Oleh
M. Syarifudin
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses pencernaan tersebut merupakan suatu perubahan fisik dan kimia yang diala
mioleh bahan makanan dalam alat pencernaan. Pencernaan pada ternak
ruminansia merupakan proses yang sangat komplek yang melibatkan interaksi
dinamis antar pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang sudah
melewati fase pencernaan selanjutkan akan memasuki siklus metabolisme.
Metabolisme merupakan suatu proses kimiawi yang terjadi dalam tubuh makhluk
hidup. Proses metabolisme adalah pertukaran zat atau organisme dengan
lingkungannya. Istilah Metabolisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari
kata metabole yang berarti perubahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
metabolisme adalah makhluk hidup mendapat, mengolah dan mengubah suatu zat
melalui proses kimiawi untuk mempertahankan hidupnya.
Fungsi proses etabolisme antara lain untuk mendapatkan energi kimia berupa
ATP, hasil dari degradasi zat-zat makanan kaya energi yang berasal dari
lingkungan , sebagai pengubah molekul zat-zat makanan (nutrisi) menjadi
perkursor unit pembangun bagi biomolekul sel, sebagai penyusun unit-unit
pembangun menjadi protein, asam nukleat, lipida, polisakarida, dan komponen sel
lain, dan sebagai pembentuk dan perombak biomolekul.
B. Tujuan Pembuatan Makalah
Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai
penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Sapi
pedaging memiliki ciri-ciri seperti tubuh besar, berbentuk persegi empat atau
balok, kualitas dagingnya maksimum, laju pertumbuhan cepat, cepat mencapai
dewasa, dan efisiensi ransumnya tinggi (Haryanti, 2009). Menurut Blakely dan
David (1992), tujuan pemeliharaan sapi potong adalah untuk digemukkan,
sapisapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, dipelihara secara intensif
selama beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk
dipotong.
Saat sapi menyusu pada induknya, susu akan mengalir dari mulut langsung
menuju omasum, tanpa melewati rumen. Susu akan melewati sebuah saluran yang
disebut dengan esophageal groove. Pada sapi dewasa, volume rumen mencapai
81%, reticulum 3%, omasum 7%, dan abomasum 9% dari volume total perut
(Rianto, 2011).
Perut sapi mengalami 3 fase perkembangan, yaitu fase non ruminansi, fase
transisi, dan fase ruminansia. Pada saat sapi berumur 2 minggu anak sapi hanya
mampu mendapatkan nutrisi hanya melalui susu induknya. Setelah berumur 2
minggu anak sapi akan belajar memakan pakan hijauan, pada saat ini rumen juga
mulai berkembang.
Pada proses penyerapan nutrisi, dibutuhkan organ pencernaan. Berikut ini adalah
organ-organ dalam pencernaan sapi :
a. Mulut
Saliva pada sapi tidak mengandung enzim amylase sehingga proses pencernaan
hanya berlangsung secara mekanik. Saliva memiliki kandungan bikarbinat
sehingga memiliki sifat buffer (penyangga), saliva yang masuk ke dalam rumen
akan berguna dalam menjaga pH rumen agar tidak naik atau turun terlalu tajam.
b. Rumen
Pakan yang telah melewati mulut maka akan melewati pharynx dan melalui
oesophagus menuju rumen.
Saluran pencernaan sapi tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa yang
merupakan bagian terbesar dari pakan serat, yaitu sekitar 30-60% dari total bahan
kering. Karena enzim yang digunakan dalam pencernaan serat berasal dari
mikroba. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely (1994), rumen volumenya dapat
mencapai 200 liter, rumen mengandung mikroorganisme, bakteri, dan protozoa
yang akan menghancurkan bahan-bahan berserat, mencerna bahan-bahan itu untuk
kepentingan mikroba itu sendiri, membentuk asam-asam lemak mudah terbang,
serta mensintesis vitamin B serta asam-asam amino.
c. Retikulum
Retikulum disebut honey comb, hal ini dikarenakan wujudnya yang berbentuk
seperti rumah lebah. Menurut Blakely (1994), bentuk reticulum mencegah benda-
benda asing seperti misalnya kawat untuk tidak terus bergerak ke saluran
pencernaan lebih lanjut. Retikulum seringkali tertusuk oleh benda-benda tajam
sehingga menyebabkan keadaan yang disebut penyakit hardware. Keadaan ini
bersifat fatar karena jantung letaknya berdekatan. Menurut Rianto (2011),
retikulum berfungsi mengatur aliran digest dari rumen ke omasum.
d. Omasum
Permukaan dinding omasum berlipat dan kasar. Menurut Rianto (2011), omasum
berdinding berlipat-lipat dan kasar, terdapat 5 lamina(daun) yang menyerupai duri
(spike). Lamina adalah penyaring partikel digesti yang akan masuk ke abomasum.
Menurut Blakely (1994), omasum menerima campuran pakan dan air, dan
sebagian besar air itu diserap oleh luasnya daerah penyerapan yang terdiri dari
banyak lapis.
e. Abomasum
Menurut Rianto (2011), abomasum disebut perut sejati pada ternak ruminansia
(termasuk sapi). Pada dinding abomasum memiliki kelenjar pencernaan yang
menghasilkan cairan lambung yang mengandung pepsinogen, garam, onorganik,
mukosa, asam hidrokhlorat dan faktor interisnsik yang penting untuk absorpsi
vitamin B12 secara efisien. Menurut Blakely (1994), sebagian besar pekerjaan
pencernaan diselesaikan oleh abomasum, disebut perut sejati karena kemiripan
fungsi perut tunggal pada hewan-hewan bukan ruminansia. Di dalam abomasum
terdapat unsur-unsur penyusun berbagai nutrient yang dihasilkan melalui proses
kerja cairan lambung terhadap bakteri dan protozoa dan diserap melalui dinding
usus halu. Bahan-bahan yang tidak tercerna bergerak ke cecum dan usus besar.
Kemudian diekskresikan sebagai feses.
Menurut Rianto (2011), intestine terdiri atas tiga bagian, yaitu duodenum,
jedunum, dan ileum. Panjang intestine pada sapi adalah 22-30 kali panjang
tubuhnya. Kelenjar duodenum menghasilkan cairan alkalin yang berguna sebagai
pelumas dan melindungi dinding duodenum dari asam hidroklorat yang masuk
dari abomasum. Pada ujung duodenum terdapat kelenjar empedu dan pancreas,
kelenjar empedu menghasilkan cairan yang berisi garama sodium dan potassium
dari asam empedu. Garam-garam ini berfungsi mengaktifkan enzim lipase yang
dihasilkan pancreas dan mengemulsikan lemak digesta sehingga mudah diserap
lewat dinding usus.
g. Usus Besar
Menurut Rianto (2011), ada tiga pokok yang terdpat dalam kelompok usus besar,
yaitu colon, caecum, dan rectum. Pada saat digesta masuk ke dalam colon,
sebagian besar digesta yang mengalami hidrolisis sudah terserap sehingga materi
yang masuk ke dalam colon adalah materi yang tidak dicerna.
Sumber : Rianto, 2011
Hanya sedikit sekali digesta yang terserap lewat dinding usus besar. Materi yang
tidak terserap kemudian dikeluarkan lewat anus sebagai feses. Materi yang keluar
dari feses meliputi air, sisa-sisa pakan yang tidak tercerna, sekresi saluran
pencernaan, sel-sel ephitelium saluran pencernaan, garam-garam anorganik,
bakteri, dan produk-produk dari proses dekomposisi oleh mikrobia.
Ternak memperoleh lemak dari tiga sumber, yaitu dari metabolisme lemak,
protein dan karbohidrat. Karbohidrat dan protein yang sudah dicerna dan diserap,
sebagian akan diubah menjadi lemak. Sedangkan lemak dari pakan dapat diubah
menjadi pati dan gula, yang kemudian bisa digunakan untuk energi dan sebagian
disimpan dalam jaringan sel sebagai lemak cadangan (Sugeng, 2003). Konsentrasi
asam lemak bebas yang tinggi menghambat pencernaan serat kasar dan sebagai
akibatnya menghasilkan proporsi asam asetat yang lebih sedikit, pada saat yang
bersamaan jumlah substrat yang terfermentasi menurun (Soebarinoto et al., 1991).
Bila lemak (trigliserida, glikolipida, fosfolipida) dikonsumsi oleh ternak
ruminansia, maka ketika masuk ke dalam rumen, akan terjadi dua proses besar
yaitu proses hidrolisis ikatan ester dalam lemak yang berasal dari pakan dan
proses biohidrogenasi asam lemak yang tidak jenuh yang terjadi setelah lemak
dihidrolisis menjadi asam lemak bebas (Bauman dan Lock 2006). lemak bila
dikonsumsi oleh ruminansia dan mengalami proses metabolisme di dalam rumen
dan pasca rumen. Lemak yang masuk ke dalam rumen akan mengalami proses
hidrolisis oleh bakteri rumen seperti Anaerovibrio lipolytica dan Butyrivibrio
fibrisolvens yang akan mengeluarkan enzim lipase, galactosidase dan
phospholipase (Doreau dan Chilliard 1997; Harfoot dan Hazlewood 1997).
Mineral, (kecuali K dan Na), membentuk garam dan senyawa lain yang relatif
sukar larut, sehingga sukar diabsorpsi. Absorpsi mineral sering memerlukan
protein pengemban spesifik (spesific carrier proteins), sintesis protein ini berperan
sebagai mekanisme penting untuk mengatur kadar mineral dalam tubuh.
Ekskresi sebagian besar mineral melalui ginjal, ada juga disekresi kedalam getah
pencernaan, empedu dan hilang dalam feses. Kelainan akibat kekurangan mineral.
Kekurangan intake semua mineral esensial dapat menyebabkan sindroma
klinik.Bila terjadi difisiensi biasanya sekunder, akibat malabsorpsi, perdarahan,
berlebihan (besi), penyakit ginjal(kalsium), atau problem klinis lain. Kelaianan
akibat kelebihan mineral. Kelebihan intake dari hampir semua mineral
menyebabkan gejala toksik. Sumber dan kebutuhan mineral sehari-hari. Mineral
esensial dan unsur runutan ditemukan dalam sebagian besar makanan, terutama
biji-bijian utuh, buah, sayuran, susu, daging dan ikan. Biasanya dalam makanan
hanya dalam jumlah yang sedikit
1. Kalsium (Ca)
2. Fosfat
Fosfat bebas diabsorpsi dalam jejunum bagian tengah dan masuk aliran darah
melalui sirkulasi portal. Pengaturan absorpsi fosfat diatur oleh 1 , 25–dihidroksi
kolekalsiferol (1,25-dihidroksivitamin D). Fosfat ikut dalam pengaturan derivat
aktif vitamin D. Bila kadar fosfat serum rendah, pembentukan 1,25-dihidroksi
vitamin D dalam tubulus renalis dirangsang, sehingga terjadi penambahan
absorpsi fosfat dari usus.
Deposisi fosfat sebagai hidroksiapatit dalam tulang diatur oleh kadar hormon
paratiroid. 1,25-dihidroksi vitamin D, memegang peranan yang memungkinkan
hormon paratiroid melakukan mobilisasi kalsium dan fosfat dari tulang. Ekskresi
fosfat terjadi terutama dalam ginjal. 80 persen – 90 persen fosfat plasma difiltrasi
pada glomerulus ginjal. Jumlah fosfat yang diekskresi dalam urin menunjukkan
perbedaan antara jumlah yang difiltrasi dan yang direabsorpsi oleh tubulus
proximal dan tubulus distal ginjal. 1,25-Dihidroksivitamin D merangsang
reabsorpsi fosfat bersama kalsium dalam tubulus proksimal. Hormon paratiroid
mengurangi reabsorpsi fosfat oleh tubulus renalis sehingga mengurangi efek 1,25-
Dihidroksivitamin D pada ekskresi fosfat. Bila tidak ada efek kuat hormon
paratiroid, ginjal mampu memberi respon terhadap 1,25-dihidroksi vitamin D
dengan pengambilan semua fosfat yang difiltrasi.
3. Natrium
Natrium diabsorpsi di usus halus secara aktif (membutuhkan energi), lalu dibawa
oleh aliran darah ke ginjal untuk disaring kemudian dikembalikan ke aliran darah
dalam jumlah cukup untuk mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan
natrium akan dikeluarkan melalui urin yang diatur oleh hormon aldosteron yang
dikeluarkan oleh kelenjar adrenal jika kadar natrium darah menurun.
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan
untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan volume cairan tubuh. Pengeluaran natrium juga terjadi lewat
pengeluaran keringat dan tinja dalam jumlah kecil. Kekuran natrium dari rute-rute
ini dapat mengakibatkan kematian pada kasus berkeringat dan diare yang
berlebihan. Ingesti natrium dipengaruhi oleh rasa dan dorongan homeostatis
(selera terhadap garam) untuk mempertahankan keseimbangan natrium. Hewan
mempunyai dorongan untuk memakan garam yang di picu oleh natrium plasma
yang rendah (Sectiono, 2004).
4. Magnesium
5. Potassium
Penyerapan potassium terutama terjadi di usus halus non ruminansia oleh proses
yang tidak teratur. Pada ruminansia penyerapan potassium diabsorpsi secara pasif
saat memasuki rumen, selama proses ini terjadi penurunan perbedaan potensial
apikal pada permukaan mukosa. Potassium memasuki aliran darah sebagian besar
melalui membran basolateral dari mukosa usus.
Membran Transport
Ada mekanisme yang lebih baik untuk mengangkut potassium melintasi membran
dibandingkan unsur lainnya, tetapi pada dasarnya mempertahankan konsentrasi
intraseluler potassium tetap tinggi. Selain itu, potassium juga sebagai pompa
ATPase dan co-transporter, terdapat ATPase dari hidrogen/potassium dan enam
jenis saluran potassium, masing-masing mempunyai ciri khasnya masing-masing
(Peterson, 1997). Penyesuaian short-term untuk pasokan fluktuasi potassium dapat
dibuat melalui perubahan fluks potasium kedalam sel, di bawah pengaruh insulin
(Lindeman dan Pederson, 1983). Selanjutnya diperlukan untuk regulasi yang
terletak pada sitotoksitas pada level sirkulasi potassium yang tinggi.
Eksresi
Peraturan status potasium tubuh dilakukan oleh ginjal, dimana reabsorpsi tubular
dibatasi jika berlebihan dibawah pengaruh aldosteron ( Kem dan Trachwsky,
1983). Namun adaptasi terhadap potasium yang masuk dimulai pada usus, dimana
sensor splanknikus memberikan peringatan dini dari jumlah konsumsi yang
berpotensi mematikan (Rabinowitz, 1988). Respon terhadap sensor melibatkan
peningkatan aktivitas ion ATPase natrium/potassium dan peningkatan jumlah
pemompaan di membran basolateral pada tubulus distal ginjal dan usus yang
menyebabkan peningkatan ekskresi potassium pada rute saluran kemih dan fases.
Seksresi
Zat besi diserap di dalam duodenum dan jejunum bagian atas melalui proses yang
kompleks. Proses ini meliputi tahap – tahap utama sebagai berikut :
a. Besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk Fe3+ atau Fe2+
mula – mula mengalami proses pencernaan.
b. Di dalam lambung Fe3+ larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh
gastroferin dan direduksi menjadi Fe2+.
c. Di dalam usus Fe2+ dioksidasi menjadi FE3+. Fe3+ selanjutnya berikatan
dengan apoferitin yang kemudian ditransformasi menjadi feritin, membebaskan
Fe2+ ke dalam plasma darah.
d. Di dalam plasma, Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ dan berikatan dengan
transferitin. Transferitin mengangkut Fe2+ ke dalam sumsum tulang untuk
bergabung membentuk hemoglobin. Besi dalam plasma ada dalam
keseimbangan.
e. Transferrin mengangkut Fe2+ ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam
tubuh (hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian
dioksidasi menjadi Fe3+. Fe3+ ini bergabung dengan apoferritin membentuk
ferritin yang kemudian disimpan, besi yang terdapat pada plasma seimbang
dengan bentuk yang disimpan.
Pengangkutan dan Penyimpanan Besi
Ketika besi diabsorbsi dari usus halus menuju ke plasma darah, besi tersebut
bergabung dengan apotransferin membentuk transferin, yang selanjutnya diangkut
dalam plasma darah. Besi dan apotransferin berikatan secara longgar, sehingga
memungkinkan untuk melepaskan partikel besi ke sel jaringan dalam tubuh yang
membutuhkan. Absorbsi besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh.
Absorbsi besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya jika cadangan besi
rendah absorbsi besi ditingkatkan.
Setelah itu, besi dalam tranferin di plasma darah masuk ke dalam sumsum tulang
untuk pembentukan eritrosit dan hemoglobin. Besi yang berlebih akan bergabung
dengan protein apoferritin, membentuk ferritin dan disimpan dalam sistem
retikuloendotelial (RE). Oleh karena apoferritin mempunyai berat molekul besar,
460.000, ferritin bisa mengikat sejumlah besar besi. Besi yang disimpan sebagai
ferritin disebut besi cadangan. Ditempat penyimpanan, terdapat besi yang
disimpan dalam jumlah yang sedikit dan bersifat tidak larut, yang disebut
hemosiderin.
Bila jumlah besi dalam plasma sangat rendah, besi yang terdapat dipenyimpanan
ferritin dilepaskan dengan mudah ke dalam plasma, dan diangkut dalam bentuk
transferin dan kembali ke sumsum tulang untuk dibentuk eritrosit. Bila umur
eritrosit sudah habis dan sel dihancurkan, maka hemoglobin yang dilepaskan dari
sel akan dicerna oleh sistem makrofag-monosit. Disini terjadi pelepasan besi
bebas, dan disimpan terutama di tempat penyimpanan ferritin yang akan
digunakan untuk kebutuhan pembentukan hemoglobin baru.
7. Zink
Seperti halya besi, zink diabsorpsi relatif sedikit. Dari konsumsi zink 4-14
mg/hari, hanya 10-40 %-nya yang diabsorpsi. Absorpsi menurun dengan adanya
agen pengikat atau kelat sehingga mineral tersebut tidak terserap. Zink berikatan
dengan ligan yang mengandung sulfur, nitrogen atau oksigen. Zink membentuk
kompleks dengan fosfat (PO4), klorida (Cl-) dan karbonat (HCO3). Buffer N-2-
hydroxyethyl-pysera-zine-N′-2-ethanesulfonic acid (HEPES) berefek kecil
terhadap ikatan zink dengan ligan tersebut. Zink dapat berikatan dengan ligan
tersebut dan diekskresikan melalui feces. Orang yang menderita geophagic
dan/atau yang mengkonsumsi makanan tinggi fitat (khususnya produk sereal)
berresiko defisiensi zink. Oberleas (1993) diacu dalam Berdanier (1998) telah
memperhitungkan bahwa diet dengan rasio fitat dan zink lebih besar daripada 10,
menyebabkan defisiensi zink, tanpa memperhatikan jumlah total zink dalam diet
tersebut. Pada sistem pencernaan, mineral dicerna di usus halus.
8. Tembaga
Unsur tembaga yang terdapat dalam makanan melalui saluran pencernaan diserap
dan diangkut melalui darah. Segera setelah masuk peredaran darah, unsur tembaga
akan berikatan dengan protein albumin. Kemudian diantarkan dan dilepaskan
kepada jaringan-jaringan hati dan ginjal lalu berikatan dengan protein membentuk
enzim-enzim, terutama enzim seruloplasmin yang mengandung 90 – 94%
tembaga dari total kandungan tembaga dalam tubuh. Ekskresi utama unsur ini
ialah melalui empedu, sedikit bersama air seni dan dalam jumlah yang relatif kecil
bersama keringat dan air susu. Jika terjadi gangguan-gangguan pada rute
pembuangan empedu, unsur ini akan diekskresi bersama air seni (INOUE et al.,
2002).
9. Selenium
Metabolisme selenium
Pemecahan antara absorbsi selenium dan ketersediaan selenium mengakibatkan
perbedaan besar dalam post-absorbsi metabolism antara selenomethionin dan
sumber lain selenium (burk et al., 2001). Hal ini menimbulkan efek pada retensi
selenium, ekskresi dan transfer pada plasenta dan mammary.
Jalur terpisah
Sebagian besar disimpan dalam otot (putih et al., 1988) dan selenium
dipertahankan dalam hati dan ginjal yang berikatan dengan protein (ehlig et al.,
1967). Sebaliknya, clearance selenocytine atau selenium anorganik terlalu cepat.
Masuknya seleniumcytin ke dalam eritrosit cytosolic glutasi peroksidasi(GPX)
terjadi pada eritropoiesis dan terjadi lag sebelum hasil GPX dilepaskan pada aliran
darah. Selenomethionin, disisi lain dapat dimasukkan kedalam eritrosit sebagai
methionin dalam hemoglobin (beilstein dan whanger, 1986). Beberapa transfer
selenium dari selenomethionin ke selenocystine terjadi selama transsilverasi atau
transaminasi kecuali dan sampai hal tersebut terjadi, selenomethionin (bukan
selenocystine) dipengaruhi oleh pasokan dan kebutuhan methionin. Jika konsumsi
kekurangan methionin, suplementasi selenomethionin dengan selenomethionin
dapat meningkatkan selenium dalam jaringan selama penurunan aktivitasi GPX
(Waschulewski dan sunde, 1988) pada saat kebutuhan methionin tinggi seperti
pada awal laktasi dan masa penyapihan. Pada ruminansia, metabolism selenium
akan berlangsung dipengaruhi oleh pengurangan sulfur dan pasokan nitrogen dan
faktor lain yang mempengaruhi sintesis mikroba pada rumen.
Vitamin yang larut lemak atau minyak, jika berlebihan tidak dikeluarkan oleh,
tubuh, melainkan akan disimpan. Sebaliknya, vitamin yang larut dalam air, yaitu
vitamin B kompleks dan C, tidak disimpan, melainkan akan dikeluarkan oleh
sistem pembuangan tubuh. Akibatnya, selalu dibutuhkan asupan vitamin tersebut
setiap hari. Vitamin yang alami bisa didapat dari sayur, buah dan produk hewani.
Seringkali vitamin yang terkandung dalam makanan atau minuman tidak berada
dalam keadaan bebas, melainkan terikat, baik secara fisik maupun kimia. Proses
pencernaan makanan, baik di dalam lambung maupun usus halus akan membantu
melepaskan vitamin dari makanan agar bisa diserap oleh usus. Vitamin larut
lemak diserap di dalam usus bersama dengan lemak atau minyak yang
dikonsumsi.
Vitamin diserap oleh usus dengan proses dan mekanisme yang berbeda. Terdapat
perbedaan prinsip proses penyerapan antara vitamin larut lemak dengan vitamin
larut air. Vitamin larut lemak akan diserap secara difusi pasif dan kemudian di
dalam dinding usus digabungkan dengan kilomikron (lipoprotein) yang kemudian
diserap sistem limfatik, baru kemudian bergabung dengan saluran darah untuk
ditransportasikan ke hati. Sedangkan vitamin larut air langsung diserap melalui
saluran darah dan ditransportasikan ke hati. Proses dan mekanisme penyerapan
vitamin dalam usus halus diperlihatkan pada tabel berikut:
Adam, Moh. Awaludin. 2011. Metabolisme Mineral. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya.
Bauman DE, Lock AL. 2006. Concepts in lipid digestion and metabolism in dairy
cows. In: Eastridge ML, editor. Proceeding of Tri-State Dairy Nutrition
Conference. Indiana, 25-26 April 2006. Port Wayne (Indiana): The Oiho
State University. p. 1-14.
Harfoot CG, Hazlewood GP. 1997. Lipid metabolism in the rumen. In: Hobson
PN, Stewart CS, editors. The rumen microbial ecosystem. London (UK):
Chapman & Hall. p. 382-426.
Indrasari, Siti Dewi dkk. Kandungan Mineral Varietas Unggul Baru. Jawa barat:
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Lock AL, Harvatine KJ, Drackley JK, Bauman DE. 2006. Concepts in fat and
fatty acid digestion in ruminants. In: Proceedings Intermountain Nutrition
Conference. New York (USA): Cornell University. p. 85-100
Rianto, E dan Endang Purbowati . 2011. Panduan Lengkap Sapi Potong. Bogor :
Penebar Swadaya.
Soebarinoto, S. Chuzaemi dan Masudi. 1991. Ilmu Gizi Ruminansia. Jurusan
Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Malang
Suttle dan Neville,F. 2010. Mineral Nutrition Of Livestock, 4th Edition. Uk: MPG
Books Group.