagal ginjal akut,
proteiunuria.

16
Perhatian dan kontraindikasi ACE-Inhibitor pada wanita hamil karena sifat teratogenik.
Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi karena ACE-Inhibitor dieksresika melalui
ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi.

Dalam JNC VII, ACE-Inhibitor diindikasikan untuk hipertensi dengan penyakit ginjal kronik.
Namun harus berhati-hati terutama bila ada hyperkalemia karena akan memperberat.

B. Antagonis Reseptor Angiotensin II ( Angiotensin Receptor Blocker, ARB)

Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu reseptor AT1 dan AT2.
Reseptor AT1 terdapat utama di otot polos pembuluh darah dan di otot jantung, selain itu
terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantai semua efek
fisiologi Angiotensin II terutama sebagai homeostasis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di
medulla adrenal dan mungkin juga SSP.

Losartan merupakan prototype obat golongan ARB yang bekerja selektif pada reseptor AT1.
Pemberian obat ini akan menghambat semua efek Angiotensin II : vasokontriksi, sekresi
aldosterone, rangsangan saraf simpatis, efek sentral Angiotensin II, stimulasi jantung, efek renal
serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan miokard. ARB
menimbulkan efek yang mirip dengan ACE-Inhibitor tetapi tidak mempengaruhi metabolism
bradikinin, maka tidak ada efek samping batuk kering dan angioedema.

ARB ssangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin
yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dam hipertensi genetic, tapi kurang efektif pada
hipertensi dengan aktivitas renin rendah.

Efek samping dan perhatian, hipotensi dapat terjadi pada pasien kadar renin tinggi seperti
hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular dan sirosi hepatis. Fetotoksik maka dari itu
jangan diberikan pada wanita hamil. Kontraindikasi sama seperti ACE-Inhibitor.

5. Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos, pembuluh darah dan
miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi ateriol ,
sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek
takiradia dan vasokontriksi, terutama bila menggunakan golongan dihidropiridin kerja pendek
(nifedipin).

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan JNC 7 :

1. Diuretika : terutama jenis Thiazide (thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant)
2. Beta Blocker (BB)
3. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
4. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
5. Angiotensin II Reseptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker (ARB)

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target
tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan
efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu
jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan
ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis
rendah, dan kemudian darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah
meningkatnya dosis obat tertentu, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan rendah.
Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal

17
maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah, tetapi kombinasi dapat meningkatkan biaya
pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum
bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :
a. dan ACEI atau ARB
b. CCB dan BB
c. CCB dan ACEI atau ARB
d. CCB dan diuretika
e. AB dan BB
f. Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.

10. KOMPLIKASI
a. Aterosklerosis
b. Gagal Jantung
c. Retinopati
d. Stroke atau transcient ischemic attack
e. Penyakit arteri perifer

18
Hari / tanggal : Sabtu / 16 Februari 2019
Tempat : Aula Puskesmas Koto Katiak
Kegiatan : UKM-Penyuluhan Hipertensi (PROLANIS)
Narasumber : dr. Veggy Pratama Ananda Putra

Deskripsi Kegiatan :
Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian
penyakit jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sering tidak menunjukkan gejala, sehingga
baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung atau
stroke. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sebagian besar kasus
hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran tekanan darah
pada usia 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi hipertensi di indonesia sebesar 31,7% dimana
hanya 7,2 % penduduk yang sudah mengetahui memiliki hipertensi dan 0,4% kasus yang minum
obat hipertensi.
Salah satu kebijakan Kemenkes untuk mengelola hipertensi dan penyakit tidak menular
lainnya adalah meningkatkan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui revitalisasi
puskesmas untuk pengendalian PTM melalui penyuluhan-penyuluhan yang dilaksanakan kepada
penderita hipertensi terutama usia lanjut.

Penyuluhan hipertensi yang diikuti oleh anggota prolanis.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Gan Gunawan, Sulistia. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. Farmakologi dan Terapi.
Edisi V. 2012. Bagian 21; Antihipertensi; p341-360.
2. Longo, Dan L. Kasper, Dennis L. Jameson, J Larry. Fauci, Anthony S. Hauser, Stephen
L. Loscalzo, Joseph. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th Edition. 2012.
Chapter 247 ; Hipertensive vascular Disease.
3. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati,
Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi V . 2009. Bagian 169;Hipertensi
Esensial; p1079-1085.
4. Sani, Aulia. Hypertension Current Perspective.2008. p 7-30.
5. Young, Vicent B. Kormos, William A. Chick, Davoren A. Goroll, Allan H.Blueprints
Medicine. 5th Edition. 2010. Chapter 8 ; Hypertension.
6. Ferri, Fred F. Color Atlas and Text of Clinical Medicine. 2009. Chapter 127;
hypertension.
7. Martin, Jeffery. The journal of Lancaster General Hospital. Volume 3. 2008.
Hypertension Guidelines : Revisting The JNC 7 Recommendations. p91-97.
8. Chobanian, Aram V. Baktris, Geogre L. Black, Henry R. Cushman, William C. Green,
Lee A. Izzo, Joseph L. W, Jones, Jr.Daniel W. Materson, Barry J. Oparil, Suzanne.
Wright, Jackson T. Rocella, Edward J. and National High Blood Pressures Education
Program Coordinating Committee. Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evalution, and Treatment oh High Blood Pressure.2013.
Hypertension. Download from : http://hyper.ahajournals.org

20

Anda mungkin juga menyukai