Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS YURIDIS UPAYA KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN BADAN

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM KAITANNYA DENGAN


PERLINDUNGAN KONSUMEN

GABRIEL SIALLAGAN

A.21209050

Abstract
Consumer dispute can be resolved through on courts or outside the court based on
voluntary choice of the parties. Settlement of dispute through the court provisions on the
article 45. Dispute of the settlement can be solved out the court by using Consumer Dispute
Settlement Body (BPSK).The purpose of establshing BPSK is to protec consumer and
producer by designing consumer protection system that contain legal certainty and
transparency the information. The existence of BPSK expected equality of justice
especially to consumer that aggrieved by consumer. It because the dispute between
consumer and producer generally involved in small value so that the consumer hesitate to
registered his case to judicial process. There is no adequate between the court fee and
indemnification perceived. The problems that the decision of BPSK has characteristic
final and binding however it can be carried out to the district court and the decision
cannot be executed directly or realized.

Keywords: consumers right, consumer’s protection, dispute resolution.

1
Abstrak
Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui Pengadilan ataupun luar Pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak. Penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan mengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam peradilan umum dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 45 UUPK. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan
dengan memanfaatkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Tujuan
pembentukan BPSK adalah untuk melindungi konsumen maupun pelaku usaha dengan
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi. Keberadaan BPSK diharapkan akan menjadi bagian dari
pemerataan keadilan, karena sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha biasanya
nominalnya kecil sehingga konsumen enggan untuk mengajukan sengketanya di
Pengadilan. Hal yang menjadi persoalan adalah putusan BPSK yang bersifat final dan
mengikat, hanya saja putusan tersebut dapat dilakukan upaya keberatan ke pengadilan
negeri dan putusan tersebut tidak dapat langsung eksekusi atau dilaksanakan.

Kata kunci : hak konsumen, perlindungan konsumen,penyelesaian sengketa

2
I. PENDAHULUAN

Pesatnya pertumbuhan perekonomian nasional telah menghasilkan variasi produk


barang dan/atau jasa yang dapat di konsumsi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan,
teknologi komunikasi, dan informatika juga turut mendukungperluasan ruang gerak transaksi
barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi demikian
pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan
barang dan/atau jasa yang di inginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan
untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya.

Dilain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku
usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis
dari pelaku usaha melalui iklan, promosi serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang
merugikan konsumen . Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan
rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.

Potensi demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa konsumen antara konsumen


dengan pelaku usaha . Terjadinya sengketa akibat adanya perbedaan pandangan atau
pendapat antara para pihak tertentu mengenai hal tertentu. Itulah pendapat orang pada
umumnya jika ditanya akan apa yang dimaksud dengan sengketa. Sengketa akan timbul
apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain
tidak merasa demikian.Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaran perlindungan konsumen,
maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam bentuk suatu produk hukum
yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut (UUPK). Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki
kekuatan untuk memaksa pelaku usaha untuk mentaatinya dan hukum juga memiliki sanksi
yang tegas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa perlindungan


konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk
memperdayakan konsumen memperoleh atau untuk menentukan pilihannya atas barang

3
dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh prilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen. 1

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Ayat (1) dan ayat (2) UUPK disebutkan bahwa tujuan
dibentuknya UUPK ini adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan , dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. Dalam era globalisasi,
pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha
sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak.2

Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha


para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat dan lahirnya
perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui kepada konsumen itu juga
dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen.

Secara teoritis penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara. Cara
penyelesaian sengketa pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian
berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar Pengadilan.
Proses Litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan (adversarial) yang belum
mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru,
lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan
menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.3
Sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Ayat 1 dan 2 UUPK disebutkan bahwa setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang
berada dilingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui pegadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang
bersengketa. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa.

1
AZ. Nasution, 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau
Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 6-7
2
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang perlindungan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal 98
3
Rachmadi Usman 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 3

4
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 45
UUPK ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai oleh kedua belah pihak
yang bersengketa. Adapun yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa secara damai
adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak tanpa melalui Pengadilan
maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) dan tidak
bertentangan dengan UUPK ini.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya diserahkan kepada


pilihan para pihak antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan apakah akan
diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku
usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen
dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan
sengketa konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib mengikutinya.

Menurut ketentuan Pasal 54 ayat 3 UUPK yang disebutkan bahwa Putusan BPSK
sebagai hasil dan penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa
telah selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai
sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu. Prinsip, res judicata pro
veritate hebetur, menyatakan bahwa suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan
upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti, namun
jika pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 Ayat (2) UUPK
menyatakan bahwa terhadap putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa antara konsumen
dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, dan terhadap
putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini
bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat tersebut,
sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif.

Dalam pelaksanaannya Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK ini
menimbulkan dampak yang mengganggu eksistensi BPSK dalam upaya memberikan
perlindungan kepada konsumen, antara lain kesan negatif konsumen terhadap keberadaan
lembaga BPSK, jika akhirnya ke pengadilan juga.

Pelaku usaha yang tidak puas terhadap BPSK cenderung melanjutkan perkaranya ke
Pengadilan, bahkan apabila perlu hingga ke Mahkamah Agung, sehingga keberadaan BPSK

5
sebagai lembaga small claim court yang menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat,
tidak formal dan biaya murah tidak tercapai. 4

Permasalahan lainnya juga timbul jika pelaku usaha setelah menerima pemberitahuan
atas putusan BPSK tidak setuju atau berkeberatan terhadap putusan tersebut dan mengajukan
permohonan keberatan ke Pengadilan Negeri. Timbulnya permasalahan dikarenakan UUPK
tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup adanya keberatan terhadap putusan BPSK ini.
Memperhatikan praktik peradilan saat ini, implementasi instrumen hukum keberatan ini
sangat membingungkan dan menimbulkan berbagai persepsi dan interprestasi, terutama bagi
para hakim dan lembaga peradilan sendiri, sehingga timbul berbagai penafsiran akan arti dan
maksud suatu undang-undang.

Hal ini disebabkan terminologi “keberatan” tidak dikenal dalam sistem hukum acara
yang ada. Apakah upaya keberatan harus diajukan dalam acara gugataan, perlawanan, atau
permohonan dan perlu tidaknya BPSK turut digugat agar dapat secara langsung didengar
keterangannya. Di pihak pengadilan akan menimbulkan permasalahan sendiri, karena
pengajuan keberatan ini akan di daftarkan pada register apa karena pengadilan tidak
mempunyai register khusus keberatan.

Dalam proses pemeriksaan keberatan di Pengadilan Negeri terhadap putusan BPSK


apakah majelis Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili keberatan tersebut mengulang
kembali proses pemeriksaan penyelesaian sengketa konsumen dari awal lagi? jika mengulang
kembali proses pemeriksaannya dari awal, maka terjadi pelemahan terhadap lembaga BPSK
dan yang menjadi pertanyaan adalah reputasi dan keahlian sumber daya manusia arbiter
BPSK patut untuk dipertanyakan lagi.

Harus diakui bahwa UUPK ini disamping kurang memberikan perhatian khusus pada
tahap pemeriksaan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai institusi pertama yang
menangani masalah yang berkaitan dengan adanya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen,
juga undang-undang ini mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan peran
lembaga peradilan. Pengaturan peran lembaga peradilan tidak diatur secara jelas, padahal

4
Widijantoro, J dan Wisnubroto, Al, Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya Perlindungan
Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal 45

6
pengaturan tersebut mempunyai implikasi hukum yang signifikan. Karena tidak diikuti baik
dengan petunjuk teknis maupun penjelasan yang cukup, maka hal ini cenderung
menimbulkan kendala-kendala yang perlu segera diselesaikan agar undang-undang ini dapat
berjalan dengan baik. Adanya pertentangan pasal yang satu dengan pasal yang lain,
pertentangan baik dengan ketentuan hukum acara yang dipakai selama ini, maupun
pertentangan dengan peraturan yang lain, sehingga kepastian hukum sulit tercapai.

Dari ketentuan tersebut diatas, maka menarik perhatian peneliti bahwa alternatif
penyelesaian sengketa di Indonesia, khususnya perkara sengketa konsumen, hingga saat ini
belum terdapat suatu keseragaman, baik mengenai kekuatan mengikat putusan BPSK maupun
putusan Pengadilan Negeri terhadap keberatan atas putusan BPSK berkaitan dengan
penyelesaian sengketa konsumen maupun ketaatan para pihak dalam melaksanakan putusan
lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Bertolak dari permasalahan tersebut, maka
dilakukan penelitian mengenai Upaya Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Dalam Kaitannya dengan perlindungan konsumen.

Tulisan ini selanjutnya akan membahas tentang permasalahan efektifitas upaya


keberatan terhadap putusan Badan Peneyelesaian Sengeketa Konsumen dan efektifitas Upaya
keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam rangka
kepastian perlindungan hukum konsumen.

II. PEMBAHASAN

A. BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dibentuk untuk menindaklanjuti


terbitnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku efektif
sejak tanggal 21 April 2000. UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum

7
perlindungan konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Pasal 1 butir (11) UUPK menyatakan bahwa BPSK adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK
sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala
kecil dan bersifat sederhana.
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa
konsumen menurut Pasal 52 Undang-undang Perlindungan Konsumen jo Kepmenperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu :
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
mediasi atau arbitrase atau koalisi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
undang-undang lain;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau
setiap orang bagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini.
Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian terdapat 2 fungsi
strategis dari BPSK yaitu :
8
a. BPSK berfungsi sebagai instrument hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yaitu melalui konsiliasi, mediasi, arbitrase;
b. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha.
Termasuk disini klausula baku di bidang kelistrikan, telekomunikasi, bank, perusahaan
pembiayaan.
Salah satu fungsi strategis ini adalah menciptakan keseimbangan kepentingan kepentingan
pelaku usaha dan konsumen.

Sesuai ketentuan Pasal 52 huruf a Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 ditegaskan
bahwa tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa dengan cara melalui mediasi atau arbitrasi atau
konsiliasi. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/2002.

Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara mediasi atau konsiliasi atau
arbitrasi dilakukan atas pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian
sengketa konsumen ini bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang.
Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak
yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator.
Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang
bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator.
Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi dilakukan sepenuhnya dan diputuskan
oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter.

Majelis dibentuk oleh Ketua BPSK, yang jumlah anggotanya ganjil dan sedikit-
dikitnya 3 (tiga) yang memenuhi semua unsur, yang unsur pemerintah, unsur pelaku usaha
dan unsur konsumen, serta dibantu oleh seorang panitera. Putusan majelis bersifat final dan
mengikat.

Penyelesaian sengketa konsumen wajib dilaksanakan selambat-lambatnya dalam


waktu 21 (dua pulah satu) hari kerja, terhitung sejak permohonan diterima oleh sekretariat
BPSK. Terhadap putusan majelis, para pihak yang bersengketa dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak pemberitahuan putusan majelis diterima oleh para pihak yang bersengketa.

9
Sifat putusan BPSK adalah final dan mengikat (final and binding) sebagaimana diatur
dalam Pasal 54 ayat (2) UUPK dan putusan dijatuhkan dalam waktu 21 hari sejak gugatan
diterima di sekretaris BPSK (Pasal 55 UUPK jo Pasal 38 SK 350/MPP/Kep/2001).
Berdasarkan Pasal 40 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/21/2001, amar putusan
BPSK terbatas pada 3 alternatif yaitu :
1. Perdamaian;
2. Gugatan ditolak;
3. Gugatan dikabulkan.
Apabila gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang
harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa sebagai berikut :
1. Ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau memanfaatkan jasa yang dapat berupa :
a. Pengembalian uang;
b. Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya;
c. Perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan.
2. Sanksi administratif
Sanksi administratif yang diatur didalam pasal 60 UUPK merupakan suatu hak khusus
yang diberikan oleh UUPK kepada BPSK atas tugas dan/atau kewenangan sebagai
lembaga alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Berdasarkan Pasal 60
ayat (2) jo pasal 60 ayat (1) UUPK, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh
BPSK adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap atau dalam rangka tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi
oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atas kerugian yang diderita.

B. KEBERATAN MENURUT PERMA No. 1 TAHUN 2006

Salah satu ketentuan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut adalah


Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa “keputusan
BPSK bersifat final dan mengikat”. Ketentuan ini jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 56
ayat (2) sangat kontradiktif, karena Pasal 56 ayat (2) menyatakan bahwa “Terhadap putusan
BPSK dapat diajukan keberatan ke pengadilan”. Hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian

10
dalam hukum. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan
Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (untuk selanjutnya
disebut dengan Perma No. 1 tahun 2006).
Lahirnya Perma No.1 tahun 2006 ini dilatarbelakangi oleh karena undang-undang
Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara jelas hukum acara di pengadilan negeri untuk
mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK dan untuk kelancaran pemeriksaan keberatan
terhadap putusan BPSK, karena selama ini masalah ketiadaan peraturan tentang ini dapat
menjadi hambatan bagi penegak hukum di pengadilan negeri dalam upaya keberatan.
Keberatan adalah upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima
putusan BPSK. 5 Istilah keberatan sebetulnya dalam bidang hukum acara perdata tidak
dikenal, istilah keberatan ini membuat para hakim pengadilan negeri, tempat dimana ada
pengajuan keberatan atas putusan BPSK mendapatkan kesulitan untuk menafsirkan apakah
pengajuan keberatan tersebut semacam banding, gugatan atau permohonan, karena dalam hal
ini belum ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana yang
dimaksud dengan pengajuan keberatan atas putusan BPSK di pengadila negeri. 6 Sedangkan
selama ini proses pemeriksaan perkara di pengadilan negeri hanya berbentuk gugatan dan
permohonan. Akan tetapi kalau kita lihat ketentuan Perma No.1 Tahun 2006 Pasal 6 ayat (2)
tentang tata cara pemeriksaan keberatan dinyatakan bahwa pemeriksaan keberatan dilakukan
hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas perkara, hal ini mirip dengan upaya hukum
banding.
BPSK adalah lembaga non-yudisial, selama ini upaya hukum yang dapat dilakukan
terhadap putusan lembaga non-yudisial umumnya berbentuk gugatan. Misalnya untuk bidang
hukum hak kekayaan intelektual (HKI), pihak yang keberatan terhadap putusan komisi
banding merk sebagai komisi independen dapat mengajukan gugatan ke pengadilan niaga. 7
Selanjutnya Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatakan
bahwa keputusan BPSK bersifat final dan mengikat, bahwa apabila ditafsirkan secara
sistematis dengan ketentuan yang terdapat dalam HIR jo Undang-undang No. 27 tahun 1947
tentang Peradilan Ulangan, maka putusan pengadilan negeri yang belum mempunyai

5
Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Perma No. 1 Tahun 2006, pasal 1 angka 2.
6
Aman Sinaga, “Apakah Putusan BPSK Dapat Dibanding?”, Media Indonesia (29 Agustus 2004).
7
Ningrum Natasya Sirait, “Mencermati UU No. 5 Tahun 1999 Dalam Memberikan Kepastian Hukum Bagi
Pelaku Usaha”, Jurnal Hukum Bisnis vol. 22 (Januari-Februari 2003 ) : 64.

11
kekuatan hukum tetap, terhadap putusan pengadilan negeri yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, hanya dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali. 8
Putusan BPSK bersifat final berarti putusan hukum tersebut tidak membutuhkan
upaya hukum lanjutan. Meminjam istilah undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara,
bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Dengan dikeluarkannya putusan yang bersifat final maka dengan sendirinya sengketa yang
telah diperiksa diakhiri atau diptusukan. Putusan final merupakan tindakan terakhir
pengadilan dalam menetukan hak-hak para pihak dalam menyelesaikan segala persoalan
dalam suatu sengketa, para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan
yang sudah bersifat final tersebut.
Putusan BPSK bersifat mengikat / binding, mengikat maksudnya adalah memberikan
beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subyek hukum. Didalam hukum acara
perdata dikenal teori res adjudicata pro veritare habetur yang artinya adalah upaya hukum,
maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat para pihak yang
bersengketa.
Teori res adjudicata pro veritare habetur dihubungkan dengan putusan BPSK yang
bersifat final dan mengikat maka, terhadap putusan BPSK tidak dapat diajukan lagi upaya
hukum banding maupun kasasi dengan demikian putusan BPSK mengikat para pihak dan
wajib oleh para pihak. Berdasarkan penafsiran sistematis upaya hukum keberatan terhadap
putusan BPSK lebih mendekati upaya hukum biasa seperti verzet, banding, kasasi, tetapi
upaya hukum banding dapat diajukan terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Dalam sistem penegakan hukum perlindungan konsumen dikenal ruang lingkup
mekanisme keberatan. Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa “penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan, berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Selanjutnya Pasal 45
ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen menambahkan bahwa penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan dikatakan menjadi wewenang dari pengadilan umum,
sedangkan untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan disebutkan menjadi wewenang

8
Bernatte Waluyo, “Rancangan Perma Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK”,
(Makalah disampaikan pada FGD yang diselenggarakan oleh YSHI, di Hotel Alia Jakarta, 27 Desember 2005,
hal. 4-5.

12
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen
di luar pengadilan meliputi :
1) Penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan oleh konsumen dan pelaku usaha
sendiri;
2) Penyelesaian dengan mengadu kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM);
3) Penyelesaian dengan cara mengadu kepada Badan Penyelesain Sengketa Konsumen. 9
Dengan demikian tersedia 2 jalur pilihan penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen, yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Pemilihan kedua jalur ini
ditentukan utamanya oleh kehendak para pihak 10 dan kapasitas penggugatnya, sedangkan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya dapat ditempuh oleh penggugat individu,
karena gugatan yang dilakukan oleh pemerintah hanya dapat diajukan kepada peradilan
umum11 dan apabila telah dipilih penyelesaia sengketa melalui jalur di luar pengadilan, maka
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. 12
Undang-undang Perlindungan Konsumen kemudian mengatur bahwa terhadap
putusan BPSK dapat diajukan keberatan ke pengadilan. 13 Dari ketentuan tersebut tampak
bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak tuntas mengatur upaya hukum yang
tersedia, permasalahannya sekarang adalah bagaimana hubungan mekanisme keberatan yang
diatur dalam Pasla 56 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen dengan Pasal 45 ayat
(4) undang-undang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa gugatan ke pengadilan
masih dapat dilakukan oleh para pihak apabila para pihak menganggap bahwa upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh para pihak. Apakah
keberatan merupakan perwujudan dari kondisi yang diatur oleh Pasal 45 ayat (2) sehingga
keberatan merupakan salah satu akibat dari kondisi pernyataan ketidak berhasilan? Rasanya
tidak, karena Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen hanya menyinggung
bahwa “para pihak dapat ....” tanpa memberikan alasan apapun dan tidak sama sekali
menyinggung kondisi ketidak berhasilan proses penyelesaian sengketa.
Dari Pasal 52 huruf a Undang-undang Perlindungan Konsumen yang mengatur
tentang tugas dan wewenang BPSK, diketahui bahwa BPSK melaksanakan penyelesaian

9
Al Wisnubroto, Nugroho As’ad dan Nurhasan, op.cit., hal. 36.
10
Pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999.
11
Pasal 46 ayat (2) UU No. 8 tahun 1999.
12
Pasal 45 ayat (4) UU No. 8 tahun 1999.
13
Pasal 56 ayat (2) UU No. 8 tahun 1999.

13
sengketa konsumen melalui 3 mekanisme yaitu mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. 14
Apakah kesemuanya berlaku sekaligus Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Perlindungan
Konsumen dan Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen?, dalam hal ini
undang-undang kurang jelas mengaturnya. Padahal hal ini penting, untuk mengetahui
manakah yang jatuh kepada ruang lingkup keberatan dan manakah yang jatuh kepada ruang
lingkup keberatan Pasal 45 ayat (4) tentang gugatan yang dapat diajukan meskipun telah
dipilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
KepMenPerindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan tugas wewenang
BPSK tidak mengatur secara jelas tentang pembagian porsi ini. Kepmen 350 Tahun 2001
memukul rata, bahwa keberatan dapat diajukan terhadap putusan BPSK yang dibuat melalui
3 jenis mekanisme penyelesaian sengketa tersebut. Padahal kalau dikembalikan kepada teori
tentang mediasi, konsiliasi dan arbitrase, maka ada karakter dasar yang membedakan ketiga
mekanisme tersebut yaitu peran para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa
konsumen berdasarkan cara mediasi dan konsiliasi memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada para pihak untuk menyelesaikan dan menemukan solusi terhadap masalah atau
sengketa para pihak sendiri. Mediator dan konsiliator sebagai pihak ketiga yang dilibatkan
dalam penyelesaian sengketa konsumen oleh para pihak adalah bersifat netral dan tidak
berwenang untuk memutus. 15 Peran mereka semata-mata hanya bersifat sebagai fasilitator
belaka, sehingga pada hakekatnya hasil mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan para pihak
yang prosesnya dibantu oleh mediator atau konsiliator. Kalau konsep dasar ini tetap dipegang
oleh legislator waktu mereka merancang Undang-undang Perlindungan Konsumen, maka
putusan yang dikeluarkan oleh BPSK tidaklah lebih dari suatu pengesahan terhadap
kesepakatan para pihak. Putusan BPSK hanya memberikan kekuatan hukum permanen bagi
kesepakatan para pihak agar dipatuhi oleh para pihak kemudian.
Akan tetapi berbeda halnya dengan arbitrase, dimana para pihak yang bersengketa
mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang
untuk memberikan keputusan yang kemudian mengikat para pihak yang bersengketa. 16
Konsep dasar arbitrase adalah litigasi yang mirip dengan proses pengadilan, dimana arbitrase-
lah pada akhirnya memiliki kewenangan untuk memutuskan solusi yang menurutnya paling

14
Pasal 52 huruf a UU No. 8 tahun 1999.
15
Munir Fuady, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, cet. 1, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2000), hal. 33-35.
16
Jaqualine M. Nolan-haley, Alternative Dispute Resolution in a nutshell, (St. Paul Minn: West Publishing Co,
1992) sebagaimana dikutip dalam Diah Lestari Pitaloka, “Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Bandung Sebagai Pelaksanan Pasal 49 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen”, (Tesis Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 199.

14
adil dan putusan arbiter adalah mengikat sebagaimana putusan hakim. Perbedaan utamanya
adalah bahwa arbiter bukanlah lembaga peradilan yang dimiliki negara, melainkan orang-
orang yang biasanya dipilih oleh para pihak yang bersengketa atas dasar reputasi dan
keahlian mereka. Kalaupun konsep dasar ini tetap dipegang oleh legislator waktu mereka
merancang Undang-undang Perlindungan Konsumen, maka putusan yang dikeluarkan oleh
BPSK dalam penyelesaian sengketa berdasarkan arbitrase adalah putusan yang mirip dengan
putusan pengadilan, yaitu memiliki kekuatan memaksa, meskipun kedua belah pihak sama-
sama tidak menyetujui.
Bahwa dengan demikian maka perlu dibuat pemisahan yang tegas antara keberatan
yang diatur pada Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen dengan peluang
mengajukan gugatan ke pengadilan berdasarkan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang
Perlindungan Konsumen, bahwa menurut penulis keberatan yang diatur dalam pasal 56 ayat
(2) Undang-undang Perlindungan Konsumen hanya dapat dilakukan terhadap putusan BPSK
yang dibuat berdasarkan arbitrase, mengapa? Karena hanya dalam putusan arbitrase-lah
keberatan menjadi relevan. Pada prinsipnya tidak akan ada putusan BPSK yang dibuat
berdasarkan mediasi atau konsiliasi apabila para pihak tidak terlebih dahulu menyepakati isi
kesepakatan tersebut. Lebih jauh lagi, tidaklah mungkin jika para pihak yang sebelumnya
telah menyepakati isi putusan mediasi dan konsiliasi, tetapi kemudian mengajukan keberatan
terhadap apa yang sebelumnya telah mereka sepakati, hal ini sangat bertentangan dengan
semangat penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
Demikian juga bila gugatan ke pengadilan berdasarkan Pasal 45 ayat (4) Undang-
undang Perlindungan Konsumen hanya dapat diajukan terhadap proses penyelesaian sengketa
pada BPSK yang dilakukan berdasarkan mekanisme mediasi dan konsiliasi. Dengan catatan
bahwa dalam proses tersebut belum tercapai kesepakatan atau belum ada keputusan BPSK
yang dikeluarkan untuk mengesahkan kesepakatan tersebut, karena sekali kesepakatan
tercapai logikanya tidak ada ruang bagi para pihak untuk mengingkarinya, karena logikanya
harus ada ruang bagi pihak yang gagal mencapai kesepakatan, karena bagaimanapun juga
mekanisme mediasi dan konsiliasi tidak mengenal instrumen untuk memaksa para pihak
dalam mencapai kesepakatan.
Memang pada Perma tersebut dikatakan bahwa keberatan dapat diajukan terhadap
putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK, 17 kepada pengadilan negeri di tempat
kedudukan hukum konsumen tersebut atau di wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan

17
Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Perma No.1 tahun 2006, pasal 2.

15
putusan bila konsumen tidak mempunyai tempat kedudukan hukum di Indonesia, dengan
syarat harus memenuhi persyaratan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam
Pasal 70 Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yaitu :
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui
palsu atau dinyatakan palsu;
2. Setelah putusan arbitrase BPSK diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menetukan
yang disembunyikan oleh para pihak lawan atau;
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.18

Dengan telah didaftarkannya keberatan oleh pihak yang merasa tidak puas dengan
putusan arbitrase BPSK, maka dimulailah lagi babak baru yang panjang terhadap sengketa
konsumen, karena ditentukan pula dalam Pasal 8 Perma No. 1 tahun 2006 bahwa “Kecuali
ditentukan lain dalam peraturan Mahkamah Agung ini, hukum acara perdata yang berlaku
diterapkan pula terhadap keberatan atas putusan arbitrase BPSK”. Dengan demikian hukum
acara yang berlaku adalah hukum acara sebagaimana yang biasa digunakan yaitu HIR dan
RBG.

C. KENDALA YURIDIS DAN TEKNIS UPAYA KEBERATAN PUTUSAN BPSK

Suatu putusan badan peradilan tidak akan ada artinya, manakala tidak dapat
dilaksanakan atau dieksekusi. Pada dasarnya suatu pu- tusan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang pasti atau inkracht van gewijsde harus dapat dijalankan. Oleh karena
itulah, putusan suatu badan peradilan harus mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu
“kekuatan untuk dilaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut secara
paksa oleh alat-alat negara.
Menurut Sudikno Mertokusumo, eksekusi atau pelaksanaan putusan dapat dibagi
menjadi 2 jenis yaitu: eksekusi yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar
sejumlah uang (di atur dalam Pasal 195 HiR atau Pasal 208 RBg); dan eksekusi putusan
yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan (diatur da- lam Pasal 225 HiR
atau Pasal 259 RBg). Kemdian eksekusi riil untuk memerintahkan pengosongan benda tetap,

18
Ibid., Pasal 6 ayat (3).

16
diatur Pasal 1033 RV. 19 Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial atau yang menjadi
persyaratan pada sua- tu putusan untuk dapat dilaksanakan secara paksa baik putusan
pengadilan maupun putusan arbitrase harus memuat kepala putusan atau disebut irah-irah
yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan
inilah yang memberi kekuatan ekskutorial terhadap suatu putusan. Bahkan ti- dak hanya
putusan pengadilan dan putusan ar- bitrase yang harus mencantumkan irah-irah atau kepala
putusan, akan tetapi akte notaris seperti grose akta hipotik (grose akta van hypo- theek) dan
grose akta pengakuan hutang (nota- rieele schuld-brieven) harus mencantumkan ke- pala
putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke- tuhanan Yang Maha Esa”. Kepala akta tersebut
merupakan syarat yang mesti ada agar kata notariil di muka memiliki nilai kekuatan sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah. Eman
Suparman juga menjelaskan, selain dimiliki oleh putusan pengadilan, putusan arbitrase dan
grose akta notariil, kepala putusan atau irah- irah juga dimiliki oleh akta perdamaian se
bagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) HIR yang dibuat dipersidangan juga mempunyai
kekuatan untuk dilaksanakan seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
20
tetap.
Permohonan eksekusi dapat dilakukan baik terhadap putusan BPSK maupun
putusan keberatan, namun UUPK tidak menyediakan peraturan yang lebih rinci berkaitan
dengan hal tersebut. Pelaksanaan putusan arbitrase diserahkan dan menjadi wewenang penuh
dari Pengadilan Negeri yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, dan mempunyai
legitimasi sebagai lembaga pemaksa. Adapun tata cara melaksanakan putusan Hakim diatur
dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 208 HIR. Ketentuan mengenai prosedur permohonan
eksekusi tidak diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK. Pasal 57 UUPK menjelaskan bahwa
putusan majelis dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat
konsumen dirugikan. Kemudian ketentuan Pasal 57 UUPK ini diperjelas dengan Pasal 42
Kepmenperindag No.350/MPP/12/2001 bahwa pihak yang mengajukan eksekusi adalah
BPSK.
Pada putusan arbitrase BPSK, terdapat kendala dalam pelaksanaan permohonan
eksekusi yang disebabkan tidak adanya pencantuman irah-irah pada putusan arbitase BPSK
tersebut. Hal ini berbeda dengan isi suatu putusan arbitrase yang dalam putusannya

19
Sudikno Mertokusumo, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dan Menghambat Pelaksanaan Putusan Hakim
(eksekusi) dalam Perkara Perdata, Majalh ilmiah Ilmu Hukum Jatiswara, Fakultas Hukum Universitas Mataram,
Vol.20, No.3, Juli 2005, hal. 336-337
20
Eman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan.
Jakarta: PT. Tatanusa, hlm. 198-199

17
mengandung irah-irah. Pasal 54 Ayat (1) butir a Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan APS, menyatakan suatu putusan arbitrase harus memuat kepala
putusan atau irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketentuan Pasal 57 UUPK bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 14
tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, bahwa suatu putusan harus memuat irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan
eksekutorial pada putusan tersebut sehingga penghapusan irah-irah mengakibatkan
putusan menjadi batal demi hukum.
Sebagai suatu contoh kasus, BPSK KotaBandung pernah mengajukan fiat eksekusi
terhadap putusan BPSK Nomor 66/Pts-BPSK/VII/2005 kePengadilan Negeri Jakarta
Pusat, namun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyata- kan bahwa putusan BPSK tidak
dapat dieksekusi karena tidak mempunyai irah-irah, padahal dalam putusan BPSK, tidak
21
dikenal adanya irah-irah. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Surat Nomor
W7.Db.Ht.04.10.3453.2005 memberikan tanggapan terhadap permohonan pene- tapan
eksekusi putusan BPSK Kota Bandung yang pada intinya menyatakan bahwa permohonan
pelaksanaan eksekusi putusan BPSK belum dapat diproses karena belum memenuhi
beberapa syarat yaitu: Bahwa sesuai dengan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
APS dalam Pasal 54 ayat (1) bahwa Putusan Arbitrase Penyelesaian Sengketa harus memuat
kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”, dan merujuk ketentuan tersebut, sebagaimana diatur dalam Bab V
pelaksanaan putusan arbitrase nasional bagian pertama Pasal 59 yaitu: (1) Dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau
salinan otentik Putusan Arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada Pengadilan Negeri; (2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan pencatatan dan penandatangan pada bagian akhir atau dipinggir
putusan oleh panitera Pengadilan negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan
catatan tersebut merupakan akta pendaftaran; (3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan
putusan dan lembar asli pengangkatan arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera
Pengadilan Negeri.
UUPK maupun SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur

21
Tim pembuatan PERMA Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan BPSK, lebih jelas lihat Susanti Adi
Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Tinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implemen-
tasinya, Jakarta: Kencana, hlm. 341

18
tentang pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga BPSK, tidak mengatur mengenai
kewajiban pencantuman irah-irah pada putusan BPSK. Hal ini disebabkan kedudukan BPSK
yang secara struktural berada di bawah Departemen (baca: Kementerian) Perdagangan,
sedangkan HIR/ RBg dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman merupakan peraturan yang
berlaku bagi badan peradilan. Penulis berpendapat, sebenarnya persoalannya bukan pada
BPSK dibawah Departemen Perdagangan atau Kementerian mana, melainkan bahwa BPSK
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase,
sehingga mengandung konsekuensi bahwa putusan arbitrase juga harus dicantumkan irah-irah
atau kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhahan Yang Maha Esa”
sebagaimana ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS sebagai
ketentuan khusus yang mengatur me- ngenai Arbitrase di Indonesia. Pasal 48 UUPK
menyatakan “penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan
tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45
UUPK. Sedangkan Pasal 45 UUPK secara garis besar menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan.
Penyelesaian di luar pengadilan ini yang dilaksanakan dengan konsiliasi, mediasi dan
arbitrase. Atas pendekatan inilah, maka permohonan eksekusi putusan BPSK berdasarkan
ketentuan Pasal 57 UUPK jo. Pasal 42 SK Menperindag Nomor 350/MPP/ Kep/12/2001 dapat
dilaksanakan karena merupakan kekhususan dari pelaksanaan eksekusi secara umum menurut
ketentuan hukum acara perdata sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis
yang berarti bahwa ketentuan khusus meyampingkan ketentuan yang bersifat umum.
Menjadi sebuah pertanyaan berkaitan dengan pertentangan antara Pasal 57 UUPK jo.
Pasal 42 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 dengan ketentuan hukum acara
perdata pada umumnya mengenai lembaga BPSK yang harus mengajukan permohonan
eksekusi ke pengadilan atas putusan yang dihasilkannya, bukan pihak yang dimenangkan.
BPSK merupakan lembaga yang menyelesaikan sengketa konsumen, di mana ia memiliki
kewajiban untuk memutus sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dalam menetapkan
kerugiannya, oleh karena itu, kedudukan BPSK harus netral dan tidak berpihak sehingga
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, dan pelaku usaha/produsen.
Meskipun tujuan utama pendirian BPSK adalah untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap konsumen, tetapi ini tidak berarti bahwa dalam upaya pelaksanaan ganti kerugian,
BPSK yang harus mengajukan permohonan eksekusinya ke pengadilan. Oleh karena ganti
kerugian diberikan untuk kepentingan konsumen, maka yang dapat mengajukan eksekusi
terhadap putusan BPSK hanyalah konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK.
19
Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk mengajukan eksekusi seperti yang
ditentukan dalam Pasal 57 UUPK jo. Pasal 42 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001,
maka kedudukan BPSK sebagai badan yang netral dan imparsial menjadi diragukan. Selain
itu, apabila BPSK melakukan pengajuan permohonan eksekusi, maka akan menambah beban
kerja dari BPSK itu sendiri. Untuk itulah, dengan adanyaketentuan Pasal 7 Ayat (1)
PERMA No. 1 Tahun 2006 yang menegaskan bahwa “pengadilan mengeluarkan penetapan
eksekusi atas permintaan pihak yang berperkara (konsumen) atas putusan BPSK yang tidak
diajukan keberatan”, dapat mendorong kinerja BPSK yang lebih baik. Menurut penulis,
apabila dikaitkan dengan asas hukum, maka ketentuan Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun
2006 sebenarnya tidak bisa dijadikan dasar hukum atau pegangan dalam menjelasakan pihak
mana yang berhak mengajukan eksekusi, hal ini disebabkan karena ketentuan Pasal 7 ayat (1)
PERMA No. 1 Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 57 jo. Pasal Pasal 42 SK Menperindag
No. 350/MPP/Kep/12/2001. Menurut asas hukum yang berlaku yaitu lex superior legi
imperior sendirinya PERMA No. 1 Tahun 2006 ini tidak bisa dijadikan patokan atau dasar
atau ketentuan yang lebih tinggi mengalahkan ketentuan yang lebih rendah, maka dengan
karena dikalahkan oleh aturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 57 UUPK. Eksekusi terhadap
putusan arbitrase BPSK seharusnya memperhatikan ke- tentuan Undang-undang No. 30
Tahun 1999 dan Hukum Acara Perdata yang berlaku. Pemilihan arbitrase dalam penyelesaian
sengketa melalui BPSK, menjadikan BPSK menjadi suatu lembaga arbitrase dan untuk itu
harus memperhatikan ketentuan arbitrase nasional. Tata cara eksekusi yang dilakukan setelah
penetapan eksekusi diberikan menyangkut ketentuan dalam HIR/ RBg sebagai induk
peraturan dalam Hukum Acara Perdata, karena sengketa antara konsumen dengan pelaku
usaha yang diselesaikan melalui jalur arbitrase juga merupakan ranah hukum perdata.

III. SIMPULAN
Secara umum upaya penyelesaian sengketa konsumen yang disediakan UUPK
kurang dapat mengoptimalisasi upaya pemenuhan hak-hak konsumen. Hal ini
dikarenakan beberapa hal : Pertama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
merupakan suatu lembaga baru yang mekanisme kewenangannya sebelumnya tidak
dikenal sebelumnya dalam hukum Indonesia. Hal ini kemudian berdampak pada
pengaturan hukum acaranya yang masih bersifat ambivalen, sehingga kurang dapat
dijadikan acuan dalam menyelesaiakan sengketa konsumen yang komprehensif.
Kedua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen belum dapat mencerminkan bentuk
20
penyelesaian sengketa yang bersifat sederhana, murah dan cepat sehingga upaya
penegakan hak konsumen tidak optimal. Ketiga selain itu berkenan dengan
penyelesaian sengketa konsumen yang disediakan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen melalui Arbitrase telah memunculkan permasalahan baru berkenaan
dengan kontradiksi mengenai sikap pengadilan negeri menyikapi pengajuan keberatan
terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang notabene merupakan
putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat.

Harus dilakukan amandemen terhadap Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen. Hal ini dikarenakan karena dalam kedua undang-undang tersebut
telah dicantumkan secara jelas bahwa pengajuan keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri
(vide Pasal 58 UU No. 8 tahun 1999). Jika upaya amandemen tersebut memang menjadi
langkah yang akan dilakukan oleh Mahkamah Agung ke depan maka dapat diikut sertakan
pula untuk diubah yaitu waktu pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada acara keberatan ini.
Tenggang waktu 21 hari untuk perkara keberatan BPSK adalah waktu yang sangat luar biasa
singkat. Harus diakui akan sangat sulit bagi majelis hakim untuk dapat berkerja profesional
dengan batasan waktu pemeriksaan yang sesingkat itu, terlebih dengan menumpuknya
perkara-perkara lain yang ada.

21
DAFTAR PUSTAKA

Adi Nugroho, Susanti, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, 2008,Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.

Fuady Munir, Hukum Kontrak Dari Sudut Hukum Bisnis, 1 9 9 9 . , PT Citra


AdityaBakti, Bandung.

Fuady Munir, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, 2000.,PT


Citra Aditya Bakti, Bandung.

Shofie, Yusuf, Hukum Perlindungan Konsumen Dan Instrumen Instrumen


Hukumnya,2000., PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,2003.,


PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

22

Anda mungkin juga menyukai