Anda di halaman 1dari 18

“IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK LINGKUNGAN

PENGENDAPAN DAN POLA SEBARAN BATUBARA PT ADARO


ENERGY Tbk, TABALONG, KALIMANTAN SELATAN”

PROPOSAL KERJA PRAKTEK

OLEH

ADY KURNIAWAN

D621 13 315

DEPARTEMEN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA
2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

ADY KURNIAWAN
NIM. D621 13 315

“IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN


POLA SEBARAN BATUBARA PT ADARO ENERGY Tbk, TABALONG,
KALIMANTAN SELATAN”

Makassar, Februari 2017

Mengetahui, Disetujui Oleh,


Ketua Program Studi Teknik Pertambangan Pembimbing KP

Dr. Ir. Sufriadin, M.T. Dr. Ir. Irzal Nur, MT.


NIP. 196608172000121001 NIP. 196604091997031002

ii
I. JUDUL
“IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PENGENDAPAN
DAN POLA SEBARAN BATUBARA PT ADARO ENERGY Tbk, TABALONG,
KALIMANTAN SELATAN”

II. LATAR BELAKANG


Seiring dengan peran dan tanggung jawab mahasiswa sebagai salah satu
civitas akademika pada institusi pendidikan tinggi, maka mahasiswa dituntut agar lebih
baik dalam mengaplikasikan berbagai keahliannya sesuai dengan disiplin ilmu yang
ditekuni dan dikuasainya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat seiring
dengan bertambahnya pertumbuhan penduduk dan keinginan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Penemuan baru dan inovasi selalu terjadi pada setiap
komponen kehidupan. Semua dengan cepat berubah dan berganti menjadi lebih baik
dari sebelumnya.
Mahasiswa sebagai insan akademis yang mempelajari ilmu-ilmu dasar dan
perekayasaan sebatas pada teori saja sangat kurang memahami dan mengetahui
secara mendalam aktualitas dilapangan. Obyek tersebut hanya dapat dilihat dan
dibayangkan melalui khayalan berdasarkan teoritisnya saja. Sedangkan dalam
kenyataan aplikasi tersebut memerlukan pengalaman.
Kerja praktek merupakan kegiatan akademis yang bertujuan untuk
memperkenalkan secara nyata akan dunia kerja, sesuai dengan bidang yang
ditekuninya, sehingga diharapkan mampu meningkatkan wawasan dan pengetahuan
pada lingkup dunia kerja professional. Hal ini dapat dicapai dengan dikenalkannya
segala kelengkapan pada dunia kerja disertai dengan permasalahan yang ada di
dalamnya.
Dengan demikian diharapkan mahasiswa kelak dapat memiliki kemampuan
untuk dapat berkiprah didunia kerja nantinya. Terlebih lagi pada iklim kompetisi yang
bagaimana pun ketatnya di kemudian hari. Oleh karena itu Kerja Praktek ini dapat
dijadikan sebagai suatu kegiatan yang tepat untuk membentuk mahasiswa menjadi
lebih mandiri serta kompetitif.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dengan ini saya bermaksud untuk melakukan
Kerja Praktek di perusahaan yang Bapak/Ibu pimpin. Oleh karena itu saya sangat

1
berharap kiranya perusahan dapat membantu dalam rencana kegiatan Kerja Praktek
yang akan saya jalani ini.
II. TUJUAN KERJA PRAKTEK
Kerja praktek ini mempunyai beberapa tujuan, adapun beberapa tujuan
tersebut, yaitu:
1. Untuk mengetahui pola persebaran batubara yang terdapat di PT. Adaro Energy
Tbk.
2. Untuk mengetahui kedalaman dan ketebalan lapisan batubara yang terdapat di
PT. Adaro Energy Tbk.
3. Untuk mengetahui lingkungan pengendapan batubara yang terdapat di PT. Adaro
Energy Tbk.

III. MANFAAT PENELITIAN


Manfaat dari kegiatan penelitian yang dilakukan adalah:
1. Bagi Mahasiswa
Dapat menambah wawasan yang lebih luas mengenai ilmu pertambangan yang
telah dipelajari pada bangku kuliah dengan praktek langsung pada industri
pertambangan.
2. Bagi Perusahaan
Perusahaan dapat menghitung sumberdaya, cadangan, serta merencanakan
cara penambangan batubara dari bentuk lapisan dan ketebalan seamnya.
.
IV. LANDASAN TEORI
A. Genesa batubara
Batubara adalah sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya terkena
proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun hingga mengakibatkan
pengkayaan kandungan C (Anggayana,2002).
Batubara berasal dari sisa tumbuhan yang terakumulasi menjadi gambut yang
kemudian tertimbun oleh sedimen, setelah pengendapan terjadi peningkatan
temperatur dan tekanan yang nantinya mengontrol kualitas batubara (Cook,1982).
Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu
tahap diagenesa gambut dan tahap pembatubaraan (coalification).Tahap diagenesa
gambut disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan kimia dan

2
mikroba, sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap geokimia atau
tahap fisika-kimia yang melibatkan perubahan kimia dan fisika serta batubara dari
lignit sampai antrasit (Cook,1982).
Ditinjau dari cara terbentuknya, batubara dapat dibedakan menjadi batubara
ditempat (insitu) dan batubara yang bersifat apungan (drift). Batubara terbentuk di
tempat tumbuhan itu terbentuk, mengalami proses dekomposisi dan tertimbun dalam
waktu yang cepat, batubara ini dicirikan dengan adanya bekas – bekas akar pada seat
earth serta memiliki kandungan pengotor yang rendah, sedangkan batubara drift
terbentuk dari timbunan material tanaman yang telah mengalami perpindahan
selanjutnya terdekomposisi dan tertimbun, pada batubara ini tidak dijumpai bekas-
bekas akar pada seat earth dan memiliki kandungan pengotor yang tinggi.
Adapun parameter yang mengendalikan pembentukan endapan batubara,
yaitu adanya sumber vegetasi, posisi muka air tanah, penurunan yang terjadi dengan
pengendapan, penurununan yang terjadi setelah pengendapan, kendali lingkungan
geoteknik endapan batubara dan lingkungan pengendapan terbentuknya batubara
(Diessel ,1992).
Proses pembentukan batubara di defenisikan sebagai peningkatan karbon
secara bertahap dari material fosil organik dalam suatu proses yang alami. Proses ini di
bedakan menjadi tahapan biokimia yang meliputi seluruh proses pembentukan rawa
gambut (peatification) dan tahapan geokimia (biochemical coalification) yang
merupakan proses metamorphosis (Azhar,2001).
1. Penggambutan (Peatification)
Gambut merupakan batuan sedimen organik (tidak padat) yang dapat terbakar dan
berasal dari sisa – sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang tumbang dan mati di
permukaan tanah, pada umumnya akan mengalami proses pembusukan dan
penghancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak
terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut pada dasarnya
merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh adanya oksigen dan aktivitas bakteri
atau jasad renik lainya. Jika tumbuhan tumbang disuatu rawa, yang dicirikan dengan
kandungan oksigen yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan bakteri
anaerob (bakteri memerlukan oksigen) hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak
mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga tidak
akan terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-
bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses dekomposisi yang kemudian

3
membentuk gambut (peat). Daerah yang ideal untuk pembentukan gambut misalnya
rawa, delta sungai, danau dangkal atau daerah yang kondisi tertutup udara. Gambut
bersifat porous, tidak padat dan umumnya masih memperlihatkan struktur tumbuhan
asli, kandungan airnya lebih besar dari 75% (berat) dan komposisi mineralnya kurang
dari 50 % (dalam keadaan kering).

Gambar 1. Skema proses pembatubaraan (Van Krevelen, 1992).

Gambut terbentuk setekah di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (C.F.K
Diessel,1992):
a) Evolusi tumbuhan.
Tumbuhan merupakan elemen terpenting pembentuk batubara. Peristiwa ini di
mulai dengan tumbangnya tumbuhan yang kemudian terawetkan dan selanjutnya akan
membentuk rawa gambut. Sebagai bahan dasar pembentuk gambut tumbuhan
mengalami evolusi yang menghasilkan variasi tumbuhan paling banyak sehingga
menghasilkan jenis batubara yang berbeda-beda.
b) Iklim
Iklim mengendalikan kecepatan perkembangan tumbuh-tumbuhan, jenis
tumbuh-tumbuhan, dan kecepatan dekomposisi tumbuh-tumbuhan yang pada akhirnya
banyak mempengaruhi pembentukan gambut. Pada daerah beriklim tropis dengan
kadar air tinggi dan lembap akan menghasilkan banyak lapisan gambut yang tebal,
yang terbentuk dari batang kayu yang besar. Kenaikan suhu disamping mempercepat

4
pertumbuhan tanaman juga mempercepat dekomposisi. Sebagai contoh, di daerah
iklim tropis telah di temukan rawa yang luas yang di penuhi gambut yang
ketebalannya sampai lebih dari 30 meter (Taylor, 1998).
c) Geografi dan tektonik daerah
Gambut dan batubara terbentuk pada daerah yang mempunyai kondisi-kondisi
yaitu kenaikan muka air tanah yang lambat dan relief yang rendah.
Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah ketika kenaikan
mukan air tanah lambat, perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan relief
yang rendah. Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan dasar rawa
cepat) maka kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marine.
Sebaliknya kalau terlalu lambat, maka sisa tumbuhan yang terendapkan akan
teroksidasi dan terisolasi. Terjadinya kesetimbangan antara penurunan cekungan (land
subsidence) dan kecepatan penumpukan sisa tumbuhan (kesetimbangan bioteknik)
yang stabil akan menghasilkan gambut yang tebal (Diessel, 1992).
Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan tempat
yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada
penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah akan terus
mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat
kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat mencapai 90 % dan kandungan air menurun
drastis hingga 60 % pada saat terbentuknya brown-coal. Sebagian besar lingkungan
yang memenuhi kondisi tersebut merupakan topogenic low moor. Hanya pada
beberapa tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa
ombrogenic (high moor) (Diessel, 1992).
2. Pembatubaraan (Coalification)
Proses pembatubaraan adalah perubahan fisik dan kimia dari gambut melalui
lignit, sub-bituminus, bituminus, antrasit, sampai meta-antrasit. Kontrol utama
perubahan ini adalah derajat metamofisme (tekanan dan temperatur). Tahapan yang
di capai oleh batubara dalam deret pembatubaraan ini di sebut sebagai peringkat
batubara (Azhar,2001).
Pada proses ini, tekanan yang bertambah besar akan mengakibatkan porositas
gambut berkurang dan anisotropi meningkat. Sifat pororsitas dapat dilihat dari
kandungan airnya (moisture content) yang berkurang selama proses perubahan dari
gambut menjadi brown coal. Porositas dan anisotropi ini pararel dengan bidang
perlapisan dan bisa di korelasikan dengan tekanan overbarden. Sementara itu, secara

5
kimia gambut mengalami perubahan komposisi dan unsur-unsur karbon, oksigen, dan
hidrogen. Derajat pemabatubaraan ditentukan oleh perubahan komposisi kimia (C, H,
O, VM) atau sifat optis (reflektansi vitrinit) (Azhar,2001).

Gambar 2. Peringkat batubara (Taylor,1998)

Selama tahap hard brown coal ( lignit-sub bitiminus) maka sisa terakhir dari
selulose dan lignin ditransformasikan menjadi material humik. Asam humik
terkondensasi menjadi molekul yang lebih besar dan kehilangan sifat keasamannya
membentuk humin yang tak larut dalam alkali (Azhar,2001).
Perubahan paling menonjol pada batas peringkat sub-bituminus C dan B adalah
perubahan petrografis yang disebabkan oleh gelifikasi geokimia (vitrinasi) dari
substansi humit yang berubah menjadi hitam dan mengkilap. Pada tahap antrasit
dicirikan oleh turunnya hidrogen dan perbandingan H terhadap C secara derastis,
bertambah kuatnya reflektivitas dan anisotropisme (Azhar,2001).
Proses pembatubaraan terutama disebabkan oleh naiknya temperatur dan
waktu. Pengaruh temperatur dipercayai sangat dominan disebabkan sering
ditemukannya intrusi-intrusi batuan beku yang berdekatan dengan lapisan batubara

6
dengan peringkat tertinggi (antrasit) karena terjadi kontak metamorfisme. Kenaikan
peringkat batubara juga dapat diamati pada kedalaman yang lebih (hukum Hilt) yang
disebabkan oleh kenaikan temperatur akibat bertambahnya kedalaman. Menurut Hilt
kecepatan peningkatan peringkat bergantung pada gradien geothermal (Azhar,2001).
Waktu akan memberikan pengaruh yang berarti jika temperatur
pembatubaraan tinggi. Jika tekanan makin tinggi maka proses pembatubaraan akan
semakin cepat terutama pada daerah- daerah yang terlipatkan dan terpatahkan
(Azhar,2001).
B. Fasies Batubara
Fasies adalah suatu tubuh/paket batuan yang mempunyai kenampakan khas
dan dapat dibedakan dari facies yang lain. Fasies merupakan hasil dari proses
pengendapan yang mencirikan proses maupun lingkungan pengendapan tertentu.
Kriteria penentu fasies adalah litologi, ukuran butir, tekstur, struktur, kandungan biota,
dan warna. Suatu faises harus merupakan batuan tersendiri yang terbentuk pada
kondisi sdimentasi tertentu, merefleksikan proses atau lingkungan tertentu. Fasies
dapat dibagi menjadi sub-fasies atau dikelompokkan menjadi asosiasi fasies atau
assemblager (Tucker, 1991).
Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang diekspresikan
melalui komposisi maseral, kandungan mineral, komposisi kimia dan tekstur
(Taylor,1993).
Adapun beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik fasies
batubara (Azhar,2001):
1. Tipe pengendapan
Endapan Autochtonous merupakan endapan yang berkembang dari tumbuhan
yang ketika tumbang akan membentuk gambut ditempat dimana tumbuhan itu pernah
hidup tanpa adanya proses transportasi yang berarti. Sedangkan endapan Allochtonous
Terendapkan secara detrital dimana sisa-sisa tumbuhan hancur dan tertransportasi
kemudian terendapkan di tempat lain. Lebih banyak mengandung mineral matter
(abu).
2. Rumpun tumbuhan
Tempat asal daerah tumbuhan pembentuk batubara ada empat yaitu Daerah
air terbuka dengan tumbuhan air, Rawa ilalang terbuka, Rawa hutan, dan Rawa lumut.
Rawa gambut dapat dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan jenis tumbuhan
pembentuk, yaitu (Diessel,1992) :

7
a) Bog, yaitu sebagai lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut
atau tanaman merambat yang miskin kandungan makanan.
b) Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis
pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan yang ombrogenic yaitu
transisi antara daerah yang selalu melimpah kandungan air dengan daerah
yang terkadang kering.

Gambar 3.Urutan tipe rawa gambut (Taylor, 1998).

c) Marsh, yaitu rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman
merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut.
d) Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang tumbuh rawa
yang didominasi tanaman berkayu.
3. Lingkungan pengendapan
Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan
geologi disekitarnya. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas batubara
banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapanya.
a) Telmatis/Terestrial
Lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut
yang tidak terganggu dan tumbuh secara insitu (forest peat, reed peat dan
high moor moss peat.
b) Limnik
Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang
terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan karena pada
forest Swamp biasanya ada bagian yang berada di bawah air (feed Swamp).

8
c) Marine
Batubara yang terendapkan pada lingkungan ini mempunyai ciri khas kaya
abu, S dan N yang mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya
terbentuk dari mangrove (bakau) dan kaya S.
d) Ca-rich
Lingkungan ini menghasilkan batubara yang kaya akan Ca dan mempunyai ciri
yang sama pada endapan payau. Batubara Ca-rich selalu terjadi pada
lingkungan bawah air dengan kondisi oksigen terbatas. Lingkungan
pengendapan ini juga banyak mengandung fosil. Batubara Ca-rich banyak
mengasilkan bitumen.
4. Persediaan bahan makanan
Rawa eutrophic (kaya bahan makanan), mesotropic (sedang), dan oligotripic
(miskin bahan makanan) dibedakan menjadi tergantung dari banyak sedikitnya bahan
makanan yang bisa digunakan. Topogenic low moor biasanya eutropic karena
menerima air, Raised bog/hochmoor biasanya karena hanya mengandalkan air hujan.
Transisi antara topogenic low moor dan raised bog disebut mesotropic.
5. pH, aktivitas bakteri dan sulfur
Keasaman gambut sangat mempengaruhi kebedaraan bakteri yang berperan
dalam pengawetan sisa tumbuhan. Sebagai contoh lingkungan pengndapan Ca-rich
yang alkalin menyebabkan bakteri mampu mendekomposisi sisa tumbuhan dengan
baik serta membentuk humin, gel, dan produk penggambutan yang kaya akan H dan
N.
6. Temperatur
Temperatur permukaan gambut memegang peranan penting pada proses
dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan
lebih baik sehingga proses-proses kimia dapat berjalan dengan baik. Temperatur
tertinggi untuk bakteri penghancur selulose pada gambut adalah 35-40 oC.
7. Potensial redoks
Potensial redoks memegang peranan yang penting untuk menunjang aktivitas
bakteri dan proses penggambutan. Jika rumpun tumbuhan, iklim dan kondisi
lingkungannya sama maka persediaan oksigen menetukan apakah penggambutan
berjalan atau tidak.
Lebih lanjut menurut Diessel pada tahun 1992 menjelaskan karakteristik
lingkungan pengendapan batubara sebagai berikut :

9
1. Braid Plain
Braid Plain Merupakan dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan,
dimana terendapkan sedimen berukuran kasar (> 2 mm). Batubara yang terbentuk
pada daerah ini merupakan hasil diagenesa gambut ombrogenik yang mempunyai
penyebaran lateral terbatas dengan ketebalan rata-rata 1,5 m.
Kandungan abu, total sulfur dan vitrinitnya umumnya rendah, sementara pada
daerah tropis kandungan vitrinit umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan gambut
umumnya kaya maseral inertinit (28%) karena suplai nutrisi yang terbatas. Kandungan
inertinit (khususnya semifusinit) yang sangat besar memnyebabkan nilai TPI relatif
tinggi yang sekaligus menunjukan bahwa tumbuhan asalnya didominasi oleh bahan
kayu. Sementara itu nilai GI yang rendah dan warna batubara yang buram dapat
menunjukan bahwa secara periodik permukaan gambut mengalami kekeringan dan
proses oksidasi. Kandungan abu yang kadang ditemukan cukup tinggi (± 20%),
kemungkinan dapat berasal dari banjir musiman dan keluarnya air dari tanah
kepermukaan.
2. Alluvial Valley dan Upper Delta Plain
Kedua lingkungan ini sulit dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan
sifat batubara yang terbentuk sehingga pembahasan dapat disatukan. Lingkungan ini
merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta, umumnya
melalui sungai berstadium dewasa yang memiliki banyak meander. Lapisan batubara
umumnya memiliki ketebalan bervariasi dan endapan sedimen terutama terdiri atas
perselingan batupasir dan lanau/lempung.
Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti rawa, dataran dan
cekungan banjir, bagian luar saluran sungai dan lain-lain. Permukaan cenderung selalu
basah dan jarang mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan endapan
batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi serta didominasi oleh
maseral telovitrinit/humotelitin dan secara kualiatas memiliki kandungan abu dan sulfur
yang rendah dibanding batubara pada lingkungan lain.
3. Lower Delta Plain
Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh
pasang air laut terhadap sedimentasi, dimana batas antara keduanya adalah pada
daerah batas tertinggi dari air pasang. Endapan sedimen pada lower delta plain
terutama dari batulanau, batulempung dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus.
Pada saat pasang naik air laut akan membawa nutrisi kedalam rawa gambut sehingga

10
memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi lain dengan
naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klasitik halus yang akan
menjadi pengotor dalam batubara.
Disamping itu, pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam
batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Batubara
yang ternendapkan dalam lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi ketebalan
tipis, batubaranya memiliki kandungan inertinit yang rendah dengan nilai GI yang
tinggi. Kandungan vitrinit/huminitnya paling banyak didominasi oleh detrovitrinit
/humotellinit sehingga nulai TPI nya relatif rendah (Horne dan Ferm ,1978). Hal ini
menunjukan tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan lunak (soft – tissued plant)
dan bio degredasi pada kondisi pH yang relatif tinggi.
4. Barrier Beach
Pada lingkungan ini, morfologis garis pantai dikontrol oleh rasio suplai sedimen
dengan daerah pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika nilai rasio tinggi maka
akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan
terdistribusi di sepanjang pantai.
Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah
terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang. Gambut
yang akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi sehingga
timbunan material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa gambut
pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan trangresi air laut.

Gambar 4. Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut (Diessel, 1992).

11
Pengelompokan berbagai kondisi akumulasi gambut menjadi lima kategori
berdasarkan penelitian terhadap batubara humik bituminous. Kelima kategori tersebut
dibedakan berdasarkan faktor kelembaban, konsentrasi ion hidrogen (pH), suplai
makanan dan aktifitas bakteri. Tiga kategori diantara nya adalah tipe topogenik mires
(rawa gambut topogenik) yang terbagi atas: high watertable dangan kondisi asam,
high watertable dengan kondisi netral serta variabel watertable dan dua lainya adalah
rawa gambut ombrogenik yang dibagi atas: continuusly wet dan intermitenly dry
(Diesel,1992).
Pada kategori high watertable dibedakan menjadi asam dan netral. Perbedaan
utama antara kedua kondisi tersebut adalah terletak pada konsentrasi ion hidrogennya,
dimana pada kolom 1 yang konsentrasi nya rendah merupakan lingkungan air tawar
(flood basin) dan kolom 2 yang konsentrasinya lebih tinggi merupakan lingkungan
payau dan laut. Kategori variable watertable adalah lingkungan air tawar namun
dengan muka air tanah berubah-ubah, seperti pada dataran banjir yang terkadang
kering pada masa tertentu. Adanya kecenderungan dalam kondisi tergenang pada
ketiga kategori ini menyebabkan suplai makanan tersedia cukup banyak (eutrophy).
Kategori continuosly wet dan intermedietly dry merupakan tipe rawa gambut
yang tumbuh berkembang karena suplai air yang berasal dari curah hujan yang sangat
tinggi (iklim tropis), hanya pada interemidietly dry sering mengalami perubahan
musim, terkandung di dalam musim kering. Gambut yang terendapkan pada
lingkungan bog-ombrotopic terbentuk dalam kondisi asam dengan suplai makanan
yang rendah (oligotropi).
C. Eksplorasi
Kegiatan eksplorasi terdiri atas berbagai penyelidikan yang mendukungnya.
Penyelidikan tersebut adalah :
a) Penyelidikan geologi
b) Penyelidikan geokimia, Penyelidikan ini dilaksanakan untuk mengetahui perkiraan
kadar logam, senyawa kimia dan unsur-unsur penyerta dimana logam tersebut
berada.
c) Penyelidikan geofisika, penyelidikan ini terdiri atas 4 metode yaitu metode
geolistrik, metode seismik, metode magnet, metode gaya berat/gravitasi.
d) Pemboran eksplorasi, dilaksanakan untuk mengetahui kedalaman mineral,
kualitas dan kalkulasi cadangan kasar/minimum untuk dapat ditambang secara
ekonomis.

12
Tahap eksplorasi batu bara umumnya dilaksanakan melalui empat tahap, yakni
survei tinjau, prospeksi, eksplorasi pendahuluan, dan eksplorasi rinci. Tujuan
penyelidikan geologi ini adalah untuk mengindentifikasi keterdapatan, keberadaan,
ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, serta kualitas suatu endapan batu bara sebagai
dasar analisis/kajian kemungkinan dilakukannya investasi. Tahap penyelidikan tersebut
menentukan tingkat keyakinan geologi dan kelas sumber daya batu bara yang
dihasilkan. Penghitungan sumber daya batubara dilakukan dengan berbagai metode
diantaranya poligon, penampangan, isopach, inverse distance, geostatisik, dan lain-lain
(SNI,1998).
1. Survei Tinjau (Reconnaissance)
Survei tinjau merupakan tahap eksplorasi batubara yang paling awal dengan
tujuan mengindentifikasi daerah–daerah yang secara geologis mengandung endapan
batubara yang berpotensi untuk diselidiki lebih lanjut serta mengumpulkan informasi
tentang kondisi geografi, tataguna lahan, dan kesampaian daerah. Kegiatannya, antara
lain, studi geologi regional, penafsiran penginderaan jauh, metode tidak langsung
lainnya, serta inspeksi lapangan pendahuluan yang menggunakan peta dasar dengan
skala sekurang-kurangnya 1:100.000 (SNI,1998).
2. Prospeksi (Prospecting).
Tahap eksplorasi ini dimaksudkan untuk membatasi daerah sebaran endapan
batubara yang akan menjadi sasaran eksplorasi selanjutnya. Kegiatan yang dilakukan
pada tahap ini, di antaranya, pemetaan geologi dengan skala minimal 1:50.000,
pengukuran penampang stratigrafi, pembuatan paritan, pembuatan sumuran,
pemboran uji (scout drilling), pencontohan, dan analisis. Metode eksplorasi tidak
langsung, seperti penyelidikan geofisika, dapat dilaksanakan apabila dianggap perlu.
3. Eksplorasi Pendahuluan ( Preliminary Exploration) (SNI,1998).
Tahap eksplorasi ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran awal bentuk
tiga-dimensi endapan batubara yang meliputi ketebalan lapisan, bentuk, korelasi,
sebaran, struktur, kuantitas dan kualitas. Kegiatan yang dilakukan antara lain,
pemetaan geologi dengan skala minimal 1:10.000, pemetaan topografi, pemboran
dengan jarak yang sesuai dengan kondisi geologinya, penampangan (logging)
geofisika, pembuatan sumuran/paritan uji, dan pencontohan yang andal. Pengkajian
awal geoteknik dan geohidrologi dimulai dapat dilakukan (SNI,1998).
4. Eksplorasi Rincian (Detailed exploration)
Tahap eksplorasi rincian ini dilakukan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas

13
serta model tiga-dimensi endapan batubara secara lebih rinci. Kegiatan yang harus
dilakukan adalah pemetaan geologi dan topografi dengan skala minimal 1:2.000,
pemboran dan pencontohan yang dilakukan dengan jarak yang sesuai dengan kondisi
geologinya, penampangan (logging) geofisika, serta pengkajian geohidrologi dan
geoteknik. Pada tahap ini perlu dilakukan penyelidikan pendahuluan pada batubara,
batuan, air dan lainnya yang dipandang perlu sebagai bahan pengkajian lingkungan
yang berkaitan dengan rencana kegiatan penambangan yang diajukan (SNI,1998).

V. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian berkaitan dengan pengamatan yang dilakukan, baik yang
secara langsung misalnya pengambilan data dilapangan, dan secara tidak langsung
dengan membaca beberapa literatur yang berkaitan dengan judul kerja praktek yang
akan diajukan. Serta adanya beberapa informasi tambahan berupa pengalaman dari
ahli praktisi dilapangan.
1. Persiapan
Tahapan persiapan merupakan salah satu tahapan yang berisi mengenai
kegiatan pendahuluan sebelum dilakukannya kerja praktek atau penelitian. Tahapan ini
terbagi ke dalam beberapa tahapan yang lebih rinci, antara lain:
a) Administrasi
Pengurusan masalah administrasi merupakan pengurusan segala bentuk
perizinan kegiatan kerja praktek atau penelitian kepada pihak-pihak terkait.
b) Studi Literatur
Studi literatur dilakukan dengan mengkaji buku-buku teks, jurnal, dan laporan
sebelumnya mengenai eksplorasi batubara, pengeboran serta informasi
penting lainnya yang bisa di akses melalui media internet.
2. Kegiatan Lapangan dan Pengumpulan Data
Setelah melakukan persiapan, maka hal selanjutnya adalah mengenai
kegiatan lapangan dan tahap pengambilan data.
a) Data primer merupakan data-data yang didapatkan dari hasil pengamatan
yang dilakukan di lapangan, meliputi pengambilan data yang sifatnya secara
langsung dilapangan seperti data sumur, data bor, dan data lainnya yang
menunjang kegiatan kerja praktek.
b) Data sekunder yaitu data pendukung yang digunakan sebagai pelengkap, yang
meliputi geologi regional daerah kerja praktek atau penelitian serta topografi
dari lingkungan pertambangan.

14
3. Tahapan Penyusunan Laporan
Tahapan ini berkaitan hasil (laporan akhir) pengolahan dari data yang telah
diperoleh dan sesuaikan dengan format dan kaidah penulisan yang telah ditetapkan
Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Hasanuddin.
4. Seminar dan Penyerahan Laporan
Hasil akhir dari kerja praktek akan dipresentasikan dalam bentuk seminar
Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Hasanuddin, setelah melalui
penyempurnaan berdasarkan masukan-masukan yang diperoleh. Laporan akhir dalam
bentuk final kemudian diserahkan kepada Ketua Program Studi Teknik Pertambangan
Universitas Hasanuddin.

VI. JADWAL KEGIATAN KERJA PRAKTEK


Waktu pelaksanaan kerja praktek diatur berdasarkan jadwal perusahaan,
namun jika diperkenankan, kami mengajukan kerja praktek ini dilakukan pada:
Waktu : Februari 2017 – Maret 2017 (2 bulan)
Tempat : PT. Adaro Energy Tbk.

VII. PENUTUP
Demikian proposal permohonan kerja praktek ini sebagai salah satu
pertimbangan bagi pihak di PT. Adaro Energy Tbk, Tabalong, Kalimantan selatan.
Besar harapan agar kiranya proposal ini disambut dengan senang hati, kesempatan
yang diberikan oleh pihak perusahaan tentunya akan dimanfaatkan semaksimal
mungkin.

15
IX. DAFTAR PUSTAKA

Anggayana, K., 2002. Genesa Batubara. Departemen Teknik Pertambangan. Institut


Teknologi Bandung. Bandung

Azhar, 2001. Pemodelan fisis metoda resistivity untuk eksplorasi batubara. Departemen
Teknik Pertambangan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Cook, A.C., 1982. The Origin and Petrology of Organic Matter in Coals, Oil Shales, and
Petroleum Source-Rock, Geology Departement of Wollonggong University,
Australia.

Diessel, C.F.K., 1992, Coal Bearing Depositional Systems. Springer Verlag. Berlin,
Heidelberg.

SNI. SNI 13-5014-1998. Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Batubara . Tersedia


pada http://www.dim.esdm.go.id/kepmen_pp_uu/SNI_13-5104-1998.pdf.
Diakses pada tanggal 10 desember 2012.

Tucker, M.T., 1991. Sedimentary Petrology, An Introduction to the Origin of


Sedimentary Rocks, 2nd Edition, Blackwell Scientific Publications. Durham,
England.

Taylor GH, Teichmuller M, Davis A, Diessel CFK, Littke R, Robert P,. 1998. Organic
Petrology. Gebruder Borntraegern Berlin. Stuttgart.

16

Anda mungkin juga menyukai