BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit diare sering disebut dengan Gastroenteritis, yang masih merupakan
masalah masyarakat indonesia. Dan diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada anak di negara berkembang.
Gastroenteritis atau diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk
tinja yang encer dengan frekwensi yang lebih banyak dari biasanya (Mansjoer Arief dkk, 1999)
Diperkirakan angka kesakitan berkisar antara 150-430 per seribu penduduk setahunnya.
Dengan uapaya yang sekaranag telah dilaksanakan, angka kematian di RS dapat ditekan menjadi
kurang dari 3%. Dengan demikian di Indonesia diperkirakan ditemukan penderita diare sekitar 60
juta kejadian setiap tahunnya. Sebagian besar antara 70-80% dari penderita adalah anak dibawah
umur 5 tahun (kurang lebih 40 juta kejadian). Sebagian dari penderita (1-2%) akan jatuh kedalam
dehidrasi dan apabila tidak segera ditanggulangi dengan benar akan berakibat buruk. Untuk itu
saya tertarik membuat Asuhan Keperawatan Kepada Ny.’’S’’ umur 23 tahun dengan
Gastroenteritis di Balai Pengobatan “AS SYIFA” Desa Waru Kulon Pucuk Lamongan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Menetapkan dan mengembangkan pola pikir secara ilmiah kedalam proses asuhan Keperawatan
nyata serta mendapatkan pengalaman dalam memecahkan masalah pada Ny.”S” dengan
Gastroenteritis atau diare.
1.2.2 Tujuan khusus
1) Untuk mengetahui gambaran tentang kasus Gastroenteritis yang dialami oleh pasien Ny.”S”.
2) Untuk mengetahui alternatif pengobatan pada pasien dengan Gastroenteritis.
Daftar isi
Kata pengantar...................................................................................................................................i
Daftar isi............................................................................................................................................ii
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1 PENGKAJIAN
3.2 ANALISA DATA
3.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN
3.4 INTERVENSI
3.5 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
3.6 EVALUASI KEPERAWATAN
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Gastroenteritis atau diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk
tinja yang encer dengan frekwensi yang lebih banyak dari biasanya (Mansjoer Arief dkk, 1999)
Gastroenteritis adalah inflamasi pada daerah lambung dan intestinal yang disebabkan oleh
bakteri yang bermacam-macam, virus dan parasit yang patogen (Whaley dan wang’s, 1995)
2.2 Etiologi
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu :
a) Faktor infeksi
Infeksi internal adalah infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare
meliputi :
1) Infeksi Bakteri : vibrio E.coli Salmonella, Shigella, Campyio bacter, Aeromonas
2) Infeksi virus : Enteriviru ( virus echo, coxsacle, poliomyelitis ), Adenovirus, Astrovirus, dll
3) Infeksi parasit : Cacing (ascaris, trichuris, oxyguris) Protozoa (entamoeba histoticia,
trimonas hominis), Jamur (candida albacus)
Infeksi parental adalah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA),
Bronco pneumonia, dan sebagainya.
b) Faktor Malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat
2) Malabsorbsi Lema
c) Faktor Makanan
Makanan yang tidak bersih, basi, beracun dan alergi terhadap makanan.
2.3 Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare.
1) Gangguan asmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan mengakibatkan tekanan
asmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam
rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkan sehingga
timbul diare.
2) Gangguan sekresi
Akibat adanya rangsangan toksin pada dinding uterus sehingga akan terjadi peningkatan
sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat
peningkatan isi rongga usus.
3) Gangguan motilitas usus
Hiperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan
sehingga timbul diare. Bila peristaltik menurun akan menyebabkan bakteri tumbuh berlebihan,
sehingga timbul diare juga.
2.5 Patofisiologi
Dipengaruhi dua hal pokok yaitu konsistensi feses dan motilitas usus gangguan proses
mekanik dan enzimatik disertai gangguan mukosa akan mempengaruhi pertukaran air dan
elektrolit sehingga mempengaruhi konsistensi feses yang terbentuk.
2.6 Komplikasi
Akibat diare karena kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai
komplikasi sebagai berikut :
a) Dehidrasi
b) Renjatan hipofolomi
c) Hipokalemi
d) Hipoglikemi
e) Kejang, terjadi pada dehidrasi hipertonik
f) Malnutrisi energi protein (akibat muntah dan diare jika lama atau kronik)
2.7 Pengobatan
Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan atau
tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain
(gula,air tajin, tepung beras dan sebagainya).
1) Obat anti sekres
a) Asetosal, dosis 25 mg/th,dengan dosis minimum 30 mg
b) Klorpromazin, dosis 0,5-1 mg/kg BB/hr
2) Obat spasmolitik
Seperti papaverin, ekstrak beladona, opinum loperamid, tidak untuk mengatasi diare akut
lagi.
3) Antibiotik
Tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas, bula penyebab kolera, diberikan
tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hr. Juga diberikan bila terdapat penyakipenyerta seperti : OMA,
faringitis, bronkitis, atau bronkopneumonia ( Ngastiyah, 1997 : 149)
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Medik
Dasar pengobatan diare adalah pemberian cairan, dietetik (cara pemberian makanan) dan obat-
obatan.
Pemberian cairan
Pemberian cairan pada pasien diare dengan mempertahankan derajat dehidrasi dan keadaan umum.
1) Cairan per oral
Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan diberikan per oral beberapa cairan yang
berisikan NaCL,NaHCO3,KCL dan Glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas umur
6 bulan dengan dehidrasi ringan/sedang, kadar Natrium 50-60 mEg/1 formula lengkap sering
disebut oralit. Sebagai pengobatan sementara yang dibuat sendiri (formula tidak lengkap) hanya
air gula dan garam (NaCL dan sukrosa) atau air tajin yang diberi garam dan gula.
2) Cairan parental
Pada umumnya digunakan cairan Ringel laktat (RL) yang pemberiannya bergantung pada berat
ringannya dehidrasi, yang diperhitungkan dengan kehilangan cairan sesuai umur dan berat
badannya (Ngastiyah, 1997 : 146)
BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1 PENGKAJIAN
MRS : 02 Mei 2013 Jam : 18.00 WIB
No Ruangan :5
Pengkajian tanggal : 03 Mei 2013 Jam : 16.00 WIB
A.Identitas Pasien
Nama pasien : Ny.” S “
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 23 Tahun
Alamat : Ds.Waru kulon pucuk
Agama : islam
Pekerjaa : Swasta
Suku bangsa : Jawa
Diagnosa medic : Gastroenteritis
Yang bertanggung jawab
Nama : Tn. “ F “
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Ds. Waru Kulon Pucuk
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Hub. Dengan pasien : Ayah
B. Riwayat Kesehatan
I. Keluhan Utama
Saat MRS : Demam, diare, disertai muntah
Saat pengkajian : Klien mengatakan bahwa badannya terasa lemas, demam, disertai
muntah.
II. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu mengatakatan badannya panas 2 hari yang lalu, BAB 5x/hari warna kuning kehijauan
bercampur lendir, dan disertai dengan muntah 2x/hari, lalu dibawa ke Balai Pengobatan AS SYIFA
Desa Waru Kulon Pucuk Lamongan.
III. Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu mengatakan bahwa dahulu pernah sakit Diare 8x/hari tiap 1-2 jam sekali warna kuning,
disertai muntah, badan panas dan tidak mau makan.
IV. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu mengatakan dalam anggota keluarga ada yang perna mengalami sakit diare seperti yang
di alami klien.
V. Riwayat Sosial
Ibu mengatakan bahwa tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat penduduknya dan ingin
sekali cepat sembuh dan pulang kerumah.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : klien lemah, panas, muntah dan diare
Kesadaran : composmentis
TTV : Tensi 80/50 mmHg, Nadi 112x/mnt, suhu 390 C,RR 22x/mnt
Pemeriksaan Head to toe
a. Kepala : Bentuk kepala bulat, warna rambut hitam, tidak ada benjolan,kulit kepala bersih.
b. Mata : Simetris, tidak ada sekret, konjungtiva merah muda, sklera putih, mata
cowong.
c. Mulut : Mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis, lidah bersih.
d. Hidung : Simetris, tidak ada sekret, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada polip.
e. Telinga : Simetris, tidak ada benjolan, lubang telinga bersih, tidak ad serumen.
f. Leher : Tidak ada pembesaran kenjar tyroid, limphe, tidak ada bendungan vena
jugularis, tidak ada kaku kuduk.
g. Dada
Inspeksi : dada simetris, bentuk bulat datar, pergerakan dinding dada simetris, tidak
ada retraksi otot bantu pernapasan.
Palpasi : Tidak ada benjolan mencurigakan
Perkusi : paru-paru sonor, jantung dullnes
Auskultasi : Irama nafas teratur, suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
h. Perut
Inspeksi : simetris
Auskultasi : Peristaltik meningkat 40x/mnt
Palpasi : Turgor kulit tidak langsung kembali dalam 1 detik
Perkusi : Hipertimpan,perut kembung
Punggung : Tidak ada kelainan tulang belakang (kyfosis, lordosis, skoliosis) tidak ada nyeri
gerak.
Genetalia : jenis kelamin perempuan, tidak odem, tidak ada kelainan, kulit perineal kemerahan
Anus : Tidak ada benjolan mencurigakan,kulit daerah anus kemerahan.
Ekstremitas : Lengan kiri terpasang infus, kedua kaki bergerak bebas, tidak ada
odem.
Therapy :
1. Infus RL 15 tpm (750 cc) : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.
2. Injeksi Novalgin 3x1 amp (metampiron 500 mg/ml) : Golongan Analgesik
3. Injeksi Ulsikur 3x1 amp (simetidina 200mg/ 2ml) : Antasida dan Ulkus
4. Injeksi Cefotaxime 3x1 amp (sefotaksim 500mg/ml) : Antibiotik.
3.4 INTERVENSI
No.
Tujuan dan KH Intervensi Rasional
Dx
1 Setelah Dilakukan
1. pantau tanda kekurangan 1. Menentukan intervensi
Tindakan Keperawatan cairan selanjutnya
2x24 Jam denganTujuan2. observasi/catat hasil intake 2. Mengetahui keseimbangan
: volume cairan dan output cairan cairan
elektrolit dalam tubuh
3. anjurkan klien untuk banyak 3. Mengurangi kehilangan cairan
seimbang (kurangnya minum 4. Meningkatkan partisipasi dalam
cairan dan elektrolit4. jelaskan pada ibu tanda perawatan
terpenuhi) kekurangan cairan 5. mengganti cairan yang keluar
Dengan KH : 5. berikan terapi sesuai advis : dan mengatasi diare
- Turgor kulit cepat - Infus RL 15 tpm
kembali.
- Mata kembali normal
- Membran mukosa
basah
- Intake output seimbang
2 Setelah dilakukan1. Teliti keluhan nyeri, cacat 1. Identifikasi karakteristik nyeri &
tindakan keperawatan intensitasnya (dengan skala0- factor yang berhubungan
2x24 jam dengan 10). merupakan suatu hal yang amat
Tujuan : rasa nyaman 2. Anjurkan klien untuk penting untuk memilih intervensi
terpenuhi, menghindari allergen yang cocok & untuk
klien terbebas dari
3. Lakukan kompres hangat mengevaluasi ke efektifan dari
distensi abdomen pada daerah perut terapi yang diberikan.
dengan KH : 4. Kolaborasi 2. Mengurangi bertambah beratnya
- Klien tidak
- Berikan obat sesuai indikasi penyakit.
menyeringai kesakitan.- Steroid oral, IV, & inhalasi 3. Dengan kompres hangat, distensi
- Klien mengungkapkan - Analgesik : injeksi novalgin abdomen akan mengalami
verbal (-) 3x1 amp (500mg/ml) relaksasi, pada kasus peradangan
- Wajah rileks - Antasida dan ulkus : injeksi akut/peritonitis akan
- Skala nyeri 0-3 ulsikur 3x1 amp (200mg/ 2ml) menyebabkan penyebaran
infeksi.
4. Kortikosteroid untuk mencegah
reaksi alergi.
5. Analgesik untuk mengurangi
nyeri.
3 Setelah Dilakukan1. Mengobservasi TTV 1. kehilangan cairan yang aktif
Tindakan Keperawatan 2. Jelaskan pada pasien tentang secar terus menerus akan
2x24 Jam denganTujuan penyebab dari diarenya mempengaruhi TTV
: Konsistensi BAB 3. Pantau leukosit setiap hari 2 Klien dapat mengetahui
lembek, frekwensi 1 kali
4. Kaji pola eliminasi klien penyebab dari diarenya.
perhari dengan KH : setiap hari 3 Berguna untuk mengetahui
- Tanda vital dalam batas
5. Kolaborasi penyembuhan infeksi
normal (N: 120-60- Konsul ahli gizi untuk 4 Untuk mengetahui konsistensi
x/mnt, S; 36-37,50 c, memberikan diet sesuai dan frekuensi BAB
RR : < 40 x/mnt ) kebutuhan klien. 5 Metode makan dan kebutuhan
- Leukosit : 4000 –- Antibiotik: cefotaxime 3x1 kalori didasarkan pada
11.000 amp (500mg/ml) kebutuhan.
- Hitung jenis leukosit :
1-3/2-6/50-70/20-80/2-
8
Memberikan obat:
Injeksi Novalgin 1 amp
07.30 2,3 Injeksi Ulsikur 1 amp DS : -
Injeksi Cefotaxime 1 amp DO : Keluarga kooperatif
- Mengopservasi TTV
- Mengganti cairan infus + drip DS : -
Minggu, 1,2,3 Neurobio DO : TD = 100/70, S = 370, N =
05/5/13 100x/mnt, RR = 22x/mnt
06.00 Menganjurkan makan dalam
porsi dikit tapi sering DS : klien mengatakan akan
06.30 3 makan dalam porsi kecil tapi
sering.
DO : keluarga kooperatif
Mengopservasi tanda tanda
dehidrasi DS : -
08.00 1,3 DO : Turgor kulis sedikit
membaik , mukusa mulut lembab,
muntah berkurang,diare
berkurang.
Memberikan obat
Injeksi Ulsikur 1 amp DS :pasien mengatakan nyeri
08.30 2,3 Injeksi Cefotaxime 1 amp saat disuntik
DO : Obat masuk tidak ada tanda
alergi
Observasi leukosit
DS : -
10.00 3 DO : Leukosit : 8600/mm3
Hitung jenis leukosit : 1-3/2-6/50-
70/20-80/2-8
No.
Hari/tgl Catatan Perkembangan TTD
Dx
1. Jumat,03/5/2013 S : Kien mengatakan bahwa masih merasa lemas
O : - Klien masih tampak lemas
- Aktifitas klien masih dibantu keluarganya
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi 1-4 dilanjutkan
3.
S : Klien mengatakan bahwa BAB sudah lembek 1-2/hari
mual sudah berkurang, tidak muntah lagi.
O : - Klien BAB 1-2x/hari, konsistensi sedikit lunak
- Klien menghabiskan makanannya
- Klien tidak muntah
- Turgor kulit kembali < 1 detik
- Mata tidak cowong
- Mukosa mulut tidak kering
- Klien minum 1000cc/hari
A : Masalah teratasi sebagaian
P : Intervensi 1-4 dilanjutkan
1. Minggu, S: Klien mengatakan bahwa perutnya sudah tidak sakit
05/5/2013 O : - Skala nyeri 0
- Klien tidak menyeringai kesakitan
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah melakukan Asuhan keperawatan pada Ny. “S” dengan Gastroenteritis didapatkan
kesimpulan bahwa dalam pengkajian telah dilakukan anamnesa yang meliputi data subjektif dan
obyektif. Dari pengkajian tersebut diambil suatu diagnosa dan masalah berdasarkan data yang
menunjang untuk diambil suatu diagnosa. Setelah melakukan pengkajian pada Ny. “S “ didapatkan
diagnosa bahwa Ny. “S “ degan Gastroenteritis dengan masalah gangguan keseimbangan cairan
dan resiko kerusakan integritas kulit.
Intervensi yang diberikan disesuaikan dengan ketentuan yang ada, sedangkan dalam
penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Evaluasi dilakukan setelah
implementasi dilakukan. Dalam evaluasi Ny. “S “ menunjukkan suatu kemajuan yaitu frekwensi
BAB mulai berkurang, dehidrasi dapat ditangani, resiko kerusakan integritas kulit yang lebih parah
tidak terjadi.
Dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari kesalahan. Maka dari itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaa penulisan askep
yang akan datang. Terima kasih
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Mansjoer. 2000. Kapita Selekta Jilid II Edisi 3. Media Aesculapius : Jakarta
Dongoes , Mariliynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakart
Carpenito-moyet, Lynda juall. 2007, “Buku Saku Diagnosis Keperawatan”, Jakarta
ASKEP ISPA
BAB I
PENDAHULUAN
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan
balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami
3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari
seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %. Kematian yang terbesar umumnya
adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan. Hingga saat ini angka mortalitas
ISPA yang berat masih sangat tinggi. Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk
berobat dalam keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi. Data morbiditas
penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10 -20 % dari populasi balita. Untuk
mengurangi terjadinya ISPA pada anak dan balita maka dilakukan deteksi dini oleh masyarakat atau kader
dengan cirri balita dan anak dalam keadaan batuk, sukar bernafas, segera dibawa ke puskesmas atau UPK
terdekat untuk mendapatkan pengobatan.
1.2 Tujuan
- Untuk mendapatkan gambaran secara nyata dalam melaksanakan asuhan keperawatan klien ISPA.
- Untuk memperoleh gambaran nyata mengenai : Pengkajian klien ISPA Diagnosa yang mungkin timbul
pada klien ISPA Intervensi yang akan dilaksanakan pada klien ISPA Pelaksaan tindakankeperawatan pada
klien ISPA Evaluasi keperawatan klien ISPA
1.3 Manfaat
- Sebagai bahan pembelajaran untuk penderita ISPA agar lebih menjaga kesehatannya.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah radang akut saluranpernafasan atas
maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik ataubakteri, virus, maupun reketsia tanpa atau disertai denga
n radang parenkimparu.
o ISPA adalah masuknya mikroorgamisme (bakteri, virus, riketsia) ke dalamsaluran pernafasan yang
menimbulkan gejala penyakit yang dapat berlangsungsampai 14 hari.
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan
saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ
disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. Sebagian besar dari infeksi saluran
pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati dengan
antibiotik dapat mengakibat kematian.
a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut atau kronis, yang
paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih
dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling sering
terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo.
b. Manusia
1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2 tahun mempunyai risiko
mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena
anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit.
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
3. Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama kematian terutama pada
anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya
didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk
sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500 gram. Menurut Tuminah
(1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500
gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar
akibat infeksi pada bayi baru lahir.
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan faktor antibodi untuk
melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan
menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin,
bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi.
6. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal
dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa
pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.
c. Lingkungan
1. Kelembaban Ruangan
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross
sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.
Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097,
yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya
ISPA pada balita sebesar 28 kali.
2. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu
ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu
ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar
4 kali.
3. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam
rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah
tersebut tetap terjaga.
4. Kepadatan Hunian Rumah
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan proses kejadian pneumonia
pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang
tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun 2004, kepadatan hunian
rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan
saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di
lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya
gangguan pernafasan.
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara menjadi
rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada tahun
2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan
1,3 juta kematian.
7. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan
kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara
keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau
97.560.002 penduduk.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran makanan dibagi
pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun
ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi
1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status
ekonominya rendah.
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitismedia, faringitis.
2.2 Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteripenyebabnya antara lain
dari genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus,hemofilus, bordetella, dan korinebacterium. Vi
rus penyebabnya antara laingolongan mikovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma
,herpesvirus.Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA diantaranyabakteri stafilokokus
dan streptokokus serta virus influenza yang di udara
bebasakan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitutenggorokan dan
hidung.Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak usia dibawah 2tahun yang
kekebalan tubuhnya lemah atau belum sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim hujan juga
menimbulkan risiko serangan ISPA.
Klasifikasi ISPA
1. Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest indrawing).
3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada
kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk
golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun.
Pneumonia berada: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada bagian bawah atau napas
cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.
Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah
atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bu~an sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :
Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada
waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tldak menangis atau
meronta).
Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per
menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.
Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak
ada napas cepat.
Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya obstruksi hidung dengan
sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah dan susah atau
bahkan sama sekali tidak mau minum (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 451).
( sumber : http://nursingbegin.com/askep-ispa-anak/ )
- Pilek biasa
- Kadang bersin-bersin
- Sakit tenggorokan
- Batuk
- Sakit kepala
- Demam
- Nausea
- Muntah
- Anoreksia
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena menurunnya sistem
kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Pada stadium awal, gejalanya
berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung
tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah
dan membengkak. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung
bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga
bronkhitis dan pneumonia (radang paru).
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-
gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin
berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam
kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian
mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah
berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan.
Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratoris.
Tanda-tanda klinis
a. Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas
cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.
b. Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest.
c. Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung, kejang
dan coma.
Tanda-tanda laboratoris
a. Hypoxemia
b.Hypercapnia dan
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang
dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah
volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, Wheezing, demam dan dingin.
2.5 patofisiologi
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit penyakit masuk kedalam
tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne
Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan
penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula
menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah
karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.
Walaupun saluran pernapasan atas (akut) secara langsung terpajan lingkungan, namun infeksi relatif
jarang terjadi berkembang menjadi infeksi saluran pernapasan bawah yang mengenai bronchus dan
alveoli.
Terdapat beberapa mekanisme protektif di sepanjang saluran pernapasan untuk mencegah infeksi,
refleksi batuk mengeluarkan benda asing dan mikroorganisme, dan membuang mucus yang tertimbun,
terdapat lapisan mukosilialis yang terdiri dari sel-sel dan berlokasi dari bronchus ke atas yang
menghasilkan mucus dan sel-sel silia yang melapisi sel-sel penghasil mucus.
Silia bergerak dengan ritmis untuk mendorong mucus, dan semua mikroorganisme yang terperangkap di
dalam mucus, ke atas nasofaring tempat mucus tersebut dapat dikeluarkan melalui hidung, atau ditelan.
Proses kompleks ini kadang-kadang disebut sebagai system Eksalator mukolisiaris.
Apabila dapat lolos dari mekanisme pertahanan tersebut dan mengkoloni saluran napas atas, maka
mikroorganisme akan dihadang oleh lapisan pertahanan yang ketiga yang penting (system imum) untuk
mencegah mikroorganisme tersebut sampai di saluran napas bawah.
Respons ini diperantarai oleh limfosit, tetapi juga melibatkan sel-sel darah putih lainnya misalnya
makrofag, neutrofil, dan sel mast yang tertarik ke daerah tempat proses peradangan berlangsung. Apabila
terjadi gangguan mekanisme pertahanan di bidang pernapasan, atau mikroorganismenya sangat virulen,
maka dapat timbul infeksi saluran pernapasan bawah.
Laboratorium:
d.Urine biasanya lebih tua, mungkin terdapat albuminuria karena suhu tubuh meningkat.
2.7 Penatalaksanaan
1. Suportif : meningkatkan daya tahan tubuh berupa Nutrisi yang adekuat,pemberian multivitamin dll.
2. Antibiotik :
- Menurut WHO :
2.9 Komplikasi
SPA ( saluran pernafasan akut sebenarnya merupakan self limited disease yangsembuh sendiri dalam 5 ±
6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lain, tetapi penyakit ISPAyang tidak mendapatkan pengobatan dan
perawatan yang baik dapat menimbulkan penyakitseperti : semusitis paranosal, penutuban tuba
eustachii, lanyingitis, tracheitis, bronchtis, dan brhonco pneumonia dan berlanjut pada kematian karena
danya sepsis yang meluas.( Whaley and Wong, 2000 ).
BAB III
ASKEP TEORITIS
3.1. Pengkajian
Pengkajian
Riwayat kesehatan:
- Keluhan utama (demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan).
- Riwayat penyakit dahulu (apakah klien pernah mengalami penyakit sepertiyang dialaminya sekarang).
- Riwayat penyakit keluarga (adakah anggota keluarga yang pernahmengalami sakit seperti penyakit
klien).
a. Inspeksi :
b. Palpasi :
- Adanya demam.
- Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeritekan pada nodus limfe servikalis.
c. Perkusi :
d. Auskultasi :
Identitas Pasien.
Umur :Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun, terutama
bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering
menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut(Anggana Rafika, 2009).
Jenis kelamin :Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana angka kesakitan
ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di negara Denmark (Anggana Rafika, 2009).
Alamat : Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat diduga
merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Kochet al (2003) membuktikan bahwa kepadatan
hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat .Diketahui bahwa penyebab
terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah
ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang
sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah
terjadinya ISPA anak (Anggana Rafika, 2009).
Riwayat Kesehatan :
1) Keluhan Utama:
Dua hari sebelumnya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan lemah, nyeri otot dan sendi,
nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit tenggorokan.
Menurut anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit klien tersebut.
5) Riwayat sosial:
Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat penduduknya.
Pemeriksaan Persistem
B1 (Breath) :
Inspeksi :
o Tidak tampak penggunaan otot- otot pernapasan tambahan,pernapasan cuping hidung, tachypnea, dan
hiperventilasi.
Palpasi :
o Adanya demam.
o Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher / nyeri tekan pada nodus limfe servikalis.
Perkusi :
Auskultasi :
o Suara napas vesikuler / tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru.
B3 (Brain) : penginderaan Pupil isokhor, biasanya keluar cairan pada telinga, terjadi gangguan
penciuman.
B5 (Bowel) : pencernaan Nafsu makan menurun, porsi makan tidak habis Minum sedikit, nyeri telan
pada tenggorokan.
1) Pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai dengan
jenis kuman.
2) Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai dengan adanya
leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia.
Tujuan :
Tujuan :
B. Biokimia:
C. Clinis:
D. Diet:
3) Nyeri akut b.d inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil.
4) Risiko tinggi penularan infeksi b.d tidak kuatnya pertahanansekunder (adanya infeksi penekanan
imun).
3.3. Intervensi
1. Intervensi:
- Antipiretika
Rasionalisasi:
b. Dengan memberikan kompres, maka akan terjadi proseskonduksi/perpindahan panas dengan bahan
perantara.
c. Proses hilanganya panas akan terhalangi untuk pakaian yang tebaldan tidak akan menyerap keringat.
2. Intervensi:
b. Berikan makan porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
Rasionalisasi:
a. Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan BBdan evaluasi keadekuatan rencana
nutrisi.
b. Untuk menjamin nutrisi adekuat/meningkatkan kalori total.
e. Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi ataukebutuhan individu untuk
memberikan nutrisi maksimal.
3. Intervensi:
d. Kolaborasi: berikan obat sesuai indikasi (steroid oral, IV, dan inhalasi, & analgesik)
Rasionalisasi:
a. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubunganmerupakan suatu hal yang amat penting
untuk memilih intervensi yangcocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.
4. Intervensi:
Rasionalisasi:
d. Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan
keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan
(Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan :
Didapat beberapa faktor resiko ISPA padapenderita yaitu 1) faktor agen; 2) faktor manusia, yangterdiri
dari faktor umur, jenis kelamin, dan status gizi; 3)lingkungan, yang terdiri dari faktor kelembaban
udara,suhu ruangan, ventilasi, penggunaan anti nyamuk, bahanbakar untuk memasak, dan keberadaan
perokok.
Gejala yang dirasakan penderita yaitu nafsu makan menurun,pasien merasa lesu, demam, disertai batuk
dan pilek selama 5hari, sakit tenggorokan dan terdapat tonsilitis dan faringitis akutsetelah di periksa
dokter
4.2 Saran :
1. Bagi orang tua hindarilah faktor resiko yang dapat meningkatkankejadian ISPA pada anak, kecuali faktor
resiko yang tidak dapatdiubah seperti umur dan jenis kelamin.
DAFTAR PUSTAKA
DEPKES. 1993. Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. EGC : Jakarta.
Achmadi, U.F, 2003.Waspadai Penyakit Menular, Badan Peneliti danPengembangan Depkes RI,
Jakarta. Agustama., 2005.Kajian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita.