SEMESTER III
KELAS 2A
Disusun oleh :
1. Devy Anggita (P17321171001)
2. Alif Ajeng M (P17321171004)
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN KEDIRI
2017/2018
INFERTILITAS PRIMER
A. Pengertian Infertilitas
Infertilitas atau ketidaksuburan adalah ketidakmampuan pasangan usia
subur (PUS) untuk memperoleh keturunan setelah melakukan hubungan
sessual secara teratur dan benar tanpa usaha pencegahan lebih dari satu tahun.
Angka satu tahun ditetapkan karena biasanya 85% pasangan dalam satu tahun
sudah memiliki keturunan. Ini berarti, 15% pasangan subur mempunyai
permasalahan infertilitas
Infertilitas primer adalah suatu keadaan ketika PUS yang telah menikah
lebih dari satu tahun melakukan hubungan seksual secara teratur dan benar
tanpa usaha pencegahan, tetapi belum juga terjadi kehamilan, atau belum
pernah melahirkan anak hidup.
(Kesehatan Reproduksi, 2014)
Infertilitas (kemandulan) adalah ketidakmampuan atau penurunan
kemampuan menghasilkan keturunan. Sedangkan infertilitas primer adalah
suatu pasangan yang belum pernah memperoleh kehamilan setelah satu tahun
berhubungan tanpa menggunakan kontrasepsi.
Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami dan
istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan
sanggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi belum berhasil
memperoleh kehamilan. Pada prinsipnya sering dijumpai pada perempuan dan
masalah yang sering dijumpai pada lelaki. Pendekatan yang digunakan untuk
menilai faktor-faktor yang terkait dengan infertilitas tersebut digunakan untuk
menilai faktor-faktor yang terkait dengan infertilitas tersebut digunakan
pendekatan organik, yang tentunya akan sangat berbeda antara lelaki dan
perempuan. Faktor tersebut dapat saja merupakan kelainan langsung organnya,
tetapi dapat pula disebabkan oleh faktor lain yang mempengaruhinya seperti
faktor infeksi, faktor hormonal, faktor genetik, dan faktor penuaan.
Mengingat faktor usia merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
keberhasilan pengobatan, maka bagi perempuan berusia 35 tahun atau lebih
tentu tidak perlu harus menunggu selama satu tahun. Minimal enam bulan
sudah cukup bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk datang ke dokter
untuk melakukan pemeriksaan dasar
Infertilitas merupakan masalah yang unik karena hal ini merupakan
diagnosis yang mengenai kepada kedua pasangan dan bukan hanya kepada
individual, karena alasan ini, pasangan harus dianggap sebagai satu kesatuan
dalam pemeriksaan,konsultasi, perencanaan, dan program terapi. Penting bagi
kedua pasangan untuk hadir bersamaan sekurangnya pada saat wawancara
pertama kali, dan harus dilibatkan bersama jika keputusan yang besar harus
diambil untuk kepentingan diagnosis atau terapi.
(Ilmu Kandungan edisi Ketiga, 2011)
B. Kejadian (Etiologi)
Sekitar 15% pasangan tidak dapat mencapai kehamilan dalam 1 tahun dan
mencari pengobatan untuk menangani infertilitas. Infertilitas mempengaruhi
baik pria maupun wanita. Pada 50% pasangan yang tidak memiliki anak, faktor
infertilitas pria ditemukan bersama dengan kelainan pemeriksaan cairan semen.
Pasangan yang fertil dapat mengkompensasi masalah fertilitas pria sehingga
masalah infertilitas biasanya timbul akibat kedua pasangan memiliki gangguan
pada fertilitas.
Pada 30-40% kasus, tidak ditemukan kelainan penyebab dari infertilitas
pria (infertilitas pria). Pria ini tidak memiliki riwayat penyakit yang
mempengaruhi fertilitas, tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan laboratorium endokrin, genetik, dan biokimia. Infertilitas
pria idiopatik dianggap terjadi akibat beberapa faktor, seperti gangguan
endokrin akibat polusi lingkungan, reactive oxygen species, atau
gangguan genetik dan epigenetik.
Pasangan dianggap infertilitas bila perkawinan berlangsung dengan hubungan
seksual tanpa perlindungan selama satu tahun, tetapi belum mendapatkan
kehamilan. Oleh karena itu memerlukan pemeriksaan faktor-faktor yang
terdapat pada masing-masing pasangannya. Kehamilan dapat terjadi bila salah
satu subfertil, tetapi terdapat kompensasi yang menunjukkan superfertilitas.
Menurut Guttmacher (1956) dijumpai bahwa :
Waktu singkat terjadi kehamilan 20%
Jangka waktu 3 bulan terjadi kehamilan 57%
Jangka waktu 6 bulan terjadi kehamilan 72%
Jangka waktu 12 bulan terjadi kehamilan 93%
Kejadian infertilitas berkisar antara 10-15% dari pasangan. Infertilitas
berhubungan erat dengan makin bertambahnya umur :
Satu diantara tujuh orang pada usia 30-34 tahun
Satu diantara lima orang pada usia 35-39 tahun
Satu diantara empat orang pada usia 40-44 tahun
Sebagian infertilitas yang memerlukan penanganan dengan Assited
Reproduction Technology (ART).
(Buku Ajar Penuntun Kuliah Ginekologi, 2010)
2. Faktor laki-laki
Infertilitas dapat juga disebabkan oleh faktor laki-laki, dan setidaknya
sebesar 30-40% dari infertilitas disebabkan oleh faktor laki-laki, sehingga
pemeriksaan pada laki-laki penting dilakukan sebagai bagian dari
pemeriksaan infertilitas. Fertilitas laki-laki dapat menurun akibat dari,
a. Kelainan urogenital kongenital atau didapat
b. Infeksi saluran urogenital
c. Suhu skrotum yang meningkat (contohnya akibat dari varikokel)
d. Kelainan endokrin
e. Kelainan genetik
f. Faktor imunologi
Di Inggris, jumlah sperma yang rendah atau kualitas sperma yang jelek
merupakan penyebab utama infertilitas pada 20% pasangan. Kualitas
semen yang terganggu, azoospermia dan cara senggama yang salah,
merupakan faktor yang berkontribusi pada 50% pasangan infertilitas.
Infertilitas laki-laki idiopatik dapat dijelaskan karena beberapa faktor,
termasuk disrupsi endokrin yang diakibatkan karena polusi lingkungan,
radikal bebas, atau kelainan genetik.
(Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Ginekologi. 1998)
E. Pemeriksaan Infertilitas
1. Pemeriksaan pada perempuan
Gangguan ovulasi terjadi pada sekitar 15% pasangan infertilitas dan
menyumbang sekitar 40% infertilitas pada perempuan. Pemeriksaan
infertilitas yang dapat dilakukan diantaranya:
a.) Pemeriksaan ovulasi
Frekuensi dan keteraturan menstuasi harus ditanyakan kepada
seorang perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan
frekuensi haid yang teratur setiap bulannya,
kemungkinan mengalami ovulasi
Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami
infertilitas selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi
terjadinya ovulasi dengan cara mengukur kadar
progesteron serum fase luteal madya (hari ke 21-28)
Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada
perempuan yang memiliki siklus haid panjang (oligomenorea).
Pemeriksaan dilakukan pada akhir siklus (hari ke 28- 35) dan dapat
diulang tiap minggu sampai siklus haid berikutnya terjadi
Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk
melakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon
gonadotropin (FSH dan LH).
Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat
apakah ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis
Penilaian cadangan ovarium menggunakan inhibin B tidak
direkomendasikan
Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya
dilakukan jika pasien memiliki gejala
Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian
dari pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak
terdapat bukti bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan
kehamilan.
Tabel Pemeriksaan untuk melihat ovulasi dan cadangan ovarium
Ovulasi Cadangan Ovarium
- Riwayat menstruasi
- Progesteron serum
- Kadar AMH
- Ultrasonografi transvaginal
- Hitung folikel antral
- Temperatur basal
- FSH dan estradiol hari ke 3
- LH urin
- Biopsi Endometrium
Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan fisik pada laki-laki penting untuk
mengidentifikasi adanya penyakit tertentu yang berhubungan
dengan infertilitas. Penampilan umum harus diperhatikan,
meliputi tanda-tanda kekurangan rambut pada tubuh atau
ginekomastia yang menunjukkan adanya defisiensi androgen.
Tinggi badan, berat badan, IMT, dan tekanan darah harus
diketahui.
- Palpasi skrotum saat pasien berdiri diperlukan untuk
menentukan ukuran dan konsistensi testis. Apabila skrotum
tidak terpalpasi pada salah satu sisi, pemeriksaan inguinal
harus dilakukan. Orkidometer dapat digunakan untuk
mengukur volume testis. Ukuran rata - rata testis orang
dewasa yang dianggap normal adalah 20 ml.
- Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan
keras. Konsistensi normal adalah konsistensi yang kenyal.
Testis yang lunak dan kecil dapat mengindikasikan
spermatogenesis yang terganggu.
- Palpasi epididimis diperlukan untuk melihat adanya distensi
atau indurasi. Varikokel sering ditemukan pada sisi sebelah
kiri dan berhubungan dengan atrofi testis kiri. Adanya
perbedaan ukuran testis dan sensasi seperti meraba
“sekantung ulat” pada tes valsava merupakan tanda-tanda
kemungkinan adanya varikokel. Konsensus Penanganan
Infertilitas
- Pemeriksaan kemungkinan kelainan pada penis dan prostat
juga harus dilakukan. Kelainan pada penis seperti mikropenis
atau hipospadia dapat mengganggu proses transportasi
sperma mencapai bagian proksimal vagina. Pemeriksaan
colok dubur dapat mengidentifikasi pembesaran prostat dan
vesikula seminalis.
Analisis Sperma
Tabel Referensi hasil analisa sperma menurut WHO 2010
Referensi analisa sperma dan 95% confidence intervals WHO
PARAMETER BATAS REFERENSI 95% CONFIDENCE
INTERVAL
Volume sperma
1.5 1.4-1.7
(ml)
Konsentrasi sperma
15 12-16
(106/ml)
Jumlah total
39 33-46
(106/ejakulat)
Motilitas (PR, NP,
40 38-42
%)
Motilitas progresif
32 31-34
(PR, %)
Morfologi (%) 4 3.0-4.0
Vitality 58 55-63
F. Terapi Infertilitas
Dalam tatalaksana infertilitas perbandingan antara biaya yang dikeluarkan
dan efektifitas pemeriksaan sangat penting dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan klinik. National Institute for Health and Clinical
Excellence in the UK and the American Society of Reproductive
Medicine merekomendasikan pemeriksaan yang penting sebagai berikut :
analisis semen, penilaian ovulasi dan evaluasi patensi tuba dengan
histerosalpingografi atau laparoskopi. Peran HSG atau laparoskopi terus
menjadi perdebatan, laparoskopi perlu dipertimbangkan pada
kecurigaan adanya endometriosis berat, perlekatan organ pelvis atau kondisi
penyakit pada tuba.
1. Histeroskopi
Histeroskopi meruapakan baku emas dalam pemeriksaan yang
mengevaluasi kavum uteri. Meskipun Fayez melaporkan pemeriksaan
HSG sama akuratnya dengan histeroskopi dalam hal
diagnosis. Peran histeroskopi dalam pemeriksaan infertilitas adalah
untuk mendeteksi kelaianan kavum uteri yang dapat mengganggu
proses implantasi dan kehamilan serta untuk mengevaluasi
manfaat modalitas terapi dalam memperbaiki endometrium.
Histeroskopi memiliki keunggulan dalam mendiagnosis kelainan
intra uterin yang sangat kecil dibandingkan pemeriksaan HSG dan
USG transvaginal. Banyak studi membuktikan bahwa
uterus dan endometrium perlu dinilai sejak awal pada pasien
infertilitas atau pasien yang akan menjalani FIV.
2. Laparoskopi
Tindakan laparoskopi diagnostik dapat dilakukan pada pasien
infertilitas yang dicurigai mengalami patologi pelvis yang menghambat
kehamilan. Tindakan ini dilakukan untuk mengevaluasi rongga
abdomino-pelvis sekaligus memutuskan langkah penanganan
selanjutnya. Studi menunjukkan bila hasil HSG normal, tindakan
laparoskopi tidak perlu dilakukan Laparoskopi diagnostik dapat
dipertimbangkan bila hingga beberapa siklus stimulasi ovarium
dan inseminasi intra uterin pasien tidak mendapatkan kehamilan. 18
Mengacu pada American Society of Reproductive Medicine (ASRM),
laparoskopi diagnostik hanya dilakukan bila dijumpai bukti atau
kecurigaan kuat adanya endometriosis pelvis, perlengketan genitalia
interna atau oklusi tuba.
Tindakan laparoskopi diagnostik pada pasien infertilitas idiopatik
tidak dianjurkan bila tidak dijumpai faktor risiko patologi pelvis yang
berhubungan dengan infertilitas. Kebanyakan pasien akan hamil
setelah menjalani beberapa siklus stimulasi ovarium dan atau siklus
FIV.
G. Stratifikasi sistem rujukan infertilitas
Pelayanan infertilitas tingkat primer
Kegiatan diagnostik awal terhadap pasangan infertil di tingkat ini
ditujukan untuk dapat menentukan penyebab infertilitas dari kedua belah
pihak serta menentukan apakah pasangan tersebut perlu mendapatkan
pelayanan di tingkat pelayanan yang lebih tinggi. Pasien akan mendapat
gambaran secara umum dan menyeluruh mengenai pola pelayanan
infertilitas. Konseling dan dukungan perlu diberikan untuk menghindari
kecemasan pasien dan pasangannya. Pelayanan infertilitas tingkat primer
biasanya diberikan pada kondisi :
Lama infertilitas kurang dari 24 bulan
Pasangan perempuan kurang dari umur 30 tahun
Tidak ada faktor risiko patologi pelvis dan kelainan sistem
reproduksi laki-laki
Pasangan telah menjalani terapi kurang dari 4 bulan tanpa
keberhasilan terapi
H. Dampak Infertilitas
Hasil penelitian dari Aisia (2003) menunjukkan bahwa isteri yang
mengalami infertilitas akan mengalami stres yang cukup berat. Menurut Ratna
(2000) stres dirasakan sejak bulan-bulan pertama pernikahan hingga menunggu
hasil pengobatan yang sudah mereka jalani. Tingkat stres yang dirasakan oleh
pasangan bervariasi dan dipengaruhi oleh strategi coping dan penyesuaian yang
dilakukan. Pasangan yang infertil akan mengalami stres jangka panjang
(kronis) yang umumnya berlangsung secara periodik yaitu tiap bulan.
Hal ini berkaitan dengan siklus menstruasi yang dialami oleh pihak isteri.
Tingkat stres semakin memuncak apabila haid yang tidak diharapkan
kemunculannya akhirnya datang juga, yang nota bene menunjukkan bahwa
isteri tidak hamil (Malpani, 2004). Lebih lanjut Berk dan Shapiro (1984)
serta Malpani (2004) menjelaskan bahwa pasangan yang mengalami infertilitas
dipertimbangkan berada dalam kondisi krisis mayor karena tercapainya tujuan
utama kehidupan pernikahan mereka terancam gagal. Dilihat berdasarkan
sumber stres, infertilitas merupakan mayor life event. Pendapat ini
didukung oleh Menning (1980) bahwa infertilitas merupakan krisis kehidupan
yang komplek, mengancam secara psikologis dan sangat menimbulkan stres
secara emosional. Braverman (2003) mengistilahkan stres ini
sebagai “Living in limbo” disebabkan ketidakpastian nasib yang dialami di
masa depan. Kasdu (2002) menjelaskan bahwa stres yang timbul sebagai
dampak dari infertilitas ini bersumber dari beberapa hal, yang dapat
dibedakan menjadi stres internal dan stres eksternal.
Stres internal berupa diperlukannya biaya pengobatan yang tinggi, harus
meluangkan waktu khusus, dan disiplin yang harus dipatuhi untuk menjalani
serangkaian pemeriksaan dan pengobatan, serta harapan yang terlalu tinggi
untuk mempunyai anak. Adapun stres eksternal berasal dari tuntutan
lingkungan yang mengharuskan pasangan untuk mempunyai anak biologis.
Valentine (1986) mengatakan bahwa infertilitas akan menimbulkan reaksi-
reaksi emosi seperti kebingungan, kesedihan, merasa tidak berguna, depresi,
keputusasaan, malu, kekecewaan, rendah diri, terluka, ketakutan, tidak berdaya,
dan merasa bersalah pada pasangannya. Rosenfeld (Laswell dan Laswell, 1987)
memberikan istilah “sindrom infertilitas” terhadap pasangan yang mengalami
trauma emosional berkaitan dengan usaha menerima kenyataan bahwa
mereka infertil. Tahap-tahap emosional yang dapat diprediksi di sini ialah:
1. denial, yaitu penolakan terhadap infertilitas yang dialami,
2. menyalahkan diri sendiri,
3. kesenjangan komunikasi dengan pasangan,
4. marah-marah dan depresi.
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk. 2010. Buku Ajar Penuntun Kuliah
Ginekologi. Jakarta : Penerbit Trans Info Media