Anda di halaman 1dari 10

A.

Airway management
Pada pemeriksaan airway management, dilihat pastikan korbam sadar atau tidak:
a. Pasien sadar
Ajak bicara, jika suara jelas, airway bebas
b. Pasien tidak sadar
 Look : lihat gerakan pernafsan
 Listen: dengarkan suara nafas
 Feel: raba udara nafas
B. Resusitasi jantung paru
Resusitasi jantung paru adalah penggabungan antara kompresi dada dan nafas buatan
dengan tujuan untuk meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi.
1. Indikasi Resusitasi Jantung Paru Otak
Beberapa indikasi dilakukannya RJPO yaitu:
a. Henti nafas
Kegagalan nafas didefinisikan sebagai ketidakmampuan sistem respirasi untuk
melakukan pertukaran gas dan mengoksigenasi darah secara adekuat . Henti
nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan
korban gawat darurat. Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat
disebabkan oleh:
 Sumbatan jalan nafas: benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh
kebelakang, perdarahan
 Depresi pernafasan: obnat-obatan, PaO2 rendah, PaCo2 tinggi, setelah
henti jantung, tumor otak, tenggelam.
Tanda klinis serta gejala pasien dengan gagal nafas merujuk pada dua
manifestasiutama pada pulmonal yaitu hiperkapnia dan hipoksemia arteri.
Pasien dengan gagal nafas akan menunjukkan gejala berupa dyspnea dan
tanda seperti sianosis, takipnea, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan paradoksal dan takikardi.
b. Henti jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidakmampuan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat balik normal, bila dilaksanakan tindakan yang
tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak.
Henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung
secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan
jantung untuk berkontraksi secara efektif. Henti jantung berbeda dengan
serangan jantung, dimana serangan jantung adalah ketika arteri coroner yang
mensuplai darah ke jantung terblok pada kebanyakan kasus oleh adanya plak
aterosklerosis, sehingga daerah otot jantung yang terkena akan mati karena
kurangnya suplai oksigen. Kebanyakan henti jantung pada dewasa disebabkan
karena seseorang tersebut pernah mengalami serangan jantung dan dapat
berkembang menjadi irama jantung yang berbahaya sehingga timbul henti
jantung. Irama jantung abnormal yang paling sering menimbulkan henti
jantung adalah ventrikular takikardi tanpa denyut (VT) dan ventrikular
fibrilasi (VF) kemudian disusul oleh ventrikel asistol dan berakhir dengan
disosiasi elektromekanik.
Henti jantung disebabkan oleh:
 Penyakit kardiovaskuler: penyakit jantung iskemik, infark
miokardial akut, embolus paru, fibrosis pada system konduksi
(penyakit lenerge, sindrom adams-strokes)
 Kekurangan oksigen akut: henti nafas, benda asing dijalan
nafas, sumbatan jalan nafas oleh sekresi
 Kelebihan dosis obat: digitalis, quinidin, antidepresan trisiklik,
propoksifen, adrenal;in.
 Refleks vagal: peregangan sfingter ani, penbekanan/ penarikan
bola mata
 Anestesia dan pembedahan
 Syok (hipovolemik, neurologic, toksik, anafilaksis)
2. Tahap Resusitasi Jantung Paru Otak
Tahapan dalam RJPO dibagi menjadi tiga yaitu Bantuan Hidup Dasar, Bantuan
Hidup Lanjut dan Bantuan Hidup Jangka Panjang.
a. Bantuan Hidup Dasar
Merupakan prosedur pertolongan darurat untuk mengatasi obstruksi jalan
nafas, henti nafas dan henti jantung dan bagaimana melakukan RJP dengan
benar. Pada tahap ini dilakukan oksigenasi darurat yang terdiri dari langkah-
langkah:
 Airway (A) : menjaga jalan nafas tetap terbuka
 Breathing (B) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
 Circulation (C) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru
b. Prosedur Resusitasi Jantung Paru Otak Terfokus pada Bantuan Hidup Dasar
c. Penanganan Awal
Sebelum menolong korban, didahulukan untuk:
1) Mengamankan lingkungan
Keamanan sangat penting. Sebelum penolong dapat membantu korban
yang sakit atau terluka, pastikan bahwa tempat kejadian aman untuk
penolong dan orang yang berada di dekatnya, dan kumpulkan kesan
awal tentang situasi ini. Sebelum penolong mencapai korban, terus
gunakan indera untuk mendapatkan kesan awal tentang penyakit atau
cedera dan kenali hal yang mungkin salah.Informasi yang
dikumpulkan membantu menentukan tindakan langsung penolong.
2) Menilai respon korban
Begitu korban dapat dijangkau, evaluasi tingkat responsif korban. Ini
terlihat jelas dari kesan awal misalnya, korban bisa berbicara dengan
penolong, atau korban mungkin mengeluh, menangis, membuat suara
lain atau bergerak. Jika korban responsif, mintalah persetujuan korban,
yakinkan korban dan coba cari tahu apa yang terjadi. Jika korban
tersebut diam dan tidak bergerak, dia mungkin tidak responsif. Untuk
memeriksa responsif, tepuk bahu korban dan berteriak, "Apakah Anda
baik-baik saja?" Gunakan nama orang itu jika penolong
mengetahuinya. Berbicara dengan keras. Selain itu, gunakan AVPU
untuk membantu menentukan tingkat kesadaran korban. AVPU terdiri
dari:
 A - Alert/Awas: korban bangun, meskipun mungkin masih
dalam keadaan bingung terhadap apa yang terjadi.
 V - Verbal/Suara: korban merespon terhadap rangsang suara
yang diberikan oleh penolong. Oleh karena itu, penolong harus
memberikan rangsang suara yang nyaring ketika melakukan
penilaian pada tahap ini.
 P - Pain/Nyeri: korban merespon terhadap rangsang nyeri yang
diberikan oleh penolong. Rangsang nyeri dapat diberikan
melalui penekanan dengan keras di pangkal kuku atau
penekanan dengan menggunakan sendi jari tangan yang
dikepalkan pada tulang sternum/tulang dada. Namun, pastikan
bahwa tidak ada tanda cidera di daerah tersebut sebelum
melakukannya.
 U - Unresponsive/tidak respon: korban tidak merespon semua
tahapan yang ada di atas.
d. Bantuan Hidup Dasar
a. Penguasaan Jalan Nafas
Posisikan korban dalam keadaan telentang pada alas yang keras
dengan lengan disepanjang sisi tubuh, bila diatas kasur sisipkan
papan. Periksa dan tangani jalan nafas korban sebagai berikut:
Membuka mulut korban dengan benar adalah langkah kritis dan
berpotensi menyelamatkan nyawa Lihat apakah terdapat benda asing.
Mulut dan orofaring harus diperiksa untuk sekresi atau benda asing.
Jika ada sekresi, dapat dikeluarkan dengan penggunaan isap
orofaringeal. Benda asin dapat dikeluarkan dengan menggunakan
finger sweep dan kemudian dikeluarkan secara manual. Obstruksi oleh
benda asin juga dapat diatasi dengan menggunakan Heimlich Manuver
dan Chest Thrust. Heimlich Manuver dengan meletakkan kepalan
tangan ke garis tengah perut korban tepat di atas pusar dan jauh di
bawah prosesus xiphoid. Sambil memegang kepalan tangan dengan
tangan yang lain, penolong menekan kepalan tangan ke perut korban
dengan dorongan cepat ke atas. Chest thrust dilakukan dengan
meletakkan sisi ibu jari dari kepalan tangan terhadap sternum korban,
menjauhi batas kosta dan prosesus xiphoid. Sambil memegang
kepalan tangan dengan tangan satunya, penolong menekan kepalan
tangan ke dada korban dengan dorongan cepat ke belakang. Kedua
maneuver ini dapat diulang sampai sumbatan keluar atau korban
menjadi tidak sadarkan diri. Lakukan Manuver untuk Membuka Jalan
Nafas. Penyebab umum penyumbatan jalan nafas pada korban yang
tidak sadar adalah oklusi orofaring oleh lidah dan kelemahan epiglotis.
Dengan hilangnya tonus otot, lidah atau epiglotis dapat dipaksakan
kembali ke orofaring pada inspirasi. Hal ini dapat menciptakan efek
katup satu arah di pintu masuk trakea, yang menyebabkan
tersumbatnya obstruksi jalan napas sebagai stridor. Setelah orofaring
dibersihkan, dua manuver dasar untuk membuka jalan napas dapat
dicoba untuk meringankan obstruksi jalan napas bagian atas, yang
terdiri dari head tilt-chin lift dan jaw thrust. Manuver ini membantu
membuka jalan napas dengan cara menggeser mandibula dan lidah
secara mekanis. Head tilt-chin lift biasanya merupakan manuver
pertama yang dicoba jika tidak ada kekhawatiran akan cedera pada
tulang belakang servikal. Head tilt dilakukan dengan ekstensi leher
secara lembut, yaitu nmenempatkan satu tangan di bawah leher korban
dan yang lainnya di dahi lalu membuat kepala dalam posisi ekstensi
terhadap leher. Ini harus menempatkan kepala korban di posisi
"sniffing position" dengan hidung mengarah ke atas. Hal ini dilakukan
dengan hati-hati meletakkan tangan, yang telah menopang leher untuk
head tilt, di bawah simfisis mandibula agar tidak menekan jaringan
lunak segitiga submental dan pangkal lidah. Mandibula kemudian
diangkat ke depan sampai gigi hampir tidak menyentuh. Ini
mendukung rahang dan membantu memiringkan kepala ke belakang.
Jaw thrust adalah metode paling aman untuk membuka jalan napas
jika ada kemungkinan cedera tulang belakang servikal. Ini membantu
mempertahankan tulang belakang servikal dalam posisi netral selama
resusitasi. Penolong yang diposisikan di kepala korban, meletakkan
tangan di sisi wajah korban, menjepit rahang bawah pada sudutnya,
dan mengangkat mandibula ke depan. Siku penolong bisa diletakkan
di permukaan tempat korban berada kemudian mengangkat rahang
dan membuka jalan napas dengan gerakan kepala minimal.
b. Menilai Respirasi dan Bantuan Ventilasi
Pernapasan Agonal dalam korban yang baru saja mengalami henti
jantung dianggap tidak adekuat. Pernapasan agonal adalah napas yang
terisolasi atau terengah-engah yang terjadi tanpa adanya pernapasan
normal pada korban yang tidak sadar. Napas ini bisa terjadi setelah
jantung berhenti berdetak dan dianggap sebagai tanda henti jantung.
Jika korban menunjukkan pernapasan agonal, perlu dilakukan
perawatan korban seolah-olah dia sama sekali tidak bernapas.
Penilaian pernafasan dengan melakukan Look, Listen dan Feel. Look
yaitu penolong harus mencari gerakan ekspansi dada pada korban,
Listen dan Feel yaitu mendengarkan serta merasakan aliran udara
yang keluar dari jalan nafas korban. Selanjutnya jika setelah evaluasi
respirasi ditemukan tidak adanya gerakan dada, hembusan dan suara
nafas, dilakukan pemberian bantuan ventilasi melalui mulut ke mulut,
mulut ke hidung, mulut ke stoma atau trakeostomi serta mulut ke
masker. Menurut AHA 2015, bantuan ventilasi adalah pemberian
ventilasi yang dilakukan tiap 5-6 detik dengan hitungan 10-12x/ menit
secara kontinu selama kompresi dada dilakukan.
c. Bantuan Sirkulasi dan Kompresi Dada
Arteri karotis umumnya lokasi yang paling dapat diandalkan dan
dapat diakses untuk meraba denyut nadi. Arteri karotis dapat
ditemukan dengan menempatkan dua jari pada trakea dan kemudian
menggesernya ke alur antara trakea dan otot sternocleidomastoid.
Penilaian terhadap denyut nadi dan respirasi dilakukan secara
simultan selama 10 detik. Bila tidak ditemukan denyut nadi setelah 5
sampai 10 detik, kompresi dada harus dimulai. Teknik kompresi dada
menurut AHA 2015 adalah sebagai berikut: Korban ditempatkan
telentang di permukaan yang keras dengan penolong di sampingnya.
Penolong menempatkan tumit pada satu garis tengah, tangan di
setengah bagian bawah sternum, kira-kira 2 jari diatas prosesus
xiphoid. Tumit tangan harus sejajar dengan tubuh korban. Tangan
kedua kemudian diletakkan di atas tangan pertama sehingga kedua
tangan sejajar satu sama lain. Jari-jari kedua tangan saling terjalin.
Lengan harus lurus dan siku terkunci Kedalaman kompresi dada pada
orang dewasa adalah minimum 2 inci (5 cm), namun tidak lebih dalam
dari 2,4 inci (6 cm) pada orang dewasa dengan kecepatan kompresi
dada yang disarankan adalah 100 hingga 120/min (diperbarui dari
minimum 100/min). Jumlah kompresi dada yang diberikan per menit
saat RJP berlangsung adalah faktor penentu utama kondisi RSOC
(return of spontaneous circulation) dan kelangsungan hidup dengan
fungsi neurologis yang baik. Untuk korban dewasa, kompresi dada
terdiri dari 30 penekanan dada diikuti 2 ventilasi. Dengan satu
penolong, ventilasi harus diberikan setelah setiap 15 penekanan.
Dengan dua regu penolong, ventilasi harus diberikan setelah setiap
penekanan kelima. Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di
atas dada di antara kompresi untuk memberi kesempatan rekoil di
antara setiap penekanan sehingga memungkinkan darah mengalir
kembali ke jantung mengikuti penekanan. Minimalkan interupsi, batas
interupsi yang diperbolehkan adalah kurang dari 10 detik. Siklus
kompresi dan ventilasi terus diulang dan dievaluasi tiap 2 menit.
Evaluasi yang dilakukan adalah:
 Tidak adanya nafas dan nadi: teruskan kompresi dan ventilasi
hingga bantuan datang
 Tidak terdapat nafas namun nadi teraba: mulai lakukan
pernafasan buatan Terdapat nadi dan nafas: korban mulai
membaik Automated external defibrillator (AED) aman dan
efektif bila digunakan oleh orang awam dengan pelatihan
minimal atau tidak terlatih. Disarankan bahwa program AED
untuk korban dengan OHCA diterapkan di lokasi umum
tempat adanya kemungkinan korban serangan jantung terlihat
relatif tinggi (misalnya, bandara dan fasilitas olahraga).
Penyedia RJP harus melanjutkan RJP saat memasang AED dan
selama penggunaannya. Penyedia RJP harus berkonsentrasi
untuk mengikuti suara segera saat AED berbicara, khususnya
melanjutkan RJP segera setelah diinstruksikan, dan
meminimalkan interupsi pada kompresi dada. Memang,
kejutan pra-shock dan pasca-shock pada penekanan dada harus
sesingkat mungkin
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Assosiacion (AHA). 2015. About cardiac arrest (SCA) Face Sheet, CPR
Statistic.http://www.heart.org/HEARTORG/conditions/more/cardiacarrest/aboutcar
dia UCM 307905.

AHA. 2014. American Heart Assosiacion Guide lines for Cardiopulmonary Resusitation and
Emergency Cardiovaskuler Care. AHA Journals, 122 (4) : 676-684.

Alkatiri J. 2007. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 173-7.

John, A, Boswick, 2010. Perawatan Gawat Darurat. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.

Purwadianto, Agus, dkk, 2010. Kegawatdaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara.

Anda mungkin juga menyukai