Oleh :
Kelompok 1
1. Ulfah Nurulhuda (K022191029)
2. A. Jamal Indira (K022191025)
3. Mawadda lukman (K022191014)
4. Mene paradilla (K022191015)
5. Azzahratul jannah (K022191017)
6. Andi rezkiawati anma(k022191020)
7. Falensia Dwita Lestari (K022191009)
8. Irawati K (K022191030)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayatnya kepada kita semua, sehingga karena Karunia-Nya dapat
menyelesaikan makalah tentang “Sistem Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Rumah Sakit “ ini.
Makalah ini berisi tentang potensi bahaya resiko yang ada di rumah sakit dan
memaparkan tentang sistem manajemen ksehatan keselamatan kerja yang ada di rumah sakit
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
diharapakan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca. Semoga makalah
ini dapat bermamfaat dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit merupakan institusi pelayanan
kesehatan yang kompleks, padat profesi dan padat modal. Pelayanan rumah sakit
menyangkut berbagai fungsi pelayanan, pendidikan, penelitian dan juga mencakup
berbagai tindakan maupun disiplin medis. Rumah Sakit adalah tempat kerja yang memiliki
potensi terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Bahan mudah terbakar, gas medik, radiasi
pengion, dan bahan kimia merupakan potensi bahaya yang memiliki risiko kecelakaan
kerja. Oleh karena itu, Rumah Sakit membutuhkan perhatian khusus terhadap keselamatan
dan kesehatan pasien, staf dan umum.(Adiatma, 2014)
Undang-undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 7 ayat 1, bahwa
salah satu persyaratan Rumah Sakit adalah harus memenuhi unsur keselamatan dan
kesehatan kerja. Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan
bahwa terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja di industri lain.
Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong,
luka bakar, dan penyakit infeksi, dan sebagainya. Salah satu upaya pencegahan terjadinya
kecelakaan kerja adalah dengan melakukan analisis risiko. Sejumlah kasus dilaporkan
mendapatkan kompensasi pada pekerja rumah sakit yaitu sprains, strains: 52%;
contussion, crushing, bruising: 11%; cuts, laceration, puncture: 10,8%; fractures: 5,6%;
multiple injuries: 2,1%; thermal burns: 2%; scratches, abrasions: 1,9%; infections: 1,3%;
dermatitis : 1,2%; dan lain-lain: 12,4%.(Hasyim, 2015)
Khusus di Indonesia, data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di rumah
sakit belum terganbar dengan jelas namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari
para petugas di rumah sakit, sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada di rumah sakit.
Selain itu, Gun (1983) memberikan catatan bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis
yang diderita petugas rumah sakit, yaitu hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita),
penyakit ginjal dan saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita), serta
nyeri tulang belakang dan pergeseran discus intervertebrae. Ditambahkan juga bahwa
terdapat beberapa kasus penyakit akut yanng diderita petugas rumah sakit lebih besar 1,5
kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit, saluran pernapasan,
saluran cerna, dan keluhan lain seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih,
masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan
tulang rangka.(Centrasafety, 2014)
1
Rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan yang paling kompleks diantara jenis
fasilitas kesehatan yang ada. Kompleksitas rumah sakit ini dapat ditinjau dari jumlah dan
karakteristik layanan yang tersedia, luasnya area yang diperlukan untuk menjalankan
layanan, jumlah dan ragam personal yang terlibat dalam layanan, serta peralatan dan
teknologi yang digunakan dalam penyelenggaraan layanan. Seperti halnya fasilitas
kesehatan lainnya, rumah sakit merupakan tempat kerja yang sangat sarat dengan potensi
bahaya kesehatan dan keselamatan pekerjanya. Risiko terjadinya gangguan kesehatan
dan kecelakaan menjadi semakin besar pada pekerja di suatu rumah sakit mengingat
rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan yang paling kompleks seperti yang disebutkan
sebelumnya dan merupakan tempat yang padat tenaga kerja. Instalasi gawat darurat
merupakan pelayanan yang memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat, tepat dan cermat
untuk mencegah kematian dan kecacatan.(Keputusan Menteri Kesehatan, 2016)
Kebutuhan terhadap layanan kesehatan semakin meningkat sebanding dengan
pertumbuhan penduduk dan pertambahan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
tentang pentingnya kesehatan. Peningkatan kebutuhan ini menyangkut pertambahan
jumlah dan besarnya suatu fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit yang berdampak
pada peningkatan jumlah pekerja. Tentu saja pekerja tersebut berkemungkinan besar
terkena bahaya potensial kesehatan yang ada.(Cristiano, 2004)
Potensi bahaya di rumah sakit, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, yaitu
kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik
dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas
anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi.Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas
mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di rumah sakit, para pasien maupun
para pengunjung yang ada di lingkungan rumah sakit.(Cristiano, 2004)
Rumah sakit mempunyai perbedaan khas dengan tempat kerja yag lain terkait
dengan terbukanya akses bagi bukan pekerja dengan leluasa. Berbeda dengan tempat
kerja lain, hanya pekerja saja yang dapat memasuki area pabrik misalnya. Sebagai
konsekuensinya, pajanan bahaya potensial yang terdapat di rumah sakit dapat mengenai
bukan hanya pekerja saja, tetapi juga komunitas bukan pekerja dalam hal ini pengguna
jasa rumah sakit, dan juga pengunjung lainnya. Perbedaan lain adalah dengan
berlangsungnya kegiatan yang terus-menerus 24 jam dan 7 hari seminggu, menjadikan
risiko gangguan kesehatan menjadi lebih besar sebagai akibat lama pajanan terhadap
bahaya potensial menjadi lebih lama. Berbagai penelitian menunjukkan prevalensi
gangguan kesehatan yang terjadi di antara pekerja atau petugas fasilitas kesehatan cukup
tinggi.(Ivanna, 2014)
2
Bahaya-bahaya lingkungan kerja baik fisik,biologismaupun kimiawi perlu
dikendalikan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu lingkungan kerja yang sehat, aman,
dan nyaman. Berbagai cara pengendalian dapat dilakukan untuk menanggulangi bahaya-
bahaya lingkungan kerja, namun pengendalian secara teknis pada sumber bahaya itu
sendiri dinilai paling efektif dan merupakan alternatif pertama yang dianjurkan, sedangkan
pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) merupakan pilihan terakhir.(Milla, 2003)
Salah satu upaya dalam rangka pemberian perlindungan tenaga kerja terhadap
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di rumah sakit adalah dengan cara memberikan
APD. Pemberian APD kepada tenaga kerja, merupakan upaya terakhir apabila upaya
rekayasa (engineering) dan cara kerja yang aman (work practices) telah maksimum
dilakukan.(Milla, 2003)
Hal ini tercermin dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja pasal 3, 9, 12, 14 dinyatakan bahwa dengan peraturan perundangan ditetapkan
syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk memberikan Alat Pelindung
Diri (APD), pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja
baru tentang Alat Pelindung Diri (APD), dengan peraturan perundangan diatur kewajiban
dan atau hak tenaga kerja untuk memakai Alat Pelindung Diri (APD) harus diselenggarakan
di semua tempat kerja, wajib menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang diwajibkan dan
pengurus diwajibkan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) yang diwajibkan secara cuma-
cuma. Jika memperhatikan isi dari undang-undang tersebut maka jelaslah bahwa Alat
Pelindung Diri (APD) dibutuhkan disetiap tempat kerja seperti rumah sakit. Keselamatan
dan kesehatan kerja bertujuan melindungi pekerja atas keselamatannya agar dapat
meningkatkan produktifitas nasional. Menjamin semua pekerja yang berada di tempat kerja
menggunakan serta merawat sumber produksi secara aman dan efisien.(Faisal Harahap,
2009)
Oleh karena itu keselamatan kerja harus benar-benar di terapkan dalam suatu
rumah sakit atau tempat kerja lainnya dimana di dalamnya tenaga kerja melakukan
pekerjaannya. Bukan hanya pengawasan terhadap mesin, dan peralatan lain saja tetapi
yang lebih penting pada manusianya atau tenaga kerjanya. Hal ini dilakukan karena
manusia adalah faktor yang paling penting dalam suatu proses produksi. Manusia sebagai
tenaga kerja yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja yang berdampak cacat sampai
meninggal. (Faisal Harahap, 2009)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang disebutkan sebelumnya, makalah ini mempunyai
batasan-batasan permasalahan yang diangkat, antara lain:
a. Pengertian rumah sakit?
3
b. Gambaran umum potensi bahaya di rumah sakit?
c. Pengertian sistem manajemen K3 rumah sakit?
d. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit (RS)
termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat
menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja
di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya
pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS.(Hasyim, 2015)
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-
bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan,
kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber
cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan
psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa
dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada
di lingkungan RS.(Putri, O. Z., Hussin, T. M. A. B. R., & Kasjono, 2017)
6
7. Pelayanan keselamatan kerja
8. Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair, gas
9. Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya
10. Pengembangan manajemen tanggap darurat
11. Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan kegiatan K3
12. Review program tahunan
c. Kebijakan pelaksanaan K3
Rumah sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal, dan
teknologi, namun keberadaan rumah sakit juga memiliki dampak negatif terhadap
timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila rumah sakit tersebut tidak
melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu perlu dilaksanakan kebijakan sebagai berikut :
1. Membuat kebijakan tertulis dari pimpinan rumah sakit
2. Menyediakan Organisasi K3 di Rumah Sakit sesuai dengan Kepmenkes Nomor
432/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Manajemen K3 di Rumah Sakit
3. Melakukan sosialisasi K3 di rumah sakit pada seluruh jajaran rumah sakit
4. Membudayakan perilaku k3 di rumah sakit
5. Meningkatkan SDM yang professional dalam bidang K3 di masing-masing unit kerja di
rumah sakit
6. Meningkatkan Sistem Informasi K3 di rumah sakit
7
4. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik
pekerja
5. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi pekerja yang
menderita sakit
6. Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada pekerja rumah sakit yang akan
pension atau pindah kerja
7. Melakukan koordinasi dengan tim Panitia Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
mengenai penularan infeksi terhadap pekerja dan pasien
8. Melaksanakan kegiatan surveilans kesehatan kerja
9. Melaksanakan pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang berkaitan
dengan kesehatan kerja (Pemantauan/pengukuran terhadap faktor fisik, kimia,
biologi, psikososial, dan ergonomi)
10. Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan kesehatan kerja yang
disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis terkait di wilayah kerja
Rumah Sakit.(Ivanna, 2014)
8
2. Standar K3 Sarana, Prasarana, dan Peralatan di Rumah Sakit
Sarana didefinisikan sebagai segala sesuatu benda fisik yang dapat tervisualisasi
oleh mata maupun teraba panca indera dan dengan mudah dapat dikenali oleh pasien
dan umumnya merupakan bagian dari suatu bangunan gedung (pintu, lantai, dinding,
tiang, kolong gedung, jendela) ataupun bangunan itu sendiri. Sedangakan prasarana
adalah seluruh jaringan/instansi yang membuat suatu sarana bisa berfungsi sesuai
dengan tujuan yang diharapkan, antara lain : instalasi air bersih dan air kotor, instalasi
listrik, gas medis, komunikasi, dan pengkondisian udara, dan lain-lain. (Novianto, 2005)
9
setiap kali mengajukan permintaan bahwa barang yang diminta termasuk jenis B3.
Untuk memudahkan melakukan proses seleksi, dibuat form seleksi yang memuat
kriteria wajib yang harus dipenuhi oleh rekanan serta sistem penilaian untuk masing-
masing criteria yang ditentukan.(Milla, 2003)
4. Standar SDM K3 di Rumah Sakit
Kriteria tenaga K3
a) Rumah Sakit Kelas A
1. S3/S2 K3 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS
2. S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS
3. Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi (SpOk) dan S2 Kedokteran Okupasi minimal
1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
4. Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 2 orang yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
5. Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang dengan
sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
6. Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal) yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
7. Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai
K3 RS minimal 2 orang
8. Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat pelatihan khusus
terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
9. Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS
minimal 2 orang
b) Rumah Sakit Kelas B
1. S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS
2. Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
3. Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang dengan
sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
4. Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal) yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
5. Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai
K3 RS minimal 1 orang
10
6. Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat pelatihan khusus
terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
7. Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS
minimal 1 orang
c) Rumah Sakit kelas C
1. Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
2. Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang dengan
sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
3. Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai
K3 RS minimal 1 orang
4. Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS
minimal 1 orang(RI, 2013)
5. Pembinaan, Pengawasan, Pencatatan, dan Pelaporan
a) Pembinaan dan pengawasan
Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang. Pembinaan
dan pengawasan tertinggi dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Pembinaan dapat
dilaksanakan antara lain dengan melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis,
dan temu konsultasi.
Pengawasan pelaksanaan Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
rumah sakit dibedakan dalam dua macam, yakni pengawasan internal, yang
dilakukan oleh pimpinan langsung rumah sakit yang bersangkutan, dan pengawasan
eksternal, yang dilakukan oleh Menteri kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat,
sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.(Sury, 2013)
b) Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan adalah pendokumentasian kegiatan K3 secara
tertulis dari masing-masing unit kerja rumah sakit dan kegiatan K3RS secara
keseluruhan yang dilakukan oleh organisasi K3RS, yang dikumpulkan dan dilaporkan
/diinformasikan oleh organisasi K3RS, ke Direktur Rumah Sakit dan unit teknis terkait
di wilayah Rumah Sakit. Tujuan kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3
adalah menghimpun dan menyediakan data dan informasi kegiatan K3,
mendokumentasikan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan K3; mencatat dan melaporkan
setiap kejadian/kasus K3, dan menyusun dan melaksanakan pelaporan kegiatan
K3.(Sury, 2013)
Pelaporan terdiri dari; pelaporan berkala (bulanan, semester, dan tahunan)
dilakukan sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan dan pelaporan
sesaat/insidentil, yaitu pelaporan yang dilakukan sewaktu-waktu pada saat kejadian
11
atau terjadi kasus yang berkaitan dengan K3. Sasaran kegiatan pencatatan dan
pelaporan kegiatan k3 adalah mencatat dan melaporkan pelaksanaan seluruh
kegiatan K3, yang tercakup di dalam :
1. Program K3, termasuk penanggulangan kebakaran dan kesehatan lingkungan
rumah sakit.
2. Kejadian/kasus yang berkaitan dengan K3 serta upaya penanggulangan dan
tindak lanjutnya.(Sury, 2013)
12
musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun. Cedera punggung menghabiskan biaya
kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun. Khusus di Indonesia, data
penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS belum tergambar dengan jelas,
namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari para petugas di RS, sehubungan
dengan bahaya-bahaya yang ada di RS.(Putri, O. Z., Hussin, T. M. A. B. R., & Kasjono,
2017)
Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang diderita
petugas RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan
saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta nyeri tulang
belakang dan pergeseran diskus intervertebrae.(Putri, O. Z., Hussin, T. M. A. B. R., &
Kasjono, 2017)
Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita
petugas RS lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan
parasit, saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit
kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan,
penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka. Dari berbagai potensi bahaya tersebut,
maka perlu upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya,
oleh karena itu K3 RS perlu dikelola dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 RS lebih
efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi
pengelola maupun karyawan RS.(Putri, O. Z., Hussin, T. M. A. B. R., & Kasjono, 2017)
13
BAB III
PEMBAHASAN
1. Planning (Perencanaan)
Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan
dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal
ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dan instansi
kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi standarisasi kesehatan pacsa
perawatan dan merawat ( hubungan timbal balik pasien – perawat / dokter, serta
masyarakat umum lainnya ). Dalam perencanaan tersebut, kegiatan yang ditentukan
meliputi:
a. Hal apa yang dikerjakan
b. Bagaiman cara mengerjakannya
c. Mengapa mengerjakan
d. Siapa yang mengerjakan
e. Kapan harus dikerjakan
f. Dimana kegiatan itu harus dikerjakan
g. hubungan timbal balik ( sebab akibat)
Kegiatan kesehatan ( rumah sakit / instansi kesehatan ) sekarang tidak lagi
hanya di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang
pendidikan dan penelitian, juga metode-metode yang dipakai makin banyak ragamnya.
Semuanya menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi dalam ( rumah sakit / instansi
kesehatan ) makin besar. Oleh karena itu usaha-usaha pengamanan kerja di rumah
sakit / instansi kesehatan harus ditangani secara serius oleh organisasi keselamatan
kerja rumah sakit / instansi kesehatan.(Hasyim, 2015)
14
2. Organizing (Organisasi)
Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan
dapat dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit / instansi
kesehatan daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional. Keterlibatan
pemerintah dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat
diperlukan. Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi ini di
tingkat pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah), di samping memberlakukan
Undang-Undang Keselamatan Kerja. Di tingkat daerah (wilayah) dan tingkat pusat
(nasional) perlu dibentuk Komisi Keamanan Kerja rumah sakit / instansi yang tugas dan
wewenangnya dapat berupa :
a. Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .
b. Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan kerja rumah
sakit / instansi kesehatan .
c. Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .
d. Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin rumah sakit /
instansi kesehatan.
e. mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah sakit /
instansi kesehatan.
Perlu juga dipikirkan kedudukan dan peran organisasi /Cermin Dunia Kedokteran
No. 154, 2007 5/ background image Manajemen keselamatan kerja profesi (PDS-Patklin)
ataupun organisasi seminat (Patelki, HKKI) dalam kiprah organisasi keselamatan dan
kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan ini. Anggota organisasi profesi atau
seminat yang terkait dengan kegiatan rumah sakit / instansi kesehatan dapat diangkat
menjadi anggota komisi di tingkat daerah (wilayah) maupun tingkat pusat (nasional).
Selain itu organisasi-organisasi profesi atau seminar tersebut dapat juga membentuk
badan independen yang berfungsi sebagai lembaga penasehat atau Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit / Instansi Kesehatan.(Hasyim, 2015)
3. Actuating (Pelaksanaan)
Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat
kerja, mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan menjadi
aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan program kesehatan dan keselamatan kerja
rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya ialah tempat kerja yang aman dan sehat.
Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat dalam rumah sakit / instansi
15
kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal yang diperkirakan akan dapat
menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit / instansi kesehatan, serta memiliki
kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan pencegahan dan
penanggulangan kecelakaan kerja tersebut. Kemudian mematuhi berbagai peraturan
atau ketentuan dalam menangani berbagai spesimen reagensia dan alat-alat. Jika
dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini timbul permasalahan, keragu-raguan atau
pertentangan, maka menjadi tugas semua untuk mengambil keputusan
penyelesaiannya.(Hasyim, 2015)
4. Controlling (Pengawasan)
Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-
pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang
dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip pokok,
yaitu :
Adanya rencana
Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.
16
mendapatkan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan dengan berbagai fasilitas dan
peralatan kesehatannya. Rumah sakit sebagai tempat kerja yang unik dan kompleks tidak
saja menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga merupakan tempat
pendidikan dan penelitian kedokteran. Semakin luas pelayanan kesehatan dan fungsi suatu
rumah sakit maka semakin kompleks peralatan dan fasilitasnya.(Effendy, 2013)
Potensi bahaya di rumah sakit, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, yaitu
kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik,
dan sumber-sumber cedera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas
anestesi, gangguan psikososial, dan ergonomi. Semua potensi-potensi bahaya tersebut
jelas mengancam jiwa bagi kehidupan bagi para karyawan di rumah sakit, para pasien
maupun para pengunjung yang ada di lingkungan rumah sakit.(Effendy, 2013)
Rumah sakit mempunyai karakteristik khusus yang dapat meningkatkan peluang
kecelakaan. Misalnya, petugas acapkali menggunakan dan menyerahkan instrumen benda-
benda tajam tanpa melihat atau membiarkan orang lain tahu apa yang sedang mereka
lakukan. Ruang kerja yang terbatas dan kemampuan melihat apa yang sedang terjadi di
area operasi bagi sejumlah anggota tim (perawat instrumen atau asisten) dapat menjadi
buruk. Hal ini dapat mempercepat dan menambah stres kecemasan, kelelahan, frustasi
dan kadang-kadang bahkan kemarahan. Pada akhirnya, paparan atas darah acapkali
terjadi tanpa sepengetahuan orang tersebut, biasanya tidak diketahui hingga sarung tangan
dilepaskan pada akhir prosedur yang memperpanjang durasi paparan. Pada kenyataannya,
jari jemari acap kali menjadi tempat goresan kecil dan luka, meningkatkan risiko infeksi
terhadap patogen yang ditularkan lewat darah. Kondisi gawat darurat dapat terjadi setiap
waktu dan mengganggu kegiatan rutin. Mencegah luka dan paparan (agen yang
menyebabkan infeksi) pada kondisi ini sesungguhnya suatu yang menantang.(Soebandrijo,
2013)
Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan,
meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena itu K3 rumah sakit perlu
dikelola dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 rumah sakit lebih efektif, efesien dan
terpadu diperlukan sebuah manajemen K3 di rumah sakit baik bagi pengelola maupun
karyawan rumah sakit.(Effendy, 2013)
17
suatu proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengendalian yang bertujuan untuk memberdayakan K3 di rumah
sakit.(Soebandrijo, 2013)
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) tidak terlepas dari
pembahasan manajemen secara keseluruhan. Manajemen merupakan suatu proses
pencapaian tujuan secara efisien dan efektif, melalui pengarahan, penggerakan dan
pengendalian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tergabung dalam
suatu bentuk kerja. Sedangkan sistem manajemen merupakan rangkaian proses kegiatan
manajemen yang teratur dan integrasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja akhir-akhir ini terus berkembang seiring dengan
kemajuan sains dan teknologi dalam bidang industri. Keadaan ini merubah pandangan
masyarakat industri terhadap pentingnya penerapan K3 secara sungguh-sungguh dalam
kegiatannya.(Soebandrijo, 2013)
18
lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan
psikologisnya.(Novianto, 2005)
Adapun beberapa hal strategis yang harus diperhatikan dan dilaksanakan dalam
kebijakan keselamatan kerja tersebut, antara lain :
1. Orientasi karyawan, untuk meningkatkan pengetahuan keselamatan kerja
karyawan tersebut
2. Penggunaan alat pelindung diri
3. Penataan tempat kerja yang baik dan aman
4. Pertolongan pertama pada kecelakaan, meliputi latihan, kelengkapan
peralatan P3K, pertolongan pada kasus luka dan mengatasi perdarahan,
pada kasus patah tulang, terkilir, luka bakar, cedera otot dan persendian,
kasus cedera mata
5. Pencegahan kebakaran
6. Perizinan, yaitu perizinan untuk kegiatan yang dapat menimbulkan sumber
nyala api, perizinan untuk penggalian, untuk kelistrikan.(Novianto, 2005)
19
h) Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala
2. Tahap perencanaan
Rumah sakit harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai
keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat
diukur. Perencanaan K3 di rumah sakit dapat mengacu pada standar sistem manajemen
K3RS diantaranya self assesment akreditasi K3 rumah sakit dan SMK3.(RI, 2013)
Perencanaan meliputi:
a. Identifikasi sumber bahaya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
• Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya
• Jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat terjadi
Penilaian faktor resiko, yaitu proses untuk menentukan ada tidaknya resiko dengan
jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan
dan keselamatan kerja.
Pengendalian faktor risiko, dilakukan melalui empat tingkatan pengendalian risiko
yaitu menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana/peralatan
lain yang tingkat risikonya lebih rendah /tidak ada (engneering/rekayasa),
administrasi dan alat pelindung pribadi (APP)
b. Membuat peraturan, yaitu rumah sakit harus membuat, menetapkan dan
melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan,
perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP ini harus
dievaluasi, diperbaharui dan harus dikomunikasikan serta disosialisasikan pada
karyawan dan pihak yang terkait.
c. Tujuan dan sasaran, yaitu rumah sakit harus mempertimbangkan peraturan
perundang-undangan, bahaya potensial, dan risiko K3 yang bisa diukur,
satuan/indikator pengukuran, sasaran pencapaian dan jangka waktu pencapaian
(SMART)
d. Indikator kinerja, harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang
sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 rumah
sakit.
e. Program kerja, yaitu rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan proram K3
rumah sakit, untuk mencapai sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan dicatat
serta dilaporkan.
3. Tahap penerapan atau pelaksanaan
Pelaksanaan K3 harus merupakan bagian dari semua kegiatan operasional.
Maka dari itu pekerjaan atau tugas apapun tidak dapat diselesaikan secara efisien
kecuali jika si pekerja telah mengikuti setiap tindak pencegahan dan peratuan K3
20
untuk melindungi dirinya dan kawan kerjanya. Sesuai dengan konsep sebab akibat
kecelakaan serta prinsip pencegahan kecelakaan, maka pengelompokan unsur K3
diarahkan kepada pengendalian sebab dan pengurangan akibat terjadinya
kecelakaan.(RI, 2013)
Pelaksanaan K3 di rumah sakit sangat tergantung dari rasa tanggung jawab
manajemen dan petugas terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja
sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan melalui adanya
aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada semua
petugas, bimbingan dan latihan serta penegakan disiplin. Ketua organisasi/satuan
pelaksana K3 rumah sakit secara spesifik harus mempersiapkan data dan informasi
pelaksanaan K3 di semua tempat kerja, merumuskan permasalahan serta
menganalisis penyebab timbulnya masalah bersama unit-unit kerja, kemudian
mencari jalan pemecahannya dan mengkomunikasikannya kepada unit-unit kerja,
sehingga dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi
pelaksanaan program, untuk menilai sejauh mana program yang dilaksanakan telah
berhasil. Kalau masih terdapat kekurangan, maka perlu diidentifikasi
penyimpangannya serta dicari pemecahannya.(Ivanna, 2014)
Organisasi/unit pelaksana K3 rumah sakit membantu melakukan upaya
promosi di lingkungan rumah sakit baik pada petugas, pasien, maupun pengunjung
yaitu mengenai segala upaya pencegahan KAK dan PAK di rumah sakit. Juga bisa
diadakan lomba pelaksanaan K3 antar bagian atau unit kerja yang ada di lingkungan
kerja rumah sakit, dan yang terbaik atau terbagus adalah pelaksanaan dan
penerapan K3 nya mendapat reward dari direktur rumah sakit.(Ivanna, 2014)
21
h. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.: PER.05/MEN/1996 Tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
i. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Akibat
Hubungan Kerja
j. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 876/Menkes/SK/VIII/2001 tentang Pedoman
Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan
k. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1217/Menkes/SK/IX/2001 tentang Pedoman
Penanganan Dampak Radiasi
l. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1335/Menkes/SK/X/2002 tentang Standar
Operasional Pengambilan dan Pengukuran Kualitas Udara Rumah Sakit
m. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1439/Menkes/SK/XI/2002 tentang Penggunaan
Gas Medis pada Sarana Pelayanan Kesehatan
n. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 351/Menkes/SK/III/2003 tentang Komite
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Sektor Kesehatan
o. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
p. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Kesehatan
q. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.432/MENKES/SK/IV/2007
Tentang Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit. (Keputusan
Menteri Kesehatan, 2016)
G. Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di RS sangat bergantung dari rasa tanggung jawab manajemen
dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja dalam
pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan melalui adanya aturan yang jelas.
Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan
latihan serta penegakkan disiplin. Ketua organisasi pelaksana K3 RS secara spesifik harus
mempersiapkan data dan informasi pelaksanaan K3 di semua tempat kerja, merumuskan
permasalahan serta menganalisi penyebab timbulnya masalah bersama unit-unit kerja,
sehingga dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi
pelaksanaan program, untuk menilai sejauh mana prorgam yang dilaksanakan telah
berhasil. Kalau masih terdapat kekurangan, maka perlu diidentifikasi penyimpangannya
serta dicari pemecahannya.(Sury, 2013)
Pelaksanaan SMK3 di Rumah Sakit :
22
1. Penyuluhan K3 ke semua Petugas Rumah Sakit
2. Pelatihan K3 yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam organisasi rumah sakit
3. Melaksanakan program K3 sesuai peraturan yang berlaku
a. Pemeriksaan keselamatan petugas
b. Penyediaan Alat Pelindung Diri dan Keselamatan Kerja
c. Penyiapan pedoman pencegahan dan penanggulangan keadaan darurat
d. Penempatan pekerja pada pekerjaan yang sesuai kondisi kesehatan
e. Pengobatan pekerja yang menderita sakit
f. Menciptakan lingkungan kerja yang higienis secara teratur
g. Melaksakan biologikal monitoring
h. Melaksanakan surveilas kesehatan pekerja
23
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan
pelayanan kesehatan serta dapat berfungsi sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan
dan penelitian. Rumah sakit merupakan salah satu tempat bagi masyarakat untuk
mendapatkan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan dengan berbagai fasilitas dan
peralatan kesehatannya.
Potensi bahaya di rumah sakit, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, yaitu
kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik,
dan sumber-sumber cedera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas
anestesi, gangguan psikososial, dan ergonomi. Semua potensi-potensi bahaya tersebut
jelas mengancam jiwa bagi kehidupan bagi para karyawan di rumah sakit, para pasien
maupun para pengunjung yang ada di lingkungan rumah sakit. Rumah sakit mempunyai
karakteristik khusus yang dapat meningkatkan peluang kecelakaan. Misalnya, petugas
seringkali menggunakan dan menyerahkan instrumen benda-benda tajam tanpa melihat
atau membiarkan orang lain tahu apa yang sedang mereka lakukan. Ruang kerja yang
terbatas dan kemampuan melihat apa yang sedang terjadi di area operasi bagi sejumlah
anggota tim (perawat instrumen atau asisten) dapat menjadi buruk. Hal ini dapat
mempercepat dan menambah stres kecemasan, kelelahan, frustasi dan kadang-kadang
bahkan kemarahan. Pada akhirnya, paparan atas darah acapkali terjadi tanpa
sepengetahuan orang tersebut, biasanya tidak diketahui hingga sarung tangan dilepaskan
pada akhir prosedur yang memperpanjang durasi paparan. Pada kenyataannya, jari jemari
acap kali menjadi tempat goresan kecil dan luka, meningkatkan risiko infeksi terhadap
patogen yang ditularkan lewat darah.
B. SARAN
1. Pihak manajemen rumah sakit lebih meningkatkan sosialisasi mengenai fungsi K3 di
rumah sakit kepada siapa saja yang berada di rumah sakit termasuk dokter, perawat,
pasien serta tenaga medis maupun non medis lainnya. Hal ini diperlukan agar dapat
meminimalkan tindakan beresiko bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
2. Pihak rumah sakit mengoptimalkan fungsi K3RS yang ada yaitu dengan cara melakukan
pelatihan terkait Sistem Manajemen K3 Rumah Sakit sehingga pekerja yang kerjanya
terkait dengan SMK3 akan lebih berkompeten dalam pekerjaannya.
24
3. Semua pihak yang terkait dengan RS secara tanggung jawab melaksanakan standar
operasional prosedur (SOP) K3 RS sesuai dengan peraturan, perundangan dan
ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku.
4. Rumah Sakit secara rutin mengevaluasi penyelenggaraan K3 RS untuk menilai apakah
kinerjanya sudah maksimal ataukah masih memerlukan perbaikan sistem K3RS yang
selanjutnya. Selain itu, rumah sakit harus selalu mengidentifikasi sumber bahaya,
penilaian dan pengendalian faktor risiko yang selalu ada di rumah sakit.
25
DAFTAR PUSTAKA
Centrasafety (2014) ‘Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit’, in Kesehatan Dan
Keselamatan Kerja Rumah Sakit.
Cristiano, W. (2004) ‘Analisa Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah
Sakit Sebelum dan Sesudah Akreditasi di RS Pantiwikasa Citarum Semarang.’, Jurnal
Kesehatan Undip, Vol. 1.
Effendy, saladdin wirawan (2013) ‘Strategi pengembangan sistem manajemen k3 pada rumah
sakit umum daerah kayuagung kabupaten ogan komering ilir’, Pengembangan Sistem
Manajemen K3 Pada Rumah Sakit, pp. 4–6.
Faisal Harahap, A. (2009) ‘Pengetahuan Dan Sikap Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Dirumah Sakit. Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Sumatra Utara.Medan’, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Hasyim, H. (2015) ‘Manajemen Hiperkes Dan Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit (Tinjauan
Kegiatan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Institusi Sarana Kesehatan)’, Jurnal Kesehatan
UGM.
Ivanna, A. (2014) ‘Analisa Komitmen Manajemen Rumah Sakit (RS) Terhadap Keselamatan
Dan Kesehatan Kerja (K3) Pada RS Prima Medika Pemalang’, Jurnal Kesehatan Undip, Vol.
No. 1.
Keputusan Menteri Kesehat (2016) ‘Standar kesehatan dan Keselamatan kerja di Rumah Sakit’,
in Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1087/MENKES/SK/VIII.
Milla, I. (2003) ‘Analisis Pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Menggunakan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang’, Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal) Undip, Vol. 1.
Novianto, R. (2005) ‘Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
di Rumahsakit Unisma Malang Jawa Timur’, Jurnal Kesehatan UGM, Vol. 2.
26
Putri, O. Z., Hussin, T. M. A. B. R., & Kasjono, H. S. (2017) ‘Analisis Risiko Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada Petugas Kesehatan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Akademik
UGM.’, Jurnal Kesehatan, Vol. 2.
RI, D. K. (2013) ‘Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah
Sakit.’, in Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit.
Sury, M. (2013) ‘Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) dan Sistem Manajemen K3’, Jurnal
Kesehatan USU, 3.
27