Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Kehadiran seorang anak merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami istri
terutama bagi mereka yang telah lama menikah namun belum memperoleh keturunan. Akan
tetapi, tidak semua pasangan suami istri bisa mendapatkan keturunan secara biologis dengan
mudah.1
Salah satu gangguan kesehatan reproduksi yang terjadi pada usia subur adalah
infertilitas. Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil, ketidakmampuan
mempertahankan kehamilan, ketidakmampuan untuk membawa kehamilan kepada kelahiran
hidup. Infertilitas menjadi salah satu masalah kesehatan yang dijumpai di dunia. Masalah
tersebut dapat dijumpai pada satu dari enam pasangan di dunia dan mengakibatkan pasangan
tersebut tidak dapat memiliki keturunan. Prevalensi infertilitas secara rata- rata di negara
maju adalah sebanyak 3,5-16,7% dan di negara berkembang sebanyak 6,9-9,3%. Secara
keseluruhannya, rata- rata prevalensi infertilitas di dunia sebanyak 13,2%. 1,2,3
Infertilitas dapat disebabkan oleh pihak wanita, pria, maupun keduanya. Akan
tetapi, dari jumlah pasangan infertil yang ada, sebagian besar penyebabnya berasal dari faktor
wanita. Kondisi yang menyebabkan infertilitas dari faktor wanita sebesar 65%, faktor pria
20%, kondisi lain-lain dan tidak diketahui 15%. Kejadian infertilitas dalam suatu lingkungan
masyarakat atau dalam kehidupan sosial budaya masih mengandung bias gender yang kuat
dimana wanita merupakan pihak yang paling sering disalahkan pada pasangan suami istri
yang tidak mempunyai keturunan secara biologis. Seorang wanita menjadi infertil dapat
disebabkan oleh faktor risiko yang meningkat dan faktor tersebut sangat beragam diantaranya
usia, pekerjaan, tingkat stres, body mass index kaitannya dengan status gizi, dan kelainan
organ reproduksi seperti ada atau tidaknya gangguan pada ovulasi, gangguan tuba dan pelvis,
serta gangguan uterus.4
Saat ini, para ahli memastikan angka infertilitas telah meningkat mencapai 15-20
persen dari sekitar 50 juta pasangan di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan pembelajaran
dan pendalaman mengenai penyebab infertilitas, penatalaksanaan yang tepat dibutuhkan
untuk mengurangi angka kejadian infertilitas.4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Menurut WHO, infertilitas merupakan permasalahan sistem reproduksi
yang digambarkan dengan kegagalan untuk memperoleh kehamilan setelah 12 bulan
atau lebih melakukan hubungan seksual minimal 2-3 kali seminggu secara teratur
tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Infertilitas dikatakan infertilitas primer jika
sebelumnya pasangan suami istri belum pernah mengalami kehamilan. Sementara
itu, dikatakan infertilitas sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk memperoleh
kehamilan setelah satu tahun pasca persalinan atau pasca abortus tanpa menggunakan
kontrasepsi apapun.4
Infertilitas menurut American Society for Reproductive Medicine adalah
akibat dari suatu penyakit (gangguan, penghentian, atau gangguan fungsi tubuh,
sistem, atau organ) dari saluran reproduksi pria atau wanita yang mencegah
terjadinya konsepsi atau kemampuan untuk mempertahankan kehamilan sampai
melahirkan. Durasi hubungan seksual tanpa pelindung dengan kegagalan untuk
hamil harus sekitar 12 bulan sebelum evaluasi infertilitas dilakukan, kecuali jika ada
riwayat kesehatan, usia, atau temuan fisik harus dilakukan evaluasi dan pengobatan
lebih dini. 5

2.2 EPIDEMIOLOGI
Infertilitas merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dalam
masyarakat di seluruh dunia. Delapan puluh empat persen (84%) perempuan akan
mengalami kehamilan dalam kurun waktu satu tahun pertama pernikahan bila mereka
melakukan hubungan suami istri secara teratur tanpa menggunakan alat-alat
kontrasepsi. Angka kehamilan kumulatif akan meningkat menjadi 92% ketika lama
usia pernikahan dua tahun. Di negara-negara maju, prevalensi rata-rata infertilitas
adalah 3,5-16,7%, sedangkan di negara-negara berkembang adalah 6,9-9,3%.3,4
World Health Organization (WHO) secara global memperkirakan adanya
kasus infertil pada 8%-10% pasangan, jika dari gambaran global populasi maka
sekitar 50- 80 juta pasangan (1 dari 7 pasangan) atau sekitar 2 juta pasangan infertil
baru setiap tahun dan jumlah ini terus meningkat. Berdasarkan National Survey of
Family Growth (NSFG) di Amerika Serikat, persentase wanita infertil pada tahun

2
1982, tahun 1988 hingga tahun 1995 terus mengalami peningkatan dari 8.4% menjadi
10.2% (6.2 juta). Kejadian ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 7.7
juta pada tahun 2025. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012
kejadian infertil di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun. Prevalensi
pasangan infertil di Indonesia tahun 2013 adalah 15-25% dari seluruh pasangan yang
ada. 1

2.3 FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI


Infertilitas dapat disebabkan oleh pihak wanita, pria, maupun keduanya akan
tetapi dari jumlah pasangan infertil yang ada, sebagian besar penyebabnya berasal dari
faktor wanita. Kondisi yang menyebabkan infertilitas dari faktor wanita sebesar 65%,
faktor pria 20%, kondisi lain-lain dan tidak diketahui 15%.1
Ada banyak penyebab infertilitas, infertilitas dapat dipengaruhi oleh faktor
anatomis, fisiologi dan genetik. Faktor lingkungan dan gaya hidup juga
mempengaruhi kesuburan dan dapat menyebabkan infertilitas. Presentasi penyebab
infertilitas pada pasangan pria dan wanita (kombinasi) adalah sebanyak 40%, faktor
laki-laki sebanyak 35%, faktor tuba dan faktor pelvik 35%, disfungsi ovulasi 15%,
lain-lain seperti (faktor serviks, faktor peritoneal, abnormalitas uterus) 5%, tidak
diketahui 10%. 3,6,7
2.3.1 Gaya hidup
1) Konsumsi Alkohol
Alkohol dikatakan dapat berdampak pada fungsi sel Leydig dengan
mengurangi sintesis testosteron dan menyebabkan kerusakan pada membran
basalis. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi hipotalamus dan hipofisis. Konsumsi satu atau dua gelas
alkohol, satu sampai dua kali per minggu tidak meningkatkan risiko
pertumbuhan janin. Konsumsi alkohol tiga atau empat gelas sehari pada laki-
laki tidak mempunyai efek terhadap fertilitas. Konsumsi alkohol yang
berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan penurunan kualitas semen.8
2) Merokok
Rokok mengandung zat berbahaya bagi oosit (menyebabkan kerusakan
oksidatif terhadap mitokondria), sperma (menyebabkan tingginya kerusakan
morfologi), dan embrio (menyebabkan keguguran). Kebiasaan merokok

3
pada perempuan dapat menurunkan tingkat fertilitas. Kebiasaan merokok
pada laki-laki dapat mempengaruhi kualitas semen, namun dampaknya
terhadap fertilitas belum jelas. Berhenti merokok pada laki-laki dapat
meningkatkan kesehatan pada umumnya.8
3) Konsumsi Kafein
Konsumsi kafein (teh, kopi, minuman bersoda) tidak mempengaruhi
masalah infertilitas.8
4) Berat badan
Perempuan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 29,
cenderung memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan
kehamilan.. Laki-laki yang memiliki IMT > 29 akan mengalami gangguan
fertilitas. Upaya meningkatkan berat badan pada perempuan yang memiliki
IMT < 19 serta mengalami gangguan haid akan meningkatkan kesempatan
terjadinya pembuahan. 8
5) Olahraga8
Olahraga ringan-sedang dapat meningkatkan fertilitas karena akan
meningkatkan aliran darah dan status anti oksidan. Olahraga berat dapat
menurunkan fertilitas
 Olahraga > 5 jam/minggu, contoh: bersepeda untuk laki-laki
 Olahraga > 3-5 jam/minggu, contoh: aerobik untuk perempuan
6) Stress
Perasaan cemas, rasa bersalah, dan depresi yang berlebihan dapat
berhubungan dengan infertilitas, namun belum didapatkan hasil penelitian
yang adekuat.8
Teknik relaksasi dapat mengurangi stress dan potensi terjadinya infertilitas.
Perempuan yang gagal hamil akan mengalami kenaikan tekanan darah dan
denyut nadi, karena stress dapat menyebabkan penyempitan aliran darah ke
organ-organ panggul.8
7) Suplementasi Vitamin 8
 Konsumsi vitamin A berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan
kelainan kongenital termasuk kraniofasial, jantung, timus, dan susunan
saraf pusat.

4
 Asam lemak seperti EPA dan DHA (minyak ikan) dianjurkan pada
pasien infertilitas.
Beberapa antioksidan yang diketahui dapat meningkatkan kualitas dari
sperma, diantaranya:
 Vit.C dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas semen
 Ubiquinone Q10 dapat meningkatkan kualitas sperma
 Selenium dan glutation dapat meningkatkan motilitas sperma
 Asam folat, zink, dan vitamin B12 (Kombinasi asam folat dan zink
dapat meningkatkan konsentrasi dan morfologi sperma)
 Kobalamin (Vit B12) penting dalam spermatogenesis
8) Obat-Obatan 8
 Spironolakton akan merusak produksi testosteron dan sperma
 Sulfasalazin mempengaruhi perkembangan sperma normal
 Kolkisin dan allopurinol dapat mengakibatkan penurunan sperma untuk
membuahi oosit
 Antibiotik tetrasiklin, gentamisin, neomisin, eritromisin dan
nitrofurantoin pada dosis yang tinggi berdampak negatif pada
pergerakan dan jumlah sperma.
 Simetidin terkadang menyebabkan impotensi dan sperma yang
abnormal
 Siklosporin juga dapat menurunkan fertilitas pria

2.3.2 Lingkungan
Terdapat beberapa pekerjaan yang melibatkan paparan bahan berbahaya bagi
kesuburan seorang perempuan maupun laki-laki. Setidaknya terdapat 104.000
bahan fisik dan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan yang telah
teridentifikasi, namun efeknya terhadap kesuburan, 95% belum dapat
diidentifikasi. Bahan yang telah teridentifikasi dapat mempengaruhi kesuburan
diantaranya panas, radiasi sinar-X, logam dan pestisida.8

2.3.3 Faktor Laki-laki


Infertilitas pada pria dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda dan
biasanya dievaluasi dengan analisis semen. Ketika analisis semen dilakukan,

5
yang dinilai adalah jumlah sperma (konsentrasi), motilitas (gerakan), dan
morfologi (bentuk). Analisis semen yang agak tidak normal tidak berarti
bahwa seorang pria sudah pasti mandul. Sebaliknya, analisis semen membantu
menentukan apakah dan bagaimana faktor laki-laki berkontribusi terhadap
infertilitas.9
Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan infertilitas pada pria menurut CDC
2018 adalah sebagai berikut:9
1) Gangguan Fungsi Testis atau Fungsi Ejakulasi
 Varikokel
Varikokel merupakan suatu kondisi di mana pembuluh darah vena di
testis pria membesar dan menyebabkan suhu menjadi terlalu panas.
Panas ini dapat mempengaruhi jumlah atau bentuk sperma.9
 Trauma pada testis
Trauma pada testis dapat mempengaruhi produksi sperma dan
menghasilkan jumlah sperma yang lebih sedikit.9
 Kebiasaan tidak sehat seperti penggunaan alkohol berat, merokok,
penggunaan steroid anabolik, dan penggunaan obat-obatan terlarang.9
 Penggunaan obat dan suplemen tertentu.9
 Pengobatan kanker yang melibatkan penggunaan beberapa jenis
kemoterapi, radiasi, atau operasi untuk mengangkat satu atau kedua
testis. 9
 Kondisi medis seperti diabetes, cystic fibrosis, beberapa jenis
gangguan autoimun, dan jenis infeksi tertentu dapat menyebabkan
kegagalan testis.9
2) Gangguan Hormonal
 Fungsi yang salah dari hipotalamus atau kelenjar hipofisis.
Hipotalamus dan kelenjar hipofisis di otak menghasilkan hormon
yang mempertahankan fungsi normal testis. Produksi prolactin yang
terlalu banyak, hormon yang dibuat oleh kelenjar hipofisis (sering
karena adanya tumor kelenjar hipofisis jinak), atau kondisi lain yang
merusak atau mengganggu fungsi hipotalamus atau kelenjar hipofisis
dapat menyebabkan rendah atau tidak adanya sperma yang
dihasilkan.9

6
 Kondisi ini dapat termasuk tumor hipofisis jinak dan ganas (kanker),
hiperplasia adrenal kongenital, paparan terlalu banyak estrogen,
paparan terlalu banyak testosteron, sindrom Cushing, dan penggunaan
obat kronis yang disebut glukokortikoid.9
3) Gangguan Genetik
Kondisi genetik seperti sindrom Klinefelter, mikrodelesi kromosom Y,
distrofi myotonic, dan kelainan genetik lainnya, dapat menyebabkan tidak
ada sperma yang akan diproduksi, atau rendahnya jumlah sperma yang
dihasilkan.9

2.3.4 Faktor Perempuan


Wanita membutuhkan ovarium, tuba fallopi dan uterus yang berfungsi untuk
hamil. Hal-hal yang mengganggu fungsi dari salah satu dari organ-organ ini
dapat berkontribusi pada infertilitas wanita. Etiologi infertilitas wanita dapat
disebabkan oleh gangguan ovulasi, kelainan uterus, obstruksi tuba, dan faktor
peritoneal. Faktor serviks juga dianggap memiliki peran kecil, meskipun
jarang menjadi penyebab tunggal. Penyebab infertilitas pada wanita dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu:6
1) Gangguan Ovulasi
Gangguan ovulasi seperti Sindrome Ovarium Polikistik, gangguan pada
siklus haid, insufiensi ovarium primer. Saat ini, diagnosis Sindrom
Ovarium Polikistik dapat ditegakkan apabila dijumpai dua dari tiga gejala
berikut ini kriteria Rotterdam 2003:
a) Siklus haid oligoovulasi atau anovulasi
b) Gejala hiperandrogenisme baik secara fisik maupun biokimia
c) Adanya gambaran morfologi ovarium yang polikistik pada USG (12
atau lebih folikel-folikel dengan ukuran diameter antara 2-9 mm dan
atau peningkatan volume ovarium (>10 ml)
Infertilitas yang disebabkan oleh gangguan ovulasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan siklus haid, yaitu amenore primer atau sekunder. Namun tidak
semua pasien infertilitas dengan gangguan ovulasi memiliki gejala klinis
amenorea, beberapa diantaranya menunjukkan gejala oligomenorea.
Amenorea primer dapat disebabkan oleh kondisi di bawah ini. 7,8

7
Uterus Agenesis mulllerian ( Rokitansky
sindrom)
Ovarium Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK)
Turner sindrom
Hipotalamus Kehilangan berat badan
(hipogonadotropin hipogonadism) Latihan yang berat (atlet lari)
Genetic (Kallman sindrom)
Idiopatik
Pubertas terhambat
Hipofisis Hiperprolaktinemia
Hipopituitarism
Penyebab dari kerusakan Tumor (gliomas, kista dermoid)
hipotalamus/hipofisis Trauma kepala
Tabel 1. Penyebab amenorea primer
Sumber: Konsensus Infertilitas (2012)
WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 4 kelas, yaitu: 8
Kelas1: Kegagalan pada hipotalamus hipofisis (hipogonadotropin
hipogonadism)
Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang rendah,
prolaktin normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi
sekitar 10% dari seluruh kelainan ovulasi.
Kelas 2 : Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin-normogonadism)
Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin
namun estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85%
dari seluruh kasus kelainan ovulasi. Manifestasi klinik kelainan
kelompok ini adalah oligomenorea atau amenorea yang banyak
terjadi pada kasus Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK).
Delapan puluh sampai sembilan puluh persen pasien SOPK akan
mengalami oligomenorea dan 30% akan mengalami amenorea.
Kelas 3 : Kegagalan ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism)
Karakteristik kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi
dengan kadar estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5% dari
seluruh gangguan ovulasi.
Kelas 4 : Hiperprolaktinemia

2) Gangguan tuba dan pelvis


Sumbatan di tuba fallopi merupakan salah satu penyebab
infertilitas. Sumbatan tersebut dapat terjadi akibat infeksi, pembedahan
tuba atau adhesi yang disebabkan oleh endometriosis atau inflamasi.
Infeksi chlamydia trachomatis memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya

8
kerusakan pada tuba. Peningkatan insiden penyakit radang panggul (Pelvic
Inflammatory Disease) menyebabkan jaringan parut yang memblok kedua
tuba fallopi. Faktor risiko terjadinya sumbatan tuba fallopi (tuba oklusi)
dapat mencakup riwayat infeksi panggul, riwayat appendicitis pecah,
riwayat gonore atau klamidia, endometriosis yang diketahui, atau riwayat
operasi perut. 7,9,10
Endometriosis merupakan penyakit kronik yang umum dijumpai.
Gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan endometriosis adalah nyeri
panggul, infertilitas dan ditemukan pembesaran pada adneksa. Dari studi yang
telah dilakukan, endometriosis terdapat pada 25%-50% perempuan, dan 30%
sampai 50% mengalami infertilitas. Hipotesis yang menjelaskan
endometriosis dapat menyebabkan infertilitas masih belum jelas, namun ada
beberapa mekanisme pada endometriosis seperti terjadinya perlekatan dan
distrorsi anatomi panggul yang dapat mengakibatkan penurunan tingkat
kesuburan. Perlekatan pelvis pada endometriosis dapat mengganggu
pelepasan oosit dari ovarium serta menghambat penangkapan maupun
transportasi oosit.8

Adapun klasifikasi kerusakan tuba yaitu:8


a. Ringan/ Grade 1
- Oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau oklusi tuba distal
tanpa ada distensi.
- Mukosa tampak baik.
- Perlekatan ringan (perituba-ovarium)
b. Sedang/Grade 2
- Kerusakan tuba berat unilateral
c. Berat/Grade 3
- Kerusakan tuba berat bilateral
- Fibrosis tuba luas
- Distensi tuba > 1,5 cm
- Mukosa tampak abnormal
- Oklusi tuba bilateral
- Perlekatan berat dan luas

9
3) Gangguan uterus
Uterus dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas yang dapat
dipengaruhi oleh faktor serviks, kavum uteri dan korpus uteri. 7
a.) Faktor serviks seperti servisitis dapat menghambat penetrasi sperma ke
dalam kavum uteri, trauma pada serviks seperti tindakan operatif atau
upaya abortus menyebabkan cacat pada serviks dan dapat
menyebabkan terjadinya infertilitas.
b.) Faktor kavum uteri seperti endometriosis kronis serta polip
endometrium dapat mengganggu terjadinya proses implantasi.
c.) Faktor miometrium yaitu mioma submukosum kemungkinan terkait
dengan sumbatan pada tuba, sumbatan pada kanalis servikalis atau
mempengaruhi terjadinya implantasi.
Leiomyomas serta sindrom asherman juga dapat menyebabkan infertilitas.8

Hal-hal yang dapat meningkatkan resiko infertilitas pada wanita adalah sebagai
berikut:8
1) Usia.
Banyak perempuan yang menunggu sampai usia 30-an dan 40-an untuk
memiliki anak. Faktanya, sekitar 20% wanita di Amerika Serikat sekarang
memiliki anak pertama mereka setelah usia 35 tahun. Sekitar sepertiga
pasangan di mana wanita tersebut berusia lebih dari 35 tahun memiliki
masalah kesuburan. Penuaan tidak hanya mengurangi kemungkinan seorang
wanita memiliki bayi, tetapi juga meningkatkan peluang keguguran dan
memiliki anak dengan kelainan genetik. Sampai saat ini, aplikasi klinis utama
penentuan AMH pada wanita telah menjadi penilaian cadangan ovarium
dalam diagnostik infertilitas, kegagalan ovarium prematur, dan
hipogonadotropik hipogonadisme. Studi yang baru-baru ini diterbitkan
menyoroti nilai penentuan AMH pada Sindrom Polikistik Ovarium. Dari
beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kadar AMH juga dapat
menjadi penanda prediktif yang sangat berguna untuk penentuan waktu
menopause. 8,11
2) Semakin meningkatnya usia, maka akan mengurangi kemungkinan seorang
wanita memiliki bayi oleh karena hal-hal berikut:
 Memiliki lebih sedikit sel telur yang tersisa.
10
 Sel telur tidak sehat.
 Lebih cenderung memiliki kondisi kesehatan yang dapat menyebabkan
masalah kesuburan.
 Lebih mungkin mengalami keguguran.
3) Merokok.
4) Penggunaan alkohol berlebihan.
5) Peningkatan berat badan yang ekstrem.
6) Stres fisik atau emosional yang berlebihan yang menyebabkan amenore
(tidak ada menstruasi).

2.4 ANATOMI DAN FISIOLOGI


2.4.1 Anatomi
2.4.1.1 Pria
Sistem reproduksi laki-laki terdiri dari sepasang testis, ductus excretorius
beserta glandula accessorius, dan penis. Ductus excretorius pada masing-masing
sisi terdiri dari epididymis, ductus deferens, dan ductus ejaculatorius. Sedangkan
glandula accessorius terdiri dari sepasang vesicula seminalis, sepasang glandula
bulbourethralis dan glandula prostata.12
Organ genitalia pria terdiri dari organ genitalia eksterna dan interna.
Organ genitalia eksterna terdiri dari scrotum dan testis, sedangkan organ
genitalia interna terdiri dari testis, epididymis, ductus deferens, vesica seminalis,
ductus ejaculatorius, prostat dan glandula bulbourethralis.12

11
Gambar 2.1 Radix dan Corpus penis
Sumber: Snell. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem (2012)

Gambar 2.2 Testis dan epididymis, funiculus spermaticum dan scrotum


Sumber: Snell. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem (2012)

12
Gambar 2.3 Ductus excretorius
Sumber: Snell. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem (2012)

2.4.1.2 Wanita
Organ utama sistem reproduksi wanita adalah ovarium, tuba fallopi,
uterus, vagina, dan alat genitalia eksterna. Sistem reproduksi wanita juga
mencakup organ aksesoris, kelenjar mammae, dan berbagai kelenjar yang
mensekresikan ke dalam saluran reproduksi wanita.13

Gambar 2.4 Potongan sagitalis pelvis perempuan


Sumber: Snell. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem (2012)

Organa genitalia externa termasuk mons pubis (kulit berambut di depan


pubis),labium majus, labium minus, clitoris, dan glandula vestibularis major
(glandula Bartholini). 12

13
Adapun organa genitalia interna termasuk:
1) Ovarium
Masing-masing ovarium berbentuk oval, berukuran 1,5 x 0,75 inci (4 x 2
cm), dan terletak pada bagian belakang ligamentum latum oleh
mesovatium.12
2) Tuba Fallopi
Kedua tuba fallopi, masing-masing panjangnya sekitar 4 inci (10 cm) dan
terletak pada pinggir atas ligamentum latum. Masing-masing tuba
menghubungkan cavitas peritonealis di regio ovarium dengan cavum uteri.
Tuba fallopi terbagi menjadi empat bagian yaitu Infundibulum tubae
fallopi, ampulla tubae fallopi, isthmus tubae fallopi dan pars interstitialis.11
Tuba fallopi menerima ovum dari ovarium dan merupakan tempat
terjadinya fertilisasi (biasanya di ampulla). Tuba uterine menyediakan
makanan untuk ovum yang telah difertilisasi dan membawanya ke dalam
cavum uteri. Tuba fallopi juga merupakan saluran yang dilalui oleh
spermatozoa untuk mencapai ovum.12
3) Uterus
Uterus merupakan organ berongga yang berbentuk buah pir dan berdinding
tebal. Pada orang dewasa muda nullipara, panjang uterus 3 inci (8 cm),
lebar 2 inci (5 cm), dan tebal 1 inci (2,5 cm). Uterus dibagi atas fundus,
corpus, dan cervix uteri. Fundus uteri merupakan bagian uterus yang
terletak di atas muara tuba fallopi. Corpus uteri merupakan bagian uterus
yang terletak di bawah muara tuba fallopi. Ke arah bawah corpus akan
menyempit, yang berlanjut sebagai cervix uteri. Rongga cervix, canalis
cervicalis, berhubungan dengan rongga di dalam corpus uteri melalui
ostium uteri internum dan dengan vagina melalui ostium uteri externum.
Sebelum melahirkan anak pertama (nullipara), ostium uteri externum
berbentuk lingkaran. Pada multipara, portio vaginalis cervicis uteri lebih
besar, dan ostium uteri extemum berbentuk celah transversal sehingga
mempunyai labium anterior dan labium posterior. Uterus berfungsi sebagai
tempat untuk menerima, mempertahankan, dan memberi nutrisi ovum yang
telah dibuahi.12

14
4) Vagina
Vagina adalah saluran otot yang terbentang ke atas dan belakang dari vulva
ke uterus. Panjang vagina lebih kurang 3 inci (8 cm) dan mempunyai
dinding anterior dan posterior, yang dalam keadaan normal terletak
berhadapan. Pada ujung atas dinding anterior ditembus oleh cervix, yang
menonjol ke bawah dan belakang vagina. Daerah lumen vagina yang
mengelilingi cervix dibagi atas empat daerah atau fornix: fornix anterior,
posterior, lateralis dexter, dan lateralis sinister. Orificum vaginae pada
perempuan yang masih perawan mempunyai selapis tipis lipatan mucosa
disebut hymen, yang mempunyai lubang ditengahnya. Vagina tidak hanya
sebagai saluran kelamin pada perempuan, tetapi juga merupakan saluran
ekskresi untuk menstruasi dan membentuk sebagian dari jalan lahir.12

Gambar 2.5 Anatomi Organa Genitalia Interna Wanita


Sumber: Snell. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem (2012)

2.4.2 Fisiologi
2.4.2.1 Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah suatu proses kompleks dimana sel
germinativum primordial yang relatif belum berdiferensiasi, spermatogonia
(masing-masing mengandung komplemen diploid 46 kromosom),
berproliferasi dan diubah menjadi spermatozoa (sperma) yang sangat
khusus dan dapat bergerak, masing-masing mengandung set haploid 23
kromosom yang terdistribusi secara acak. Spermatogenesis memerlukan
waktu 64 hari untuk pembentukan dari spermatogonium menjadi sperma

15
matang. Setiap hari dapat dihasilkan beberapa ratus juta sperma matang.
Spermatogenesis mencakup tiga tahap utama: proliferasi mitotik, meiosis,
dan pengemasan.14
1) Proliferasi Mitotik
Spermatogonia yang terletak di lapisan terluar tubulus terus
menerus bermitosis, dengan semua sel anak mengandung komplemen
lengkap 46 kromosom identik dengan sel induk. Proliferasi ini
menghasilkan pasokan sel germinativum baru yang terus-menerus. 13
Setelah pembelahan mitotik sebuah spermatogonium, salah satu
sel anak tetap di tepi luar tubulus sebagai spermatogonium tak
berdiferensiasi sehingga turunan sel germinativum tetap terpelihara.
Sel anak yang lain mulai bergerak ke arah lumen sembari menjalani
berbagai tahap yang dibutuhkan untuk membentuk sperma, yang
kemudian akan dibebaskan ke dalam lumen. Pada manusia, sel anak
penghasil sperma membelah secara mitosis dua kali lagi untuk
menghasilkan empat spermatosit primer identik. Setelah pembelahan
mitotik terakhir, spermatosit primer masuk ke fase istirahat saat
kromosom-kromosom terduplikasi dan untai-untai rangkap tersebar
tetap menyatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiotik pertama.14

2) Meiosis
Selama meiosis, setiap spermatosit primer (dengan jumlah
diploid 46 kromosom rangkap) membentuk dua spermatosit sekunder
(masing-masing dengan jumlah haploid 23 kromosom rangkap) selama
pembelahan meiosis pertama, akhirnya menghasiikan empat spermatid
(masing-masing dengan 23 kromosom tunggal) akibat pembelahan
meiotik kedua. Setelah tahap spermatogenesis ini tidak terjadi
pembelahan lebih lanjut. Setiap spermatid mengalami remodeling
menjadi spermatozoa. Karena setiap spermatogonium secara mitosis
menghasilkan empat spermatosit primer dan setiap spermatosit primer
secara meiosis menghasilkan empat spermatid (calon spermatozoa),
maka rangkaian spermatogenik pada manusia secara teoritis
menghasilkan 16 spermatozoa setiap kali spermatogonium memulai

16
proses ini. Namun, biasanya sebagian sel lenyap di berbagai tahap
sehingga efisiensi produksi jarang setinggi ini.14

3) Pengemasan
Bahkan setelah meiosis, spermatid secara struktural masih
mirip spermatogonia yang belum berdiferensiasi, kecuali bahwa
komplemen kromosomnya kini hanya separuh. Pembentukan
spermatozoa yang sangat khusus dan bergerak dari spermatid
memerlukan proses remodeling, atau pengemasan ekstensif elemen-
elemen sel, suatu proses yang dikenal sebagai spermiogenesis. 14
Sperma pada hakikatnya adalah sel yang "ditelanjangi" di
mana sebagian besar sitosol dan semua organel yang tidak dibutuhkan
untuk menyampaikan informasi genetik sperma ke ovum telah
disingkirkan. Karena itu sperma dapat bergerak cepat, hanya membawa
serta sedikit beban untuk melakukan pembuahan. Spermatozoa
memiliki empat bagian: kepala, akrosom, bagian tengah, dan ekor.
Kepala terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung informasi
genetik sperma. Akrosom, vesikel berisi enzim yang menutupi ujung
kepala, digunakan sebagai "bor enzim" untuk menembus ovum.
Akrosom dibentuk oleh agregasi vesikel-vesikel yang diproduksi oleh
kompleks retikulum endoplasma/Golgi sebelum organel ini
disingkirkan. Mobilitas spermatozoa dihasilkan oleh suatu ekor panjang
mirip cambuk yang gerakannya dijalankan oleh energi yang dihasilkan
oleh mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma. 14

17
Gambar 2.6 Spermatogenesis
Sumber: Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (2012)

Gambar 2.7 Spermatozoa


Sumber: Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (2012)

18
2.4.2.2 Siklus Menstruasi
Siklus haid terdiri dari tiga fase: fase haid, fase proliferatif, dan fase
sekretorik, atau progestasional.14
1) Fase Haid
Fase haid adalah fase yang paling jelas, ditandai oleh
pengeluaran darah dan sisa endometrium dari vagina. Berdasarkan
perjanjian, hari pertama haid dianggap sebagai permulaan siklus baru.
Saat ini bersamaan dengan pengakhiran fase luteal ovarium dan
dimulainya fase folikular. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi
karena tidak terjadi fertilisasi dan implantasi ovum yang dibebaskan
selama siklus sebelumnya, kadar progesteron dan estrogen darah turun
tajam. Karena efek akhir progesreron dan estrogen adalah
mempersiapkan endometrium untuk implantasi ovum yang dibuahi
maka terhentinya sekresi kedua hormon ini menyebabkan lapisan
dalam uterus yang kaya vascular dan nutrien ini kehilangan hormon-
hormon penunjangnya.14
Turunnya kadar hormon ovarium juga merangsang pembebasan
suatu prostaglandin uterus yang menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh-pembuluh endometrium, menghambat aliran darah ke
endometrium. Turunnya suplai O2 yang terjadi kemudian
menyebabkan kematian endometrium, termasuk pembuluh darahnya.
Perdarahan yang terjadi melalui kerusakan pembuluh darah ini
membilas jaringan endometrium yang mati ke dalam lumen uterus.
Sebagian besar lapisan dalam uterus terlepas selama haid kecuali
sebuah lapisan dalam yang tipis berupa sel epitel dan kelenjar, yang
menjadi asal regenerasi endometrium. Prostaglandin uterus yang sama
juga merangsang kontraksi ritmik ringan miometrium uterus. Kontraksi
ini membantu mengeluarkan darah dan sisa endometrium dari rongga
uterus keluar melalui vagina sebagai darah haid. Kontraksi uterus yang
terlalu kuat akibat produksi berlebihan prostaglandin menyebabkan
kram haid (dismenore) yang dialami oleh sebagian wanita. 14
Pengeluaran darah rerata selama satu kali haid adalah 50
sampai 150 ml. Haid biasanya berlangsung selama lima sampai tujuh
hari setelah degenerasi korpus luteum, bersamaan dengan bagian awal
19
fase folikular ovarium. Penghentian efek progesteron dan estrogen,
akibat degenerasi korpus luteum menyebabkan terkelupasnya
endometrium terbentuknya folikel-folikel baru di ovarium di bawah
pengaruh hormon gonadotropin yang kadarnya meningkat. Turunnya
sekresi hormon gonad menghilangkan pengaruh inhibitorik dari
hipotalamus dan hipofisis anterior sehingga sekresi FSH dan LH
meningkat dan fase folikular baru dapat dimulai. Setelah lima sampai
tujuh hari di bawah pengaruh FSH dan LH, folikel-folikel yang baru
berkembang telah menghasilkan cukup estrogen untuk mendorong
perbaikan dan pertumbuhan endometrium.14
2) Fase Proliferatif
Ketika darah haid berhenti, fase proliferatif uterus dimulai
bersamaan dengan bagian terakhir fase folikular ovarium ketika
endometrium mulai memperbaiki diri dan berproliferasi di bawah
pengaruh estrogen dari folikel-folikel yang baru berkembang. Saat
aliran darah haid berhenti, yang tersisa adalah lapisan endometrium
tipis dengan ketebalan kurang dari 1 mm. Estrogen merangsang
proliferasi sel epitel, kelenjar, dan pembuluh darah di endometrium,
meningkatkan ketebalan lapisan ini menjadi 3 sampai 5 mm. Fase
proliferatif yang didominasi oleh estrogen ini berlangsung dari akhir
haid hingga ovulasi. Kadar puncak estrogen memicu lonjakan LH
yang menjadi penyebab terjadinya ovulasi.14
3) Fase Sekretorik atau Progestasional
Setelah ovulasi, ketika terbentuk korpus luteum baru, uterus
masuk ke fase sekretorik atau progestasional, yang bersarnaan
waktunya dengan fase luteal ovarium. Korpus luteum mengeluarkan
sejumlah besar progesteron dan estrogen. Progesteron mengubah
endometrium tebal yang telah dipersiapkan estrogen menjadi jaringan
kaya vaskular dan glikogen. Periode ini disebut fase sekretorik, karena
kelenjar endometrium aktif mengeluarkan glikogen, atau fase
progestasional ("sebelum kehamilan'), merujuk kepada lapisan subur
endometrium yang mampu menopang kehidupan mudigah. Jika
pembuahan dan implantasi tidak terjadi maka korpus luteum
berdegenerasi dan fase folikular dan fase haid baru dimulai kembali.14
20
Gambar 2.8: Siklus Menstruasi
Sumber: Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (2012)

2.4.2.3 Fertilisasi
Fertilisasi (pembuahan), penyatuan gamet pria dan wanita, dalam keadaan
normal terjadi di ampula, sepertiga atas tuba fallopi. Karena itu, baik ovum
maupun sperma harus diangkut dari tempat produksi mereka di gonad ke
ampula.14
1) Transpor Ovum ke tuba Fallopi
Ketika dibebaskan saat ovulasi, ovum segera diambil oleh tuba fallopi.
Ujung tuba fallopi yang melebar menjulur membungkus ovarium dan
mengandung fimbria, tonjolan mirip jari yang berkontraksi dengan gerakan
menyapu untuk menuntun ovum yang baru dibebaskan ke dalam tuba fallopi.
Selain itu, fimbria dilapisi oleh silia, tonjolan halus mirip rambut yang

21
berdenyut dalam gelombang-gelombang mengarah ke interior tuba fallopi
yang ikut menjamin mengalirnya ovum ke dalam tuba fallopi. Di dalam tuba
fallopi, ovum cepat didorong oleh kontraksi peristaltik dan gerakan silia
ampula.14
Konsepsi dapat terjadi selama rentang waktu yang sangat terbatas dari
setiap siklus (masa subur). Jika tidak dibuahi, ovum mulai mengalami
disintegrasi dalam 12 sampai 24 jam lalu difagosit oleh sel-sel yang melapisi
bagian dalam saluran reproduksi. Karena itu, fertilisasi harus terjadi dalam 24
jam setelah ovulasi, ketika ovum masih hidup. Sperma biasanya bertahan
hidup sekitar 48 jam tetapi dapat tetap hidup hingga lima hari di dalam saluran
reproduksi wanita, sehingga sperma yang diletakkan lima hari sebelum ovulasi
hingga 24 jam setelah ovulasi dapat membuahi ovum yang dibebaskan,
meskipun waktu-waktu ini dapat sangat bervariasi.14
2) Transpor Sperma ke Tuba Fallopi
Setelah diendapkan di vagina saat ejakulasi, sperma harus berjalan
melewati kanalis servikalis, lalu uterus, dan kemudian sampai ke sel telur di
sepertiga atas tuba fallopi. Sperma pertama tiba di tuba fallopi setengah jam
setelah ejakulasi. Meskipun sperma dapat bergerak melalui kontraksi mirip
pecut ekornya, namun 30 menit adalah waktu yang terlalu singkat bagi
mobilitas sperma untuk membawa diri mereka sendiri ke tempat pembuahan.
Untuk menempuh perjalanan jauh ini, sperma memerlukan bantuan saluran
reproduksi wanita. Hambatan pertama adalah melewati kanalis servikalis.
Hampir sepanjang siklus, karena tingginya kadar progesterone dan rendahnya
estrogen, mukus serviks menjadi terlalu kental bagi penetrasi sperma. Mukus
serviks menjadi cukup encer dan tipis untuk melewatkan sperma hanya jika
kadar estrogen tinggi, ketika folikel matang siap untuk berovulasi. Sperma
bermigrasi naik melewati kanalis servikalis dengan kemampuannya sendiri.
Saluran ini hanya dapat dilewati selama dua sampai tiga hari dalam setiap
siklus haid, sekitar waktu ovulasi. 14
Setelah sperma masuk ke uterus, kontraksi myometrium mengaduk-
aduk sperma seperti "mesin cuci” dan dengan cepat menyebabkan sperma
tersebar ke seluruh rongga uterus. Ketika mencapai tuba fallopi, sperma
terdorong ke tempat pembuahan di ujung atas tuba fallopi oleh kontraksi otot
polos tuba yang mengarah ke atas. Kontraksi myometrium dan tuba fallopi
22
yang mempermudah transport sperma ini diinduksi oleh kadar estrogen yang
tinggi tepat sebelum ovulasi, dibantu oleh prostaglandin vesikula seminalis.
Riset-riset baru menunjukkan bahwa ketika sperma mencapai ampula, ovum
bukan merupakan mitra pasif dalam konsepsi. Sel telur matang mengeluarkan
alurin, suatu bahan kimia yang menarik sperma dan menyebabkan sperma
bergerak menuju gamet wanita yang telah menunggu. 14
Di sekitar waktu ovulasi, saat sperma dapat menembus kanalis
servikalis, dari ratusan juta sperma yang diletakkan dalam satu kali ejakulasi,
hanya beberapa ribu yang dapat mencapai tuba fallopi. Sedemikian kecilnya
persentase sperma yang diletakkan yang dapat mencapai tujuan merupakan
penyebab mengapa konsentrasi sperma harus sangat tinggi (20 juta/ml semen)
agar seorang pria dapat dianggap subur. Penyebab lain adalah bahwa
diperlukan enzim-enzim akrosom dari banyak sperma untuk menembus sawar
yang mengelilingi ovum.14
3) Fertilisasi
Ekor sperma digunakan untuk bergerak bagi penetrasi akhir ovum.
Untuk membuahi sebuah ovum, sebuah sperma mula-mula harus melewati
korona radiata dan zona pelusida yang mengelilingi sel telur. Enzim-enzim
akrosom, yang terpajan ketika membran akrosom pecah setelah berkontak
dengan korona radiata, memungkinkan sperma membuat saluran menembus
sawar-sawar protektif ini. Sperma dapat menembus zona pelusida hanya
setelah berikatan dengan reseptor spesifik di permukaan lapisan ini. Hanya
sperma dari spesies yang sama yang dapat berikatan dengan reseptor sel telur
ini dan menembusnya. 14
Sperma pertama yang mencapai ovum itu sendiri berfusi dengan
membran plasma ovum, memicu suatu perubahan kimiawi di membran yang
mengelilingi ovum sehingga lapisan luar ini tidak dapat lagi ditembus oleh
sperma lain. Fenomena ini dikenal sebagai hambatan terhadap polispermia
("banyak sperma'). Kepala sperma yang menyatu tersebut secara perlahan
tertarik ke dalam sitoplasma ovum oleh suatu kerucut yang tumbuh dan
membungkusnya. Ekor sperma sering lenyap dalam proses ini, tetapi kepala
membawa informasi genetik yang penting. 14
Dalam satu jam, nukleus sperma dan sel telur menyatu, berkat adanya
suatu kompleks molekul yang diberikan oleh sperma yang memungkinkan
23
kromosom pria dan wanita menyatu. Selain menyumbang separuh dari
kromosom ke ovum yang dibuahi, yang sekarang dinamai zigot, sperma
pemenang ini juga mengaktifkan enzim-enzim ovum yang esensial bagi
perkembangan awal janin.14
Fertilisasi melibatkan perpaduan antara dua gamet haploid, masing-masing
mengandung 23 kromosom, menghasilkan zigot dengan 46 kromosom. Fertilisasi
biasanya terjadi di antara ampula dan isthmus tuba fallopi, umumnya sehari
setelah ovulasi.13,14
1.Oosit Pada Fase Ovulasi 2. Fertilisasi Dan Aktivasi Oosit 3.Permulaan Formasi
Ovulasi melepaskan oosit Enzim akrosomal dari multipel Pronukleus
sekunder dan 1st polar body. sperma membentuk celah antara sel Sperma kemudian diabsorbsi ke
Keduanya dikelilingi dengan pada korona radiata. 1 spermatozon dalam sitoplasma, dan materi
korona radiata. Oosit kemudian melakukan kontak dengan nukleus betina yang terkandung di
kemudiannya terhenti pada membrana oosit, dan terjadinya dalam ovum mengorganisasi diri
metaphase meiosis II fusion membrana, memicu aktivasi menjadi pronucleus betina
oosit dan melengkapi siklus meiosis.
Oosit sekunder kemudian menjadi
ovum.

4.Formasi Spindel Dan Persiapan 5.Terjadinya Amfimiksis Dan 6.Permulaan Sitokinesis


Untuk Pembelahan Pembelahan Sel Terjadi Divisi/pembelahan pertama
Pronukleus jantan terbentuk, dan serat Pronukleus jantan bermigrasi ke arah sudah hampir lengkap setelah
tengah ovum, di mana serat spindel
spindel muncul untuk persiapan 30 jam fertilisasi. Pembagian
terbentuk. Dua pronucleus kemudian
pembelahan sel. Inilah permulaan bergabung yang disebut amfimiksis. ini membentuk dua sel anak,
proses pembelahan, serial kepada Sel ini dikenal sebagai zigot yang setiap 1 ukuran setengah dari
pembagian sel yang memproduksi mengandung jumlah normal kromosom yang asalnya. Sel ini dikenal
lebih banyak sel anak yang lebih kecil. 46. Fertilisasi sudah lengkap. sebagai blastomeres

Gambar 2.9: Proses fertilisasi.


Sumber: Martini, F. Visual Anatomy and Physiology (2015)

24
Diperkirakan 200 juta spermatozoa masuk ke dalam vagina pada saat ejakulasi,
hanya sekitar 10.000 yang masuk ke dalam tuba fallopi, dan kurang dari 100
mencapai isthmus. Secara umum, pria dengan jumlah sperma di bawah 20 juta per
mililiter secara fungsional infertil karena terlalu sedikit spermatozoa yang dapat
bertahan untuk mencapai dan membuahi oosit. Meskipun benar bahwa hanya satu
spermatozoa yang membuahi oosit, banyak spermatozoa dibutuhkan berhasilnya
fertilisasi. Sperma tambahan sangat penting karena satu sperma tidak mengandung
cukup enzim akrosomal untuk mengganggu korona radiata yang mengelilingi
oosit sekunder.13

2.5 DIAGNOSIS
2.5.1 Anamnesis
Jika pasangan telah melakukan usaha untuk memperoleh kehamilan selama
kurang dari 1 tahun, maka pengajuan beberapa pertanyaan guna memastikan
permasalahan utama sangatlah bermanfaat, pertanyaan yang dapat diajukan
antara lain: 10
2.5.1.1 Pria 7,15
1) Riwayat cedera pada testis atau penis
2) Riwayat demam tinggi baru-baru ini
3) Penyakit pada masa kanak-kanak, seperti mumps
4) Riwayat keluarnya air susu (galaktore)
5) Hasrat seksual rendah
6) Riwayat minum minuman beralkohol
7) Riwayat konsumsi obat-obatan
2.5.1.2 Wanita 7,15
1) Riwayat kehamilan
2) Riwayat keguguran
3) Riwayat perubahan berat badan
4) Riwayat pertumbuhan rambut abnormal seperti kumis, jenggot,
jambang, bulu dada yang lebat, bulu kaki yang lebat dan
sebagainya
5) Riwayat pertumbuhan jerawat yang banyak dan tidak normal
6) Siklus menstruasi

25
7) Riwayat nyeri saat menstruasi dan konsumsi obat-obat penghilang
nyeri
8) Adanya nyeri pelvis
9) Riwayat pendarahan atau pelepasan vagina yang abnormal
10) Riwayat infeksi pelvis atau operasi panggul sebelumnya

2.5.2 Pemeriksaan Fisis


2.5.2.1 Pria
Evaluasi status fertilitas seorang pria termasuk inspeksi tanda
defisiensi hormon, seperti peningkatan lemak tubuh, penurunan massa
otot serta kerontokan rambut pada wajah dan tubuh.15
Pemeriksaan pada testis dan penis diperlukan untuk membantu
mengidentifikasi masalah:15
1) Infeksi, ditandai dengan adanya discharge atau pembengkakan
prostat
2) Hernia
3) Malformasi tuba yang mentransport sperma
4) Defisiensi hormon yang ditandai dengan ukuran testis yang kecil
atau tidak memiliki rabut pada wajah atau badan.
5) Varicocele (Vena abnormal pada scrotum)
Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan keras.
Konsistensi normal adalah konsistensi yang kenyal. Testis yang lunak
dan kecil dapat mengindikasikan spermatogenesis yang terganggu.
Pemeriksaan colok dubur dapat mengidentifikasi pembesaran prostat
dan vesikula seminalis. 8
2.5.2.2 Wanita
Pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu penentuan indeks massa tubuh,
melihat adanya tanda- tanda produksi air susu yang bisa mengindikasikan
imbalans hormon, serta tanda- tanda fisik lain yang menunjukkan gejala
Sindroma Ovarium Polikistik seperti anovulasi/oligoovulasi, hirsutism,
peningkatan berat badan, serta kondisi lain yang dapat mengganggu
kesuburan.15

26
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
2.5.3.1 Pria
1) Analisis Sperma
Infertilitas pada pria dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda
dan biasanya dievaluasi dengan analisis sperma. Ketika analisis sperma
dilakukan, yang dinilai adalah jumlah sperma (konsentrasi), motilitas
(gerakan), dan morfologi (bentuk). Perlu dilakukan edukasi kepada pasien
untuk tidak ejakulasi dalam 48-72 jam sebelum pengambilan sampel.9,10
Adapun syarat yang harus diperhatikan agar menjamin hasil analisis
sperma yang baik adalah sebagai berikut:7
a) Abstinensia (pantang senggama) selama 2-3 hari
b) Keluarkan sperma dengan cara masturbasi dan hindari senggama
terputus
c) Hindari penggunaan pelumas pada saat masturbasi
d) Hindari penggunaan kondom untuk menampung sperma
e) Gunakan tabung dengan mulut yang lebar sebagaia tempat
penampungan sperma
f) Tabung sperma harus dilengkapi dengan nama jelas, tanggal dan
waktu pengumpulan sperma
g) Kirimkan sampel secepat mungkin ke laboratorium sperma
h) Hindari paparan temperature yang terlalu tinggi (>38°C) atau

terlalu rendah (<15°C) atau menempelkannya ke tubuh sehingga

sesuai dengan suhu tubuh.

PARAMETER BATAS 95% CONFIDENCE


REFERENSI INTERVAL
Konsentrasi sperma (106/ml) 15 12-16
Motilitas (total %) 40 38-42
Motilitas (progresif %) 32 31-34
Morfologi (%) 4 3.0-4.0
Tabel 2.2 Analisis Sperma menurut CDC 2018
Sumber: CDC (2018)

27
PARAMETER BATAS REFERENSI 95% CONFIDENCE
INTERVAL
Volume sperma (ml) 1.5 1.4-1.7
Konsentrasi sperma 15 12-16
(106/ml)
Jumlah total (106/ejakulat) 39 33-46
Motilitas (PR, NP, %) 40 38-42
Motilitas progresif (PR, 32 31-34
%)
Morfologi (%) 4 3.0-4.0
Vitality 58 55-63
NP: non progressive motility, PR: progressive motility
Tabel 2.2 Analisis Sperma menurut WHO 2010
Sumber: Konsensus Penanganan Infertilitas (2013)

Analisis sperma ulang untuk mengkonfirmasi pemeriksaan sperma yang


abnormal, dapat dilakukan 3 bulan pasca pemeriksaan sebelumnya
sehingga proses siklus pembentukan spermatozoa dapat terjadi secara
sempurna. Namun jika ditemukan azoospermia atau oligozoospermia berat
pemeriksaan untuk konfirmasi harus dilakukan secepatnya. 8
2) Pemeriksaan Computer-Aided Sperm Analysis (CASA)
Untuk melihat jumlah, motilitas dan morfologi sperma, pemeriksaan ini
tidak dianjurkan untuk dilakukan karena tidak memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan pemeriksaan secara manual 8
3) Pemeriksaan fungsi endokrinologi. 8
 Dilakukan pada pasien dengan konsentrasi sperma < 10 juta/ml
 Bila secara klinik ditemukan bahwa pasien menderita kelainan
endokrinologi. Pada kelainan ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan
hormon testosteron dan FSH serum
4) Penilaian antibodi antisperma merupakan bagian standar analisis semen.
Menurut kriteria WHO, pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan
imunologi atau dengan cara melihat reaksi antiglobulin. Namun saat ini
pemeriksaan antibodi antisperma tidak direkomendasikan untuk dilakukan
sebagai penapisan awal karena tidak ada terapi khusus yang efektif untuk
mengatasi masalah ini. 8

2.5.3.2 Wanita
Pemeriksa dapat melakukan tes dan evaluasi laboratorium berikut ini:
1) Pemeriksaan darah pada fase luteal sekitar hari ke 23 dari siklus
menstruasi atau kurang lebih 7 hari sebelum perkiraan datangnya

28
menstruasi wanita dapat mengukur jumlah hormon progesteron. Tes ini
dapat mengetahui apakah ovulasi telah terjadi dan apakah ovarium
memproduksi hormon ini dalam jumlah normal. Kadar progesteron normal
apabila dijumpai lebih besar dari 9,4 mg/dl (30 nmol/l). pemeriksaan ini
tidak memiliki nilai diagnostik yang baik jika siklus menstruasi tidak
normal.7,15
2) Pemeriksaan juga dapat mengukur tingkat hormon lain yang penting untuk
fertilitas. Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan hormon Anti-Müllerian
(AMH) dalam darah dapat membantu menentukan jumlah persediaan telur
wanita. FSH merangsang produksi telur dan hormon yang disebut
estradiol. Tingkat FSH yang tinggi dapat berarti bahwa seorang wanita
mengalami kegagalan ovulasi atau mengalami perimenopause atau
menopause. Tingkat FSH yang rendah bisa berarti seorang wanita telah
berhenti memproduksi sel telur. AMH hanya diproduksi di folikel
ovarium, sehingga kadar AMH dalam darah menunjukkan adanya folikel
yang tumbuh.15
3) Pemeriksa dapat memeriksa bagian dalam uterus untuk mencari jaringan
parut, fibroid uterus, atau polip. Prosedur berikut digunakan untuk
memeriksa uterus: 15
a) Histeroskopi
Tujuannya adalah untuk mendeteksi abnormalitas intrauterin seperti
polip endometrium, kelainan perkembangan intrauterin septasi
uterus, dan penyebab perdarahan uterus yang menghalang
transportasi ovum atau sperma seperti mioma uteri.17
b) Saline sonohysterogram
Pada prosedur ini, penyedia pelayanan kesehatan menyuntikkan
saline steril ke dalam serviks untuk mengisi rahim. Begitu rongga
rahim penuh, lebih mudah untuk melihat lapisan dalamnya. Organ
panggul divisualisasikan dengan USG transvaginal. Hal ini juga
memungkinkan kita untuk melihat cairan bergerak ke dalam rongga
peritoneum pada waktu yang bersamaan, yang menunjukkan bahwa
tuba tidak tersumbat.15

29
c) USG transvaginal
Tujuannya adalah untuk mengevaluasi ukuran, bentuk volume, dan
kontour pada kavum uteri dan dan menilai apakah ada kelainan
patologik intrauterine terutama uterus dan ovarium. USG
Transvaginal juga dilakukan untuk menghitung antral follicle count
(AFC). 9,15

Ovulasi Cadangan Ovarium

- Riwayat menstruasi - Kadar AMH


- Progesteron serum - Hitung folikel antral
- Ultrasonografi transvaginal - FSH dan estradiol
- Temperatur basal hari ke-3
- LH urin
- Biopsi Endometrium

Tabel 2.3 Pemeriksaan untuk menilai ovulasi dan cadangan ovarium


Sumber: Konsensus Penanganan Infertilitas (2013)
Untuk pemeriksaan cadangan ovarium, parameter yang dapat digunakan
adalah AMH dan Folikel Antral Basal (FAB). Berikut nilai AMH dan FAB
yang dapat digunakan:8
a. Hiper-responder (FAB > 20 folikel / AMH > 4.6 ng/ml
b. Normo-responder (FAB > 6-8 folikel / AMH 1.2 - 4.6 ng/ml)
c. Poor-responder (FAB < 6-8 folikel / AMH < 1.2 ng/ml)
4) Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk memeriksa saluran tuba dan
menentukan apakah ada sumbatan yang mencegah pergerakan sel telur
dari ovarium, diantaranya sebagai berikut:
a) X-Ray Hysterosalpingografi. Tujuannya adalah untuk memeriksa
uterus dan Tuba Fallopi pada wanita yang sulit hamil. Pemeriksaan
ini juga digunakan untuk mendeteksi adanya massa tumor dan tahap
perkembangannya serta adhesi dan fibroid uterus.
Histerosalfingografi juga bisa digunakan untuk membuka Tuba
Fallopi yang tersumbat untuk memberi peluang pasien hamil
kembali. Cara pemeriksaan adalah dengan memasukkan bahan
kontras larut air ke dalam uterus dan tuba fallopi. 15
b) Laparoskopi adalah operasi di mana alat penglihatan kecil, yang
disebut laparascope dimasukkan melalui potongan kecil di perut

30
untuk memeriksa organ reproduksi wanita. Jika prosedur
mengidentifikasi adanya penyumbatan di tuba fallopii, penyumbatan
dapat dilakukan pembedahan dengan instrumen yang melekat pada
laparascope. 15
5) Penyedia layanan kesehatan dapat menguji wanita yang berusia lebih dari
35 tahun untuk mendapatkan snapshot dari jumlah folikel yang tersisa atau
jika folikelnya matang berlanjut ke tahap ovulasi. Jenis tes ini termasuk
melakukan USG transvaginal untuk melihat ovarium dan mengukur
hormon dalam darah pada hari-hari tertentu dari siklus menstruasi.15

2.6 PENATALAKSANAAN
Penyebab infertilitas pada pria dan wanita sangat beragam, sehingga
penatalaksanaanya juga beragam:
2.6.1 Tatalaksana gangguan Ovulasi
Penatalaksanaan gangguan ovulasi menurut WHO, yaitu:
1) WHO kelas I
Pada perempuan yang memiliki IMT < 19, meningkatkan berat badan ke
kondisi normal membantu mengembalikan ovulasi dan kesuburan.
Pengobatan yang disarankan untuk kelainan anovulasi pada kelompok ini
adalah kombinasi rekombinan FSH (rFSH)- rekombinan LH (rLH), hMG
atau hCG. 8
Penggunaan kombinasi preparat gonadotropin (rFSH dan rLH) dilaporkan
lebih efektif dalam meningkatkan ovulasi dibandingkan penggunaan rFSH
saja.8
2) WHO Kelas II
Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II (SOPK) dapat dilakukan
dengan pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti estrogen (klomifen
sitrat), tindakan drilling ovarium, atau penyuntikan gonadotropin.
Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan
insulin sensitizer seperti metformin. Klomifen sitrat dianjurkan sebagai
penanganan awal selama maksimal 6 bulan. Tindakan drilling ovarium
per-laparaskopi dengan tujuan menurunkan kadar LH dan androgen adalah
suatu tindakan bedah untuk memicu ovulasi perempuan SOPK yang
resisten terhadap klomifen sitrat.8
31
3) WHO Kelas III
Pada pasien yang mengalami gangguan ovulasi karena kegagalan fungsi
ovarium (WHO kelas III) sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang
cukup kuat terhadap pilihan tindakan yang dapat dilakukan sehingga
diperlukan konseling yang baik kepada pasangan.8
4) WHO Kelas IV
Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat membuat
pasien hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia sehingga
gangguan ovulasi dapat teratasi.8

2.6.2 Tatalaksana Gangguan Tuba


Tindakan bedah mikro atau laparoskopi pada kasus infertilitas tuba derajat
ringan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan penanganan.8

2.6.3 Tatalaksana Endometriosis


Meskipun terapi medisinalis endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa
nyeri namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat
meningkatkan fertilitas. 8

2.6.4 Inseminasi Buatan dengan menggunakan sperma pasangan dan


Inseminasi Intra Uterin
Beberapa metode telah digunakan untuk inseminasi buatan. Metode asli yang
telah dipakai sejak berabad lamanya adalah inseminasi intravaginal, di mana
sampel semen yang tidak diproses ditempatkan tinggi di vagina. Pada
pertengahan abad ke 20, servical cap dikembangkan untuk mempertahankan
konsentrasi semen yang tinggi di ostium uteri eksternal dari serviks. 18
Sebuah terobosan besar terjadi pada 1960-an ketika metodenya
dikembangkan untuk mengekstrak sampel sperma motil yang diperkaya dari
air mani. Sampel yang dimurnikan ini bebas protein dan prostaglandin, dan
dengan demikian bisa ditempatkan di dalam rahim menggunakan teknik
pemberian Inseminasi Intrauterin (IIU). Teknik ini ditemukan menghasilkan
tingkat kehamilan 2 hingga 3 kali dibandingkan inseminasi intracervical. 18
Dalam upaya untuk lebih meningkatkan tingkat kehamilan, metode
dikembangkan dengan menempatkan sampel sperma murni langsung ke dalam

32
tuba melalui kanulasi transceral (inseminasi intratubal) atau ke dalam rongga
peritoneum melalui jarum yang ditempatkan melalui posterior cul-de-sac
(inseminasi intraperitoneal). Teknik ini tampaknya memiliki tingkat kehamilan
yang lebih tinggi dari IIU pada pasangan dengan infertilitas yang tidak dapat
dijelaskan. 18

2.6.5 Tatalaksana pada gangguan sperma


Tatalaksana gangguan pada sperma seharusnya dilakukan berdasarkan
penyebabnya. Berikut penanganan gangguan pada sperma berdasarkan
penyebabnya.:8
2.6.5.1 Defisiensi Testikular 8
Ekstraksi Sperma dari Testis (TESE)
TESE menggantikan biopsi testis diagnostik yang tidak
dilakukan lagi. TESE dapat menjadi bagian terapi Intracytoplasmic
Sperm Injection (ICSI) pada pasien dengan non-obstruktif
azoospermia (NOA). Testicular sperm extraction (TESE) adalah
teknik pilihan dan menunjukkan hasil yang baik. Microsurgical
testicular sperm extraction kemungkinan dapat meninngkatkan angka
keberhasilan pengambilan sperma namun belum terdapat studi yang
dapat membuktikannya.8
2.6.5.2 Azoospermia Obstruktif 8
1) Obstruksi intratestikular
Pada kasus ini, rekanalisasi duktus seminalis tidak mungkin
dilakukan sehingga TESE atau fine-needle aspiration dapat
direkomendasikan. Baik TESE maupun fine-needle aspiration
dapat menyebabkan kembalinya sperma pada hampir seluruh
pasien OA.
2) Obstruksi epididimis
Microsurgical epididymal sperm aspiration (MESA)
diindikasikan. Rekonstruksi mungkin dapat dilakukan unilateral
atau bilateral, angka patensi dan kehamilan biasanya lebih tinggi
dengan rekonstruksi bilateral. Sebelum operasi mikro,
spermatozoa epididimis harus diaspirasi dan di kriopreservasi
untuk keperluan.
33
3) Obstruksi vas deferens proksimal
Obstruksi vas proksimal setelah vasektomi membutuhkan
microsurgical vasectomy reversal.
4) Obstruksi vas deferens distal
Biasanya tidak mungkin untuk mengkoreksi defek vas bilateral
yang besar akibat eksisi vas yang tidak disengaja selama operasi
hernia atau orchidopexy.
5) Obstruksi duktus ejakulatorius
Tatalaksana obstruksi duktus ejakulatorius tergantung kepada
etiologinya.
2.6.5.3 Hipogonadisme
Defisiensi endokrin dapat mengakibatkan rendahnya
spermatogenesis dan rendahnya sekresi testosteron karena rendahnya
sekresi LH dan FSH. Setelah mengeksklusi bentuk sekunder (obat,
hormon, tumor), pilihan terapi tergantung dari tujuan terapi apakah
untuk mencapai tingkat androgen yang normal atau mencapai fertilitas.
Stimulasi produksi sperma membutuhkan penatalaksanaan dengan
human chorionic gonadotrophin (hCG) yang dikombinasikan dengan
FSH rekombinan. Pada pasien dengan hipogonadism yang terjadi
sebelum pubertas dan belum diterapi dengan gonadotropin atau GnRH,
terapi 1-2 tahun diperlukan untuk mencapai produksi sperma yang
optimal.8

2.7 SISTEM RUJUKAN INFERTILITAS

Strata penanganan infertilitas dapat dibagi menjadi 3 level:8

a) Layanan primer (level I): dokter umum

b) Layanan sekunder (level II): spesialis obstetri / ginekologi, spesialis uroandrologi

c) Layanan tersier (level III): subspesialis


Level I8
Kriteria pasien:
1) Lama infertilitas < 24 bulan
2) Umur pasangan perempuan < 30 tahun

34
3) Tidak terdapat faktor risiko patologi pelvik atau abnormalitas reproduksi laki-laki
4) Riwayat pengobatan < 4 bulan

Kompetensi:
1) Kompeten dalam memberikan konsultasi dan edukasi pada pasangan dengan
infertilitas
Kegiatan:
1) Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasangan dengan infertilitas
2) Melakukan interpretasi analisis semen dan mengkonfirmasi adanya ovulasi
3) Merujuk pasangan infertil dengan komplikasi

Level II *: 8
Kriteria pasien:
1) Lama infertilitas < 36 bulan
2) Umur istri < 35 tahun
3) Pasangan tidak memenuhi kriteria inklusi pelayanan level I

Kompetensi:

1) Mempunyai kompetensi pelayanan level I


2) Mempunyai sertifikasi atau pengalaman melakukan prosedur yang diperlukan
dalam bidang endokrinologi reproduks, ginekologi atau urologi
3) Mempunyai pengetahuan tentang efektifitas, efek samping dan biaya yang
dibutuhkan dalam melakukan diagnosis dan terapi infertilitas

Kegiatan:
1) Melakukan penilaian patensi tuba
2) Menangani masalah anovulasi, endometriosis, dan tuba tanpa komplikasi
3) Menangani masalah infertilitas laki-laki tanpa komplikasi
4) Mempunyai akses terhadap layanan laboratorium 7 hari dalam seminggu
5) Merujuk pasangan infertil dengan masalah yang kompleks
*pemberi layanan yang kompeten pada level II juga dapat memberikan layanan level I

35
Level III **: 8
Kriteria pasien:
1) Pasangan suami istri yang tidak memenuhi kriteria inklusi pelayanan level I dan
II
2) Bila dibutuhkan teknologi reproduksi berbantu (TRB) dalam penanganan
pasangan dengan infertilitas

Kompetensi:
1) Memenuhi kriteria kompetensi level I dan II
2) Mempunyai sertifikasi atau pengalaman melakukan prosedur TRB,
endokrinologi reproduksi atau urologi / andrologi
3) Mampu melakukan konseling pada pasangan infertilitas

Kegiatan:
1) Melakukan penanganan pasien anovulasi, endometriosis dan kelainan tuba
dengan komplikasi
2) Melakukan penanganan masalah infertilitas laki-laki dengan komplikasi
3) Mempunyai akses untuk melakukan pelayanan bedah mikro baik laki-laki
maupun perempuan serta TRB

** pemberi layanan yang kompeten pada level III juga dapat memberikan layanan
level I dan II

Gambar 2.10. Strata Penanganan Infertilitas


Sumber: Konsensus Penanganan Infertilitas (2013)

36
Pasangan Infertil

Suami

Riw. Disfungsi Analisa Sperma 2- Lihat faktor lain Istri


seksual 3x pemeriksaan

Umur <30 Tahun atau Dan Lama Umur > 30 tahun Atau
Infertilitas/ Kawin 1- 2 Tahun Dan Lama Infertilitas/
Kawin > 2 Tahun
Ada Normal
kelainan

Siklus Haid Tidak Teratur Dan Siklus Haid Teratur Dan Lama Infertilitas /
Atau Terdapat Risiko Faktor Kawin 1- 2 Tahun
Tuba Dan Peritoneum

Perbaiki Gaya Hidup


Hindari :
- Obesitas - Rokok
- Alkohol - Narkoba
Dianjurkan
- Sanggama terjadwal pada masa subur
- Sanggama 2-3x/ minggu

6 bulan

Tidak
Hamil
RUJUK

Gambar 2.11. Straifikasi sistem rujukan infertilitas (Pusat Pelayanan Kesehatan Primer)
Sumber: Konsensus Penanganan Infertilitas (2013)

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Indarwati I, et al. Analysis of Factors Influencing Female Infertility. Journal of Maternal


and Child Health (2017), 2(2)
2. Novrika, B. Hubungan Budaya Masyarakat dengan Tingkat Kecemasan pada Pasangan
Infertil di RSIA Annisa Jambi. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.18 No.1
Tahun 2018
3. Masoumi SZ, et al. An epidemiologic survey on the causes of infertility in patients
referred to infertility center in Fatemieh Hospital in Hamadan. Iran J Reprod Med Vol.
13. No. 8. pp: 513-516, August 2015
4. Oktarina A, et al. Faktor-faktor yang Memengaruhi Infertilitas pada Wanita di Klinik
Fertilitas Endokrinologi Reproduksi. MKS, Th. 46, No. 4, Oktober 2014
5. Infertility. American Society for Reproductive Medicine. Available from
https://www.asrm.org/topics/topics-index/infertility/
6. Lindsay, T. dan Vitrikas KR. Evaluation and Treatment of Infertility. American Family
Physician, Volume 91, Number 5 March 1, 2015
7. Anwar, M. et al. 2011. Ilmu Kandungan Edisi ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Parwirohardjo
8. Konsensus Penanganan Infertilitas 2013
9. Centers of Disease Control and Prevention. Reproductive Health. USA: Clifton
Road Atlanta
10. Saraswati, A. Infertility. J Majority Volume 4 Nomor 5 Februari 2015
11. Kruszyńska, A dan Srzednicka JS. Anti-Müllerian hormone (AMH) as a good predictor
of time of menopause. Menopause Rev 2017; 16(2): 47-50
12. Snell, RS. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC
13. Martini, F. 2015. Visual anatomy & physiology. Boston: Pearson

14. Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC
15. How is infertility diagnosed? April 24, 2018. Available from
https://www.nichd.nih.gov/health/topics/infertility/conditioninfo/diagnosed
16. Hysterosalpingography. 2018.
Avalaible from https://www.radiologyinfo.org/en/pdf/hysterosalp.pdf

17. Acharya, N. dan Gadge, A. Role of Hysteroscopy in Infertility – A Retrospective Study.


International Journal of Gynecology, Obstetrics and Neonatal Care, 2017, 4

38
18. Agarwal A. Shyam S. Artificial Insemination. Section 6 Infertility And Recurrent
Pregnancy Loss.

39

Anda mungkin juga menyukai