Anda di halaman 1dari 76

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab 2 ini akan diuraikan secara teoritis mengenai konsep

penyakit dan asuhan keperawatan pasien hepatitis. Konsep penyakit yang akan

diuraikan definisi, etiologi dan cara penanganan secara medis. Asuhan

keperawatan akan diuraikan masalah-masalah yang muncul pada penyakit

hepatitis dengan melakukan asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian,

diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

2.1 Konsep Penyakit

2.1.1 Pengertian Hepatitis

Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan

yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap

obat-obatan serta bahan-bahan kimia. Hepatitis merupakan infeksi

sistemik oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang

menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia serta seluler yang

khas (Dermawan, 2010).

Hepatitis adalah penyakit infeksi akut menular, dengan gejala

utama berhubungan dengan nekrosis pada hati (Murwani, 2011).

Menurut Nanda (2013), hepatitis dibagi dua tahapan:

1. Hepatitis akut: infeksi virus sistemik yang berlangsung selama < 6

bulan.
2. Hepatitis kronis: gangguan-gangguan yang terjadi > 6 bulan dan

kelanjutan dari hepatitis akut.

3. Hepatitis fulminant adalah perkembangan mulai dari timbulnya

hepatitis hingga kegagalan hati dalam waktu kurang dari 4 minggu

oleh karena itu hanya terjadi pada bentuk akut.

Hepatitis virus adalah istilah yang digunakan untuk infeksi

hepar oleh virus. Identifikasi virus penyakit dilakukan terus menerus,

tetapi agens virus A, B, C, D dan E terhitung kira-kira 95% kasus dari

hepatitis virus akut. Virus E dan D diketahui sebagai hepatitis virus non-

A dan non-B (Ester, 2002).

Dari ketiga pengertian diatas, pengertian hepatitis adalah

peradangan pada hati yang disebabkan oleh infeksi virus atau reksi toksik

terhadap obat-obatan serta bahan kimia sehingga terjadi nekrosis pada

hati dan bersifat menular.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Hepar

1. Anatomi hepar

Hati merupakan kelenjar aksesoris terbesar dalam tubuh, berwarna

coklat dengan berat 1000 – 1800 gram. Hati terletak dalam rongga

perut sebelah kanan atas di bawah diafragma. Sebagian besar terletak

pada region hipokondria dengan region epigastrium. Pada orang

dewasa yang kurus tepi bawah hati mungkin teraba satu jari di

bawah kosta (Syaifuddin, 2011).

Hepar mempunyai dua lobus yaitu lobus kanan dan lobus kiri.

Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh


fisura segmentasi kanan. Lobus kri dibagi menjadi segmen medial

dan lateral oleh ligamentum falsiforme (Wijaya, 2013).

Setiap lobus hepar terbagi menjadi struktur-struktur yang

dinamakan lobulus. Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-

kapiler yang dinamakan sinusoid yang merupakan cabang vena porta

dan arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik

monokuler/sel kuffer yang berfungsi menelan bakteri dan benda

asing dalam darah (Wijaya, 2013).

Arteri hepatika menyuplai darah ke hepar 1/3 dari darah yang

masuk ke hepar dan 2/3 berasal dari vena porta. Arteri hepatika

membawa darah beroksigen dan vena porta membawa darah yang

kurang beroksigen dari vena mesenterika superior, inferior dan sona

splanikus yang menerima darah dari pankreas, limpa, lambung, usus,

dan kandung empedu. Vena porta membawa nutrien, sisa

metabolisme dan toksik dari organ pencernaan ke hepar untuk

diproses, didetoksifikasi (Wijaya, 2013).


Gambar 2.1 Anatomi Hepar (Wijaya, 2013)

2. Fisiologi hepar menurut Syaifuddin (2009):

Fungsi hati antara lain:

a. Fungsi metabolik: metabolisme asimilasi karbohidrat, lemak,

protein, vitamin, dan produksi energi. Seluruh monosakarida

akan diubah menjadi glukosa. Pengaturan glukosa dalam darah

terjadi di hati. Pembentukan asam lemak dan lipid serta

pembentukan albumin dan globulin juga terjadi di hati.

b. Fungsi ekskresi: produksi empedu oleh sel hati (bilirubin,

kolesterol, dan garam empedu), ke dalam empedu juga

diekskresikan zat yang berasan dari luar tubuh seperti logam-

logam berat, bermacam zat warna, dan lainnya.

c. Fungsi pertahanan tubuh: detoksikasi racun siap untuk

dikeluarkan, melakukan fagositosis terhadap benda asing


langsung membentuk antibody. Bila hati rusak, maka berbagai

racun akan meracuni tubuh.

d. Pengaturan dalam peradaran darah: berperan membentuk darah

dan heparin di hati dan mengalirkan darah ke jantung. Dalam

hati, sel darah merah akan rusak karena terdapat sel-sel.

Retikolo Endotelium Sistem (RES).

e. Hati membentuk asam empedu terutama dari kolesterol

membentuk pigmen-pigmen empedu terutama dari hasil

perusakan hemoglobin.

2.1.3 Etiologi

Menurut Tjokroprawiro (2007), hepatitis dapat disebabkan oleh:

1. Infeksi

a. Virus

Virus spesifik hati (A, B, C, D, dan E) terbanyak, sedangkan virus

F, G, dan TT masih diteliti.

b. Bakteri (S. typhi)

c. Parasit (malaria)

2. Non infeksi

a. Obat-obatan

b. Bahan beracun (hepatotoksik)

c. Alcohol

d. Akibat penyakit lain.

Menurut Dermawan (2010), jenis penyebab hepatitis virus antara lain:


1. Virus hepatitis A

Virus hepatitis A terutama menyebar melalui tinja. Penyebaran ini

terjadi akibat buruknya tingkat kebersihan. Di negara-negara

berkembang sering terjadi wabah yang penyebarannya terjadi

melalui air dan makanan.

2. Virus hepatitis B

Penularannya tidak semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B

ditularkan melalui darah atau produk darah. Penularan biasanya

terjadi diantara para pemakai obat yang menggunakan jarum suntik

bersama-sama, atau diantara mitra seksual (baik heteroseksual

maupun pria homoseksual).

Ibu hamil yang terinfeksi oleh hepatitis B bias menularkan virus

kepada bayi selama proses persalinan. Hepatitis B bisa ditularkan

kepada bayi selama proses persalinan. Hepatitis B bisa ditularkan

oleh orang sehat yang membawa virus hepatitis B. Di daerah Timur

Jauh dan Afrika, beberapa kasus hepatitis B berkembang menjadi

hepatitis menahun, sirosis dan kanker hati.

3. Virus hepatitis C

Menyebabkan minimal 80% kasus hepatitis akibat transfuse darah.

Virus hepatitis C ini paling sering ditularkan melalui pemakai obat

yang menggunakan jarum bersama-sama. Jarang terjadi penularan

melalui hubungan seksual. Untuk alasan yang masih belum jelas,

penderita “penyakit hati alkoholik” seringkali menderita hepatitis C.

4. Virus hepatitis D
Hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B dan virus

hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat.

Yang memiliki risiko tinggi terhadap virus ini adalah pecandu obat.

5. Virus hepatitis E

Virus hepatitis E kadang menyebabkan wabah yang menyerupai

hepatitis A, yang hanya terjadi di negara-negara terbelakang.

6. Virus hepatitis G

Jenis baru dari virus hepatitis yang telah terdeteksi baru-baru ini.

2.1.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik hepatitis menurut Dermawan (2010), yaitu:

1. Masa tunas

Virus A: 15 – 49 hari (rata-rata 30 hari) → berlangsung 4 – 8

minggu.

Virus B: 28 – 160 hari (rata-rata 70 – 80 hari).

Virus C: 15 – 160 hari (rata-rata 50 hari).

Virus D: bervariasi antara 21 – 140 hari (rata-rata 35 hari).

Virus E: 15 – 65 hari (rata-rata 42 hari).

2. Fase Pre Ikterik

Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi

virus berlangsung sekitar 2 – 7 hari. Nafsu makan menurun (pertama

kali timbul), nausea, vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan

sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang, bahu dan

malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat


sekitar 39°C berlangsung selama 2 – 5 hari, pusing, nyeri persendian.

Keluhan pegal-pegal mencolok pada hepatitis virus B.

3. Fase Ikterik

Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan

suhu badan disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sclera

yang terus meningkat pada minggu I, kemdian menetap dan baru

berkurang setelah 10 – 14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-gatal

pada seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1 – 2

minggu.

4. Fase Penyembuhan

Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa

sakit di ulu hati, disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14 –

15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna urine tampak normal,

penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas capai.

Sedangkan menurut Baradero (2008), tanda-tanda hepatitis virus

dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu:

1. Tahap pra-ikterik (tahap prodromal) yang berlangsung selama satu

minggu.

a. Anoreksia (merupakan tanda utama)

b. Suhu tubuh meningkat disertai menggigil

c. Mual dan muntah

d. Kesulitan mencerna makanan (dyspepsia)

e. Nyeri sendi

f. Nyeri tekan pada hepar


g. Cepat lelah, malaise, dan hilang minat

h. Berat badan menurun.

2. Tahap ikterik dimulai dengan timbulnya ikterik yang berlangsung

selama 46 minggu. Pada tahap ini, tanda tahap pra-ikterik akan

berkurang, kecuali anoreksia, mual, muntah, dyspepsia, rasa lemah,

dan malaise makin bertambah, nyeri tekan pada hepar juga

bertambah. Ikterik timbul karena gangguan metabolism bilirubin.

Urine pasien berwarna kuning tua, transaminase serum (ALT dan

AST) dan alkalin fosfatase meningkat, serta masa protrombin

memanjang.

3. Tahap pasca-ikterik atau tahap penyembuhan. Tahap ini dimulai

ketika ikterik telah hilang.

2.1.5 Tanda dan Gejala

Menurut Dermawan (2010), tanda dan gejala hepatitis antara lain:

1. Hepatitis A

Gejala awal ISPA ringan (flu dengan demam ringan), pra ikterik:

sakit kepala, fatigue, anoreksia, febris. Fase ikterik: gejala lanjut

dapat timbul ikterus (puncak hari 10), ikterus pada sklera dan kulit,

urin berwarna gelap, dispepsia, nyeri epigastrium, mual, nyeri ulu

hati, flatulensi, hepatomegali dan splenomegali.

2. Hepatitis B

Atralgia, ruam, anoreksia, dispepsia, nyeri abdomen, pegal

menyeluruh, tidak enak badan dan lemah. Ikterus kadang tidak


tampak, jika tampak disertai tinja berwarna cerah, urine berwarna

gelap. Hepatomegali (12 – 14 cm), nyeri tekan, splenomegali.

3. Hepatitis C

Serupa dengan HBV, tidak begitu berat dan anikterik.

4. Hepatitis D

Serupa dengan HBV.

5. Hepatitis E

Serupa dengan HAV, sangat berat pada wanita hamil.

2.1.6 Patofisiologi

Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan

oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-

bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobule dan unit ini

unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering dengan berkembangnya

inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan

terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan

nekrosis dan kerusakan sel-sel hepar. Setalah lewat masanya, sel-sel

hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon system imun

dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya,

sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi

hepar normal.

Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan

peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati yang memicu


timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas. Hal ini

dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati.

Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun

jumlah bilirubin yang belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati

tetap normal, tetapi karena adanya kerusakan sel hati dan duktuli empedu

intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan bilirubin tersebut di

dalam hati. Selain itu terjadi kesulitan dalam hal konjugasi. Akibatnya

bilirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus, karena

terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada

duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun

bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus

yang timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam

pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.

Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak

pucat (abolish). Karena bilirubin konjugasi larut dalam air, maka

bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan

bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin

terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam

darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus (Dermawan,

2010).

2.1.7 Diagnosa Banding

Diagnosa banding hepatitis menurut Tjokroprawiro (2007):

1. Hepatitis yang disebabkan oleh virus non hepatotropik

2. Hepatitis alkoholik
3. Gagal jantung, baik kanan maupun kiri

4. Kolesistitis akut atau obstruksi bilier.

2.1.8 Komplikasi

Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang

disebabkan oleh akumlasi ammonia serta metabolic toksik merupakan

stadium lanjut ensefalopati hepatic. Kerusakan jaringan paremkin hati

yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih banyak

ditemukan pada alkoholik (Dermawan, 2010).

Menurut Tjokroprawiro (2007), hepatitis virus akut dapat

memberikan komplikasi berupa:

1. Kolestatis

2. Gagal hati fulminan atau gagal hati subakut

3. Hepatitis aplastic anemia syndrome.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Dermawan (2010), pemeriksaan penunjang untuk hepatitis

yaitu:

1. Laboratorium

a. Pemeriksaan pigmen

1) Urobilirubin direk

2) Bilirubin serum total

3) Bilirubin urine

4) Urobilinogen urine

5) Urobilinogen feses
b. Pemeriksaan protein

1) Protein total serum

2) Albumin serum

3) Globulin serum

4) HbsAG

c. Waktu protombin

Respon waktu protombin terhadap vitamin K

d. Pemeriksaan serum transferase dan transaminase

1) Asparat Amino Tranferasi/ AST atau SGOT

2) Alanin Amino Tranferasi/ ALT atau SGPT

3) LDH/ HDL

4) Ammonia serum

2. Radiologi

a. Foto

2.1.10 Pencegahan

Pencegahan untuk hepatitis menurut Baradero (2008) adalah:

1. Pencegahan umum

a. Membiasakan diri untuk mencuci tangan dengan cara yang benar.

b. Feses, urine, cairan tubuh lainnya harus dianggap potensial untuk

infeksi dan harus ada cara yang tepat untuk pembuangannya.

Kamar-kamar kecil harus dilengkapi dengan septic tank untuk

mencegah kontaminasi air dan makanan.

c. Karena hepatitis B ditularkan secara parenteral (suntikan dan

tusukan), hepatitis non-A dan non-B, hepatitis delta, dan mungkin


hepatitis A dapat ditularkan melalui jarum atau alat-alat lain yang

terkena darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Barang-barang ini

harus dibuang dengan cara yang benar. Perawat harus hati-hati

jangan sampai pasien atau orang lain tertusuk jarum yang telah

digunakan. Sebaiknya sebelum jarum, spuit, dan lainnya dibuang,

masukkan ke dalam kantong yang diberi tanda “Barang

Terkontaminasi”.

d. Alat-alat yang non-disposibel harus disterilkan dengan steam

underpressure atau autoclave. Jika tidak ada autoclave, alat-alat

harus direbus selama 30 menit, walaupun cara ini tidak menjamin

sterilitasnya.

2. Pencegahan terhadap individu yang diketahui berpenyakit hepatitis

A.

Kewaspadaan enterik harus digunakan untuk pasien hepatitis A.

Pencegahan utama adalah mencuci tangan dengan cara yang benar.

Petugas membersihkan pispot, urinal, WC, selang rectal,

thermometer rectal, atau popok harus menggunakan sarung tangan

dan gown. Semua alat-alat tenun yang terkontaminasi harus

dimasukkan ke dalam kantong yang tersedia dan diberi tanda,

“Terkontaminasi”.

3. Setiap kali pasien hepatitis B akan kontak dengan darah pasien atau

cairan tubuh lain, petugas harus menggunakan sarung tangan dan

gown. Jika banyak terjadi kontaminasi dengan darah, seperti pada

saat pembedahan, dokter dan perawat bedah perlu menggunakan


sarung tangan berlapis dua. Semua alat tenun yang terkontaminasi

harus dimasukkan ke dalam kantong yang tersedia dan diberi tanda

“Terkontaminasi”. Pasangan seks dari individu hepatitis B, hepatitis

A, hepatitis non-B, dan hepatitis delta tidak boleh mengadakan

hubungan seksual selama periode masih dapat menularkan

penyakitnya.

4. Individu yang pernah mengidap hepatitis virus tidak boleh menjadi

donor darah.

Pencegahan bagi individu berisiko tinggi:

1. Hepatitis A

a. Pencegahan prapemajanan pada individu yang mengadakan

perjalanan ke tempat yang sanitasinya sangat kurang dianjurkan

dengan globulin imn 0,02 ml/kg berat badan jika ia berada di

tempat tersebut selama 3 bulan dan 0,06 ml/kg setiap 5 bulan jika

ia tinggal di tempat tersebut dalam waktu yang lama.

b. Pascapemajanan dalam batas waktu dua minggu setelah

pemajanan. Individu yang dianjurkan untuk memperoleh

profilaksis adalah individu yang tinggal dalam satu rumah dengan

pasien atau individu yang berhubungan seksual dengan pasien.

2. Hepatitis B. Ada vaksin terhadap hepatitis B yang dapat member

kekebalan aktif. Vaksin hepatitis B dan immunoglobulin dengan

anti-HB yang tinggi (HBIG). Vaksin hepatitis B digunakan untuk


prapemajanan dan pascapemajanan serta HBIG untuk pasca-

pemajanan. Vaksin hepatitis B diberi tiga kali intramuscular.

Suntikan yang kedua diberikan satu bulan setelah suntikan pertama

dan yang ketiga diberikan enam bulan setelah suntikan pertama.

Vaksinasi prapemajanan dianjurkan untuk:

a. Semua tenaga kesehatan yang berisiko tinggi (dokter bedah,

perawat bedah, dokter gigi, praktisi laboratorium, dsb.)

b. Homoseksual aktif

c. Pengguna obat-obat suntikan terlarang

d. Penerima transfuse darah atau plasma yang berulang-ulang

e. Heteroseksual dengan pasangan multipel.

3. Hepatitis non-A, dan non-B. Efek dari immunoglobulin untuk

hepatitis non-A dan non-B masih diragukan.

4. Hepatitis delta. Vaksinasinya sama dengan hepatitis B.

2.1.11 Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus. Upaya medis

difokuskan pada pemeriksaan untuk memperoleh diagnosis yang tepat

dan member terapi suportif seperti:

1. Cairan dan elektrolit

2. Vitamin K

3. Antihistamin untuk pruritus

4. Anti-emetik

5. Kortikosteroid untuk hepatitis virus fulminan.


Obat-obat untuk mengurangi kegelisahan dan malaise harus dicegah

karena kebayakan obat-obat ini mengandung sedative yang harus

didetoksifikasi oleh hepar atau biasa disebut hepatotoksik (Baradero,

2008).

2.1.12 Dampak Masalah

Masalah yang perlu diperhatikan adalah intoleransi aktivitas, kebutuhan

nutrisi, nyeri, hipertermi, kekurangan volume cairan, resiko terjadinya

infeksi, kerusakan integritas kulit dan kurang pengetahuan.

1. Intoleransi aktivitas

Penyakit hepatitis menyebabkan klien mengalami kelemahan dan

keletihan yang disebabkan oleh peningkatan metabolisme dan

asupan yang kurang (Baradero, 2008).

2. Kebutuhan nutrisi

Klien dengan hepatitis akan mengalami anoreksia dan mual muntah

dikarenakan peregangan kapsula hati yang menyebabkan perasaan

tidak nyaman pada perut kuadran satu (Wijaya, 2013).

3. Nyeri

Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan

peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati yang memicu


timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran satu. Hal ini

dimanifestasikan dengan adanya nyeri di ulu hati (Wijaya, 2013).

4. Hipertermi

Pada klien hepatitis, inflamasi pada hepar karena virus akan

menyebabkan peningkatan suhu tubuh (Wijaya, 2013).

5. Kekurangan volume cairan

Kekurangan volume cairan pada klien hepatitis disebabkan karena

mual dan muntah yang berlebihan (Baradero, 2008).

6. Resiko terjadinya infeksi

Resiko terjadinya infeksi pada klien hepatitis disebabkan oleh

gangguan nutrisi sehingga pertahan primer klien tidak adekuat

(Doenges, 2000).

7. Kerusakan integritas kulit

Pada hepatitis dapat terjadi kerusakan integritas kulit karena

obstruksi dan kerusakan konjugasi memicu bilirubin direk meningkat

sehingga terjadi peningkatan garam empedu dalam darah yang akan

menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Gatal-gatal pada ikterus

menimbulkan kerusakan integritas kulit dan jaringan (Nanda, 2013).

2.2 Konsep Dasar Nyeri

2.2.1 Pengertian Nyeri

Menurut Priharjo yang dijelaskan oleh Mubarak, nyeri adalah perasaan

tidak nyaman yang sangat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya
yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak,

2005).

2.2.2 Fisiologi Nyeri

Bagaimana nyeri merambat dan dipersepsikan oleh individu masih belum

sepenuhnya dimengerti. Akan tetapi, bisa tidaknya nyeri dirasakan dan

hingga derajat mana nyeri tersebut mengganggu dipengaruhi oleh

interaksi antara sistem rangka tubuh dan sistem saraf serta interpretasi

stimulus (Mubarak, 2005).

2.2.3 Jenis Nyeri

Ada tiga klasifikasi nyeri (Mubarak, 2005):

1. Nyeri perifer

Nyeri perifer ada tiga macam:

a. Nyeri superfisial: rasa nyeri yang muncul akibat rangsangan

pada kulit dan mukosa.

b. Nyeri viseral: rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi pada

reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium, dan toraks.

c. Nyeri alih: nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari

jaringan penyebab nyeri.

2. Nyeri sentral

Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang

otak, dan thalamus.

3. Nyeri psikogenik

Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya atau nyeri yang timbul

akibat pikiran si penderita sendiri.


2.2.4 Bentuk Nyeri

Bentuk nyeri menurut Mubarak (2005), antara lain:

1. Nyeri akut

Nyeri yang berlangsung tidak lebih dari enam bulan. Munculnya

gejala mendadak, dan biasanya penyebab serta lokasi nyeri sudah

diketahui.

2. Nyeri kronis

Nyeri ini berlangsung lebih dari enam bulan. Sumber nyeri bisa

diketahui atau tidak. Nyeri cenderung hilang timbul dan biasanya

tidak dapat disembuhkan.

2.2.5 Nyeri pada Hepatitis

Nyeri pada kasus hepatitis termasuk dalam jenis nyeri viseral karena rasa

nyeri yang muncul akibat stimulasi pada reseptor nyeri di rongga

abdomen. Sedangkan bentuk nyeri pada hepatitis termasuk jenis nyeri

akut dikarenakan nyeri pada hepatitis muncul secara mendadak dan

lokasi penyebab nyeri sudah diketahui.

2.3 Konsep Dasar Aktivitas

2.3.1 Pengertian Aktivitas

Aktivitas adalah suatu energy atau keadaan bergerak dimana manusia

memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup (Tarwoto &

Wartonah, 2006).

2.3.2 Fisiologi Pergerakan (Tarwoto & Wartonah, 2006)

Pergerakan merupakan rangkaian yang terintegrasi antara sistem

musculoskeletal dan sistem persarafan.


Sistem skeletal berfungsi:

1. Mendukung dan member bentuk jaringan tubuh.

2. Melindungi bagian tubuh tertentu seperti paru, hati, ginjal, otak,

paru-paru.

3. Tempat melekatnya otot dan tendon.

4. Sumber mineral seperti garam dan fosfat.

5. Tempat produksi sel darah.

Sistem otot berfungsi sebagai:

1. Pergerakan.

2. Membentuk postur.

3. Produksi panas karena adanya kontraksi dan relaksasi.

Sistem persarafan berfungsi:

1. Saraf afferent menerima rangsangan dari luar kemudian diteruskan

ke susunan saraf pusat.

2. Sel saraf atau neuron membawa impuls dari bagian tubuh satu ke

lainnya.

3. Saraf pusat memproses impuls dan kemudian memberikan respons

melalui saraf efferent.

4. Saraf efferent menerima respons dan diteruskan ke otot rangka.


Tiga faktor proses terjadinya pergerakan, antara lain:

1. Stimulasi saraf motorik

Kontraksi otot dimulai karena adanya stimulasi dari saraf motorik

yang dikontrol oleh korteks serebri, cerebellum, batang otak, dan

basal ganglia. Upper motor neuron merupakan saraf yang berjalan

dari otak ke sinaps pada bagian anterior horn medulla spinalis,

sedangkan lower motor neuron merupakan saraf-saraf yang keluar

dari medulla spinalis menuju ke otot rangka. Signal listrik dan

potensial aksi terjadi sepanjang mealin sepanjang akson saraf

motorik yang berjalan secara Saltatory Conduction. Impuls listrik

berjalan dari saraf motorik ke sel otot melalui sinaps dengan bantuan

neutransmiter asetilkolin.

2. Transmisi neuromuscular

Asertilkolin dihasilkan dari vesikel pada akson terminal. Adanya

depolarisasi dan potensial aksi pada akson terminal merangsang ion

kalsium dari cairan ekstraseluler kemudian terjadi perpindahan ke

membrane akson terminal. Bersamaan dengan itu, molekul

asetilkolin masuk ke celah sinaps yang selanjutnya akan

ditangkapoleh reseptor maka terjadilah potensial aksi pada sel otot

dan terjadilah kontraksi. Setelah asetilkolin terpakai selanjutnya

dipecah atau dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase menjadi

kolin yang kemudian ditranspor kemali ke akson untuk bahan

pembentukan asetilkolin.

3. Eksitasi-kontraksi Couplin
Merupakan mekanisme molekuler peristiwa kontraksi. Adanya

impuls di neuron motorik menimbulkan ujung akson melepaskan

asetilkolin dan menimbulkan potensial aksi di serat otot. Potensial

aksi menyebar ke seluruh serat otot sampai ke sistem T. keadaan ini

mempengaruhi reticulum sarkoplasma melepaskan ion kalsium yang

kemudian diikat oleh troponin C, sehingga ikatan troponin I dengan

aktin terlepas. Lepasnya ikatan troponin I dengan aktin menimbulkan

tropomiosin bergeser dan terbukalah celah atau biding site aktin

sehingga terjadi ikatan antara aktin dan myosin serta kontraksi otot

terjadi.

2.4 Konsep Dasar Nutrisi (Alimul Hidayat, 2006)

2.4.1 Pengertian Nutrisi

Nutrisi merupakan proses pemasukan dan pengolahan zat makanan

oleh tubuh yang bertujuan menghasilkan energy dan digunakan dalam

aktivitas tubuh.

Sistem yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi adalah

sistem pencernaan yang terdiri atas saluran pencernaan dan organ

asesoris. Saluran pencernaan dimulai dari mulut sampai usu halus bagian

distal, sedangkan organ asesoris terdiri atas hati, kantong empedu, dan

pancreas. Ketiga organ ini membantu terlaksananya sistem pencernaan

makanan secara kimiawi.

Nutrient merupakan zat gizi yang terdapat dalam makanan.

2.4.2 Macam-macam Nutrien

1. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat gizi yang terdapat dalam makanan,

pada umumnya dalam bentuk amilum. Pembentukan amilum terjadi

dalam mulut melalui enzim ptyalin yang ada dalam air ludah.

Amilum diubah menjadi maltosa, kemudian diteruskan ke dalam

lambung. Dari lambung hidrat arang dikirim terus ke usus dua belas

jari. Getah pancreas yang dialirkan ke usus dua belas jari

mengandung amilase. Dengan demikian, sisa amilum yang belum

diubah menjadi maltose oleh amilase pankreas diubah seluruhnya

menjadi maltosa. Maltosa ini kemudian diteruskan ke dalam usus

halus. Usus halus mengeluarkan getah pankreas hidrat arang, yaitu

maltose yang bertugas mengubah maltosa menjadi dua molekul

glukosa sakarosa, fruktosa dan glukosa. Laktose bertugas mengubah

laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Setelah berada dalam usus

halus, seluruhnya diubah menjadi monosakarida oleh enzim-enzim

tadi.

Penyerapan karbohidrat yang dikonsumsi/ dimakan masih dapat

ditemukan dalam tiga bentuk, yaitu polisakarida, disakarida, dan

monosakarida. Disakarida dan monosakarida mempunyai sifat mdah

larut dalam air sehingga dapat diserap melewati dinding usus/

mukosa usus mengikuti hokum difusi osmose dan tidak memerlukan

tenaga serta langsung memasuki pembuluh darah. Proses penyerapan

yang tidak memerlukan tenaga dan mengikuti hokum difusi osmose

dikenal sebagai penyerapan pasif.

2. Lemak
Pencernaan lemak dimulai dalam lambung, karena dalam mulut

tidak ada enzim pemecah lemak. Lambung mengeluarkan enzim

lipase untuk mengubah sebagian kecil lemak menjadi asam lemak

dan gliserin, kemudian diangkut melalui getah bening dan

selanjutnya masuk ke dalam peredaran darah untuk kemudian tiba di

hati. Sintesis kembali terjadi dalam saluran getah bening, mengubah

lemak gliserin menjadi lemak seperti aslinya.

Penyerapan lemak dilakukan secara pasif setelah lemak diubah

menjadi gliserol asam lemak. Asam lemak mempunyai sifat empedu,

asam lemak yang teremulsi ini mampu diserap melewati dinding

usus halus. Penyerapan membutuhkan tenaga, tidak semua lemak

dapat diserap, maka penyerapan lemak dikatakan dengan cara aktif

selektif.

3. Protein

Kelenjar ludah dalam mulut tidak membuat enzim protease. Enzim

protease baru terdapat dalam lambung, yaitu pepsin, yang mengubah

protein menjadi albuminosa dan pepton.

Kemudian, tripsin dalam usus dua belas jari yang berasal dari

pankreas mengubah sisa protein yang belum sempurna menjadi

albuminosa dan pepton. Dalam usus halus, albuminosa dan pepton

seluruhnya diubah oleh enzim pepsin menjadi asam amino yang siap

untuk diserap.
Protein yang telah diubah ke dalam bentuk asam amino

mempunyai sifat larut dalam air. Seperti halnya hidrat arang, asam

amino yang mudah larut dalam air juga dapat diserap secara pasif

dan langsung memasuki pembuluh darah.

4. Mineral

Mineral tidak membutuhkan pencernaan. Mineral hadir dalam

bentuk tertentu sehingga tubuh mudah untuk memprosesnya.

Umumnya, mineral diserap dengan mdah melalui dinding usus halus

secara difusi pasif maupun transportasi aktif.

Mekanisme transportasi aktif penting jika kebutuhan tubuh

meningkat atau adanya diet rendah kadar mineral. Hormone adalah

zat yang memegang peranan penting dalam mengatur mekanisme

aktif ini. Penyerapan dapat lebih jauh dipengaruhi oleh isi sistem

pencernaan.

Beberapa senyama organik tertentu, seperti asam axalit, akan

menghambat penyerapan kalsium. Mineral dipakai dalam berbagai

hal. Beberapa dari mineral adalah komponan esensial dari jaringan

tubuh, sedang yang lainnya esensial pada proses kimia tertentu.

5. Vitamin

Pencernaan vitamin melibatkan penguraiannya menjadi molekul

yang lebih kecil sehingga dapat diserap dengan efektif. Beberapa

penyerapan vitamin dilakukan dengan difusi sederhana, tetapi sistem

transportasi aktif sangat penting untuk memastikan pemasukan yang

cukup.
Vitamin yang larut dalam lemak diserap oleh sistem transportasi

aktif yang juga membawa lemak ke seluruh tubuh, sedang vitamin

yang larut dalam air mempunyai beberapa variasi mekanisme

transportasi aktif.

Tabel 2.1 Jenis Vitamin, Sumber, dan Fungsi

Jenis vitamin Sumber Fungsi

Lemak hewani, Membantu pertumbuhan


Vitamin A
mentega, keju, susu sel tubuh dan

lengkap, minyak penglihatan,

ikan, sayuran hijau, menyehatkan rambut dan

buah yang kuning, kulit, integritas

dan sayuran. membrane epitel, dan

mencegah xerophtalmia.

Ikan, daging ayam Metabolism karbohidrat,


Vitamin B1
tanpa lemak, kacang- membantu kelancaran
(thiamin) larut
kacangan, dan susu. sistem persyarafan, dan
dalam air.
mencegah beri-beri atau

penyakit yang ditandai

neuritis.

Telur, sayuran hijau, Membantu pembentukan


Vitamin B2
daging tanpa lemak, enzim, pertumbuhan, dan
(riboflavin) larut
susu, dan biji-bijian. membantu adaptasi
dalam air.
cahaya dalam mata.
Daging tanpa lemak, Metabolism karbohidrat,
Vitamin B3
hati, ikan, kacang- lemak, protein, dan
(niacin)
kacangan, biji-bijian, komponen enzim serta

telur, dan hati. mencegah menurunnya

nafsu makan.

Biji-bijian, sayuran, Membantu kesehatan


Vitamin B6
daging, pisang. gusi dan gigi,
(pirodoksin)
pembentukan sel darah

merah, serta metabolism

karbohidrat, lemak, dan

protein.

Hati, susu, daging Metabolisme protein,


Vitamin B12
tanpa lemak, ikan, membantu pembentukan
(sianokobalamin)
dan kerang laut. sel darah merah,

kesehatan jaringan, dan

mencegah anemia.

Jeruk, tomat, kubis, Menjaga kesehatan


Vitamin C
sayuran hijau, dan tulang, gigi, dan gusi,
(askorbat acid)
kentang. membantu pembentukan

dinding pembuluh darah

dan pembuluh kapiler,

kesembuhan jaringan

dan tulang, serta

memudahkan
penyerapan zat besi dan

asam folat.

Minyak ikan, kuning Membantu penyerapan


Vitamin D
telur, mentega, hati, kalsium dan fosfor serta

kerang, atau mencegah rakhitis.

terbentuk dikulit

akibat pemanasan

sinar matahari.

Sayuran hijau. Membantu pembentukan


Vitamin E
sel darah merah dan

melindungi asam amino

utama.

Kuning telur, Membantu kegiatan


Vitamin (biotin)
sayuran hijau, susu, enzim serta metabolisme

dan hati. karbohidrat, lemak dan

protein.

Hati, telur, dan Membantu produksi


Vitamin K
sayuran hijau. protrombin.

Sumber: Alimul Hidayat (2006)

2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Nutrisi

1. Pengetahuan

Pengetahuan yang kurang tentang manfaat makanan bergizi dapat

memengaruhi pola konsumsi makan. Hal tersebut dapat disebabkan


oleh kurangnya informasi sehingga dapat terjadi kesalahan dalam

memahami kebutuhan gizi.

2. Prasangka

Prasangka buruk terhadap beberapa jenis bahan makanan bergizi

tinggi dapat memengaruhi status gizi seseorang. Misalnya, di

beberapa daerah, tempe yang merupakan sumber protein yang paling

murah, tiak dijadikan bahan makanan yang layak untuk dimakan

karena masyarakat menganggap bahwa mengonsumsi makanan

tersebut dapat merendahkan derajat mereka.

3. Kebiasaan

Adanya kebiasaan merugikan atau pantangan terhadap makanan

tertentu juga dapat memengaruhi status gizi. Misalnya, di beberapa

daerah, terdapat larangan makan pisang dan papaya bagi para gadis

remaja. Padahal, makanan tersebut merupakan sumber vitamin yang

sangat baik. Ada pula larangan makan ikan bagi anak-anak karena

ikan dianggap dapat mengakibatkan cacingan, padahal ikan

merupakan sumber protein yang sangat baik bagi anak-anak.

4. Kesukaan

Kesukaan yang belebihan terhadap suatu jenis makanan dapat

mengakibatkan kurangnya variasi makanan, sehingga tubuh tidak

memperoleh zat-zat yang dibutuhkan secara cukup.

5. Ekonomi

Status ekonomi dapat memengaruhi perubahan status gizi karena

penyediaan makanan bergizi membutuhkan pendanaan yang tidak


sediit. Oleh karena itu, masyarakat dengan kondisi perekonomian

yang tinggi biasanya mampu mencukupi kebutuhan gizi keluarganya

dibandingkan masyarakat dengan kondisi perekonomian rendah.

2.4.4 Diet pada Hepatitis (Almatsier, 2004)

1. Tujuan diet

Tujuan diet hepatitis adalah untuk mencapai dan mempertahankan

status gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati, dengan cara:

a. Meningkatkan regenerasi jaringan hati dan mencegah kerusakan

lebih lanjut serta meningkatkan fungsi jaringan hati yang tersisa.

b. Mencegah katabolisme protein.

c. Mencegah penurunan berat badan atau meningkatkan berat

badan bila kurang.

d. Mencegah koma hepatik.

2. Syarat diet

Syarat-syarat diet hepatitis adalah:

a. Energy tinggi untuk mencegah pemecahan protein, yang

diberikan bertahap sesuai dengan kemampuan klien, yaitu 40 –

45 kkal/kg BB.

b. Lemak cukup, yaitu 20 – 25% dari kebutuhan energi total,

dalam bentuk yang mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi.

c. Protein agak tinggi, yaitu 1,25 – 1,5 g/kg Bb agar terjadi

anabolisme protein. Asupan minimal protein hendaknya 0,8 – 1


g/kg BB. Protein nabati memberikan keuntungan karena

kandungan serat yang dapat mempercepat pengeluran amoniak

melalui feses.

d. Vitamin dan mineral diberikan sesuai dengan tingkat defisiensi.

Bila perlu, diberikan suplemen vitamin B kompleks, C, dan K

serta mineral seng dan zat besi bila ada anemia.

e. Cairan diberikan lebih dari biasa, kecuali bila ada

kontraindikasi.

f. Bentuk makanan lunak bila ada keluahan mual dan muntah, atau

makanan biasa sesuai kemampuan saluran cerna.

3. Bahan makanan yang dibatasi

Bahan makanan yang dibatasi untuk hepatitis adalah dari sumber

lemak, yaitu semua makanan dan daging yang banyak mengandung

lemak dan santan serta bahan makanan yang menimbulkan gas

seperti ubi, kacang merah, kol, sawi, lobak, ketimun, durian, dan

nangka.

4. Bahan makanan yang tidak dianjurkan

Bahan makanan yang tidak dianjurkan adalah makanan yang

mengandung alcohol, the, atau kopi kental.

2.5 Konsep Dasar Cairan dan Elektrolit (Alimul, 2006)

2.6.1 Sistem yang Berperan dalam Kebutuhan Cairan dan Elektrolit

Pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit dalam tubuh diatur oleh

ginjal, kulit, paru dan gastrointestinal.

1. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang memiliki peran cukup besar dalam

mengatur kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlihat pada fungsi

ginjal, yaisebagai pengatur air, pengatur konsentrasi garam dalam

darah, pengatur keseimbangan asam-basa darah, dan ekskresi bahan

buangan atau kelebihan garam.

Proses pengaturan kebutuhan keseimbangan air diawali oleh

kemampuan bagian ginjal, seperti glomerulus, dalam menyaring

cairan. Rata-rata setiap satu liter darah mengandung 500 cc plasma

yang mengalir melalui glomerulus, 10 persennya disaring keluar.

Cairan yang tersaring kemudian mengalir melalui tubuli renalis yang

sel-selnya menyerap semua bahan yang dibutuhkan. Jumlah urin

yang diproduksi ginjal rata-rata 1 ml/kg/bb/jam.

2. Kulit

Kulit merupakan bagian penting pengaturan cairan yang terkait

dengan proses pengaturan panas. Proses ini diatur oleh pusat

pengatur panas yang disarafi oleh vasomotorik dengan kemampuan

mengendalikan arteriol kutan dengan cara vasodilatasi dan

vasokontriksi. Pada proses pelepasan panas dapat dilakukan dengan

cara penguapan. Jumlah keringat yang dikeluarkan tergantung pada

banyaknya darah yang mengalir melalui pembuluh darah dalam

kulit. Proses pelepasan panas lainya dapat dilakukan melalui cara

pemancaran panas ke udara sekirar, konduksi (pengalihan panas ke


benda yang disentuh), dan konveksi (pengaliran udara panas ke

permukaan yang lebih dingin).

Keringat merupakan sekresi aktif dari kelenjar keringat di bawah

pengendalian saraf simpatis. Melalui kelenjar keringat ini suhu dapat

diturunkan dengan jumlah air yang dapat dilepaskan, kurang lebih

setengah liter sehari. Perangsangan kelenjar keringan yang

dihasilkan dapat diperoleh melalui aktivitas otot, suhu lingkungan,

dan kondisi suhu tubuh yang panas.

3. Paru

Organ paru berperan mengeluarkan cairan dengan menghasilkan

insensible water loss kurang lebih 400 ml/hari. Proses pengeluaran

cairan terkait dengan respons akibat perubahan upaya kemampuan

bernapas.

4. Gastrointestinal

Gastrointestinal merupakan organ saluran pencernaan yang

berperan dalam mengeluarkan cairan melalui proses penyerapan dan

pengeluaran air. Dalam kondisi normal, cairan yang hilang dalam

sistem ini sekitar 100 – 200 ml/hari.

2.6.2 Kebutuhan Cairan Tubuh Bagi Manusia

Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia

secara fisiologis, yang memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh,

hamper 90% dari total berat badan tubuh. Sementara itu, sisanya

merupakan bagian padat dari tubuh. Secara keseluruhan, kategori


persentase cairan tubuh berdasarkan umur adalah: bayi baru lahir 75%

dari total berat bada, pria dewasa 57% dari total berat badan, wanita

dewasa 55% dari total berat badan, dan dewasa tua 45% dari total berat

badan. Persentase cairan tubuh bervariasi, bergantung pada faktor usia,

lemak dalam tubuh, dan jenis kelamin. Jika lemak tubuh sedikit, maka

cairan dalam tubuh lebih besar. Wanita dewasa mempunyai jumlah

cairan tubuh lebih sedikit dibanding pria karena pada wanita dewasa

jumlah lemak dalam tubuh lebih banyak dibanding pada pria.

2.6.3 Pengaturan Volume Cairan Tubuh

Keseimbangan cairan dalam tubuh dihitung dari keseimbangan antara

jumlah cairan yang masuk dan jumlah cairan yang keluar.

1. Asupan cairan

Asupan cairan untuk kondisi normal pada orang dewasa adalah

±2500 cc per hari. Asupan cairan dapat langsung berupa cairan atau

ditambah dari makanan lain. Pengaturan mekanisme keseimbangan

cairan ini menggunakan mekanisme haus. Pusat pengaturan rasa

haus adalam hipotalamus. Apabila terjadi ketidakseimbangan

volume cairan tubuh maka curah jantung menurun, menyebabkan

terjadinya penurunan tekanan darah.

2. Pengeluaran cairan

Pengeluaran cairan dalam kondisi normal adalah ±2300 cc. jumlah

air yang paling banyak keluar berasal dari ekskresi ginjal (berupa

urin), sebanyak ±1500 cc per hari pada orang dewasa. Pengeluaran


cairan dapat pula dilakukan melalui kulit (keringat) dan saluran

pencernaan (feses).

2.6 Konsep Dasar Infeksi

2.6.1 Pengertian Infeksi

Infeksi adalah suatu kondisi penyakit akibat masuknya kuman pathogen

atau mikroorganisme lain ke dalam tubuh atau ke tubuh sehingga

menimbulkan gejala tertentu. Apabila pada suatu jaringan terdapat jejas

akibat trauma, bakteri, panas, ataupun bahan kimia, pada jaringan

tersebut akan terjadi perubahan sekunder yang disebut peradangan.

Kondisi ini ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah local,

peningkatan permeabilits kapiler, pembekuan cairan dalam ruang

interstisial, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam

jaringan, dan pembekakakn sel (Mubarak, 2008).

2.6.2 Tanda-tanda Infeksi

Menurut Mubarak (2008), tanda-tanda infeksi secara klinis dapat dilihat

pada respons klien, baik lokal maupun sitemik. Tanda infeksi lokal

meliputi:

1. Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan tanda yang pertama

terlihat pada daerah yang mengalami infeksi.

2. Kalor atau panas, merupakan sifat dari reaksi infeksi yang hanya

terjadi pada permukaan tubuh.


3. Dolor atau rasa sakit/nyeri, ini terjadi akibat perubahan pH lokal atau

konsentrasi lokal ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung-

ujung saraf.

4. Tumor atau bengkak, disebabkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel

dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial.

5. Fungsio laesa atau perubahan fungsi/keterbatasan anggota gerak.

Sedangkan tanda infeksi sistemik meliputi demam, malaise, anoreksia,

mual, muntah, sakit kepala, dan diare.

2.6.3 Proses Klinis Infeksi (Mubarak, 2008)

Proses klinis terjadinya infeksi ditentukan oleh enam link yang

membentuk rantai infeksi. Link tersebut meliputi agens infeksius

(mikroorganisme), sumber infeksi (reservoir), pintu keluar, metode

penyebaran, pintu masuk, dan hospes yang rentan.

1. Agens infeksius (mikroorganisme)

Kemampuan mikroorganisme untuk menimbulkan proses infeksi

bergantung pada jumlah mikroorganisme yang masuk, virulensi dan

potensi mikroorganisme, kemampuan mikroorganisme memasuki

tubuh, kerentanan hospes, dan kemampuan miroorganisme

memasuki tubuh, kerentanan hospes, dan kemampuan

mikroorganisme untuk hidup di dalam hospes.

2. Reservoir

Banyak hal yang bisa menjadi reservoir atau sumber

mikroorganisme, di antaranya adalah manusia, tanaman, hewan,


lingkungan, dan mikroorganisme klien sendiri. Pada tubuh manusia,

mikroorganisme paling banyak ditemukan di kulit, salurang

pencernaan, mulut, alat kelamin, kolon, dan uretra bagian bawah.

Sedangkan di lingkungan, mikroorganisme dapat berasal dari

makanan, air, feses, atau objek tertentu.

3. Pintu keluar

Sebelum menyebabkan infeksi pada tubuh hospes, mikroorganisme

terlebih dahulu harus meninggalkan reservoir.

4. Metode penyebaran

Setelah meninggalkan reservoir, mikroorganisme memerlukan

sarana untuk masuk ke dalam tubuh hospes melalui pintu masuk.

Secara umum, ada tiga mekanisme penyebaran, yaitu:

a. Penyebaran langsung

Perpindahan mikroorganisme secara langsung dan segera dari

satu individu ke individu lain melalui sentuhan, gigitan, ciuman,

hubungan seksual, atau bisa pula melalui percikan ludah

(droplet) pada jarak kurang dari tiga kaki.

b. Penyebaran tak langsung

Perpindahan mikroorganisme dengan bantuan media atau

vektor.

1) Penyebaran melalui media. Media disini adalah setiap

substansi atau benda yang dapat menjadi perantara

masuknya mikroorganisme ke dalam hospes yang rentan.

Media tersebut dapat berupa mainan, pakaian kotor,


peralatan masak, peralatan bedah, makanan, air, darah.

Selain itu penyebaran juga bisa terjadi dengan bantuan

manusia, seperti tenaga perawat, dokter, ahli terapi.

2) Penyebaran melalui vektor. Vektor adalah hewan atau

serangga yang bertindak sebagai perantara penyebaran

agens infeksi. Penyebaran mikroorganisme dapat

berlangsung melalui saliva atau materi feses.

c. Transmisi udara. Penyebaran mikroorganisme dapat

berlangsung melalui droplet atau debu yang kemudian masuk ke

dalam tubuh manusia melalui pintu masuk yang sesuai, biasanya

salurang pernapasan.

5. Pintu masuk

Infeksi dapat terjadi setelah mikroorganisme berhasil masuk ke

dalam tubuh hospes. Biasanya, mikroorganisme masuk ke dalam

tubuh hospes malalui rute yang sama seperti saat keluar dari

reservoir.

6. Hospes yang rentan

Hospes yang rentan adalah setiap individu yang beresiko mengalami

infeksi. Tingkat resistensi individu terhadap kumat pathogen yang

masuk dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu stress

yang berkepanjangan, status nutrisi yang buruk, kelelahan, usia yang

terlalu muda atau sangat tua, penyakit kronis, pengobatan yang

menekan produksi sel darah putih.


2.6.4 Faktor yang Meningkatkan Kerentanan Terhadap Infeksi

(Mubarak, 2008)

1. Usia. Bayi lahir dan lansia memiliki pertahanan tubuh rendah

terhadap infeksi. Bayi baru lahir memiliki sistem imun yang imatur

dan hanya dilindungi oleh immunoglobulin pasif (IgG) yang

diperoleh dari ibu pada 2 – 3 bulan pertama kehidupannya.

Sedangkan lansia mengalami perlemahan sistem imun akibat proses

penuaan.

2. Hereditas. Pada sebagian orang, faktor hereditas berpengaruh

terhadap perkembangan infeksi. Kelainan bawaan berupa rendahnya

immunoglobulin serum menyebabkan seseorang rentan terhadap

jenis infeksi tertentu.

3. Status imunisasi. Lengkap tidaknya status imunisasi seseorang

berpengaruh terhadap perkembangan infeksi.

4. Terapi yang dijalani. Sejumlah terapi medis dapat menyebabkan

infeksi pada pasien. Sebagai contoh, terapi radiasi atau kemoterapi

tidak hanya bekerja menghancurkan sel kanker, tetapi juga sel yang

normal. Akibatnya individu semakin rentan terhadap infeksi.

5. Status nutrisi. Kekebalan tubuh terhadap infeksi bergantung pada

status nutrisi yang baik. Karena antibodi merupakan protein, maka

status nutrisi yang buruk dapat mengganggu kemampuan tubuh

menyintesis antibodi.

6. Kelelahan. Kondisi lelah dapat menurunkan daya tahan tubuh.

Akibatnya, individu akan semakin rentan terhadap infeksi.


7. Stress. Kondisi stress menyebabkan peningkatan kadar kortison

dalam darah. Peningkatan kortison dalam waktu lama dapat

menyebabkan penurunan respons anti-inflamasi, kelelahan, dan

penurunan daya tahan tubuh.

2.6.5 Tahapan Proses Infeksi

Tahapan proses infeksi menurut Mubarak (2008) yaitu:

1. Periode inkubasi

Periode sejak masuknya kuman ke dalam tubuh sampai dengan

munculnya gejala. Lamanya waktu yang dibutuhkan sampai gejala

muncul bervariasi, bergantung pada penyakitnya.

2. Periode prodromal

Periode sejak muncul gejala umum sampai munculnya gejala

spesifik. Pada masa ini, individu sangat infeksius, yaitu mudah

menularkan atau menyebarkan kuman kepada orang lain.

3. Periode sakit

Pada periode ini, gejala spesifik terus berkembang dan menimbulkan

menifestasi pada organ yang terinfeksi dan seluruh tubuh. Lamanya

waktu yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi individu dan

patogenitas kuman.

4. Periode konvalensi

Periode ini berlangsung sejak menurunnya gejala sampai individu

kembali sehat. Lamanya waktu yang dibutuhkan bergantung pada

jenis penyakit dan kondisi individu.

2.7 Konsep Dasar Stres dan Adaptasi (Tarwoto & Wartonah, 2006)
Stress merupakan bagian dari kehidupan yang mempunyai efek

positif dan negatif yang disebabkan karena perubahan lingkungan. Secara

sederhana stress adalah kondisi dimana adanya respons tubuh terhadap

perubahan untuk mencapai keadaan normal. Sedangkan stressor adalah

sesuatu yang dapat menyebabkan seseorang mengalami stress. Stressor

dapat berasal dari internal (misalnya, perubahan hormon, sakit) maupun

eksternal (misalnya, temperature dan pencemaran).

Ketika seseorang mengalami situasi bahaya, maka respon akan

muncul. Respon yang tidak disadari pada saat tertentu disebut respon

koping. Perubahan dari suatu keadaan dari respon akibat stressor disebut

adaptasi. Adaptasi sesungguhnya terjadi apabila adanya keseimbangan

antara lingkungan internal dan eksternal. Contoh adaptasi misalnya:

optimalnya semua fungsi tubuh, pertumbuhan dan perkembangan normal,

normalnya reaksi antara fisik dan emosi, kemampuan menolerir

perubahan situasi.

2.7.1 Fisiologi Stress dan Adaptasi

Tubuh selalu berinteraksi dan mengalami sentuhan langsung dengan

lingkungan, baik lingkungan internal (seperti pengaturan peredaran

darah, pernapasan) maupun lingkungan eksternal (seperti cuaca dan suhu

yang kemudian menimbulkan respon normal atau tidak normal). Keadaan

dimana terjadi mekanisme relative untuk mempertahankan fungsi normal

disebut homeostasis. Homeostasis dibagi menjadi dua yaitu homeostasis

fisiologis (misalnya, respon adanya peningkatan pernapasan saat


berolahraga) dan homeostasis psikologi (misalnya, perasaan mencintai

dan dicintai, perasaan aman dan nyaman.

2.7.2 Respon Fisiologis terhadap Stres

Respon fisiologis terhadap stress dapat diidentifikasi manjadi dua yaitu

local adaptation syndrome (LAS) yaitu respon lokal tubuh terhadap

stressor (misalnya kalau menginjak paku maka secara reflex kaki akan

diangkat atau misalnya ada proses peradangan makan reaksi lokalnya

dengan menambahkan sel darah putih pada lokasi peradangan) dan

general adaptation syndrome (GAS) yaitu reksi menyeluruh terhadap

stress yang ada.

Dalam proses GAS terdapat tiga fase: pertama, reaksi peringatan ditandai

oleh peningkatan aktivitas neuroendokrin yang berupa peningkatan

pembuluh darah, nadi, pernapasan, metabolisme, glukosa, dan dilatasi

pupil; kedua, fase resisten dimana fungsi kembali normal, adanya LAS,

adanya koping dan mekanisme pertahanan; ketiga, fase kelelahan

ditandai dengan adanya vasodilatasi, penurunan tekanan darah, panic,

krisis.

2.7.3 Respon Psikologis terhadap Stres

Respons psikologis terhadap stress dapat berupa depresi, marah, dan

kecemasan. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian,

misalnya cemas mengikuti ujian karena khawatir nilainya buruk. Ada

empat tingkatan kecemasan, yaitu:

1. Cemas ringan
Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa

kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan

individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk

belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Repon

cemas ringan seperti sesekali bernapas pendek, nadi dan tekanan

darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir

bergetar, lapang persepsi meluas, konsentrasi pada masalah,

menyelesaikan masalah secara efektif, tidak dapat duduk dengan

tenang, dan tremor halus pada tangan.

2. Cemas sedang

Pada tingkatan ini lahan persepsi terhadap masalah menurun.

Individu lebih berfokus pada hal-hal penting saat itu dan

mengesampingkan hal lain. Respon cemas sedang seperti sering

napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia,

gelisah, lapang pandang menyempit, rangsangan luar tidak mampu

diterima, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan

tidak enak.

3. Cemas berat

Pada cemas berat lahan persepsi sangat sempit. Seseorang cenderung

hanya memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang

penting. Seseorang tidak mampu berpikir berat lagi dan

membutuhkan lebih banyak pengarahan/tuntutan.

Respon kecemasan berat seperti napas pendek, nadi dan tekanan

darah meningkat, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur,


ketegangan, lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu

menyelesaikan masalah, bloking, verbalisasi cepat, dan perasaan

ancaman meningkat.

4. Panik

Pada tahap ini lahan persepsi telah terganggu sehingga individu tidak

dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa,

walaupun telah diberi pengarahan.

Respon panik seperti napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi sakit

dada, pucat, hipotensi, lapang persepsi sangat sempit, tidak dapat

berpikir logis, agitasi, mengamuk, marah, ketakutan, berteriak-teriak,

bloking, kehilangan kendali, dan persepsi kacau.

2.7.4 Faktor-faktor yang Dapat Menimbulkan Stres

1. Lingkungan yang asing.

2. Kehilangan kemandirian sehingga mengalami ketergantungan dan

memerlukan bantuan orang lain.

3. Berpisah dengan pasangan dan keluarga.

4. Masalah biaya.

5. Kurang informasi.

6. Ancaman akan penyakit yang lebih parah.

7. Masalah pengobatan.

2.8 Asuhan Keperawatan

Menurut Asmadi (2008) yang dikutip dari Yura dan Wals (1983),

proses keperawatan adalah suatu metode yang sistematis dan ilmiah yang

digunakan perawat dalam mencapai atau mempertahankan keadaan bio-


psiko-sosio-spiritual yang optimal melalui tahap pengkajian, identifikasi

diagnosis keperawatan, penentuan rencana keperawatan, implementasi

tindakan keperawatan, serta evaluasi.

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan.

Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan

aspek biologis, psikologis, social, maupun spiritual klien. Tujuan

pengkajian adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat

data dasar klien. Pengkajian dilakukan saat klien masuk instansi

layanan kesehatan. Data yang diperoleh sangat berguna untuk

menentukan tahap selanjutnya dalam proses keperawatan. Kegiatan

utama dalam tahap pengkajian ini adalah pengumpulan data,

pengelompokkan data, dan analisis data guna perumusan diagnosis

keperawatan.

a. Pengumpulan Data

Pada tahap ini merupakan kegiatan dalam menghimpun

informasi (data-data) dari klien yang meliputi unsur bio – psiko

– spiritual yang komprehensif secara lengkap dan relevan untuk

mengenal klien agar dapat memberi arah kepada tindakan

keperawatan.

1) Identitas

Nama klien, nama panggilan, jenis kelamin, jumlah saudara,

alamat, bahasa yang digunakan.


2) Keluhan Utama

Klien biasa dating dengan keluhan: demam, sakit kepala,

nyeri pada kuadran kanan atas, muntah, ikterik, lemah, letih,

lesu dan anoreksia (Wijaya, 2013).

3) Riwayat Penyakit Dahulu

Meliputi penyakit apa yang pernah diderita klien, kebiasaan

minum alcohol, pernah menjalani operasi batu empedu, apa

pernah dirawat di rumah sakit, dan obat yang biasa

digunakan.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga

Apakah ada keluarga klien yang menderita penyakit

hepatitis dan penyakit lain.

5) Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan umum dan tanda-tanda vital

Keadaan umum klien lemah atau terdapat keletihan.

Pada pemeriksaan suhu tubuh ditemukan adanya

peningkatan suhu tubuh.

b) Pemeriksaan kepala dan muka

Pada pemeriksaan kepala ditemukan adanya nyeri

kepala. Pada pemeriksaan muka dapat ditemukan warna

muka pucat jika klien disertai dengan anemia.


c) Pemeriksaan telinga

Tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan telinga.

d) Pemeriksaan mata

Pada pemeriksaan mata ditemukan adanya ikterus.

e) Pemeriksaan mulut dan faring

Tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan mulut

dan faring.

f) Pemeriksaan leher

Pada pemeriksaan leher kemungkinan ditemukan

tiroiditis.

g) Pemeriksaan payudara dan ketiak

Tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan payudara

dan ketiak.

h) Pemeriksaan paru-paru

Tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan paru-

paru.

i) Pemeriksaan jantung

Pada pemeriksaan jantung kemungkinan ditemukan

bradikardi.

j) Pemeriksaan abdomen
Pada pemeriksaan abdomen kemungkinan ditemukan

hepatomegali, splenomegali, glomerulonefritis, nyeri

tekan kuadran satu, dan asites.

k) Pemeriksaan integumen

Pada pemeriksaan integumen ditemukan adanya ikterus

pada kulit dan membran mukosa, pruritus, urtikaria, lesi

yang disebabkan oleh garukan.

l) Pemeriksaan anggota gerak/ekstremitas

Tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan anggota

gerak.

m) Pemeriksaan genetalia dan anus

Tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan genetalia

dan anus.

n) Pemeriksaan status neurologis

Pada pemeriksaan status neurologis kemungkinan

ditemukan letargi (penurunan kesadaran), asteriksis

(tremor otot), peka terhadap rangsang, dan klien

cenderung tidur.

b. Analisa Data

Dari hasil pengkajian kemudian data tersebut dikelompokkan

lalu dianalisa sehingga dapat ditarik kesimpulan masalah yang

timbul dan untuk selanjutnya dapat dirumuskan diagnosa

keperawatan.

1) Data diagnosa intoleransi aktivitas


Data Subjektif:

a) Klien mengatakan adanya kelemahan (Wijaya, 2013).

Menurut Tarwoto & Wartonah (2006), data Objektif untuk

intoleransi aktivitas antara lain:

a) Kesulitan dalam pergerakan.

b) Ketidakmampuan melakukan aktivitas.

2) Data diagnosa gangguan nutrisi menurut Wijaya (2013)

Data Subjektif:

a) Klien mengatakan hilangnya nafsu makan.

Data Objektif:

a) Penurunan berat badan.

b) Mual muntah.

3) Data diagnosa kekurangan volume cairan menurut Wijaya

(2013)

Data Subjektif: -

Data Objektif:

a) Mukosa bibir kering

b) Kulit kering

c) Urin pekat

d) Penurunan pengeluaran urin

e) Perubahan tekanan darah

f) Ketidakmampuan berkonsentrasi
g) Turgor kulit jelek

4) Data diagnosa kerusakan integritas kulit menurut Wijaya

(2013)

Data Subjektif:

a) Klien mengatakan badannya gatal

Data Objektif:

a) Terdapat luka bekas garukan.

5) Data diagnosa cemas menurut Doenges (2000)

Data Subjektif:

a) Klien mengatakan tidak mengerti tentang penyakitnya.

b) Klien mengungkapkan persepsi yang salah tentang

penyakitnya.

Data Objektif:

a) Banyak bertanya.

b) Meminta informasi.

c) Tidak akurat mengikuti instruksi.

6) Data diagnosa nyeri menurut Wijaya (2013)

Data Subjektif:

a) Klien mengatakan nyeri pada perut bagian kanan atas.

b) Klien mengatakan nyeri pada kepala.

Data Objektif:

a) Terdapat nyeri tekan.


b) Skala nyeri yang dirasakan.

7) Data diagnosa hipertermi menurut Wijaya (2013)

Data Subjektif:

a) Klien mengatakan badannya panas.

Data Objektif:

a) Suhu tubuh diatas normal.

8) Data diagnosa harga diri rendah Doenges (2000)

Data Subjektif:

a) Klien mengatakan perubahan pada pola hidup.

b) Klien mengatakan takut terhadap penolakan dan reaksi

orang lain.

c) Klien mengungkapkan perasaan negative terhadap

tubuh.

d) Klien mengungkapkan perasaan tidak berdaya.

Data Objektif:

a) Perilaku merusak diri.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan hepatitis, antara lain:

a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum,

penurunan kekuatan, keterbatasan aktifitas (Doenges, 2000).


b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan anoreksia, mual muntah, gangguan absorbsi dan

metabolisme perencanaan makanan (Doenges, 2000).

c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan

kehilangan berlebihan melalui muntah dan diosis, asistesi,

gangguan proses pembekuan (Doenges, 2000).

d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer

tidak adekuat (leukopeni, penekanan respons inflamasi) dan

depresi imun, malnutrisi (Doenges, 2000).

e. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan

pruritas, ikteri, odema (Doenges, 2000).

f. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang

kondisi, prognosis dan penatalaksanaan penyakitnya (Wijaya,

2013).

g. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan hepar (Nanda, 2013).

h. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi pada hepar (Nanda,

2013).

3. Perencanaan

a. Diagnosa keperawatan 1:

Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum,

penurunan kekuatan, keterbatasan aktifitas.

Tujuan: dapat beraktifitas sesuai toleransi.


Kriteria hasil: menunjukkan teknik/ perilaku yang memampukan

kembali melakukan aktifitas, melaporkan kemampuan

melakukan peningkatan toleransi aktifitas.

Intervensi:

1) Tingkatkan tirah baring/duduk dan berikan lingkungan

tenang dengan cara batasi pengunjung sesuai keperluan.

R/ meningkatkan istirahat dan ketengangan. Menyediakan

energi yang digunakan untuk penyembuhan. Aktivitas dan

posisi duduk tegak diyakini menurunkan aliran darah ke

kaki, yang mencegah sirkulasi optimal ke sel hati (Doenges,

2000).

2) Ubah posisi dengan sering dan berikan perawatan kulit yang

baik (Doenges, 2000).

R/ meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk

menurunkan risiko kerusakan jaringan.

3) Lakukan tugas dengan cepat dan sesuai toleransi.

R/ memungkinkan periode tambahan istirahat tanpa

gangguan (Doenges, 2000).

4) Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi dan bantu melakukan

latihan rentang gerak sendi pasif/aktif.

R/ tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini

dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang

mengganggu periode istirahat (Doenges, 2000).


5) Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contohnya

relaksasi progresif, visualisasi, bimbingan imajinasi dan

berikan aktivitas hiburan yang tepat contoh menonton TV,

radio, membaca.

R/ meningkatkan relaksasi dan penghematan energi,

memusatkan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan

koping (Doenges, 2000).

6) Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan pembesaran

hati.

R/ menunjukkan kurang resolusi/eksaserbasi penyakit,

memerlukan istirahat lanjut, mengganti program terapi

(Doenges, 2000).

7) Kolaborasi pemberian antidote atau bantu dalam prosedur

sesuai indikasi (contoh lavase, katarsis, hiperventilasi)

tergantung pada pemajanan.

R/ membuang agen penyebab pada hepatitis toksik, dapat

membatasi derajat kerusakan jaringan (Doenges, 2000).

8) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi: sedatif, agen

antiansietas, contoh diazepam, lorazepam.

R/ membantu dalam manajemen kebutuhan tidur (Doenges,

2000).

9) Awasi kadar enzim hati


R/ membantu menentukan kadar aktivitas tepat, sebagai

peningkatan premature pada potensial risiko berulang

(Doenges, 2000).

10) Monitor keterbatasan aktivitas, kelemahan saat aktivitas.

R/ merencanakan intervensi dengan tepat (Tarwoto &

Wartonah, 2006).

11) Bantu klien dalam melakukan aktivitas sendiri.

R/ klien dapat memilih dan merencanakannya sendiri

(Tarwoto & Wartonah, 2006).

12) Catat tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.

R/ mengkaji sejauh mana perbedaan peningkatan selama

aktivitas (Tarwoto & Wartonah, 2006).

13) Kolaborasi dengan dokter dan fisioterapi dalam latihan

aktivitas.

R/ meningkatkan kerja sama tim dan perawatan holistic

(Tarwoto & Wartonah, 2006).

14) Anjurkan lakukan istirahat yang adekuat setelah latihan dan

aktivitas.

R/ membantu mengembalikan energi (Tarwoto &

Wartonah, 2006).

15) Berikan diet yang adekuat dengan kolaborasi ahli diet.

R/ metabolism membutuhkan energi (Tarwoto & Wartonah,

2006).
16) Berikan pendidikan kesehatan tentang perubahan gaya

hidup untuk menyimpan energy, penggunaan alat bantu

pegerakan.

R/ meningkatkan pengetahuan dalam perawatan diri

(Tarwoto & Wartonah, 2006).

b. Diagnosa keperawatan 2:

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan anoreksia, mual muntah, gangguan absorbsi dan

metabolisme perencanaan makanan.

Tujuan: nutrisi klien terpenuhi secara adekuat.

Kriteria hasil: menunjukkan perilaku perubahan pola hidup

untuk meningkatkan/mempertahankan berat badan yang sesuai,

menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan

nilai laboratorium normal dan bebas tanda malnutrisi.

1) Awasi pemasukan diet/jumlah kalori.

R/ makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien

anoreksia. Anoreksia juga paling buruk selama siang hari,

membuat masukan makanan yang sulit pada sore hari

(Doenges, 2000).

2) Berikan makan sedikit dalam frekuensi sering dan tawarkan

makan pagi paling besar.

R/ makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien

anoreksia. Anoreksia juga paling buruk selama siang hari,


membuat masukan makanan yang sulit pada sore hari

(Doenges, 2000).

3) Berikan perawatan mulut sebelum makan.

R/ menghilangkan rasa tak enak, dapat menginkatkan nafsu

makan (Doenges, 2000).

4) Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.

R/ menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat

meningkatkan pemasukan (Doenges, 2000).

5) Berikan tambahan makanan/nutrisi dukungan total bila

dibutuhkan.

R/ mungkin perlu untuk memenuhi kebutuhan kalori bila

tanda kekurangan terjadi/gejala memanjang (Doenges,

2000).

6) Tingkatkan intake makanan melalui mengurangi gangguan

dari lingkungan, jaga privasi klien, jaga kebersihan ruangan,

berikan obat sebelum makan jika ada indikasi..

R/ cara khusu untuk meningkatkan nafsu makan (Tarwoto

& Wartonah, 2006)..

7) Bantu klien makan jika tidak mampu.

R/ membatu klien makan (Tarwoto & Wartonah, 2006).

8) Sajikan makanan yang mudah dicerna, dalam keadaan

hangat, tertutup, dan berikan sedikit-sedikit tetapi sering.

R/ meningkatkan selera makan dan intake makanan

(Tarwoto & Wartonah, 2006).


9) Selingi makan dengan minum.

R/ memudahkan makanan masuk (Tarwoto & Wartonah,

2006).

10) Hindari makanan yang banyak mengandung gas.

R/ mengurangi rasa tidak nyaman (Tarwoto & Wartonah,

2006).

11) Ukur intake makanan dan timbang berat badan.

R/ observasi kebutuhan nutrisi (Tarwoto & Wartonah,

2006).

12) Lakukan latihan pasif dan aktif.

R/ menambah nafsu makan (Tarwoto & Wartonah, 2006).

13) Kaji tanda vital, sensori, bising usus.

R/ membantu mengkaji keadaan klien (Tarwoto &

Wartonah, 2006).

14) Monitor hasil lab, seperti glukosa, elektrolit, albumin,

hemoglobin, kolaborasi dengan dokter.

R/ monitor status nutrisi (Tarwoto & Wartonah, 2006)..

15) Berikan umpan balik yang positif tentang peningkatan

intake, berat badan.

R/ meningkatkan kepercayaan untuk meningkatkan makan

(Tarwoto & Wartonah, 2006).

16) Berikan pendidikan kesehatan tentang cara diet, kebutuhan

kalori, dan tindakan keperawatan yang berhubungna dengan

nutrisi jika klien menggunakan NGT.


R/ meningkatkan pengetahuan agar klien lebih kooperatif

(Tarwoto & Wartonah, 2006).

c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan

kehilangan berlebihan melalui muntah dan diosis, asistesi,

gangguan proses pembekuan.

Tujuan: volume cairan dapat terpenuhi.

Kriteria hasil: tanda vital stabil, mukosa bibir lembab, turgor

kulit baik, pengeluaran urin sesuai.

1) Monitor intake dan output dan bandingkan dengan berat

badan harian. Catat kehilangan melalui usus, contoh muntah

dan diare.

R/ memberikan informasi tentang kebutuhan

penggantian/efek terapi (Doenges, 2000).

2) Kaji tanda vital, nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit,

dan membran mukosa.

R/ indikator volume sirkulasi/perfusi (Doenges, 2000).

3) Periksa asites atau pembentukan edema dengan cara

mengukur lingkar abdomen sesuai indikasi.

R/ menurunkan kemungkinan perdarahan kedalam jaringan

(Doenges, 2000).

4) Observasi tanda perdarahan, contoh hematuria/melena,

ekimosis, perdarahan terus menerus dari gusi/bekas injeksi.

R/ kadar protobin menurun dan waktu koagulasi

memanjang bila absorbi vitamin K terganggu pada traktus


gastrointestinal dan sintesis protrombin menurun karena

mempengaruhi hati (Doenges, 2000).

5) Berikan cairan intra vena.

R/ memberikan cairan dan penggantian elektrolit (Doenges,

2000).

6) Berikan pengobatan seperti anti diare dan anti muntah.

R/ menurunkan pergerakan usus dan muntah (Tarwoto &

Wartonah, 2006).

7) Berikan pendidikan kesehatan tentang tanda dan gejala

dehidrasi, intake dan output cairan, terapi.

R/ meningkatkan informasi dan kerja sama (Tarwoto &

Wartonah, 2006).

d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer

tidak adekuat (leukopeni, penekanan respons inflamasi) dan

depresi imun, malnutrisi.

Tujuan: infeksi tidak terjadi.

Kriteria hasil: klien mengetahui tentang penyebab/faktor resiko

infeksi, klien menunjukkan perubahan perilaku menghindari

infeksi.

1) Isolasi untuk klien infeksi enterik sesuai dengan kebijakan

rumah sakit.

R/ mencegah transmisi penyakit virus ke orang lain

(Doenges, 2000).

2) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.


R/ melalui cuci tangan dapat mencegah dan melindungi dari

infeksi virus (Doenges, 2000).

3) Awasi/batasi pengunjung sesuai indikasi.

R/ klien dapat terpapar terhadap proses infeksi (Doenges,

2000).

4) Jelaskan prosedur isolasi pada klien/orang terdekat.

R/ untuk perlindungan diri dan orang lain. Isolasi dapat

berakhir 2 – 3 minggu dari timbulnya penyakit, tergantung

lamanya gejala dan tipe (Doenges, 2000).

5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.

R/ berguna untuk pengobatan hepatitis aktif kronis

(Doenges, 2000).

e. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan

pruritas, ikterik, odema.

Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

Kriteria hasil: menunjukkan jaringan/kulit utuh bebas ekskoriasi,

melaporkan tidak ada/penurunan pruritus/lecet.

1) Gunakan air mandi dingin dan soda kue atau mandi kanji,

hindari sabun alkali dan berikan minyak kalamin sesuai

indikasi.

R/ mencegah kulit kering berlebihan. Memberikan

penghilang gatal (Doenges, 2000).

2) Anjurkan menggunakan buku-buku jari untuk menggaruk

bila tidak terkontrol.


R/ menurunkan potensial cedera kulit (Doenges, 2000).

3) Berikan masase pada waktu tidur.

R/ bermanfaat dalam meningkatkan tidur dengan

menurunkan iritsi kulit (Doenges, 2000).

4) Hindari komentar tentang penampilan klien.

R/ meminimalkan stress psikologis karena perubahan kulit

(Doenges, 2000).

5) Berikan obat sesuai indikasi.

R/ menghilangkan gatal (Doenges, 2000).

f. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang

kondisi, prognosis dan penatalaksanaan penyakitnya.

Tujuan: pengetahuan tentang penyakit bertambah.

Kriteria hasil: menyatakan pemahaman proses penyakit dan

pengobatan, mengidentifikasi hubungan tanda/gejala penyakit

dan hubungan gejala dengan faktor penyebab, melakukan

perubahan perilaku dan berpartisipasi pada pengobatan.

1) Kaji tingkat pemahaman proses penyakit,

harapan/prognosis, kemungkinan pilihan pengobatan.

R/ mengidentifikasi area kekurangan pengetahuan/salah

informasi dan memberikan kesempatan untuk informasi

tambahan sesuai kebutuhan (Wijaya, 2013).

2) Berikan informasi khusus tentang pencegahan/penularan

penyakit.
R/ kebutuhan/rekomendasi akan bervariasi karena tipe

hepatitis (agen penyebab) dan situasi individu (Wijaya,

2013).

3) Lakukan pengkajian kembali mengenai riwayat pasien

masuk rumah sakit.

R/ identifikasi faktor penyebab cemas (Tarwoto &

Wartonah, 2006).

4) Monitor hubungan perilaku cemas, aktivitas, dan kejadian

setiap 2 jam.

R/ ketika cemas meningkat, klien kurang kooperatif dan ada

kemungkinan terjadi perubahan rencana keperawatan

(Tarwoto & Wartonah, 2006).

5) Yakinkan bahwa cemas adalah reaksi normal. Bantu

identifikasi tanda-tanda kecemasan seperti napas lebih

cepat, nadi cepat, dan berkeringat dingin.

R/ membantu mengidentifikasi hubungan antara partisipasi

dengan kecemasan (Tarwoto & Wartonah, 2006).

6) Berikan ketenangan dengan memberikan lingkuangan yang

nyaman.

R/ lingkungan yang nyaman membantu memfokuskan

pikiran dan aktivitas (Tarwoto & Wartonah, 2006).

7) Jelaskan semua prosedur dan tujuan dengan singkat dan

jelas.

R/ pasien yang kooperatif (Tarwoto & Wartonah, 2006).


8) Turunkan input sensori yang mengganggu seperti lampu

yang silau, gaduh, dan udara panas.

R/ menurunkan kecemasan (Tarwoto & Wartonah, 2006).

9) Lakukan hubungan yang lebih akrab dengan klien sebelum

tidur.

R/ menimbulkan kepercayaan dan klien merasa nyaman

(Tarwoto & Wartonah, 2006).

10) Monitor tanda vital setiap 4 jam.

R/ membantu menentukan efek cemas (Tarwoto &

Wartonah, 2006).

11) Perhatikan kebutuhan fisik selama mengalami kecemasan.

R/ cemas menimbulkan kegagalan pemenuhan kebutuhan

fisik (Tarwoto & Wartonah, 2006).

12) Berikan obat anti cemas dan monitor efeknya setelah 30

menit.

R/ efek pengobatan membantu menurunkan kecemasan

(Tarwoto & Wartonah, 2006)..

13) Bantu klien dalam kemampuan koping.

R/ koping yang positif dapat menurunkan kecemasan

(Tarwoto & Wartonah, 2006)..

14) Lakukan pengkajian mengenai kemungkinan adanya

penyimpangan perilaku.

R/ mencegah penyimpangan perilaku (Tarwoto &

Wartonah, 2006).
15) Lakukan teknik relaksasi: teknik napas dalam dan

membaca.

R/ relaksasi menurunkan kecemasan (Tarwoto & Wartonah,

2006).

16) Kolaborasi dengan psikiater: hal-hal yang mengganggu

seperti lampu yang silau, suasana yang gaduh, dan cuaca

yang panas.

R/ mengatasi masalah kecemasan (Tarwoto & Wartonah,

2006).

g. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan hepar.

Tujuan: nyeri yang dirasakan berkurang/hilang.

Kriteria hasil: mampu mengontrol nyeri, melaporkan bahwa

nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri,

menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

1) Kaji jenis dan tingkat nyeri klien.

R/ pengkajian berkelanjutan membantu meyakinkan bahwa

penanganan dapat memenuhi kebutuhan klien dalam

mengurangi nyeri.

2) Minta klien untuk menggunakan sebuah skala 1 sampai 10

untuk menjelaskan tingkat nyerinya.

R/ untuk memfasilitasi pengkajian yang akurat tentang

tingkat nyeri klien.

3) Berikan obat yang dianjurkan untuk mengurangi nyeri.

R/ menurunkan nyeri yang dirasakan klien.


4) Bantu klien untuk mendapatkan posisi yang nyaman.

R/ untuk menurunkan ketegangan atau spasme otot dan

mendistribusikan kembali tekanan pada bagian tubuh.

5) Gunakan teknik panas dan dingin sesuai anjuran.

R/ untuk meminimalkan atau mengurangi nyeri.

6) Lakukan tindakan kenyamanan untuk meningkatkan

relaksasi, seperti pemijatan, mandi, mengatur posisi dan

teknik relaksasi.

R/ tindakan tersebut mengurangi ketegangan atau spasme

otot, mendistribusikan kembali tekanan pada bagian-bagian

tubuh, dan membantu klien memfokuskan pada subjek

pengurang nyeri.

7) Rencanakan aktivitas distraksi bersama klien, seperti

membaca, membuat kerajinan, menonton televisi.

R/ untuk membantunya memfokuskan pada masalah yang

tidak berhubungan dengan nyeri.

8) Beri informasi kepada klien untuk membanu meningkatkan

toleransi terhadap nyeri, contohnya alasan nyerri dan

lamanya nyeri berakhir.

R/ tindakan ini dapat mendidik klien dan mendorongnya

untuk mencoba tindakan pengurang nyeri alternative.

9) Lanjutkan untuk memberikan obat yang dianjurkan sesuai

indikasi.

R/ untuk meyakinkan pengurangan nyeri yang adekuat.


h. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi pada hepar.

Tujuan: terjadi penurunan suhu tubuh.

Kriteria hasil: suhu tubuh dalam rentang normal, nadi dan

respirasi dalam rentang normal.

1) Ukur suhu tubuh klien setiap 4 jam.

R/ identifikasi dan catat rute untuk meyakinkan

perbandingan data yang akurat.

2) Berikan antipiretik, sesuai anjuran.

R/ untuk menurunkan demam.

3) Turunkan panas yang berlebihan dengan melepas selimut

dan pasang kain sebatas pingga pada klien.

R/ tindakan tersebut meningkatkan kenyamanan dan

menurunkan temperature tubuh.

4) Beri kompres hangat.

R/ tindakan tersebut meningkatkan kenyamanan dan

menurunkan temperatur tubuh.

5) Pantau dan catat denyut dan irama nadi, tekanan vena

sentral, tekanan darah, frekuensi napas, tingkat

responsivitas, dan suhu kulit minimal setiap 4 jam.

R/ peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan vena

sentral, dan penurunan tekanan darah dapat

mengindikasikan hipovolemia, yang mengarah pada

penurunan perfusi jaringan. Kulit yang dingin, pucat dan

buruik dapat juga mengindikasikan penurunan perfusi


jaringan. Peningkatan frekuensi pernapasan berkompensasi

pada hipoksia jaringan.

6) Anjurkan klien untuk minum sebanyak mungkin air jika

tidak dikontraindikasikan.

R/ asupan cairan yang berlebih dapat mengakibatkan

kelebihan cairan atau dekompensasi jantung yang dapat

memperburuk kondisi klien.

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan rencana keperawatan adalah kegiatan atau tindakan

yang diberikan kepada klien sesuai dengan rencana keperawatan

yang telah ditetapkan tergantung pada situasi dan kondisi klien saat

itu.

Pada diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan

dengan kelemahan umum, penurunan kekuatan, keterbatasan

aktifitas dilakukan tindakan keperawatan dalam 3 x 24 jam dengan

intervensi meningkatkan tirah baring/duduk dan memberikan

lingkungan tenang dengan cara batasi pengunjung sesuai keperluan,

mengubah posisi dengan sering dan memberikan perawatan kulit

yang baik, melakukan tugas dengan cepat dan sesuai toleransi,

meningkatkan aktivitas sesuai toleransi dan membantu melakukan

latihan rentang gerak sendi pasif/aktif, mendorong penggunaan

teknik manajemen stress, mengawasi terulangnya anoreksia dan

nyeri tekan pembesaran hati, berkolaborasi pemberian antidote atau

bantu dalam prosedur sesuai indikasi, berkolaborasi pemberian obat


sesuai indikasi, mengawasi kadar enzim hati, memonitor

keterbatasan aktivitas, kelemahan saat aktivitas, membantu klien

dalam melakukan aktivitas sendiri, mencatat tanda vital sebelum dan

sesudah aktivitas, berkolaborasi dengan dokter dan fisioterapi dalam

latihan aktivitas, menganjurkan lakukan istirahat yang adekuat

setelah latihan dan aktivitas, memberikan diet yang adekuat dengan

kolaborasi ahli diet, memberikan pendidikan kesehatan tentang

perubahan gaya hidup untuk menyimpan energi, penggunaan alat

bantu pegerakan.

Pada diagnosa keperawatan perubahan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah,

gangguan absorbsi dan metabolisme perencanaan makanan,

dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam dengan

intervensi mengawasi pemasukan diet/jumlah kalori, memberikan

makan sedikit dalam frekuensi sering dan tawarkan makan pagi

paling besar, memberikan perawatan mulut sebelum makan,

menganjurkan makan pada posisi duduk tegak, memberikan

tambahan makanan/nutrisi dukungan total bila dibutuhkan,

meningkatkan intake makanan melalui mengurangi gangguan dari

lingkungan, jaga privasi klien, jaga kebersihan ruangan, berikan obat

sebelum makan jika ada indikasi, membantu klien makan jika tidak

mampu, menyajikan makanan yang mudah dicerna, dalam keadaan

hangat, tertutup, dan berikan sedikit-sedikit tetapi sering, menyelingi

makan dengan minum, menghindari makanan yang banyak


mengandung gas, mengukur intake makanan dan timbang berat

badan, melakukan latihan pasif dan aktif, mengkaji tanda vital,

sensori, bising usus, memonitor hasil lab, seperti glukosa, elektrolit,

albumin, hemoglobin, kolaborasi dengan dokter, memberikan umpan

balik yang positif tentang peningkatan intake, berat badan,

memberikan pendidikan kesehatan tentang cara diet, kebutuhan

kalori, dan tindakan keperawatan yang berhubungna dengan nutrisi

jika klien menggunakan NGT.

Pada diagnosa keperawatan resiko tinggi kekurangan volume

cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan melalui muntah

dan diosis, asistesi, gangguan proses pembekuan, dilakukan tindakan

keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam dengan intervensi memonitor

intake dan output dan bandingkan dengan berat badan harian,

mengkaji tanda vital, nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan

membran mukosa, memeriksa asites atau pembentukan edema

dengan cara mengukur lingkar abdomen sesuai indikasi,

mengobservasi tanda perdarahan, contoh hematuria/melena,

ekimosis, perdarahan terus menerus dari gusi/bekas injeksi,

memberikan cairan intra vena, memberikan pengobatan seperti anti

diare dan anti muntah, memberikan pendidikan kesehatan tentang

tanda dan gejala dehidrasi, intake dan output cairan, terapi.

Pada diagnosa keperawatan resiko tinggi infeksi berhubungan

dengan pertahanan primer tidak adekuat (leukopeni, penekanan


respons inflamasi) dan depresi imun, malnutrisi, dilakukan tindakan

keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam dengan intervensi mengisolasi

untuk klien infeksi enterik sesuai dengan kebijakan rumah sakit,

mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan,

mengawasi/membatasi pengunjung sesuai indikasi, menjelaskan

prosedur isolasi pada klien/orang terdekat, berkolaborasi pemberian

obat sesuai indikasi.

Pada diagnosa keperawatan resiko tinggi kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan pruritas, ikterik, odema, dilakukan tindakan

keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam dengan intervensi mengunakan

air mandi dingin dan soda kue atau mandi kanji, menghindari sabun

alkali dan memberikan minyak kalamin sesuai indikasi,

menganjurkan menggunakan buku-buku jari untuk menggaruk bila

tidak terkontrol, memberikan masase pada waktu tidur, menghindari

komentar tentang penampilan klien, memberikan obat sesuai

indikasi.

Pada diagnosa keperawatan cemas berhubungan dengan kurangnya

pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan penatalaksanaan

penyakitnya, dilakukan tidakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam

dengan intervensi mengkaji tingkat pemahaman proses penyakit,

harapan/prognosis, kemungkinan pilihan pengobatan, memberikan

informasi khusus tentang pencegahan/penularan penyakit,

melakukan pengkajian kembali mengenai riwayat pasien masuk


rumah sakit, memonitor hubungan perilaku cemas, aktivitas, dan

kejadian setiap 2 jam, meyakinkan bahwa cemas adalah reaksi

normal, membantu identifikasi tanda-tanda kecemasan seperti napas

lebih cepat, nadi cepat, dan berkeringat dingin, memberikan

ketenangan dengan memberikan lingkuangan yang nyaman,

menjelaskan semua prosedur dan tujuan dengan singkat dan jelas,

menurunkan input sensori yang mengganggu seperti lampu yang

silau, gaduh, dan udara panas, melakukan hubungan yang lebih

akrab dengan klien sebelum tidur, memonitor tanda vital setiap 4

jam, memperhatikan kebutuhan fisik selama mengalami kecemasan,

memberikan obat anti cemas dan monitor efeknya setelah 30 menit,

membantu klien dalam kemampuan koping, melakukan pengkajian

mengenai kemungkinan adanya penyimpangan perilaku, melakukan

teknik relaksasi: teknik napas dalam dan membaca, berkolaborasi

dengan psikiater: hal-hal yang mengganggu seperti lampu yang silau,

suasana yang gaduh, dan cuaca yang panas.

Pada diagnosa keperawatan nyeri berhubungan dengan

pembengkakan hepar dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu

3 x 24 jam dengan intervensi mengkaji jenis dan tingkat nyeri klien,

meminta klien untuk menggunakan sebuah skala 1 sampai 10 untuk

menjelaskan tingkat nyerinya, memberikan obat yang dianjurkan

untuk mengurangi nyeri, membantu klien untuk mendapatkan posisi

yang nyaman, menggunakan teknik panas dan dingin sesuai anjuran,

melakukan tindakan kenyamanan untuk meningkatkan relaksasi,


seperti pemijatan, mandi, mengatur posisi dan teknik relaksasi,

merencanakan aktivitas distraksi bersama klien, seperti membaca,

membuat kerajinan, menonton televisi, memberi informasi kepada

klien untuk membanu meningkatkan toleransi terhadap nyeri,

contohnya alasan nyerri dan lamanya nyeri berakhir, melanjutkan

untuk memberikan obat yang dianjurkan sesuai indikasi.

Pada diagnosa keperawatan hipertermi berhubungan dengan

inflamasi pada hepar dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3

x 24 jam dengan intervensi mengukur suhu tubuh klien setiap 4 jam,

memberikan antipiretik, sesuai anjuran, menurunkan panas yang

berlebihan dengan melepas selimut dan pasang kain sebatas pingga

pada klien, memberi kompres hangat, memantau dan catat denyut

dan irama nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah, frekuensi napas,

tingkat responsivitas, dan suhu kulit minimal setiap 4 jam,

menganjurkan klien untuk minum sebanyak mungkin air jika tidak

dikontraindikasikan.

5. Evaluasi

Dilaksanakan suatu penelitian terhadap asuhan keperawatan

telah diberikan atau dilaksanakan dengan berpegang teguh pada

tujuan yang ingin dicapai. Pada baigan ini ditentukan apakah

perencanaan sudah tercapai atau belum, dapat juga timbul masalah

baru. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

diharapkan intoleransi aktifitas teratasi, perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh teratasi, resiko tinggi kekurangan volume

cairan tidak terjadi, resiko tinggi infeksi tidak terjadi, resiko tinggi

kerusakan integritas kulit tidak terjadi, cemas dapat teratasi, nyeri

teratasi dan hipertermi teratasi.

2.9 Kerangka Masalah (Nanda, 2013)

Pengaruh alcohol, virus Inflamasi pada hepar.


hepatitis, toksin.

Gangguan suplai darah Hipertermi Peregangan kapsula


normal pada sel-sel hati.
hepar. Perasaan tidak nyaman
Hepatomegali
di kuadran kanan atas.
Kerusakan sel parenkim
sel hati dan duktuli
empedu intrahepatik. Nyeri akut Anoreksia

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan.

Gangguan metabolisme Obsttruksi Kerusakan konjugasi


karbohidrat, lemak dan
protein. Gangguan ekskresi Bilirubin tidak
empedu sempurna
Glikogenesis menurun dikeluarkan melalui
duktus hepatikus
Retensi bilirubin
Glukoneogenesis
menurun Regurgitasi pada Bilirubin direk
duktuli empedu intra meningkat
Glikogen dalam hepar hepatik
berkurang Ikterus

Glikogenolisis menurun Bilirubin direk


meningkat
Glukosa dalam darah
berkurang Peningkatan garam Larut dalam air
empedu dalam darah
Resiko ketidakstabilan
kadar glukosa darah Pruritus
Cepat lelah
Gangguan
Ekskresi kedalam
integritas kulit
Intoleransi aktivitas kemih

Resiko gangguan Bilirubin dan kemih


fungsi hati berwarna gelap

Anda mungkin juga menyukai