Anda di halaman 1dari 25

INFERTILITAS SEKUNDER

Infertilitas didefinisikan sebagai kegagalan mengandung setelah satu tahun


berusaha hamil (Benson, Pernoll, 2008). Infertilitas menyatakan kesuburan yang
berkurang. Suatu pasangan dianggap tidak subur setelah selama 1 tahun tak
berhasil memperoleh kehamilan (Hacker, Moore, 2001). Suatu pasangan disebut
infertil kalau sang istri tidak hamil dalam waktu 1 (satu) tahun setelah kawin
tanpa mempraktekkan konstrasepsi (disengaja). Menurut Whitelaw pasangan yang
sehat 56.5% menjadi hamil pada bulan pertama dan 78,9% dalam 6 bulan yang
pertama (Ginekologi, Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran
UNPAD).
Definisi tradisional gangguan fertilitas adalah ketidakmampuan untuk
mengandung setelah sekurang-kurangnya satu tahun melakukan hubungan seksual
tanpa perlindungan. Suatu definisi kontemporer tidak mempertimbangkan batasan
waktu. Definisi ini mengandung arti suatu ketidakmampuan untuk hamil atau
mengandung anak sampai anak tersebut lahir hidup pada saat pasangan
memutuskan untuk memperoleh anak. Gangguan fertilitas bersifat sekunder jika
wanita pernah mengandung sekurang-kurangnya satu kali, tetapi tidak pernah
berhasil hamil lagi atau tidak pernah berhasil mempertahankan kandungan
(Bobak, 2004).
Kira-kira 15% pasangan mengalami infertilitas, yang dapat berasal dari
subfertilitas atau sterilitas (ketidakmampuan hamil kongenital) pada salah satu
pasangan atau keduanya. Wanita menyebabkan 40%-50% kasus infertilitas. Laki-
laki menyebabkan 30% kasus dan menyumbang 20%-30% kasus pada pasangan.
Namun penting diingat bahwa pada 40% pasangan infertil ditemukan berbagai
etiologi (Benson, Pernoll, 2008).
Penyebab infertilitas dapat digolongkan menjadi faktor koitus-pria (40%),
srviks (5%-10%), uterus-tuba (30%), faktor ovulasi (15%-20%) dan faktor
perineum dan panggul (40%). Sudah dikenali beberapa penyebab genetik
(misalnya amenore primer) (Benson, Pernoll, 2008).
Sampai relatif belakangan ini, ahli kandungan dan kebidanan diwajibkan,
demi alasan diagnostik dan terapeutik, untuk memikirkan hanya 3 penyebab
infertilitas (1) anovulasi; (2) obstruksi tuba falopii; (3) infertilitas pria. Ketiga
penyebab infertilitas ini tetap bertahan sebagai topik utama dalam patofisiologi
kegagalan kesuburan. Tapi infertilitas dapat disebabkan oleh (1) fenomena
imunologis; (2) mungkin karena perkembangan atau fungsi korpus luteum tidak
memadai; (3) faktor genetik; (4) karena alasan yang tidak diketahui, tapi dapat
diobati (Cunningham, dkk., 1995).
Insiden infertilitas meningkat (sekitar 100% selama 20 tahun terakhir) di
negara-negara maju karena meningkatnya penyakit menular seksual (terutama
gonore dan Klamidia yang kemudian menyebabkan kerusakan tuba),
meningkatnya jumlah mitra seksual (meningkatkan kemungkinan mendapat
PMS), sengaja menunda kehamilan, penggunaan kontrasepsi dan merokok (>1
bungkus/hari menurunkan kesempatan hamil sebesar >20%). Infertilitas
menyebabkan 10%-20% dari semua kunjungan ke bagian ginekologi (Benson,
Pernoll, 2008).
Diperkirakan satu dari setiap enam pasangan di Amerika Serikat terpaksa
tidak memiliki anak (Wilson, Carrington, 1991). Atau sekitar 12% dari
perkawinan di USA adalah infertil. Sebab-sebab yang mungkin meliputi tren
menunda kehamilan sampai usia tertentu, di mana pada usia tersebut fertilitas
telah menurun secara alamiah. Sebab-sebab lain ialah peningkatan penyakit
radang panggul dan peningkatan penyalahgunaan substansi. Agens lingkungan,
seperti pestisida dan timbal, secara negatif mempengaruhi sistem reproduksi pria
dan wanita (Mattison, dkk, 1990) (Bobak, 2004).
Fertilitas dipengaruhi umur dan ternyata fertilitas menurun sesudah umur 35
tahun. Menurut Guttmacher, 4,5% wanita infertil di antara umur 16-20 tahun,
31,3% wanita infertil di antara umur 35-40 tahun, dan 70% wanita inferti pada
umur lebih dari 40 tahun (Ginekologi, Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas
Kedokteran UNPAD).
Angka fertilitas ditentukan dengan menggunakan fekundibilitas
(kemungkinan hamil per bulan paparan). Hanya 25% pasangan muda sehat yang
sering melakukan hubungan seks akan hamil per bulan (60% per 6 bulan, 75% per
9 bulan, dan 90% per 18 bulan). Fekundibilitas menurun dengan meningkatnya
umur, dan efeknya lebih jelas pada wanita dibanding pria. Pada umur 36-37 tahun,
kemungkinan hamil kurang dari separuh dibanding pada umur 25-27 tahun
(Benson, Pernoll, 2008).
Diagnosis dan terapi gangguan fertilitas membutuhkan investasi fisik, emosi,
dan finansial selama suatu periode yang panjang. Frank (1990b) menemukan
bahwa keyakinan pribadi,nasihat dokter, dan stres emosi merupakan faktor-faktor
kritis yang mempengaruhi keputusan dalam menetapkan terap infertilitas yang
akan dilakukan. Pria cenderung membuat keputusan berdasarkan efek samping
yang potensial sedangkan wanita berdasarkan keefektifan potensial terapi (Frank,
1990a) (Bobak, 2004).
Sikap, sensitivitas, dan kepedulian anggota tim kesehatan yang terlibat dalam
pengkajian gangguan fertilitas menjadi fondasi kemampuan pasien untuk
menjalani terapi dan penatalaksanaan berikutnya. Semua anggota tim kesehatan
harus menghormati hak pasien untuk memperoleh privasi dan kerahasiaan
catatannya (Bobak, 2004).

 Faktor Terkait Infertilitas


Pasangan merupakan unit biologis reproduksi. Banyak faktor yang
berkenaan dengan wanita atau pria mengontribusi pada suatu fertilitas
normal. Traktus reproduksi yang berkembang normal penting artinya. Fungsi
normal aksis hipofisis-hipotalamus yang utuh mendukung gametogenesis
serta pembentukan sperma dan ovum. Rentang hidup sperma dan ovum
pendek. Walaupun sperma tetap hidup di dalam traktus reproduksi wanita
selama 48 jam atau lebih, mungkin hanya beberapa yang berpotensi
melakukan fertilisasi selama sekitar 24 jam lebih. Ovum tetap hidup salama
sekitar 24 jam, tetapi waktu optimal untuk fertilisasi mungkin tidak lebih dari
satu sampai dua jam (Cunningham, dkk., 1993). Sperma yang hidup perlu
berada di tuba uterina pada saat ovulasi supaya fertilisasi berlangsung optimal
(Cunningham, dkk., 1993). Dengan demikian, waktu untuk berhubungan
seksual merupakan hal yang kritis (Bobak, 2004).
Pria harus memproduksi sperma yang normal dan jumlah serta
gerakannya (motilitas) adekuat. Kelenjar aksesori harus menyediakan sekresi
yang mendukung sperma dalam membentuk semen. Sistem tuba ke uretra
harus paten. Ejakulasi harus memiliki simpanan semen di sekitar serviks pada
waktu siklus menstruasi wanita yang tepat. Setelah disimpan, sperma harus
mampu berpenetrasi dan dipertahankan oleh lendir serviks yang menerima
dan menyokongnya. Sperma harus menjalani kapasitasi dalam
mempersiapkan diri melakukan fertilisasi. Kemudian sperma bergerak
melalui uterus ke ampula tuba uterina untuk memfertilisasi ovum normal
yang reseptif (Bobak, 2004).
Pada wanita, folikel Graaf harus matur dan melepas sebuah ovum sehat
yang mampu difertilisasi. Ovum harus ditarik oleh fimbria ke dalam tuba
uterina yang paten dan difertilisasi dalam beberapa jam. Hasil konsepsi harus
bergerak ke bawah, ke tuba dan masuk ke dalam uterus normal yang
berkembang dengan baik. Implantasi blastosit harus terjadi dalam tujuh
sampai 10 hari di dalam endometrium yang telah siap mengeluarkan hormon.
Hasil konsepsi harus berkembang dengan normal, dapat hidup, dan dilahirkan
dalam kondisi baik ke kehidupan di luar uterus (Bobak, 2004).
Perubahan satu atau lebih struktur, fungsi, atau proses ini menyebabkan
gangguan fertilitas dalam derajat tertentu. Sebab-sebab gangguan fertilitas
kadang sulit diketahui, baik pada wanita maupun pada pria (Wilson,
Carrington, 1991). Faktor laki-laki (produksi sperma cacat, kesulitan
inseminasi) sebesar 30%-40%, faktor ovulasi sebesar 5%-25%, faktor tuba
dan uterus sebesar 15%-25%, faktor serviks/imunologik sebesar 5%-10%,
tidak dapat dijelaskan setelah investigasi sebesar 10%-25% (Llewellyn,
Jones, 2001).
Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan dan aborsi berulang (habitual)
dapat merupakan akibat aberasi sistem imun (mis. antibodi, antisperma,
kegagalan implantasi, dan pertumbuhan sebuah blastosit) (Evans, dkk, 1989).
 Etiologi
1. Faktor Koitus-Pria
Faktor koitus-pria meliputi spermatogenesis abnormal, kelainan
anatomi, gangguan endokrin, dan disfungsi seksual. Kelainan anatomi
yang mungkin menyebabkan infertilitas adalah tidak adanya vas deferens
kongenital, obstruksi vas deferens, dan kelainan kongenital sistem
ejakulasi (Benson, Pernoll, 2008). Gizi, penyakit-penyakit kelainan
metabolis, keracunan, disfungsi hypofise, kelainan traktus genitalis (vas
deferens, testes pada Klinefelter syndrom) (Ginekologi, Bagian Obstetri &
Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD).
Spermatogenesis abnormal dapat terjadi akibat orkitis karena mumps,
kelainan kromososm, kriptorkidismus, terpajan bahan kimia atau radiasi
atau varikokel. Motilitas abnormal terlihat dengan tidak adanya silia
(sindrom Kartagener), varikokel dan pembentukan antibodi (Benson,
Pernoll, 2008).
Faktor gangguan endokrin pada pria meliputi gangguan tiroid,
hiperplasia adrenal, androgen eksogen, disfungsi hipotalamus (sindrom
Kallmann), kegagalan hipofisis (tumor, radiasi, pembedahan) dan
hiperprolaktinemia (tumor, drug induced). Peningkatan FSH umumnya
menunjukkan kerusakan parenkim testis karena inhibin yang dihasilkan
oleh sel-sel Sertoli merupakan kontrol umpan balik utama sekresi FSH
(Benson, Pernoll, 2008).
2. Faktor Vaginal-Servikal
Faktor serviks sebagai penyebab infertilitas wanita mungkin
kongenital (terpajan DES, kelainan duktus mulleri) atau didapat (infeksi,
terapi pembedahan) (Benson, Pernoll, 2008).
Infeksi vaginal-serviks (mis., trikomonas vaginitis) meningkatkan
keasaman cairan vagina dan menurunkan sifat basa lendir serviks. Dengan
demikian, infeksi vagina seringkali merusak atau secara drastis
mengurangi jumah sperma yang bergerak sebelum sperma sampai di kanal
serviks. Jumlah lendir dan perubahan fisiknya dipengaruhi oleh adanya
darah, bakteri patogen, dan iritan, seperti IUD atau tumor. Stres emosi
berat, terapi antibiotik, dan penyakit, seperti diabetes melitus, mengubah
keasaman lendir (Bobak, 2004).
Sekitar 20% wanita infertil memiliki antibodi sperma. Produksi
antibodi salah satu anggota spesies melawan sesuatu yang biasanya
ditemukan di dalam spesies tersebut disebut isoimunisasi. Sperma dapat
tidak bergerak di dalam lendir serviks atau tidak mampu berpindah ke
dalam uterus. Suatu insiden aglutinasi sperma yang lebih besar terjadi pada
wanita yang mengalami gangguan fertilitas yang tidak dapat dijelaskan.
Namun, signifikansi dan relibilitas tes yang benar untuk imobolisasi
sperma atau aglutinasi tidak pasti (Bobak, 2004).
3. Faktor Uterus-Tuba
Faktor uterus-tuba merupakan kelainan struktur yang paling lazim
(misalnya terpajan DES (dietilstilbestrol), mioma, kegagalan penyatuan
normal saluran reproduksi, kehamilan ektopik sebelumnya) (Benson,
Pernoll, 2008).
Miomata submukosa yang besar atau polip endometrium mungkin
jarang menyebabkan infertilitas tetapi biasanya menimbulkan aborsi
spontan pada trimester-pertama. Peran miomata intramural tidak jelas,
meskipun miomektomi telah berkaitan dengan konsepsi pada 40 sampai 50
persen pasangan dalam serangkaian uji yang tak terkontrol (Hacker,
Moore, 2001).
Sindrom Asherman, suatu adesi uterus atau jaringan parut, ditandai
oleh hipomenorea atau amenorea. Adesi, yang sebagian atau secara total
menutup kavum uterus, merupakan akibat intervensi bedah, seperti
kuretase dalam skala besar (scraping), setelah suatu aborsi (elektif atau
spontan) (Bobak, 2004).
Motilitas tuba dan ujung fimbrianya dapat menurun atau hilang akibat
infeksi, adesi, atau tumor. Infeksi klamidia secara negatif mempengaruhi
fungsi tuba dan menghambat fertilitas (Eggert-Kruse, dkk., 1990). Pada
kasus yang jarang, salah satu tuba dapat tidak ditemukan. Adalah mungkin
untuk menemukan salah satu tuba relatif lebh pendek daripada tuba yang
lain. Kondisi ini seringkali dihubungkan dengan uterus yang berkembang
secara tidak normal (Bobak, 2004).
Penyumbatan tuba dapat terjadi pada tiga lokasi: akhir fimbrae,
pertengahan segmen, atau pada istmus-kornu. Penyumbatan fimbria sejauh
ini adalah yang terbanyak ditemukan. Salpingitis yang sebelumnya dan
penggunaan spiral adalah penyebab yang lazim, meskipun sekitar
separonya tidak berkaitan dengan riwayat semacam itu, bila tak ada
riwayat ini, menunjukkan tuberkulosis. Penyumbatan isthmus-kornu dapat
bersifat bawaan atau akibat endometriosis, adenomiosis tuba, atau infeksi
sebelumnya. Pada 90 persen kasus, penyumbatan terletak pada isthmus
dekat tanduk (kornu) atau dapat melibatkan bagian dangkal dari lumen
tuba di dalam dinding organ (Hacker, Moore, 2001).
Inflamasi di dalam tuba atau keterlibatan bagian luar tuba atau ujung
fimbria merupakan penyebab utama gangguan fertilitas. Adesi tuba, yang
disebabkan infeksi pelvis (mis., ruptur apendiks), dapat menyebabkan
gangguan fertilitas. Apabila infeksi yang disertai rabas purulen pada
akhirnya sembuh, terbentuk adesi jaringan parut. Dalam proses tersebut,
tuba dapat menjadi tetutup di suatu titik di sepanjang badan tuba tersebut.
Tuba dapat tertutup di ujung fimbria atau tuba menjadi rusak dan
berkelok-kelok akibat adesi. Adesi dapat memungkinkan sperma yang keci
melewati tuba, tetapi mungkin mencegah sebuah telur yang dibuahi untuk
sampai rongga uterus. Hal ini menyebabkan kehamilan ektopik yang dapat
merusak tuba secara keseluruhan. Pada kasus yang lain, adesi tuba ke
ovarium atau ke usus dapat diikuti endometriosis (Bobak, 2004).
4. Faktor Ovulasi
Faktor ovulasi melibatkan sistem saraf pusat (SSP), penyakit
metabolik atau defek perifer. Defek SSP meliputi anovulasi
hiperandrogenemik kronis, hiperprolaktinemia (sella yang kosong, tumor,
drug induced), insufisiensi hipotalamus dan insufisiensi hipofisis (trauma,
tumor, kongenital). Penyakit-penyakit metabolik yang menyebabkan defek
faktor ovulasi adalah penyakit tiroid, penyakit hati, ginjal, obesitas, dan
kelebihan androgen (adrenal atau neoplastik). Defek perifer mungkin
berupa disgenesis gonad, kegagalan ovarium prematur, tumor ovarium
atau resistensi ovarium (Benson, Pernoll, 2008).
5. Faktor Peritoneum atau Pelvis
Dua faktor peritoneum atau pelvis yang paling lazim adalah
endometriosis dan sekuele infeksi (misalnya apendisitis, penyakit radang
panggul) (Benson, Pernoll, 2008). Endometriosis adalah penemuan yang
paling lazim. Perlekatan periadneksa dapat ditemukan, yang dapat
menjauhkan fimbria dari permukaan ovarium atau menjebak oosit yang
dilepaskan (Hacker, Moore, 2001).
Endometriosis akan mengganggu fertilisasi dengan beberapa cara. Ini
dapat mengganggu pergerakan tuba, menyebabkan sumbatan tuba, atau
menyebabkan perlekatan yang langsung mengganggu pengangkatan oosit
itu oleh fimbria. Radang yang disebabkan oleh haid retrograd dan
endometrium yang ektopik menyebabkan meningkatnya jumlah makrofag
peritoneum, yang masing-masing lebih aktif dalam menelan sperma,
karena itu mengurangi jumlah sperma yang akan memasuki kompleks
oosit kumulus. Adanya endometriosis juga menyebabkan meningkatnya
insidensi sindroma folikel tak ruptur yang mengalami luteinisasi, di mana,
meskipun ada tanda-tanda tak langsung yang lazim dari ovuasi, oosit tidak
dilepaskan dari folikel. Adanya endometrium ektopik dalam rongga pelvis
juga menginduki perubahan fungsi luteum secara halus dengan kenaikan
progesteron yang lambat dan singkat. Cacat fase luteum mungkin lebih
sering ditemukan pada wanita dengan endometriosis. Ini masih
kontroversional apakah insidensi abortus spontan meningkat bila terdapat
endometriosis aktif atau tidak (Hacker, Moore, 2001).
 Tes dan Pemeriksaan
1. Infertilitas Pria
Riwayat medis infertilitas karena faktor pria harus meliputi frekuensi
hubungan seks, kesulitan ereksi atau ejakulasi, paternitas sebelumnya,
riwayat infeksi saluran genital sebelumnya (misalnya orkitis karena
mumps atau prostatitis kronis), kelainan kongenital, pembedahan atau
trauma (misalnya perbaikan hernia, trauma langsung pada testis), terpapar
toksin (obat-obatan, timbal, kadmium atau radiasi), diet, olahraga,
konsumsi alkohol, merokok >1 bungkus/hari, penggunaan obat terlarang,
terpajan DES sewaktu dalam kandungan dan pajanan yang luar biasa
terhadap lingkungan yang sangat panas (Benson, Pernoll, 2008).
Pemeriksaan fisik harus mempertimbangkan bentuk badan dan
penyebaran rambut (misalnya efek testosteron) (Benson, Pernoll, 2008).
Kurangnya rambut kemaluan atau bentuk tubuh yang kurang maskuin
dapat menunjukkan tidak cukupnya produksi testosteron (Hacker, Moore,
2001). Meatus uretra harus berada di tempat yang normal. Ukuran testis
dapat dibandingkan dengan ovoid standar. Melakukan perasat Valsava
pada posisi berdiri akan membantu mendeteksi varikokel. Pijatan prostat
transrektal biasanya akan mengeluarkan sekresi yang cukup untuk
pemeriksaan mikroskopis. Leukosit yang banyak dalam sekret in atau
dalam analisis semen menunjukkan adanya infeksi (Benson, Pernoll,
2008).
a. Analisis Semen
Analisis semen lengkap, yakni penelitian efek lendir serviks
untuk melihat gerakan sperma ke depan (forward motility) dan
kemampuan sperma untuk bertahan hidup, dan pemeriksaan
kemampuan sperma untuk mempenetrasi sebuah ovum memberi
informasi dasar. Hitung sperma bervariasi dari hari ke hari dan
bergantung kepada status fisik dan emosi serta aktivitas seksual.
Dengan demikian, analisis tunggal tidak dapat memberi kesimpulan
(Willson, Carrington, 1991). Biassanya tiga spesimen yang diambil
dengan interval satu bulan dievaluasi (Bobak, 2004).
Sebaiknya sperma yang diperiksa, ditampung setelah pasangan
tidak melakukan koitus sekurang-kurangnya selama 3 hari dan sperma
tersebut hendaknya diperiksa dalam satu jam setelah keluar
(Ginekologi, Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran
UNPAD). Semen yang dikeluarkan melalui ejakulasi, dimasukkan ke
dalam tabung plastik atau gelas bermulut lebar dengan bagian puncak
seperti sekrup (Willson, Carrington, 1991). Semen dibawa ke
laboratorium dalam wadah yang disekat dalam satu jam setelah
ejakulasi. Pajanan pada lingkungan panas ata dingin berlebihan
dihindari (Bobak, 2004).
Nilai normal karakteristik semen:
 Keenceran: biasanya lengkap dalam 10 sampai 20 menit
 Volume semen 2-5 ml (rentang: 1-7 ml)
 Keasamna semen (pH) 7,2 sampai 7,8
 Densitas sperma 20 sampai 200 juta/ml
 Morfologi normal (%) ≥60% ovum normal
 Motilitas (pertimbangan penting dalam evaluasi sperma),
persentase gerakan sperma maju ke depan (tes berenang ke
atas[swim-up test]) diperkirakan berhubungan dengan sprma yang
motilitasnya abnormal dan normal. Hal ini membutuhkan evaluasi
oleh seorang ahli teknik yang memiliki pengalaman dalam
tingkatan tertentu, tetapi karena tes ini memberi diagnosis yang
lebih akurat, tes ini tidak membuang waktu yang digunakan:
≥50% normal.
 Hitung sel: rata-rata normal, 60 juta atau lebih/ml atau total 150
sampai 200 atau lebih juta per ejakulasi, standar normal
minimum: 40 juta/ml dengan hitung total sekurang-kurangnya
125 juta/ejakulasi (rata-rata hitung pada dua atau, lebih dipilih,
tiga spesimen secara terpisah)
Catatan: nilai-nilai ini tidak absolut, tetapi hanya merupakan nilai
relatif terhadap evaluasi akhir pasangan sebagai unit reproduksi
tunggal.
 Tes penetrasi ovum
b. Tes Pascakoitus
Tes pascakoitus ialah salah satu metode yang digunakan untuk
memeriksa keadekuatan teknik koitus, lendir serviks, sperma, dan
derajat penetrasi sperma melalui lendir serviks. Tes dilakukan dalam
dua jam setelah ejakulasi semen ke dalam vagina. Suatu spesimen
lendir serviks diambil. Hubungan seksual disesuaikan dengan waktu
ovulasi (sesuai penetapan yang dihasilan dari evaluasi BBT,
perubahan lendir serviks, dan panjang siklus menstruasi yang lazim).
Tes ini dilakukan hanya jika tidak ada infeksi vagina. Pasangan
mungkin merasa sedikit kesulitan untuk tidak melakukan hubungan
seksual selama dua sampai empat hari sebelum ovulasi berikutnya dan
kemudian berhubungan seksual dengan ejakulasi yang sudah
dijadwalkan.hubungan seksual yang direncanakan dapat membuat
hubungan interpersonal pasangan tersebut menjadi tegang. Sebuah
masalah dapat timbul jika hari ovulasi yang ditunggu terjadi saat
fasilitas tidak tersedia atau dokter sedang tidak ada (seperti pada akhir
minggu atau pada hari libur). Apabila tidak ada sperma yang
ditemukan, teknik koitus yang digunakan harus dievaluasi (mi.,
obesitas yang ekstrim dapat mencegah penetrasi penis yang adekuat).
2. Infertilitas Wanita
a. Deteksi Ovulasi
Dokumentasi waktu ovulasi penting dalam investigasi gangguan
fertilitas. Bukti langsung ovulasi ialah kehamilan atau diperolehnya
sebuah ovum dari tuba uterina. Ada beberapa metode tidak langsung
atau metode presumptif untuk mendeteksi ovulasi. Hal ini meliputi:
 Pengkaji BBT
Basal body temperature atau temperatur tubuh basal adalah
temperatur terendah tubuh seseorang yang sehat, yang diukur
segera setelah bangun tidur dan sebelum turun dari tempat tidur.
BBT biasanya bervariasi dari 36,2 sampai C selama
menstruasi dan sekitar lima sampai tujuh hari sesudah
menstruasi.
Apabila ovulasi tidak terjadi, pola temperatur tubuh rendah
ini akan berlanjut selama siklus. Infeksi, keletihan, tidur kurang
dari tiga jam setiap malam, terbangun menjelang pagi, dan rasa
cemas bisa menyebaban fluktuasi temperatur dan mengubah pola
yang diharapkan. Menjelang ovulasi, terjadi sedikit penurunan
suhu sekitar . setelah ovulasi, seiring kadar peningkatan
progesteron pada fase luteal dini siklus, BBT sedikit meningkat
sekitar 0,2 sampai (Labbok, Queenan, 1989). Suhu
tetap berada pada kestabilan yang tinggi selama dua sampai empat
hari sebelum menstruasi. Kemudian suhu akan turun sampai
angka pencattan terendah selama masa siklus sebelumnya kecuali
jika terjadi kehamilan dan temperatur tetap tinggi.
 Karakteristik lendir serviks
Menjelang ovulasi, lendir yang encer dan jernih seperti air
menjadi lebih banyak dan mengental. Lendir ini terasa seperti
pelumas dan dapat ditarik sepanjang 5 cm antara ibu jari dan jari
telunjuk. Kondisi ini disebut spinnbarkheit. Keadaan ini
menunjukkan periode kesuburan yang maksimum. Sperma yang
berada dalam lendir jenis ini dapat tetap hidup sampai terjadi
ovulasi.
Tes klinis ini kurang lebih menentukan apakah progesteron
disekresi dalam jumlah yang signifikan (BBT terjadi peningkatan
sebagai respons terhadap progesteron dan lendir serviks harus
memiliki viskositas yang rendah dan spinnbarkheit yang tinggi) untuk
mengakomodasi implantasi dan mempertahankan kehamilan.
Terjadinya nyeri antarmenstrual (mittelschmerz) dan keluarnya
spoting siklus-tengah memberi bukti ovulasi dugaan yang tidak dapat
diandalkan (Scott, dkk., 1990)
b. Analisis Hormon
Analisis hormon dilakukan untuk mengkaji fungsi endokrin pada
aksis ovarium-hipofisis-hipotalamus. Spesimen darah dan urine
diambil pada berbagai waktu selama siklus menstruasi wanita.
Spesimen darah diambil untuk menentukan kadar progesteron,
estrogen, FSH, dan Lhspesimen urine memberi informasi tentang
kadar ketosteroid-17 dan hidroksi-kortikosterodi-17.
Darah diambil pada tahap lanjut siklus menstruasi untuk mengkaji
fungsi korpus luteum. Tes ini dapat dilakukan dengan serangkaian
cara guna menetukan apakah kadar plasma progesteron berkorelasi
baik dengan BBT wanita dan karakteristik lendir serviks.
c. Biopsi Endometrium Terjadwal
Biopsi endometrium dijadwalkan setelah ovulasi selama fase
luteum siklus menstruasi. Pada tahap lanjut menstruasi, tiga sampai
empat hari sebelum menstruasi selanjutnya, sebuah sampel
endometrium diambil untuk penelitian histologi, sehingga fungsi
korpus luteum dan kemampuan endometrium untuk menerima
implantasi dapat dikaji. Ada dua metode untuk melakukan biopsi
endometrium terjadwal; kedua metode ini tidak memerlukan
hospitalisasi. Metode yang pertama diimplementasi tiga sampai empat
hari setelah menstruasi berikutnya. Dengan wanita ditutupi selimut
dan dalam posisi litotomi, spekulum vagina diinsersi ke dalam vagina.
Dengan menggunakan aspirator vabra berlumen kecil, sebuah sampel
endometrium diambil.
Metode kedua dilakukan dengan langkah berikut:
 Pasangan dianjurkan tidak melakukan hubungan seksual selama
periode “fertil” yang pertama supaya embrio tidak keluar setelah
prosedur
 Serviks didilatasi menggunakan laminaria empat sampai 24 jam
sebelum prosedur yang tidak membutuhkan analgesia dilakukan.
Laminaria merupaan insersi rumput laut kemasan berbentuk tipis
dan berukuran kecil atau dilator osmotik sintetis yang, jika
diinsersi ke dalam serviks, menyerap kelembaban, mengembang,
dan dengan demikian membuat serviks berdilatasi.
 Wanita berbaring dalam posisis litotomi dan diselimuti kemudian
spekulum diinsersi.
 Laminaria diangkat.
 Apabila sebelumnya tidak dilatasi dengan laminaria, serviks
didilatasi pada saat ini dengan dilator rod logam. Analgesia atau
anestesia seringkali dibutuhkan.
 Sebuah spesimen kecil endometrium diambil dari dinding
samping di dalma fundus supaya embrio tidak terlepas jika
konsepsi telah terjadi. (jika implantasi terjadi, biasanya implantasi
terjadi di bagian atas fundus, baik di abgian posterior maupun di
bagian anterior).
Temuan yang mendukung fertilitas meliputi endometrium yang
negatif untuk tuberkulosis, polip, atau kondisi peradangan dan yang
mencermikan perubahan sekresi, yang secara normal terlihat pada fase
luteal yang adekuat (progesteron).
d. Histerosalpingografi
Film radiografi (sinar-X) memungkinkan visualisasi kavum uterus
dan tuba setelah instilasi materi kontras radiopaque melalui serviks.
Adalah mungkin untuk melihat kelainan uterus, seperti defek
kongenital aatu defek yang disebabkan mioma submukosa dan polip
endometrium. Distorsi rongga uterus atau tuba uterina, yang
merupakan akibat penyakit radang panggul (PID) terbaru atau
terdahulu, diidentifikasi. Jaringan parut dan adesi akibat proses radang
dapat memobilisasi uterus dan tuba, memuntir tuba, dan mengelilingi
ovarium. Setelah infeksi, PID dapat terjadi akibat penyakit menular
seksual (PMS) atau ruptur apendiks yang meradamg.
Histerosalpingografi dijadwalkan dua sampai lima hari setelah
menstruasi untuk menghindari pengeluaran ovum yang berpotensi
untuk dibuahi dari tuba falopii ke dalam rongga peritoneum. Pada
waktu ini juga tidak ada pembuluh darah yang terbuka dan semua
debris menstruasi telah dikeluarkan. Hal ini merupakan resiko
embolisme atau risiko pengeluaran debris menstruasi dari tuba ke
dalam rongga peritoneum. Apabila wanita menderita PID,dia
ditangani dengan antimikroba dan tes tersebut dijadwlakan kembali
dalam dua samapai tiga bulan.
Nyeri bahu menyebar dapat terjadi selama prosedur ini. Nyeri
yang menyebar ini merupakan indikasi iritasi subfrenik akibat materi
kontras jika materi tersebut keluar dari tuba uterina yang paten atau
jika saluran tuba tersumbat. Rasa tidak nyaman mereda jika posisi
tubuh diubah. Rasa nyaman biasanya hilang dalam 12 sampai 14 jam
dan dapat dikontrol dengan analgesik ringan.
Prosedur ini dapat dilakukan untuk tujuan terapeutik juga
diagnostik. Pasase medium kontras dapat melancarkan tuba dari
gumpalan lendir, meluruskan tuba yang melekuk, atau
menghancurkan adesi di dalam tuba (sekunder akibat salpingitis).
Prosedur dapt menstimulasi silia di dalam lapisan tuba untuk
memfalitasi transpor ovum. Prosedur ini juga dapt membantu proses
penyembuhan akibat efek bakteriostatis yodium di dalam medium
kontras.
e. Laparoskopi
Laparoskopi biasanya dijadwalkan pada awal siklus menstruasi.
Selama prosedur tersebut, sebuah teleskopkecil diinsersi melalui insisi
kecil di dinding abdomen anterior. Sumber cahaya fiberoptik dingin
memungkinkan visualisasi superior struktur pelvis internal. Wanita
biasanya dirawat tidak lama setelah pembedahan, setelah menjalani
puasa selam 8 jam. Ia defekasi sebelum pembedahan. Anestesi umum
biasanya diberikan dan wanita mengambil posisi litotomi. Rambbut
pubisnya dicukur hanya jika pemeriksaan ini kemungkinan diikuti
laparotomi. Sebuah jarum diinsersi dan gas karbon dioksida
dipompakan ke dalam peritoneum untuk mengankat dinding abdomen
dari organ, sehingga terbentuk suatu ruang kosong yang
memungkinkan visualisasi dan eksplorasi dengan menggunakan
laparoskop. Apabila kepatenan tuba dikaji, sebuah kanula digunakan
untuk memasukkan medium kontras berwarna melalui serviks.
Visualisasi kavum peritoneum pada wanita infertil dapat menunjukkan
endometriosis, adesi pelvis, okulsi tuba, atau polikistik ovarium.
Fulgurasi (destruksi jaringan dengan getaran listrik) implan
endometrium yang kecil, lisis adesi, dan pengambialn biopsi ovarium
merupakan beberapa prosedur yang dapat dilakukan dengan
menggunakan sebuah laparoskop. Setelah pembedahan, deflasi
kebanyakan gas dilakukan dengan mengeluarkan secara langsung.
Tempat trocar (dan jarum) ditutup dengan sebuah jahitan subkutikular
tungggal yang dapat diabsorpsi atau dengan jepitan kulit kemudian
sebuah perban adesif dipasang. Pemulihan pasca-operasi dilakukan
dengan menguker tanda-tanda vital, mengkaji tingkat kesadaran,
memventilasi aspirasi, memantau cairan intravena, dan menenangkan
pasien sehubungan dengan rasa tidak nyaman yang menyebar sampai
bahu. Klien biasanya pulang dari rumah sakit dalam empat sampai
enam jam. Nyeri bahu menyebar atau rasa tidak nyaman subkosta
biasanya berlangsung hanya selama 24 jam dan diredakan dengan
menggunakan analgesik ringan. Wanita harus diperingatkan untuk
tidak mengangkat barang-barang yang berat dan melakukan aktivitas
berat selama empat sampai tujuh hari, yakni pada waktu-waktu ia
biasanya asimptomatik.
f. Pemeriksaaan Pelvis Ultrasound
Ultrasound transvaginal atau ultrasound abdomen juga digunakan
untuk mengkaji truktur pelvis. Prosedur ini digunakan untuk
memvisualisasi jaringan pelvis untuk berbagai alasan (mis., untuk
mengidentifikasi kelainan, memastikan perkembangan dan maturitas
folikuler, atau mengonfirmasi kehamilan intrauterin).

 Terapi
a. Faktor koitus-pria
Kesulitan dapat disebabkan waktu dan frekuensi hubugan seksusa.
Pasangan diajari tentang siklus menstruasi, genjala lendir serviks puncak,
dan waktu yang tepat untuk melakukan hubungan seksual.
Insersi penis kedalam vagina seringkali sulit akibat chordee
(belokan ke arah bawah saat ereksi) dan obesitas. Pasangan dinasihatkan
untuk mengubah posisi yang digunakan saat hubungan seksual.
Penggunaan alkohol yang berat membuat ereksi penis sulit dicapai dan
dipertahankan sampai ejakulasi. Pria dianjurkan untuk menghindari
konsumsi alkohol selama wanita mengalami ovulasi.
Terapi medis untuk mengatasi infertelitas pria sejauh ini
mengecewakan, khususnya saat ditemukan penyakit pada testis atau
hipofisis. Kadangkala, upaya menekan produksi sperma dengan injeksi
testosteron mungkin dilakukan, dengan demikian jumlah antibodi
autimun pada pria menurun. Setelah antibodi sperma menurun, kualitas
sperma meningkat dan kadang-kadang terjadi kehamilan.
Terapi obat dapat diindikasikan untuk mengatasi infertelitas pria.
Infeksi diindentifikasi dan diobati segera dengan menggunakan agens
antimikroba. Masalah dengan kelenjar tiroid atau adrenal dikoreksi
dengan obat-obatan yang sesuai. Testosteron enantat (Delatestyrl) dan
testosteron sipionat (depo-testosterone) melalui injeksi digunakan untuk
menstimulasi kejantanan, khususnya pada ornag dewasa. Human
chorionic gonadotropin (hCG) (Pregnly) yang diberikan secara
intramuskular membuat pria hipogonadotropik menjadi jantan sehingga
memperbaiki kembali fungsi selleyding dan spermatogenesis. FSH dan
hMG membantu hCG untuk menyelesaikan speragonis atau hipotalamus
yang memproduksi prolaktin dan dapat mengurangi tumor. Klomifen
dapat diberikan untuk menangani subfertulutas idiopati.
Perbaikan varikokel (pembesaran vena tali pusat) sejauh ini relatif
berhasil. Suatu varikokel pada sisi kiri ditemukan dalam jumlah besar
pada pria subfertil. Ligasi varikokel menghasilkan perbaikan kualitas
sperma dan umumnya menghasilkan kehamilan.
Perubahan gaya hidup yang sederhana dapat membuat upaya
pengobatan pria yang subfertil berhasil. Jika status nutrisi yang buruk
dikoreksi. Temperatur tinggi pada daerah lipat paha menyebabkan
enurunan jumah sperma. Temperatur yang tinggi dapat disebabkan
penggunaan celana dan jins ketat, yang membuat kantung skrotum
tertekan pada tubuh, tanpa memperhatikan perubahan temperatur
lingkungan. Temperatur testis diperthankan sangan tinggi supaya
spermatogenesis efesien. Mandi air panas yang lama sering dapat
diterapkan pada infertilitas relatif. Harus diingat bahwa kondisi ini hanya
menyebabkan infertelitas relatif dan jangan digunakan sebagai cara
kontrasepsi. Lubrikan yang digunakan selama berhubungan seksual
sebaiknya tidak mengandung spermisida atau materi yang membunuh
sperma.
b. Faktor vaginal-servikal
Terapi untuk mengatasi faktor-faktor genital bagian bawah dilakukan
dengan mengeliminasi vafginitis atau servisitis. Obat-obatan anti biotik
atau kemoterapi umumnya dapat dapat mengatasi masalah ini. Selain
antibiotik, radial chemocautery (destruksi jaringan dengan agens kimia)
atau therrmocautery (destruksi dengan jaringan panas, biasanya lairan
listrik) serviks, cryo-surgery (destruksi jaringan dengan kompres dingin
yang ekstrem, biasanya netrogen cair), atau konisasi ( eksisi serpihan
berbentuk tongkat dari endroserviks) efektif untuk menghilangkan radang
dan infeksi kronis. Apabila serviks telah dikauterisasi dengan dalam atau
dibekukan atau jika konisasi secara luas telah dikakuakn, pembatasan
produksi lendir secara ekstrim oleh serviks dapat terjadi. Oleh karena itu,
migrasi sperma dapat mejadi sulit atau tida mungkin dilaukan karnatida
ada jembatan lendir dari vainake uterus. Inseminasi intrauterin terapeutk
mungkin dibutuhkan untuk membawa sperma langsung melalaui os
interna ke serviks.
Terapi tersedia untuk wanita yang mengalami reaksi imunologis
terhadap sperma. Pajanan pada semen melalui model orogenital dan
model anal dihindari. Penggunaan kondom selama hubungan seksual
genitalia selama enam sampai 12 bulan akan mengurangi produksi
antibodi pada bagian besar wanita yang mengalami peningkatan jumlah
titer atibodi. Setelah reaksi serum meredah, kondom dikunakan setiap
kali senggama kecuali saat terjadi ovulasi. Sekitar sepertiga pasangan
yang mengalami masalah ini mengandung setelah tindakan ini.
Prognosis untuk wanita yang infertil umumnya bila terjadi
peradangan atau gangguan yang srius pada genetelia. Kebanyakan wanita
mengalami banyak masalah minor yang, walaupun terjadi secara
bersamaan, secara relatif mudah dikoreksi (mis, servisitis kronis,
hipotiroidisme). Apabila terjadi yang dilakukan selama setahun tidak
menunjukkan keberhasilan, misalnya, arlternatif lain dapat
dipertimbangkan (mis., adopsi, hidup tanpa anak, inseminasi terpeutik,
atau fertilisasi in vitro).
c. Faktor uterus-tuba
Terapi harus meliputi pencegahan dan penatalaksanaan infeksi dini
yang adekuat dengan antibiotik yang sesuai. Pembedahan mungkin
diperlukan jika drainase suatu fokus infeksi yang serius dibutuhkan.
Histerosalpingografi bermanfaat untuk indentifikasi obstruksi tuba dan
juga untuk pelepasan materi yng menghambat. Selama laparoskopi,
adensi yang kecil dapat dipecah dan diangkat dan implan endrometrium
dapat dihancurkan dengan elektrokoagulasi atau Nd: laser YAG. Wanita
yang menderita endrometriosis berat memiliki lebih banyak kesempatan
untuk hamil jika diobati dengan gamete intrafallopian transfer (GIFT)
(Yovich, Malson, 1990). Laparatomi dan bahkan bedah mikro diperlukan
untuk memperbaiki tuba yang rusak secara luas. Prognosis bergantung
kepada sejauh mana kepatenan dan fugsi tuba dapat diperbaiki kembali.
Seorang wanita yang uterusnya elatif berukuran kecil dapat hamil,
tetapi uterusnya mungkin tidak dpat mengakomondasikan pembesaran
uterus, sehingga ia dapat mengalami abortus spotan. Tidak ada terapi
medis yang terbukti efektif untuk membesarkan uterus yangs ecara
abnormal berukuran kecil. Hasil observasi menunjukkan bahwa wanita
yang tidak hamil, tetapi mengalami keguguran seringkali mengalami
aborsi pada kehamilan selanjutnya setiap kali ia hamil lagi. Pada
akhirnya, setelah dua atau tiga kehamilanannya gagal, ia melahirkan ank
hidup. Tampaknya pertumbuhan aktual uterus terjadi setiap wanita itu
hamil. Bedah plastik, misalnya, operasi penyatuan uterus biskonuate,
seringkali meningkatkan kemampuan wanita untuk mengandung dan
mempertahankan janin sampai usia cukup bulan.
Pengangkatan tumor atau fibroid melalui pembedahan, yang
melibatkan endrometrium atau uterus, seringkali meningkatkan
kesempatan wanita untuk mengandung dan mempertahankan kehamilan
sampai janin lahir hidup. Terapi bedah untuk mengangkat tumor di uterus
atau mal-perkembangan yang menghasilkan keberhasilan kehamilan
biasanya melalui kelahiran dengan bedah sesaria pada saat mendekati
gestasi. Uterus dapat ruptur sebagai akibat kelemahan daerah bedah yang
memulih.
d. Faktor Ovulasi
Terapi obat seringkali diperlukan, tetapi terapi ini merupakan
komponen perawatan pasien yang mahal. Stimulan ovulasi dapat
diberikan. Klomifen ( clomid, serophene), suatu preparat oral, adalah
agens pematang folikuler. Agens ini digunakan untuk mengobati
anovulasi yang disebabkan supresi hipotalamus saat aksis ovarium-
pituitari-hipotalamus utuh. Bromo kriptin (parlodel), suatu alkaloid ergot
sintesis yang menghambat pelepasan prolaktin, digunakan untuk
mengobati ovulasi yang disebabkan peningkatan kadar prolaktin. Thyroid
stimulating hormone (TSH) diindikasikan jika wanita mengalami
hipotiroidisme, human menopausal gonadotropin (hMG) (Pergonal) jika
ia mengalami hipogonadotropi anemora. Apabila anovulasi disebabkan
oleh disfungsi hipotalamushipofisis, kegagalan hipotalamus atau
kegagalan berespons terhadap klomifen, gonadothropin-relasing hormone
(GnRH) dapat di programkan.
Terapi penggantian hormon (hormone replacemen therapy) dapat
diindikasikan. Wanita yang memiliki kadar estrogen yang rendah adalah
kandidat untuk menerima estrogen-terkonjugasi dan
medroksiprogesteron. Kondisi hipoestrogen dapat diakibatkan kadar stres
yang tinggi atau penurunan persentase lemak tubuh akibat gangguan
makan (mis., anoreksia nervosa) atau latihan fisik yang berlebihan.
Suplementasi hidroksiprogesteron disertai supositoria vaginal atau injeksi
intramuskular digunaka untuk mengobati defek fase luteal. Perawat juga
dapat menggunakan obat-obatan lain. Jika terdapat hiperplasia adrenal,
prednison, suatu glukokortikoid, apat dikonsumsi secara oral. Danazol
adalah obat pilihan untuk mengatasi endrometriosis. Infeksi ditangani
dengan formulasi antimikroba yang sesuai.
Tumor ovarium harus diangkat. Kapanpun mungkin, jaringan
ovarium fungsional harus dibiarkan utuh. Adesi jaringan parut yang
disebabkan oleh infeksi kronis dapat mengenai sebagian besar atau
seluruh ovarium. Adesi ini biasanya membutuhkan pembedahan untuk
membebaskan dan memaparkan ovarium, sehingga dapat terjadi ovulasi.
Disfungsi kelenjar tiroid dapat dikaitkan dengan abnormalitas
menstruasi, gangguan fertilitas, atau limbah janin berulang. Terapi terdiri
dari penatalaksanaan kondisi tiroid yang dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan grafik BBT untuk meningkatakan cadangan sperma untuk
ovulasi pemantauan dan penatalaksanaan fungsi tiroid yang
berkesinanmbungan selama masa hamil juga dilakukan.
e. Faktor peritoneum atau pelvis
Terapi endrometritis bergantung pada tingkat ke parahannya. Bila
terdapat perlekatan yang banyak atau endometrioma, sebaiknya
dilakukan pembedahan, karena biasanya ini tidak dapat diatasi dengan
penangan medis. Cukup bnayak penyakit dapat memberi respons yang
serupa dengan terapi hormonal atau pembedahan (yang belakangan ini
sedikit lebih efektif), dengan pilihan yang banyak bergantung pada
pertimbangan pasien terhadap salah satu modalitas. Dengan teknik
laparastokopik bedah yang lebih maju (pelviscopy), sebagian besar
endrometritis dapat dibuang atau diamblasi tanpa laparotomi dengan
menggunakan instrumentasi yang sudah maju, lase, atau termokoagulasi.
Danazol, analog GnRh, atau medroksiprogesteron asetat oral yang terus
menerus biasanya kurang efektif. Kalau ditemukan penyakit minimal
dengan implan yang tersebar, kauter sederhana pada saat laparoskopi
telah menunjukkan bahwa derajat endrometritis yang minimal hingga
ringan mungkin tidak mengganggu infertelitas.
Perlekatan periadneksa dapat mengalami lisis oleh laparaskoi
operatif atau dapat membutuhkan laparatomi. Teknik bedah mikro akan
mengurangi perlekatan. Tambahan yang paling efektif dalam mencegah
berkurangnya parut adalah penepatan 32 persen dekstran 70 dalam
ruangan panggul pada akhir pembedahan atau menutupi permukaan kasar
dengan suatu barier jaringan buatan yang dibasahi dengan heparin.
Fungsi modalitas juga berfungsi untuk memisahkan permukaan yang
kasar selama periode dini dari penyembuhan. Laparoskopi pasca
pembedahan dini juga dapat membantu, karena perlekatan yang belum
matang bersifat sangat tipis dan avaskular dan dapat terlepas dengan
udah sselama prosedur.
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, dkk. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitis. Jakarta: EGC

Cunningham, F. Gary, dkk. 1995. Obstetri Williams. Jakarta: EGC

Benson, Ralph C dan Martin L. Pernoll. 2008. Buku Saku Obstetri dan
Ginekologi. Jakarta: EGC

Hacker, Neville F dan J. George Moore. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta: Hipokrates

Llewellyn, Derek dan Jones. 2001. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi.


Jakarta: Hipokrates

_________1991. Ginekologi. Bandung: Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas


Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung
SOAL

1. Apa yang dimaksud dengan gangguan fertilitas bersifat sekunder?

A. Wanita belum pernah mengandung

B. Tidak hamil dalam waktu 1 (satu) tahun setelah kawin tanpa


mempraktekkan konstrasepsi (disengaja).

C. Wanita pernah mengandung sekurang-kurangnya satu kali, tetapi tidak


pernah berhasil hamil lagi atau tidak pernah berhasil mempertahankan
kandungan

D. Kesuburan yang berkurang

E. Ketidakmampuan untuk hamil atau mengandung anak sampai anak


tersebut lahir hidup pada saat pasangan memutuskan untuk memperoleh
anak

2. Yang bukan merupakan faktor penyebab infertilitas adalah?

A. Faktor vaginal-servikal

B. Faktor uterus-tuba

C. Faktor ovulasi

D. Faktor peritoneum atau pelvis

E. Faktor ligamentum

3. Sindrom Asherman, suatu adesi uterus atau jaringan parut, ditandai oleh
hipomenorea atau amenorea merupakan etiologi infertilitas dari faktor?

A. Faktor vaginal-servikal

B. Faktor uterus-tuba

C. Faktor ovulasi
D. Faktor peritoneum atau pelvis

E. Faktor koitus-pria

4. Pengkaji BBT dan karakteristik lendir serviks merupakan metode tidak


langsung atau metode presumptif untuk pemeriksaan?

A. Ovulasi

B. Tuba

C. Uterus

D. Serviks

E. Peritoneum

5. Ada dua metode untuk melakukan metode ini, tidak memerlukan


hospitalisasi. Metode yang pertama diimplementasi tiga sampai empat hari
setelah menstruasi berikutnya. Metode ini merupakan pemeriksaan?

A. Analisis hormon

B. Deteksi ovulasi

C. Biopsi endometrium terjadwal

D. Histerosalpingografi

E. Analisis semen

Anda mungkin juga menyukai