LP Cad Nstemi
LP Cad Nstemi
2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum
pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade
terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam
tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil,
IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang
sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).
2.2 Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi
lipid.
2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai
vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis
klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang
kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.
2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun
konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di
bidang kardiologi Intervensi).
Tatalaksana Awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum
yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian
besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel
mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yang terlatih.
Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara edukasi
kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali
komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini
pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien STEMI
dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer).
Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan
penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke
rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total adalah
120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi syarat
tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke
rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk
pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke
rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit.
2.7 Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah
serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan
kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang
menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan
obat-obatan seperti:
ASPIRIN®
clopidrogel
statin (cholesterol lowering) drugs
beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot jantung)
ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang khas,
biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan karakteristik EKG
ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan otot jantung, sehingga cara
terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk mencegah mereka.
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Faktor Risiko (Bobot)
Skor Risiko/Mortalitas 30 hari(%)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
0 (0,8)
Usia > 75 tahun (3 poin)
1 (1,6)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
2 (2,2)
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
3 (4,4)
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
5 (12,4)
Berat < 67 kg (1 poin)
6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
7 (23,4)
Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin)
8 (26,8)
Skor risiko = total poin ( 0-14 )
>8 (35,9)
3.2 Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Klien mengeluh nyeri pada Vaskularisasi terganggu Nyeri akut
bagian anterior, diperberat i
oleh inspirasi, gerakan Aliran darah ke arteri koronari
menelan. terganggu
DO: Gelisah, pucat i
Iskemia
i
As Laktat
i
Nyeri akut
DS: Disritmia Kontraktilitas jantung menurun Penurunan Cardiac Output
DO: riwayat penyakit jantung i
konginetal Gagal jantung
i
Penurunan CO
DS: Pasien mengeluh lemah Rupture dalam pembuluh darah Perubahan perfusi jaringan
karena hipoksia i
DO: Pasien terlihat lemah dan Obstruksi pembuluh darah
pucat karena O2 jaringan i
menurun. Aliran darah ke jaringan
terganggu
i
Perubahan perfusi jaringan
DS: Klien mengeluh sesak, Perubahan perfusi jaringan Pola nafas tidak efektif
nafas pendek. O2 dalam darah menurun
DO: dispnea, inspirasi i
mengi, takipnea, pernapasan Kongesti pulmonalis
dangkal. i
Sesak nafas
i
Ketidakefektifan pola nafas
DS: Pasien mengeluh lemah Perubahan perfusi jarigan Intoleransi aktivitas
DO:Pasien terlihat lemah i
karena hipoksia O2 dalam darah menurun
i
Hipoksia
i
Kelemahan
i
Intoleransi aktivitas
2. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan konstriksi fungsi ventrikel,
degenerasi otot jantung.
Kriteria hasil: Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia. Mengidentifikassi perilaku untuk menurunkan
beban kerja jantung.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Pantau irama dan frekuensi jantung 1. Takikardia dan disritmia dapat terjadi saat jantung
berupaya untuk meningkatkan curahnya berespon
terhadap demam. Hipoksia, dan asidosis karena
1. Auskultasi bunyi jantung. Perhatikan jarak / tonus iskemia.
jantung, murmur, gallop S3 dan S4. 2. Memberikan deteksi dini dari terjadinya komplikasi
misalnya GJK, tamponade jantung.
1. Dorong tirah baring dalam posisi semi fowler 3. Menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan
2. Berikan tindakan kenyamanan misalnya perubahan curah jantung
posisi dan gosokan punggung, dan aktivitas 4. Meningkatkan relaksasi dan mengarahkan kembali
hiburan dalam toleransi jantung perhatian
3. Dorong penggunaan teknik menejemen stress
misalnya latihan pernapasan dan bimbingan 1. Perilaku ini dapat mengontrol ansietas,
imajinasi meningkatkan relaksasi dan menurunkan kerja
4. Evaluasi keluhan lelah, dispnea, palpitasi, nyeri jantung
dada kontinyu. Perhatikan adanya bunyi napas
adventisius, demam 1. Manifestasi klinis dari GJK yang dapat menyertai
endokarditis atau miokarditis
Kolaboratif
1. Berikan oksigen komplemen 1. Meningkatkan keseterdian oksigen untuk fungsi
miokard dan menurunkan efek metabolism
anaerob,yang terjadi sebagai akibat dari hipoksia
dan asidosis.
2. Dapat diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas
1. Berikan obat – obatan sesuai dengan indikasi miokard dan menurunkan beban kerja jantung
misalnya digitalis, diuretik pada adanya GJK ( miocarditis)
3. Diberikan untuk mengatasi pathogen yang
teridentifikasi, mencegah kerusakan jantung lebih
1. Antibiotic/ anti microbial IV lanjut.
4. prosedur dapat dilakuan di tempat tidur untuk
menurunkan tekanan cairan di sekitar jantung.
1. Bantu dalam periokardiosintesis darurat 5. Penggantian katup mungkin diperlukan untuk
memperbaiki curah jantung
1. Siapkan pasien untuk pembedahan bila
diindikasikan
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen ke otot.
Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat secara individual misalnya
mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering, nadi perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran
seimbang.
Intervensi:
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Evaluasi status mental. Perhatikikan terjadinya 1. Indicator yang menunjukkan embolisasi
hemiparalisis, afasia, kejang, muntah, peningkatan sistemik pada otak.
TD.
2. Selidiki nyeri dada, dispnea tiba-tiba yang disertai 2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung dan /
dengan takipnea, nyeri pleuritik, sianosis, pucat atau organ vital lain, dapat terjadi sebagai akibat
dari penyakit katup, dan/ atau disritmia kronis
1. Tingkatkan tirah baring dengan tepat 3. Dapat mencegah pembentukan atau migrasi
emboli pada pasien endokarditis. Tirah baring
lama, membawa resikonya sendiri tentang
terjadinya fenomena tromboembolic.
Kolaborasi:
Berikan tambahan oksigen dengan kanul atau Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk
masker, sesuai indikasi kebutuhan sirkulasi khususnya pada adanya
gangguan ventilasi
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah
jantung
Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang pembatasan terapeutik yang
diperlukan.
Intervensi:
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Kaji respon pasien terhadap aktivitas. Perhatikan1. Miokarditis menyebabkan inflamasi dan
adanya dan perubahan dalam keluhan kemungkinan kerusakan sel-sel miokardial,
kelemahan, keletihan, dan dispnea berkenaan sebagai akibat GJK. Penurunan pengisian dan
dengan aktivitas curah jantung dapat menyebabkan
pengumpulan cairan dalam kantung perikardial
bila ada perikarditis. Akhirnya endikarditis dapat
terjadi dengan disfungsi katup, secara negatif
mempengaruhi curah jantung
2. Membantu derajad dekompensasi jantung and
pulmonal penurunan TD, takikardia, disritmia,
1. Pantau frekuensi dan irama jantung, tekanan takipnea adalah indikasi intoleransi jantung
darah, dan frekuensi pernapasan sebelum dan terhadap aktivitas.
sesudah aktivitas dan selam di perluka 3. Demam meningkatkan kebutuhan dan konsumsi
2. Mempertahankan tirah baring selama periode oksigen, karenanya meningkatkan beban kerja
demam dan sesuai indikasi. jantung, dan menurunkan toleransi aktivitas
4. Pada saat terjadi inflamasi klien mungkin dapat
1. Membantu klien dalam latihan progresif bertahap melakukan aktivitas yang diinginkan, kecuali
sesegera mungkin untuk turun dari tempat tidur, kerusakan miokard permanen.
mencatat respon tanda vital dan toleransi pasien5. Ansietas akan terjadi karena proses inflamasi
pada peningkatan aktivitas dan nyeri yang di timbulkan. Dikungan
2. Evaluasi respon emosional diperlukan untuk mengatasi frustasi terhadap
hospitalisasi.
Kolaborasi
Berikan oksigen suplemen Peningkatan ketersediaan oksigen mengimbangi
peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi
dengan aktivitas.
3.4 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian
tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi
keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan
myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
Nyeri hilang atau terkontrol
Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Suplai oksigen adekuat.
Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.