Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan per-ekonomian nasional dan dinamika peru-
bahan yang terjadi disebabkan oleh kema-juan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah menghasilkan berbagai produk barang dan/atau jasa yang dipasarkan
secara bebas dan dapat dikonsumsi oleh konsumen. Kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan, tekhnologi, dan informatika juga turut mendukung perluasan
ruang gerak tran-saksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas
wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat ber-manfaat
bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa
yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk
menjatuhkan pilihan terhadapberbagai jenis barang dan/atau jasa yang
diinginkan.
Disisi lain tidak menutup kemung-kinan kondisi dan fenomena tersebut
dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak
seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha
melalui produk yang dihasilkan tidak memenuhi syarat kesehatan dan
keamanan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidik-an
konsumen, dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.
Keduduk-an konsumen pada umumnya masih lemah dalam bidang ekonomi,
pendidikan, dan daya tawar, karena itu sangatlah dibutuh-kan adanya undang-
undang yang melin-dungi kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.

Dalam upaya untuk mewujudkan hubungan antara pelaku usaha dengan


kon-sumen, perlu ditingkatkan suatu penye-lenggaraan perlindungan
konsumen, se-hingga pemerintah perlu menuangkan perlindungan konsumen
dalam suatu pro-duk hukum.Hal ini penting karena hanya hukum yang
memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha untuk mentaatinya, dan juga
hukum memiliki sanksi yang tegas. Mengingat dampak penting yang dapat
ditimbulkan akibat tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya
mengutamakan keuntungan dari bisnisnya sendiri, sehingga pemerintah
memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen yang posisinya memang
lemah, di samping ketentuan hukum yang melindungi kepen-tingan konsumen
belum memadai. (Penje-lasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, tentang
Perlindungan Konsumen) Hal ini menunjukan bagaimana keter-batasan
kemampuan hukum dalam melin-dungi kepentingan konsumen.
Perlindungan konsumen adalah se-gala upaya yang menjamin adanya kepas-
tian hukum untuk memberikan perlin-dungan kepada konsumen. (Pasal 1
angka 1 Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen).

Peraturan hukum perlindungan kon-sumen tidak dimaksudkan untuk


memati-kan usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim
berusaha yang sehat dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga dapat melahirkan peru-sahaan
yang tangguh dalam menghadapi persaingan.

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sengketa Konsumen
UU Perlindungan Konsume n disingkat (UUPK) tepatnya Pasal 1
angka 2 Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen , menyatakan konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepen tingan d
iri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Secara umum konsumen dapat dibed akan kepada dua kelompok,
yaitu : Pertama, konsumen yang menggunakan barang/ jasa untuk
keperluan komersial (intermediate consumer, intermediate buyer,
derived buyer, consumer of industrial market ) . Kedua, konsumen yang
mengguna kan barang/ jasa untuk keperluan diri sendiri/ keluarga/ non
komer - sial ( ultimate consumer, ultimate buyer, end user, final consumer,
consumer of the consumer market ) .
Menurut Shidarta sengketa konsumen adalah sengketa berkena - an
dengan pelanggaran hak – hak konsumen. Lingkupnya mencakup
semua segi hukum baik keperdata - an, pidana maupun tata usaha
negara. Oleh karena itu tidak digunakan istilah “sengketa tran - saksi
konsumen” karena yang terakhir terkesan lebih sempit, yang hanya
mencak up aspek hukum keperdataan saja (Shidarta, 2004 : 165) .
Sedangkan Az. Nasution me - ngemukakan, sengketa konsumen
adalah setiap perselisihan antara konsumen dengan penyedia prod uk
konsumen (barang dan/atau jasa konsumen) dalam hubungan hukum satu
sama lain, mengenai produk konsumen tertentu ( Az. Nasution, 1995 :
178 ).
Sengketa ini dapat menyangkut pemberian sesuatu, berbuat sesuatu, atau
tidak berbuat sesuatu se - bag aimana diatur dalam Pasal 1233 j o 1234
KUH Perdata atau dapat pula berbagai kombinasi dari prestasi tersebut.
Objek sengketa konsumen dalam hal ini dibatasi hanya menyangkut
produk konsumen yaitu barang atau jasa yang pada umumnya
digunakan untuk ke - perlua n rumah tangganya dan tidak untuk tujuan
komersial.

B. Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen


Pasal 23 UUPK menyebutkan bahwa apabila pelaku usaha pabrik - an
dan/atau pelaku usaha distri - butor menolak dan/atau tidak memberi
tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen,
maka konsumen diberi - kan hak untuk menggugat pelaku usaha dan
menyelesaikan perselisih - an yang timbul melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) atau dengan cara mengaju - kan gugatan ke
badan peradilan di tempat kedudukan konsumen tersebut.
Hal tersebut senada dengan Pasal 45 UUPK yang menyebutkan :
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum .
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadil - an
atau di luar pengadilan ber - dasarkan pilihan sukarela pihak yang
bersengketa.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana diatur dalam Undang undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan me - lalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Undang-Undang No 8 tahun 1999 membagi penyelesaian sengketa


konsumen menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Penyelesaian sengketa kon-sumen sebagaimana dimaksud pada Pasal


43 Ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan di-lakukannya
penyelesaian secara damai oleh para pihak yang ber-sengketa, yaitu
pelaku usaha dan konsumen, tanpa melalui penga-dilan atau badan
penyelesaian sengketa konsumen, dan sepan-jang tidak bertentangan
dengan undangundang perlindungan kon-sumen. Bahkan dalam
penjelasan pasal tersebut dikemukakan bah-wa pada setiap tahap
diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah
pihak yang bersengketa. Dalam penje-lasan Pasal 45 Ayat (2) UUPK
dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai,
merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan
oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk
menyelesaikan sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan.

2. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri dan penye-
lesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui BPSK
dengan menggunakan mekanisme me-lalui konsiliasi, mediasi atau
arbitrase.
Pemerintah membentuk suatu badan baru, yaitu Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen/ BPSK, untuk penyelesaian seng-keta konsumen di
luar pengadilan. Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa
konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena
undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja BPSK
wajib memberikan putusannya (Pasal 55 UUPK). Mudah karena prosedur
adminis-tratif dan prosedur pengambilan putusan yang sangat sederhana,
Murah karena biaya perkara yang terjangkau. (Yusuf Shofie dan Somi
Awan, 2004: 17).
Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat
mengadukan masalahnya kepada BPSK, baik secara langsung, diwakili
kuasanya maupun oleh ahli warisnya. Pengaduan yang disampaikan oleh
kuasanya atau ahli warisnya hanya dapat dilakukan apabila konsumen
yang bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia,
belum dewasa atau warga negara asing.
Pengaduan tersebut dapat disampai-kan secara lisan atau tulisan
kepada sekretariat BPSK di kota/kabupaten tempat domisili konsumen
atau di kota/kabupaten terdekat dengan domisili konsumen.

Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan


sematamata untuk menca-pai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti kerugian dan/atau menge-nai tindakan tertentu untuk menjamin
tidak akan terulang kembali kerugian yang direrita oleh konsumen. (Pasal
47 UUPK).
Ukuran kerugian materi yang dialami konsumen ini didasarkan pada
besarnya dampak dari penggunaan produk barang/ jasa tersebut terhadap
konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah berupa pernyataan
tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan
yang telah merugikan konsumen tersebut. Pada prinsipnya penyelesaian
sengketa konsumen diusahakan dapat dilakukan secara damai, sehingga
dapat memuaskan para pihak yang bersengketa (win-win solution).
Faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan sengketa di luar
pengadilan juga mempunyai kadar yang berbeda-beda, yaitu:
1. Apakah antisifasi dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan
wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat suka rela.

2. Apakah putusan dibuat para pihak sendiri atau pihak ketiga.

3. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal.

4. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para


pihak sendiri yang tampil,

5. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau


ada kriteria lain,

6. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak.


Selanjutnya, dikemukakan bahwa tidak semua model penyelesaian
sengketa di luar pengadilan/alternatif baik untuk para pihak yang
bersengketa. Suatu penye-lesaian sengketa alternatif yang baik setidak-
tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Haruslah efisien dari segi waktu

2. Haruslah hemat biaya,

3. Haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya tidak


terlalu jauh,

4. Haruslah melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa,

5. Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur,

6. Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya


di masyarakat dan para pihak yang bersengketa,

7. Putusannya harus pinal dan mengikat,

8. Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi,

9. Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari


komunitas di-mana penyelesaian sengketa dilak-sanakan.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diatur dalam UU
No. 8 Tahun 1999 Junto Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang
Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Proses penyelesaian-nya pun diatur sangat sederhana dan se-
jauh mungkin dihindari suasana yang formal.

C. Peran, Penyelesaian Serta Fungsi BPSK


BPSK merupakan salah satu lembaga yang dapat dijadikan alternatif
pencari keadilan bagi para konsumen yang merasa hak hukumnya
dirugikan karena pemakaian produk barang dan jasa. Dalam Pasal 1
angka 11 Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen , BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Secara
khusus, fungsi BPSK adalah sebagai alternatif penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, dan lembaga ini di bentuk di
kabupaten/kota. Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK , adapun tugas dan wewenang
BPSK meliputi:
1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengke ta konsumen
dengan cara konsiliasi, mediasi, atau arbitrase;
2. Memberikan konsultasi perlin - dungan konsumen;
3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klasula baku;
4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelang - garan ke
tentuan dalam Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ;
5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlin - dungan
konsumen;
6. Melakukan penelitian dan pemerikasaan sengketa perlindungan
konsumen;
7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelang -
garan terhadap undang - undang perlindungan konsumen;
8. Memanggil dan men ghadirkan saksi, saksi ahli dan / atau setiap
orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang -
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ;
9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK ;
10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan/atau p e meriksaan;
11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlin - dungan konsumen;
13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

Anggota BPSK terdiri dari unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur
pelaku usa ha. Anggota setiap unsur berjumlah sedikit - dikitnya 3
(tiga) orang dan sebanyak - banyaknya 5 (lima) orang. Pengangkata dan
pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan lebih
lanjut mengenai pembentukan BPSK diatur dalam Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001. Adapun mengenai
pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Surat Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001.
Untuk pertama kali pembentukan BPSK diatur dalam Surat Keputusan
Men teri Perindustrian dan Perda - gangan Republik Indonesia Nomor
605/MPP/8/2002 tanggal 29 Agus - tus 2002 tentang Pengangkatan
Anggota BPSK pada pemerintah kota Makassar, kota Palembang, kota
Surabaya, kota Bandung, kota Semarang, kota Yogyakarta dan kota Medan.

Sesuai Pasal 19 ayat (1) UUPK bahwa pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugi an
konsumen akibat meng - konsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut harus dilaksana - kan dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Hal ini sesuai yang
ditetapkan dalam Pasal 19 ayat (2) bahwa p emberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari ini ternyata pelaku usaha memberikan
ganti rugi, maka tidak akan terjadi sengketa konsumen. Namun,
sebaliknya apabila dalam w aktu 7 (tujuh) hari ini pelaku usaha tidak
memberikan ganti rugi, maka akan terjadi sengketa konsumen.
Konsumen yang dirugikan akan melakukan upaya hukum dengan cara
menggugat pelaku usaha.
D. Tatacara Pendaftaran Perkara dan Penyelesaiannya di BPSK
Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK, baik secara
tertulis maupun lisan melalui sekretariat BPSK. Permohonan
tersebut dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya
apabila konsumen meninggal d unia, sakit atau telah
berusia lanjut, belum dewasa, atau orang asing (warga negara
asing). Permohonan yang diajukan secara tertulis yang diterima
oleh BPSK dikeluarkan bukti tanda terima oleh sekretariat BPSK
kepada pemohon. Permohonan yang diajukan secar a tidak
tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dalam suatu format
yang disediakan, dan dibubuhi tanda tangan atau cap
stempel oleh konsumen, atau ahli warisnya atau kuasanya , (
Konsumen yang m erasa hak hukumnya dirugikan dalam hal tidak
bisa datang sendiri ke BPSK dapat diwakili oleh ahli waris, atau
kuasanya dalam keadaan konsumen meninggal dunia, sakit atau
telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan
sendiri baik secara tertulis maupun lisan, se - bagaimana
dibuktikan dengan surat keterang an dokter dan bukti Kartu
Tanda Penduduk (KTP), belum de - wasa sesuai dengan
peraturan perundang - undangan yang berlaku; atau orang asing
(Warga Negara Asing). Lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 15 atat
(3) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 Ten - tang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK ) , dan kepada pe -
mohon diberikan bukti tanda terima. Berkas permohonan tersebut,
baik tertulis maupun tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dan
dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Dalam Pasal 16 Keputusan
M enteri Per - industrian dan Perdagangan Repub - lik Indonesia
Nomor: 350/MPP/ Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang BPSK , permohonan penyelesaian sengketa
konsumen secara tertulis harus memuat secara benar dan
lengkap mengenai:
1. Nama dan alamat lengkap kon - sumen, ahli waris atau
kuasanya disertai bukti diri;
2. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha;
3. Barang atau jasa yang diadukan;
4. Bukti perolehan (bon, kwitansi dan dokumen bukti lain);
5. Keterangan tempat, waktu , dan tanggal diperoleh barang dan
jasa tersebut;
6. Saksi yang mengetahui barang dan jasa tersebut diperoleh;
7. Foto - foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.

Dalam hal permohonan di - terima, maka dilanjutkan dengan


persidangan. Ketua BPSK memang - gil pelaku usaha secara tertulis
disertai dengan copy permohonan penyelesaian sengketa konsumen,
selambat - lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan
penyelesaian sengketa diterima se - cara benar dan lengkap. Dalam surat
panggilan dicantumkan sec ara jelas mengenai hari, jam , dan tempat
persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan surat
jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan disampai - kan pada
hari persidangan pertama, yang dilaksanakan selambat - lambat - nya pada
hari kerja ke-7 (tujuh) terhitung sejak diterimanya permo - honan
penyelesaian sengketa kon - sumen oleh BPSK. Majelis bersidang pada
hari, tanggal dan jam yang telah ditetapkan, dan dalam per - sidangan
majelis wajib menjaga ketertiban jalannya persidangan.

Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan


dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang
bersengketa dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.

Majelis dalam menyerahkan sengketa konsumen dengan cara konsiliasi


mempunyai tugas:
1. Memangggil konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan
2. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
3. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha, perihal
peraturan perundang - undangan di bidang perlindungan konsumen;

Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi


adalah:

1. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa


kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik
mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;
2. Majelis bertindak sebagai konsiliator;

3. Majelis menerima hasil musya warah konsumen dan pelaku usaha


dan mengeluarkan keputusan;

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar


pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan
penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Dalam persidangan
dengan cara mediasi, majelis dalam menyelesaikan sengketa dengan cara
mediasi, mempunyai tugas:

1. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;


2. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
3. Menyediakan forum bagi konsu - men dan pelaku usaha yang
bersengketa;
4. Secara aktif mendamaikan konsu - men dan pelaku usaha yang
bersengketa;
5. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian seng -
keta konsumen sesuai dengan peraturan perundang - undangan di
bidang perlindungan konsumen.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi
adalah:

1. Majelis menyer a hkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kon -


sumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai ben - tuk
maupun jumlah ganti rugi;
2. Majelis bertindak aktif sebagai m ediator dengan memberikan
nasihat, petunjuk, saran , dan upaya - upaya lain dalam menye - lesaikan
sengketa;
3. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku
usaha dan mengeluarkan kekuatan;

Dalam Pasal 1 angka 11 Keputusan Menteri Perindustrian dan


Perdagangan Republik Indo - nesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/ 2001 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK , arbitrasi adalah proses
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini
para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuh - nya penye lesaian
sengketa kepada BPSK. Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan
cara arbitrasi, para pihak memilih arbitrator dari anggota BPSK yang
berasal dari unsur pelaku usaha, unsur pe - merintah dan konsumen
sebagai anggota majelis. Arbitrator yang dipilih oleh para pihak,
kemudian memilih arbitrator ke tiga dari anggota BPSK yang berasal dari
unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Di dalam persidangan wajib
memberikan petunjuk kepada kon - sumen dan pelaku usaha yang
bersangkutan. Dengan izin ketua majelis, konsumen dan pelaku usaha yang
bersangkutan dapat mem - pelajari semua berkas yang berkaitan dengan
persidangan dan membuat kutipan seperlunya.

Pada hari persi dangan 1 (per - tama), ketua majelis wajib men - damaikan
kedua belah pihak yang bersengketa, dan bilamana tidak tercapai
perdamaian, maka per - sidangan dimulai dengan membaca - kan isi
gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usah a . Ketua majelis
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa untuk menjelaskan hal - hal yang di per sengketakan.

Pada hari persi dangan 1 (per - tama) sebelum pelaku usaha mem - berikan
jawabannya, konsumen da - pat mencabut gugatannya dengan membuat
surat pernyataan. Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen, maka dalam
persi dangan, pertama majelis wajib mengumu mkan bahwa gugatan dicabut.
Apabila dalam proses penyelesaian sengketa kon - sumen terjadi
perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha ya n g bersengketa, majelis
membuat pu - tusan dalam bentuk penetapan perdamaian.

Dalam hal pelaku usaha dan konsumen tidak hadir pada hari
persidangan 1 (pertama) majelis memberikan kesempatan terakhir
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan 2
(kedua) dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Persidangan ke 2
(kedua) diselenggarakan selambat - lambatnya da lam waktu 5 (lima) hari kerja
terhitung sejak hari persidang - an 1 (pertama) dan diberitahukan dengan
surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh sekretariat
BPSK. Bilamana pada persidangan ke 2 (dua), konsumen tidak hadir,
maka gugatannya dinyata kan gugur demi hukum, sebalikmya bila pelaku
usaha yang tidak hadir, maka gugatan kon - sumen dikabulkan oleh
majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.

Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan konsiliasi atau mediasi


dibuat dalam perjanjian tertulis yang dit anda tangani oleh konsumen
dan pelaku usaha. Perjanjian tertulis dikuatkan dengan keputusan majelis
yang ditanda - tangani oleh ketua dan anggota majelis. Begitu juga,
hasil penye - lesaian konsumen dengan cara arbitrasi dibuat dalam
bentuk putusan majelis ya ng ditanda - tangani oleh ketua dan anggota
majelis. Putusan majelis adalah putusan BPSK. Dalam Pasal 40
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor: 350/MPP/Kep/12/ 2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan
Wewenang BPSK, putusan BPSK dapat berupa:

1. Perdamaian;
2. Gugatan ditolak ; dan
3. Gugatan dikabulkan.

Dalam hal guga tan dikabulkan, maka amar putusan ditetapkan


kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Kewajiban
tersebut berupa pemenuhan:

1. Ganti rugi;
2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.
200. 000.000 (dua ratus juta rupiah), sebagaimana di - tuangkan
dalam Pasal 14 Ke - putusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indo - nesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/ 2001
Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK .

Ketua BPSK memberitahukan putusan majelis secara tertulis kepada


alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat -
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Dalam
waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putu san BPSK
diberitahukan, konsumen dan pe - laku usaha yang bersengketa wajib
menyatakan menerima dan menolak putusan BPSK. Konsumen dan pe -
laku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri selambat - lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK dibacakan.
Tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK diatur dalam
Pe - raturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006. Di sisi lain,
pelaku usaha yang menyatakan menerima putusan BPSK, wajib me
laksanakan putusan tersebut selambat - lambat - nya dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak menyatakan mene - rima putusan BPSK.
Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan
keberatan, setelah batas waktu 7 (tujuh) hari dianggap mene rima putusan
dan wajib me - laksanakan putusan selambat - lam - batnya 5 (lima)
hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui.
Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya, maka BPSK
menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melak ukan
penyidikan sesuai de - ngan ketentuan perundang - undang - an yang
berlaku.

Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah


mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terhadap perbuatan BPSK,
dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada pengadilan negeri di
tempat konsumen yang dirugikan. Eksekusi atau pelaksanaan sudah
mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau menaati
putusan itu secara sukarela, se - hingga putusan harus dipaksakan
kepadany a dengan bantuan kekuat - an hukum (R. Subekti, 1989 : 130).
Penetapan eksekusi diatur juga dalam Pasal 7 Perma Nomor 1
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Pu -
tusan BPSK .

Dalam Pasal 7 PERMA No 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara


Pengajuan Keberatan Terhadap Pu - tusan BPSK dinyatakan bahwa kon -
sumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang
tidak diajukan keberatan kepada pengadilan negeri di tempat ke -
dudukan hukum konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah
hukum BPSK yang mengeluarkan putusan. Permohonan eksekusi atas
putusan BP SK yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, ditetap -
kan oleh pengadilan negeri yang memutus perkara keberatan ber -
sangkutan.

Pengadilan negeri wajib me - ngeluarkan putusan atas keberatan dalam


waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diter imanya
keberatan. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, para pihak
dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi
ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
permohonan kasasi.

E. Kasus Sengketa Konsumen

KASUS SENGKETA ANTARA PT ULTRAJAYA MILK INDUSTRY &


TRADING COMPANY TBK. MELAWAN RINI TRESNA SARI

BANDUNG, KOMPAS.com
Seorang Ibu, Rini Tresna Sari (46) mengadukan salah satu produsen susu kemasan
ke Badan Penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) kota Bandung, Jln. Mataram
No.17 Kecamatan Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (22/2/2016).
Anak Rini yakni A (7), diduga mengalami keracunan setelah meminum produk
susu kemasan dengan merk tertentu tersebut, selain itu ditemukan benda aneh
yang menyerupai bagian kaki katak dari dalam bungkus susu kemasan itu. Rini
mengatakan, anaknya mengalami beberapa hal setelah minum susu kemasan
tersebut. Ia yang sempat merasakan setetes susu kemasan tersebut pun merasakan
efek yang tak biasa. Menurut dia, mulutnya terasa gatal meski hanya merasakan
setetes sisa susu kemasan tersebut, " sekitar 10 menit terasa gatal. Saya lihat anak
saya, bibirnya tebal dan gusinya bengkak. Kemudian anak saya demam dan batuk-
batuk. Tapi tidak langsung saya bawa ke Rumah Sakit karena kalau dokter kan
tunggu gejala klinis dulu. Pada malamnya badan anak saya merah," ujar Rini
kepada wartawan di kantor BPSK Kota.
Rini mengatakan anaknya baru dibawa ke Rumah Sakit Advent sore setelah
berkonsultasi dengan sejumlah dokter. Didiagnosa keracunan makanan, anaknya
pun terpaksa dirawat di Rumah Sakit hingga 1 Februari 2016. " Pada 1 Februari
2016 sudah boleh pulang, tapi tidak berarti sembuh karena harus tetap terapi obat
dan monitoring dokter," ujar Rini.
Rini mengaku, langsung melakukan komunikasi dengan salah satu produsen susu
kemasan tersebut. Ia menghubungi nomor layanan konsumen yang tertera pada
bungkus susu kemasan itu. Awalnya keluhannya mendapatkan respon yang cukup
baik hingga akhirnya terjadi ketidaksepakatan. "Awalnya sempat melakukan
pertemuan dan ada sejumlah hasil dari pertemuan. Namun, Jum'at 19 Februari
2012, ada deadclock sehingga kami laporkan ke pihak yang berwenang," kata
Rini.
Ini bisa jadi merupakan sebuah isu yang dapat mengakibatkan terjadinya krisis
kepercayaan publik terhadap produk-produk PT. Ultrajaya Milk
Industry&Treading Co Tbk namun presiden direktur dari PT. Ultrajaya Milk
Industry dengan cepat mampu memberikan klarifikasi terhadap apa yang
sebenarnya terkandung dalam salah satu produk tersebut.
Prawirawidjaja mengatakan tak ada benda asing didalam produk kemasan susu
cair. Pernyataan itu dikatakan Sabana terkait soal adanya komplain dari seorang
konsumen asal warga Kota Bandung yang menemukan spesimen menyerupai kaki
katak didalam salah satu produk susu cair rasa cokelat.
"Didalam kemasan tidak akan ada benda asing kecuali tukang sulap, diseluruh
dunia tidak ada. Mustahil ada benda asing yang bisa lolos dalam kemasan dan
produk Ultramilk," ucap Sabana dalam konferensi pers di Hotel Mason Pine, Kota
Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa
(1/3/2016). Menurut dia produk susu Ultramilk telah melewati proses Ultra High
Temprature (UHT) yang memastikan keamanan produk. Dia menambahkan,
kerusakan pada susu bisa terjadi pada saat kemasan sudah dibuka dan disimpan
lama dalam ruang terbuka atau mengalami kebocoran sangat kecil (micro
leaking). Hal itu diakibatkan penanganan atau penyimpanan yang kurang tepat.
"Kontaminasi yang terjadi setelah produk lolos uji kendali mutu dari pabrik yang
disebabkan oleh faktor dari luar tersebut sulit dikontrol oleh produsen susu,"
tambahnya.
Sementara itu Plant Manager PT. Ultrajaya Azwar M Muhthasawwar
menerangkan, hasil uji mikroskopis terhadap potongan padat yang diterima dari
konsumen baik dari segi tekstur, aroma, maupun struktur sel menunjukkan
padatan tersebut berupa susu cokelat yang rusak. "Benda itu dikasih sepotong ke
pabrik, yang bisa kita analisis dia mengandung fat, protein cokelat, dan benda lain
yang masih dianalisis. Itu bukan benda asing, itu bukan fragmen hewan."
Jelasnya.

Penyelesaian Sengketa yang dilakukan oleh BPSK antara Konsumen dan


Pelaku Usaha dalam Sengketa Susu Kemasan yang Tercemar
Bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam melindungi konsumen terhadap susu
kemasan yang tercemar adalah pelaku usaha bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dalam
hal ini PT Utrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk bersedia memberikan
ganti rugi berupa uang kepada pihak konsumen atas kerugian yang dialami
dikarenakan mengkonsumsi susu kemasan yaitu susu UHT hasil produksi PT
Ultrajaya Dairy Milk Industry & Trading Company Tbk.

Upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh BPSK antara konsumen dan
pelaku usaha dalam sengketa susu kemasan yang tercemar adalah pada mulanya
mengadakan prasidang dimana prasidang tersebut mempertemukan kedua pihak
yang sedang bersengketa untuk memilih bagaimana bentuk proses penyelesaian
sengketa nantinya. Kemudian kedua belah pihak sepakat untuk memilih
penyelesaian sengketa melalui sidang arbitrase, namun ketika sidang arbitrase
dilaksanakan belum menemukan titik temu mengenai besaran nominal biaya ganti
rugi. BPSK Kota Bandung mengadakan mediasi, yaitu usaha negosiasi yang
dimediasi oleh BPSK dimana kedua belah pihak melakukan musyawarah dengan
keikutsertaan aktif majelis hakim BPSK, termasuk memberikan penetapan. Upaya
mediasi tersebut membuahkan hasil besaran nominal biaya ganti rugi yang
disepakati oleh kedua belah pihak, dan hasil upaya tersebut diumumkan secara
resmi pada sidang arbitrase selanjutnya. Sehingga sengketa antara PT Ultrajaya
Dairy Milk Industry & Trading Company melawan Rini Tresna Sari berakhir
damai melalui upaya mediasi yang diadakan oleh BPSK Kota Bandung yang
disahkan dan diumumkan melalui sidang arbitrase.

Anda mungkin juga menyukai