Anda di halaman 1dari 95

UNIVERSITAS INDONESIA

UJI AKTIVITAS DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN


SENYAWA PADA FRAKSI DENGAN AKTIVITAS
PENGHAMBAT ENZIM TIROSINASE TERTINGGI KULIT
BATANG JOHAR (Cassia siamea Lam.)

SKRIPSI

VINCENT CAHYA SAPUTRA


0906517666

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM SARJANA FARMASI
DEPOK
JULI 2013

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


UNIVERSITAS INDONESIA

UJI AKTIVITAS DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN


SENYAWA PADA FRAKSI DENGAN AKTIVITAS
PENGHAMBAT ENZIM TIROSINASE TERTINGGI KULIT
BATANG JOHAR (Cassia siamea Lam.)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi

VINCENT CAHYA SAPUTRA


0906517666

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM SARJANA FARMASI
DEPOK
JULI 2013

ii

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


HALAMAN SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarisme, saya akan


bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.

Depok, 8 Juli 2013

Vincent Cahya Saputra

iii

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Vincent Cahya Saputra

NPM : 0906517666

Tanda Tangan :

Tanggal : 8 Juli 2013

iv

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh


Nama : Vincent Cahya Saputra
NPM : 0906517666
Program Studi : Sarjana Farmasi
Judul Skripsi : Uji Aktivitas dan Identifikasi Golongan Senyawa pada
Fraksi dengan Penghambat Enzim Tirosinase Tertinggi
Kulit Batang Johar (Cassia siamea Lam.)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
pada Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Berna Elya, Apt., M.Si. ( )

Pembimbing II: Dr. Rani Sauriasari, S.Si., Apt., M.Sc. ( )

Penguji I : Dr. Fadlina Chany, M.Si., Apt. ( )

Penguji II : Dr. Katrin, M.S., Apt. ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 8 Juli 2013

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan rasa puji dan syukur kepada Tuhan karena berkat
serta kasih setia-Nya membimbing penulis hingga skripsi ini dapat selesai. Skripsi
ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia.
Penulis juga ingin mengucapkan rasa syukur dan terima kasih pada
berbagai pihak yang tanpa kehadirannnya sulit rasanya untuk dapat menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin berterima kasih kepada:
1) Ibu Dr. Berna Elya, Apt., M.Si. sebagai Pembimbing I, Ibu Dr. Rani
Sauriasari, S.Si., Apt., M.Sc. sebagai Pembimbing II yang telah sabar
membimbing, memberi dorongan semangat dan menuntun penulis untuk
dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi selama penelitian serta
memberikan solusi-solusi hingga tersusunnya skripsi ini.
2) Ibu Dr. Amarila Malik, Apt., M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan bimbingan dan bantuan kepada penulis selama
penulis menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
3) Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt., sebagai Dekan Fakultas Farmasi
atas didikan dan motivasi yang diberikan selama masa perkuliahan.
4) Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si., sebagai Manager Penelitian yang telah
membantu selama masa penelitian.
5) Bapak Prof. Dr. Maksum Radji, M. Biomed, sebagai Kepala Laboratorium
Mikrobiologi, Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt., sebagai Kepala
Laboratorium Bioavailabilitas dan Bioekivalensi, dan Bapak Dr. Hayun,
M.Si., sebagai Kepala Laboratorium Farmasi Analisis Kuantitatif yang telah
membantu meminjamkan laboratorium dan alat laboratorium selama
penelitian.
6) Seluruh dosen, staf di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia yang telah
membantu kelangsungan belajar mengajar selama perkuliahan.

vi

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


7) Winarto Tjahyadi dan Christine Elizabeth sebagai orang tua penulis yang
telah membesarkan, mendidik, memberi dorongan semangat kepada penulis
dan tidak putus-putusnya terus membantu penulis melewati berbagai masalah
hingga tersusunnya skripsi ini. Sylvia C. S. dan Wilson C. S. sebagai adik
yang selalu memberi semangat kepada penulis. Untuk Arief Y. dan Maria S.
sebagai kakek dan nenek penulis yang telah memberikan doa serta dukungan
agar bisa menyelesaikan perkuliahan dan skripsi di Universitas Indonesia.
8) Joseph, Alwi, Hansen, Verika, Riri, Lydia, Tanjung, Nuriza, Putro, Kak
Mutia, Kak Irma, Sumayyah, Manda, Anip, Ulfah, Rina, Upi, Marvi,
Yosiepin, Runi, Tina, Angger, Alfredo, Steven, Raja, Yuriani, Lucky, Natalia,
Johan, Donny, serta teman-teman di laboratorium Fitokimia yang telah
bersama-sama saling menyemangati hingga penulis bersama-sama dengan
mereka semua dapat menyelesaikan skripsi ini.
9) Sahabat-sahabat penulis; Lydia K., Felicia S., Divania A., Irene M., Stephanie
M., keluarga Farmasi (Ko Dede, Ci Dewi, Ci Stepfina, Ci Cynthiani, Deni,
Stephanie, Shinta), juga Kak Eci sebagai PKK yang telah memberi dukungan
dan semangat kepada penulis.
10) Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu atas
dukungannya kepada penulis, karena tanpa campur tangan maupun
bantuannya tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis juga turut mendoakan agar Tuhan berkenan


memberkati semua pihak yang turut membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Penulis
2013

vii

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Vincent Cahya Saputra


NPM : 0906517666
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Farmasi
Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Uji Aktivitas dan Identifikasi Golongan Senyawa pada Fraksi dengan Penghambat
Enzim Tirosinase Tertinggi Kulit Batang Johar (Cassia siamea Lam.)

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok


Pada tanggal: 8 Juli 2013
Yang menyatakan

(Vincent Cahya Saputra)


viii

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


ABSTRAK

Nama : Vincent Cahya Saputra


Program Studi : Farmasi
Judul :Uji Aktivitas dan Identifikasi Golongan Senyawa pada
Fraksi dengan Aktivitas Penghambat Enzim Tirosinase
Tertinggi dari Kulit Batang Johar (Cassia siamea Lam.)

Hiperpigmentasi pada kulit manusia yang disebabkan oleh sintesis melanin yang
berlebihan sangat mengurangi estetika penampilan seseorang. Upaya untuk
mengatasi hiperpigmentasi adalah dengan mencari senyawa pemutih yang dapat
menurunkan jumlah melanin yang disintesis pada kulit, yaitu senyawa
penghambat enzim tirosinase. Telah diketahui daun trengguli (Cassia fistula L.)
memiliki efek dalam menghambat aktivitas enzim tirosinase. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah ekstrak dan fraksi pada genus tanaman yang
sama yaitu kulit batang johar (Cassia siamea Lam.) memiliki efek yang serupa
atau tidak. Tiga ekstrak kulit batang johar yang diuji yaitu ekstrak n-heksan, etil
asetat, dan metanol pada konsentrasi akhir 250 ppm. Kemudian dilakukan
fraksinasi pada ekstrak dengan aktivitas penghambatan tertinggi menggunakan
kromatografi kolom dipercepat hingga didapat fraksi-fraksi. Fraksi kembali diuji
pada konsentrasi akhir 250 ppm. Dilakukan identifikasi fitokimia pada ekstrak dan
fraksi dengan aktivitas penghambatan tertinggi. Didapatkan ekstrak metanol
memiliki aktivitas penghambatan enzim terbesar dengan persentase inhibisi
sebesar 22,56711% dan fraksi dengan aktivitas penghambatan tertinggi adalah
fraksi metanol E dengan persentase inhibisi sebesar 19,1919%. Diketahui ekstrak
metanol mengandung glikosida, saponin, antrakuinon, steroid, terpenoid, dan
tanin, sedangkan fraksi metanol E mengandung glikosida, antrakuinon, steroid,
terpenoid, dan tanin.

Kata kuci : Cassia siamea Lam., hiperpigmentasi, identifikasi


golongan senyawa kimia, penghambat aktivitas enzim
tirosinase
xvi + 79 halaman : 39 gambar, 13 tabel, 5 lampiran
Daftar acuan : 39 (1975-2012)

ix Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


ABSTRACT

Name : Vincent Cahya Saputra


Study Program : Pharmacy
Title :Activity Test and Substance Group Identification of the
Highest Tyrosinase Enzyme Inhibitory of Johar (Cassia
siamea Lam.) Stem Bark Fraction

Hyperpigmentation on human skin caused by excessive melanin sythesis is very


uncomfortable for personal’s esthtetics. The effort to reduce hyperpigmentation is
discovering whitening skin agent which is able to reduce melanin content
synthesized by skin, though the tyrosinase enzyme inhibition. It had been known
that the leaves of trengguli (Cassia fistula L.) have tyrosinase enzyme inhibition
activity. The purpose of this research is to know whether the extract and fraction
on the same genus plant of johar (Cassia siamea Lam.) stem bark have the same
activity or not. Three extracts of johar were tested; n-hexane, ethyl acetate, and
methanol extract on final concentration 250 ppm. Then highest inhibition activity
extract was fractionated by vacuumed column chromatography to be some
fractions. Fractions were again tested on final concentration 250 ppm. The
highest inhibition activity extract and fraction were identified phytochemically.
The result is methanol extract is the highest inhibition activity with inhibitory
percentage 22,56711% and the highest inhibition activity fraction is methanol
fraction E with inhibitory percentage 19,1919%. The methanol extract has
glycoside, saponin, anthraquinone, steroid, terpenoid, and tannin, on the other
hand methanol fraction E has glycoside, anthraquinone, steroid, terpenoid, and
tannin.

Key words : Cassia siamea Lam., chemical group identification,


hyperpigmentation, tyrosinase enzyme activity inhibition
xvi + 79 pages : 39 pictures, 13 tables, 5 appendixes
Bibliography : 39 (1975-2012)

x Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii


HALAMAN SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
ABSTRACT ............................................................................................................x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi

BAB 1. PENDAHULUAN .....................................................................................1


1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah ..............................................................................2
1.3 Tujuan ...................................................................................................3
1.4 Manfaat Hasil Penelitian .......................................................................3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................4


2.1 Cassia siamea Lam. (Johar) .................................................................4
2.1.1 Deskripsi Tanaman .....................................................................4
2.1.2 Taksonomi Cassia siamea Lam. .................................................5
2.1.3 Nama Daerah dan Bahasa Asing .................................................5
2.1.4 Kandungan Kimia .......................................................................5
2.1.5 Kegunaan Tradisional .................................................................5
2.1.6 Ramuan Tradisional ....................................................................6
2.1.7 Aktivitas Biologi .........................................................................6
2.2 Simplisia...............................................................................................6
2.3 Melanin ................................................................................................7
2.4 Dispigmentasi Kulit .............................................................................9
2.5 Enzim .................................................................................................10
2.5.1 Kinetika Enzim .........................................................................11
2.5.1.1 Suhu ..............................................................................11
2.5.1.2 pH ..................................................................................11
2.5.1.3 Konsentrasi Substrat .....................................................12
2.5.2 Persamaan Michaelis-Menten ...................................................12
2.5.2.1 Bentuk Linear Persamaan Michaelis-Menten ...............13
2.5.3 Inhibisi Enzim ...........................................................................14
2.5.3.1 Inhibisi Kompetitif ........................................................14
2.5.3.2 Inhibisi Nonkompetitif ..................................................15
2.5.3.3 Inhibisi Unkompetitif ....................................................16
2.6 Inhibitor Tirosinase ...........................................................................17
2.6.1 Polifenol ...................................................................................18
2.6.2 Benzaldehid dan Derivat Benzoat ...........................................18
xi Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


2.6.3 Lemak Rantai Panjang dan Steroid .........................................18
2.6.4 Inhibitor Alami Lainnya ..........................................................19
2.7 Metode Ekstraksi dan Fraksinasi .....................................................19
2.7.1 Ekstraksi ..................................................................................19
2.7.1.1 Cara Dingin ................................................................20
2.7.1.2 Cara Panas ..................................................................21
2.7.2 Kromatografi Kolom ...............................................................22
2.7.3 Kromatografi Lapis Tipis ........................................................22
2.8 Identifikasi Golongan Senyawa Kimia ............................................23
2.8.1 Alkaloid ...................................................................................24
2.8.2 Tanin .......................................................................................24
2.8.3 Saponin ....................................................................................24
2.8.4 Terpenoid ................................................................................25
2.8.5 Flavonoid ................................................................................25
2.8.6 Glikosida .................................................................................25
2.8.7 Antrakuinon ............................................................................26

BAB 3. METODE PENELITIAN .......................................................................27


3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................27
3.2 Bahan ................................................................................................27
3.2.1 Bahan Uji .................................................................................27
3.2.2 Bahan Kimia .............................................................................27
3.3 Alat ....................................................................................................27
3.4 Prosedur Pelaksanaan ........................................................................28
3.4.1 Penyiapan Simplisia .................................................................28
3.4.2 Ekstraksi dengan Cara Maserasi ...............................................28
3.4.3 Optimasi Kondisi Uji Penghambatan Enzim Tirosinase Secara
In Vitro ...................................................................................29
3.4.3.1 Pembuatan Dapar Fosfat 50 mM dengan pH 6,8 .........29
3.4.3.2 Pembuatan Larutan L-DOPA 20 mM ..........................29
3.4.3.3 Pembuatan Larutan Tirosinase ....................................29
3.4.3.4 Pembuatan Larutan Dimetil Sulfoksida 1,25% ...........29
3.4.3.5 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum ..............30
3.4.3.6 Optimasi Konsentrasi Enzim .......................................30
3.4.3.7 Optimasi Konsentrasi Substrat ....................................31
3.4.3.8 Optimasi Waktu Inkubasi ............................................31
3.4.4 Uji Penghambatan Enzim Tirosinase oleh Kontrol Positif Asam
Kojat .......................................................................................32
3.4.4.1 Pembuatan Larutan Asam Kojat Sebagai Kontrol
Positif ...........................................................................32
3.4.4.2 Pengujian Larutan Asam Kojat Sebagai Kontrol Positif
...................................................................................32
3.4.5 Uji Aktivitas Penghambatan Tirosinase oleh Ekstrak Kulit
Batang Cassia siamea Lam. ....................................................33
3.4.5.1 Pembuatan Larutan Sampel Ekstrak ............................33
3.4.5.2 Pengujian Larutan Sampel Ekstrak .............................34
3.4.6 Fraksinasi Ekstrak Kulit Batang Cassia siamea Lam. dengan
Aktivitas Penghambatan Tertinggi........................................35

xii Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


3.4.6.1 Penentuan Fase Gerak dengan Kromatografi Lapis
Tipis...........................................................................35
3.4.6.2 Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Dipercepat .35
3.4.7 Uji Aktivitas Penghambatan Tirosinase oleh Fraksi Kulit
Batang Cassia siamea Lam. ....................................................35
3.4.8 Penentuan Kinetika Penghambatan Tirosinase oleh Fraksi
dengan Aktivitas Penghambatan Tertinggi ............................36
3.4.8.1 Pengujian Kinetika Penghambatan Tirosinase Larutan
Sampel .........................................................................36
3.4.8.2 Analisis Data Kinetika .................................................37
3.4.9 Identifikasi Golongan Senyawa Kimia Ekstrak dan Fraksi .....37
3.4.9.1 Identifikasi Alkaloid .....................................................37
3.4.9.2 Identifikasi Glikosida ..................................................38
3.4.9.3 Identifikasi Saponin ......................................................38
3.4.9.4 Identifikasi Flavonoid ...................................................38
3.4.9.5 Identifikasi Antrakuinon ...............................................39
3.4.9.6 Identifikasi Terpenoid atau Steroid ..............................39
3.4.9.7 Identifikasi Fenol ..........................................................39
3.4.9.8 Identifikasi Tanin..........................................................40

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................41


4.1 Penyiapan dan Ekstraksi Simplisia .....................................................41
4.2 Optimasi Kondisi Uji Penghambatan Enzim Tirosinase .....................41
4.3 Pengujian Aktivitas Penghambatan Tirosinase Ekstrak ......................46
4.4 Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Dipercepat ..........................48
4.5 Pengujian Aktivitas Penghambatan Tirosinase Fraksi ........................49
4.6 Identifikasi Golongan Senyawa Kimia Ekstrak dan Fraksi Teraktif ..50
4.6.1 Alkaloid ......................................................................................50
4.6.2 Glikosida ....................................................................................51
4.6.3 Saponin.......................................................................................51
4.6.4 Flavonoid ...................................................................................51
4.6.5 Antrakuinon ...............................................................................52
4.6.6 Terpenoid dan Steroid ................................................................52
4.6.7 Tanin ..........................................................................................53

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................55


5.1 Kesimpulan .........................................................................................55
5.2 Saran ....................................................................................................55

DAFTAR ACUAN ................................................................................................56

xiii Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Cassia siamea Lam. ..............................................................................4


Gambar 2.2 Skema melanogenesis ..........................................................................9
Gambar 2.3 Kurva Michaelis-Menten....................................................................13
Gambar 2.4 Grafik Lineweaver-Burk ....................................................................14
Gambar 2.5 Grafik inhibisi kompetitif Lineweaver-Burk dengan konsentrasi
substrat yang berbeda-beda .................................................................15
Gambar 2.6 Grafik inhibisi nonkompetitif Lineweaver-Burk dengan konsentrasi
substrat yang berbeda-beda .................................................................16
Gambar 2.7 Grafik inhibisi unkompetitif Lineweaver-Burk dengan konsentrasi
substrat yang berbeda-beda ................................................................17
Gambar 3.1 Peralatan laboratorium ......................................................................61
Gambar 4.1 Kurva spektrum serapan blanko 350 hingga 500 nm .........................43
Gambar 4.2 Kurva optimasi konsentrasi enzim tirosinase .....................................44
Gambar 4.3 Kurva optimasi konsentrasi substrat L-DOPA ...................................45
Gambar 4.4 Kurva optimasi waktu inkubasi ..........................................................46
Gambar 4.5 Kurva inhibisi enzim tirosinase oleh asam kojat ................................47
Gambar 4.6 Persentase inhibisi ekstrak heksan, etil asetat, dan metanol ..............48
Gambar 4.7 Persentase inhibisi fraksi metanol A hingga I ...................................49
Gambar 4.8 Uji alkaloid ekstrak metanol dengan pereaksi Mayer .......................61
Gambar 4.9 Uji alkaloid ekstrak metanol dengan pereaksi Dragendorf ................61
Gambar 4.10 Uji alkaloid ekstrak metanol dengan pereaksi Bouchardat ..............61
Gambar 4.11 Uji glikosida ekstrak metanol dengan pereaksi Mollisch.................62
Gambar 4.12 Uji saponin ekstrak metanol setelah penambahan asam klorida 2 N
................................................................................................................................62
Gambar 4.13 Uji flavonoid ekstrak metanol dengan metode Shinoda ..................62
Gambar 4.14 Uji flavonoid ekstrak metanol dengan metode Pew .........................63
Gambar 4.15 Uji antrakuinon ekstrak metanol ......................................................63
Gambar 4.16 Uji steroid ekstrak metanol dengan metode Liebermann -Burchard
................................................................................................................................63
Gambar 4.17 Uji steroid ekstrak metanol dengan metode Salkowski ...................64
Gambar 4.18 Uji terpenoid ekstrak metanol dengan metode Liebermann -
Burchard. ...........................................................................................64
Gambar 4.19 Uji terpenoid ekstrak metanol dengan metode Salkowski. ..............64
Gambar 4.20 Uji fenol ekstrak metanol ................................................................65
Gambar 4.21 Uji tanin ekstrak metanol dengan gelatin .........................................65
Gambar 4.22 Uji tanin ekstrak metanol dengan Pb (II) asetat ...............................65
Gambar 4.23 Kromatogram alkaloid fraksi V........................................................66
Gambar 4.24 Uji glikosida fraksi V dengan pereaksi Mollisch ............................66
Gambar 4.25 Uji saponin fraksi V setelah penambahan asam klorida 2 N ...........66
Gambar 4.26 Kromatogram flavonoid fraksi V .....................................................67
Gambar 4.27 Kromatogram antrakuinon fraksi V .................................................67
Gambar 4.28 Kromatogram terpenoid fraksi V .....................................................68
Gambar 4.29 Kromatogram fenol fraksi V ............................................................68
Gambar 4.30 Uji tanin fraksi V dengan gelatin .....................................................69
Gambar 4.31 Uji tanin fraksi V dengan Pb (II) asetat............................................69
xiv Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Prosedur Optimasi Konsentrasi Enzim ..................................................30


Tabel 3.2 Prosedur Optimasi Konsentrasi Substrat ...............................................31
Tabel 3.3 Prosedur Optimasi Waktu Inkubasi .......................................................32
Tabel 3.4 Prosedur Uji Penghambatan Enzim Tirosinase oleh Asam Kojat .........33
Tabel 3.5 Prosedur Uji Aktivitas Penghambatan Tirosinase oleh Ekstrak Kulit
Batang Cassia siamea Lam. ...................................................................34
Tabel 3.6 Prosedur Uji Kinetika Penghambatan Tirosinase oleh Fraksi Teraktif
Kulit Batang Cassia siamea Lam. ..........................................................36
Tabel 4.1 Serapan Panjang Gelombang pada Spektrofotometer UV-Vis .............70
Tabel 4.2 Optimasi Konsentrasi Enzim .................................................................70
Tabel 4.3 Optimasi Konsentrasi Substrat ...............................................................70
Tabel 4.4 Optimasi Waktu Inkubasi.......................................................................71
Tabel 4.5 Uji Kontrol Positif Asam Kojat .............................................................72
Tabel 4.6 Uji Ekstrak ............................................................................................72
Tabel 4.7 Uji Fraksi Metanol ................................................................................73

xv Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alur Penelitian ...................................................................................74


Lampiran 2 Determinasi Tanaman Cassia siamea Lam. dari LIPI........................75
Lampiran 3 Sertifikat analisis asam kojat ..............................................................76
Lampiran 4 Sertifikat analisis L-DOPA .................................................................77
Lampiran 5 Sertifikat analisis enzim tirosinase ....................................................78

xvi Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Melanin merupakan pigmen kulit mamalia terutama pada manusia yang
sudah diketahui bersifat protektif terhadap radiasi sinar ultraviolet (UV). Namun
manusia seringkali mempermasalahkan hiperpigmentasi yang nampak pada kulit
manusia sebagai bercak berwarna coklat kehitaman. Hal ini dipertimbangkan
mengurangi nilai estetika pada kulit manusia. Hiperpigmentasi pada kulit
dicetuskan oleh sintesis melanin yang berlebihan oleh sel-sel melanosit pada kulit
manusia, terutama di dalam organel melanosom. Biasanya sintesis melanin yang
abnormal ini terjadi karena adanya inflamasi pada kulit seperti jerawat, alergi
pada kulit, ataupun disebabkan oleh obat-obatan (Draelos, 2010).
Di dalam kulit, melanin diproduksi melalui serangkaian proses oksidatif
dimulai dari prekursor awal tirosin dan melibatkan juga enzim tirosinase.
Tirosinase merupakan enzim yang mengandung logam tembaga (Cu) yang
mengatalisis dua reaksi sintesis melanin yang berbeda jalurnya, yakni hidroksilasi
tirosin oleh aksi monofenolase dan oksidasi 3,4-dihidroksifenilalanin (L-DOPA)
menjadi o-dopakuinon oleh aksi difenolase (Kim & Uyama, 2005).
Berbagai upaya dilakukan oleh manusia untuk mengurangi dampak
abnormal produksi melanin ini. Pendekatan yang dilakukannya adalah dengan
mengurangi jumlah produksi melanin. Upaya mengurangi jumlah produksi
melanin ini adalah dengan menghambat enzim tirosinase sehingga tahapan reaksi
pembentukan melanin selanjutnya tidak akan berjalan.
Penghambat tirosinase yang telah populer di masyarakat adalah
hidrokuinon. Namun hidrokuinon diketahui toksik karena hasil oksidasinya
berupa benzokuinon yang hepatotoksik, melanotoksik, dan diperkirakan juga
karsinogenik (Germanas, Wang, Miner, Haob, & Ready, 2007). Maka sekarang
ini banyak yang berupaya mencari senyawa kimia baru penghambat enzim
tirosinase.
Tumbuhan obat-obatan sering digunakan untuk pengobatan berbagai
penyakit di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan karena kegunaannya

1 Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


2

yang lebih tidak toksik dibandingkan obat-obat konvensional yang beredar di


pasaran. Cassia siamea Lam. (Fabaceae) (Jones & Luchsinger, 1987) merupakan
tanaman tropis Asia yang sekarang ini juga dibudidayakan di Afrika. Tanaman ini
telah dikenal mengobati berbagai macam kondisi seperti insomnia, hipertensi,
asma, konstipasi, dan diuresis. Bunga dan daunnya dipakai untuk dimakan sebagai
lauk di Thailand. Kulit batangnya telah diketahui memiliki efek analgesik,
antiinflamasi, dan antimalaria (A.Mohammed, Mada, & Yakasai, 2012).
Beberapa penelitian telah dilakukan terutama penapisan fitokimia awal
pada daun dan kulit batang C. siamea Lam. Telah diketahui bahwa daunnya
banyak mengandung flavonoid, tanin, dan polifenol. Sedangkan kulit batang
banyak mengandung antrakuinon, tanin, dan saponin (Kwada & Tella, 2009).
Telah diteliti pula pada genus yang sama yaitu C. fistula L. yang pada simplisia
daunnya telah memberikan hasil mempunyai aktivitas penghambatan enzim
tirosinase (Caroline, 2013). Antrakuinon telah dikenal sebagai laksatif dan
katartik, serta aktivitas farmakologik lainnya seperti antiinflamasi, penyembuhan
luka, analgesik, antipiretik, antimikroba, dan antitumor. Beberapa antrakuinon
seperti fision dan 1,5-dihidroksi-7-metoksi-3-metilantrakuinon diketahui memiliki
aktivitas penghambatan tirosinase yang sama dengan asam kojat (Chang, 2009).
Pada ekstrak etanol kulit batang C. siamea Lam. juga diketahui memiliki aktivitas
antiinflamasi yang mekanisme kerjanya menghambat enzim pencetus agen
inflamasi yaitu enzim siklooksigenase (Ntandou, et al., 2010). Untuk itu tujuan
dari penelitian ini adalah meneliti apakah terdapat aktivitas penghambatan enzim
tirosinase dari C. siamea Lam. khususnya bagian kulit batang tanaman ini seperti
pada tanaman satu genusnya yaitu C. fistula L.

1.2 Perumusan masalah


Masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah apakah ekstrak dan
fraksi kulit batang C. siamea Lam. memiliki aktivitas penghambatan enzim
tirosinase. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah fitokimia.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


3

1.3 Tujuan
a. Memperoleh ekstrak kulit batang C. siamea Lam. yang dapat menghambat
enzim tirosinase teraktif di antara pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol.
b. Mengidentifikasi golongan senyawa yang diperkirakan memiliki kemampuan
menghambat aktivitas enzim tirosinase dari fraksi ekstrak kulit batang C.
siamea Lam. yang memiliki aktivitas teraktif.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian


Manfaat penelitian ini agar dapat menambah informasi ilmiah dari C.
siamea Lam. terutama bagian kulit batangnya. Sehingga dapat dikembangkan
untuk penelitian lebih lanjut atau dijadikan rujukan dalam meningkatkan
kegunaan C. siamea Lam. sebagai salah satu agen pemutih kulit.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cassia siamea Lam. (Johar)


2.1.1 Deskripsi Tanaman
Cassia siamea Lam. berupa pohon dengan tinggi mencapai 2-20 m.
Daunnya menyirip genap. Kelenjar poros daun tidak ada atau satu di antara
pasangan daun terbawah. Anak daun oval sampai memanjang, kerapkali melekuk
ke dalam, bagian atas gundul dan mengkilat sedikit, bawah berambut halus, 3-7,5
kali 1-2,5 cm. Bunga berwarna kuning cerah terbagi dalam 5 lembar mahkota
bunga panjang lebih kurang 2 cm. Tangkai sari terpanjang lebih kurang 1 cm.
Bakal buah dengan tangkai putik lebih kurang sama panjangnya dengan benang
sari yang terpanjang. Polongnya berukuran 15-30 x 2 cm dengan katup yang tebal
dan sambungan buah yang sangat tebal yang berisi 20-30 biji dengan panjang
lebih kurang 1,5 kali lebar. Tumbuh di ketinggian 1-1000 m di atas permukaan
laut. Morfologi tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Eisai, 1995; Steenis,
1975).

[Sumber: Dokumentasi pribadi]


Gambar 2.1 Cassia siamea Lam.

4 Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


5

2.1.2 Taksonomi Cassia siamea Lam.


Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Fabales
Suku : Fabaceae
Marga : Cassia
Jenis : Cassia siamea Lam. (Jones & Luchsinger, 1987)

2.1.3 Nama Daerah dan Bahasa Asing


Johar (Jawa Tengah), Juwar (Eisai, 1995). Kassod tree (Eisai, 1986).

2.1.4 Kandungan Kimia


Batang C. siamea Lam. mengandung biantrakuinon seperti kasiamin C
yang merupakan dimer dari krisofanol. Senyawa yang sudah terisolasi dari batang
C. siamea Lam. adalah:
a. fision,
b. krisofanol,
c. krisofanol-1-O-β-D-glukopiranosida,
d. 2-metil-5-propil -7,12-dihidroksikromon-12-O-β-D-glukopiranosida,
e. asam 19α,24-dihidroksiurs-12-en-28-oat-3-O-β-D-silopiranosida,
f. rhamnetin-3-O-6ʺ-O-α-L-rhamnopiranosil
g. lup-20(29)-en-1β,3β-diol (Ebadi, 2002).

2.1.5 Kegunaan Tradisional


Daun C. siamea Lam. berkhasiat sebagai obat malaria, obat gatal dan obat
kudis, dapat juga digunakan sebagai pengobatan diabetes batu ginjal, beri-beri,
insomnia, antihipertensi, pencahar, antidisentri, dan anti cacing. Kayunya biasa
digunakan untuk bahan bangunan. Akarnya digunakan untuk mengobati demam,
flu, dan penyakit yang terkait akibat kebiasaan makan yang salah, beri-beri,
penurun panas akibat demam, dan sakit perut. Akar dan kulit batang C. siamea
Lam. digunakan dalam pengobatan tradisional untuk masalah lambung dan
pencahar ringan. Batang dan dahannya digunakan untuk mengobati penyakit kulit,
Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


6

kesulitan berkemih dengan batu ginjal, sebagai pencahar dan pelancar haid.
Seluruh bagian tanaman digunakan untuk pengobatan penyakit yang
menyebabkan penurunan kondisi tubuh, demam, kencing nanah, kram pada sendi,
pencahar dan perangsang getah empedu. Kulit batang digunakan untuk mengobati
ambeien, skabiasis dan penyakit lain yang menyebabkan penurunan kondisi
tubuh. Getah tanamannya digunakan untuk mengobati demam dan kelainan
menstruasi. Inti batang digunakan untuk meningkatkan kualitas darah menstruasi,
diabetes melitus, tukak saluran cerna, pencahar, diuretik. Bunganya digunakan
untuk insomnia, asma, anti cacing dan pengobatan ketombe (Ebadi, 2002).

2.1.6 Ramuan Tradisional


Adapun resep lain untuk pengobatan malaria yaitu satu genggam daun C.
siamea Lam. dibuat infus menggunakaan air hingga 220 mL. Lalu 200 mL infus
ini diminum sehari dua kali selama 7 hari untuk pengobatan malaria (Kardono,
Artanti, Dewiyanti, & Basuki, 2003).

2.1.7 Aktivitas Biologi


Beberapa aktivitas yang dapat mempengaruhi tubuh manusia secara
biologis dari tanaman C. siamea Lam. adalah efek hipnotik pada ekstrak herbal
daun C. siamea Lam. yang mengakibatkan rasa kantuk pada subjek yang sehat
dan juga meningkatkan kualitas tidur pada sukarelawan yang insomnia. Aktivitas
lainnya adalah sebagai ansiolitik, laporan akhir ini menunjukkan barakol, ekstrak
aktif biologis dari Ekstrak herbal daun C. siamea Lam., mempunyai sifat
ansiolitik mirip dengan diazepam. Diketahui toksisitas dari ekstrak metanol dari
kulit batang Ekstrak herbal daun C. siamea Lam. (1:1) menunjukkan LD50 1,0
g/kg (i.p.) pada tikus jantan (Ebadi, 2002).

2.2 Simplisia
Simplisia merupakan bahan yang berasal dari alam yang dipergunakan
sebagai obat yang belum diolah biasanya telah dalam bentuk kering. Simplisia
dapat dibedakan menjadi 3 jenis antara lain simplisia nabati, simplisia hewani dan
simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa
Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


7

tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan


merupakan isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang
dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang
dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa
kimia murni (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

2.3 Melanin
Melanin, memainkan peranan penting dalam menentukan warna kulit,
mengabsorbsi sinar UV dan memblok generasi radikal bebas, melindungi kulit
dari serangan cahaya matahari dan penuaan. Melanosit, sel yang memproduksi
melanin, mensintesis melanin dalam organel khusus, melanosom yang berisi
melanin. Melanosom ini dipindahkan dari satu melanosit ke 30-35 keratinosit
terdekat dalam lapisan basal. Jumlah melanosit juga menurun seiring dengan
bertambahnya usia (Draelos, 2010).
Terdapat lebih dari satu tipe melanin: eumelanin, pigmen coklat gelap-
hitam; dan feomelanin, pigmen kuning-kemerahan. Eumelanin terdeposit dalam
melanosom elipsoidal yang mengandung struktur fibrilar internal. Sintesis
eumelanin meningkat setelah pemaparan UV (tanning). Feomelanin memiliki
kandungan sulfur lebih tinggi daripada eumelanin karena banyak terkandung asam
amino sistein. Meski tidak jelas terlihat dengan mata telanjang, kebanyakan
pigmen melanin rambut, kulit dan mata adalah kombinasi eumelanin dan
feomelanin. Genetik berperan penting dalam menentukan jumlah feomelanin dan
eumelanin. Namun, eumelanin sendiri lebih penting dalam menentukan derajat
pigmentasi dibandingkan feomelanin. Melanosit yang lebih terang memiliki
kandungan feomelanin yang lebih tinggi dibandingkan melanosit gelap. Pada
suatu kajian, orang kulit putih memiliki paling sedikit jumlah eumelanin, India
lebih banyak, dan Afrika-Amerika yang terbanyak. Dengan catatan, melanosit
orang dewasa memiliki feomelanin yang lebih banyak daripada melanosit
neonatal (Draelos, 2010).
Melanosom juga berbeda pada tiap-tiap ras. Pada orang kulit hitam
kebanyakan di lapisan basal, namun pada orang kulit putih kebanyakan berada di
stratum korneum. Hal ini menunjukkan lokasi filtrasi UV: lapisan basal dan spinal

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


8

pada orang kulit hitam dan stratum korneum pada orang kulit putih. Pada kulit
hitam, melanosit mengandung 200 melanosom lebih banyak. Melanosom
berdiameter 0,5-0,8 mm, tidak memiliki membran pembatas, berdekatan satu
sama lain, dan terdistribusi merata di epidermis. Pada kulit putih, melanosit
mengandung kurang dari 20 melanosom. Melanosom berdiameter 0,3-0,5 mm,
terasosiasi dengan membran pembatas, dan distribusi berkelompok di antaranya.
Melanosom kulit yang lebih terang terdegradasi lebih cepat dibandingkan kulit
hitam. Akibatnya, jumlah melanin lebih sedikit di lapisan atas stratum korneum.
Sedangkan, melanosit pada kulit hitam lebih besar, lebih aktif membuat melanin,
dan melanosom dikemas, didistribusi, serta dihancurkan dengan proses yang
berbeda pada kulit putih (Draelos, 2010).
Melanosom antar individu dalam ras yang sama dapat bervariasi dalam
derajat pigmentasi. Kulit Kaukasia hitam mirip dalam hal distribusi melanosom
dengan kulit hitam. Orang kulit hitam dengan kulit yang gelap memiliki
melanosom yang besar tidak teragregasi dan pada kulit yang lebih terang memiliki
kombinasi melanosom besar tidak teragregasi dan melanosom kecil teragregasi.
Orang kulit putih dengan kulit yang lebih gelap memiliki melanosom tidak
teragregasi ketika terpapar cahaya matahari dan orang kulit putih dengan kulit
yang lebih terang memiliki melanosom teragregasi ketika tidak terpapar sinar
matahari (Draelos, 2010).
Tahap melanogenesis adalah sebagai berikut. Enzim tirosinase
menghidroksilasi tirosin menjadi dihidroksifenilalanin (DOPA) dan mengoksidasi
DOPA menjadi dopakuinon. Dopakuinon kemudian melewati satu atau dua jalur.
Jika dopakuinon berikatan dengan sistein, oksidasi sisteinildopa memproduksi
feomelanin. Pada kondisi tidak adanya sistein, dopakuinon secara spontan
dikonversi menjadi dopakrom. Dopakrom kemudian didekarboksilasi atau
tertautomerisasi menghasilkan eumelanin. Protein P melanosomal terlibat dalam
asidifikasi melanosom pada melanogenesis. Akhirnya, aktivitas tirosinase (tidak
hanya jumlah protein tirosinase) dan konsentrasi sistein menentukan kandungan
eumelanin-feomelanin. Skema melanogenesis dapat dilihat pada Gambar 2.2
(Draelos, 2010).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


9

[Sumber: Stjernschantz, Albert, Hu, Drago, & Wistrand, 2002, sudah diolah kembali]
Gambar 2.2 Skema melanogenesis. DOPA = dihidroksifenilalanin, TRP 1 =
Protein Terkait Tirosinase 1, TRP 2 = Protein Terkait Tirosinase 2,
DHICA = asam dihidroksiindolkarboksilat

Tirosinase dan protein terkait tirosinase 1 dan 2 (TRP -1 dan TRP-2)


diregulasi ketika hormon penstimulasi melanosit α (α-MSH) atau
adrenokortikotropin berikatan dengan reseptor melanokortin-1 (MC1R), reseptor
transmembran yang berada pada melanosit. Mutasi MC1R sehingga kehilangan
fungsi normalnya, meningkatkan sensitivitas pada kerusakan DNA terinduksi UV.
Ekspresi gen tirosinase mirip antara orang kulit hitam dan kulit putih, namun gen-
gen lainnya yang terkait berbeda dalam hal ekspresinya. Gen reseptor permukaan
sel MSH untuk protein P melanosomal diekspesikan berbeda antar ras. Gen ini
meregulasikan tirosinase, TRP-1, dan TRP-2 (Draelos, 2010).

2.4 Dispigmentasi Kulit


Setelah adanya inflamasi, melanosit dapat bekerja dengan normal,
meningkat, atau menurun. Peningkatan dan penurunan produksi memberikan
dampak pada hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pasca inflamasi.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


10

Hiperpigmentasi pasca inflamasi (Postinflammatory hyperpigmentation/PIH)


adalah peningkatan produksi melanin dan/atau distribusi abnormal melanin yang
disebabkan kelainan inflamasi kutaneus atau iritasi dari pengobatan topikal.
Contohnya dapat berupa jerawat, dermatitis alergi kontak, lichen planus, bullous
pemphigoid, herpes zoster, dan pengobatan retinoid topikal. Warna
hiperpigmentasi pada PIH tergantung pada lokasi melanin. Melanin dalam
epidermis terlihat coklat, sedangkan melanin dalam dermis terlihat abu-abu
kebiruan, pembedaan lokasi melanin pengujian “Lampu Wood” (Draelos, 2010).
Patogenesis dari PIH dan hipopigmentasi masih belum diketahui. Diperkirakan
proses inflamasi kulit menstimulasi keratinosit, melanosit, dan sel-sel inflamasi
melepaskan sitokin dan mediator-mediator inflamasi seperti sitokin, leukotrien
(LT), prostaglandin (PG), dan tromboksan (TBX) yang menyebabkan
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Khususnya untuk PIH, studi in vitro
menunjukkan bahwa LT-C4, LT-D4, PG-E2, dan TBX-2 menstimulasi
pembesaran melanosit manusia dan proliferasi dendrosit. LT-C4 juga
meningkatkan aktivitas tirosinase dan aktivitas mitogenik melanosit. Mengubah
growth factor-α dan LT-C4 menstimulasi pergerakan melanosit. Pada inflamasi
hipopigmentasi, patogenesis sepertinya melibatkan mediator inflamasi seperti
ekspresi sel melanosit permukaan dari molekul adesi intraselullar 1 (ICAM-1)
yang berdampak pada pengikatan leukosit-melanosit yang dapat merusak
melanosit. Mediator–mediator inflamasi termasuk interferon-gamma, tumor
necrosis factor α (TNF-α), TNF-β, IL-6, dan IL-7 (Draelos, 2010).

2.5 Enzim
Enzim adalah katalis yang meningkatkan laju reaksi biokimia dari 106
hingga 1012 kali lipat dibandingkan jika tidak diberi katalis. Semua enzim berupa
protein sehingga amat labil dan jika terdenaturasi akan terinaktivasi. Enzim
memiliki sisi fungsional yang dikenal dengan active site, di mana substrat
dikonversi menjadi produk (Smith, Hill, Lehman, Lefkowitz, Handler, & White,
1983).
Selama bertahun-tahun beberapa hipotesa telah dikemukakan untuk
menerangkan fungsi pusat aktif dan katalisis enzim. Pada tahun 1894 ditemukan

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


11

oleh Emil Fischer mengemukakan bahwa hubungan suatu enzim dengan substrat
seperti suatu gembok dengan kuncinya. Hipotesa gembok dan kunci ini
menginformasikan terhadap spesifikasi enzim. Ada pula hipotesa lain yang
dicetuskan oleh Koshland tahun 1959 bahwa pusat aktif enzim mungkin dapat
menyesuaikan diri dengan substrat selama pembentukan kompleks ES.
Penyesuaian struktural atau konformasional ini pada geometri pusat aktif, yang
disebabkan oleh terikatnya molekul substrat, akan membawa gugus-gugus R
enzim pada keadaan penempatan yang paling efisien untuk diikat dan dikatalisasi
(Page, 1981).

2.5.1 Kinetika Enzim


Kinetika enzim adalah bidang biokimia yang berkaitan dengan pengukuran
laju reaksi yang dikatalisis oleh enzim. Laju reaksi enzim dipengaruhi oleh suhu,
pH, dan konsentrasi substrat (Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

2.5.1.1 Suhu
Suhu yang semakin meningkat akan meningkatkan laju suatu reaksi kimia
dengan meningkatkan energi kintetiknya. Namun dalam hal ini enzim yang
merupakan protein sangat rentan terdenaturasi oleh suhu yang tinggi. Jika
terdenaturasi maka enzim secara fungsional akan rusak dan tidak dapat bekerja
secara normal. Maka suhu untuk mereaksikan enzim harus dijaga dalam rentang
suhu di mana enzim tersebut masih stabil. Suhu stabilitas tiap-tiap enzim amat
bervariasi satu sama lain (Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

2.5.1.2 pH
Laju hampir semua reaksi yang dikatalisis oleh enzim memperlihatkan
ketergantungan signifikan pada konsentrasi ion hidrogen. Sebagian besar enzim
intrasel memperlihatkan aktivitas optimal pada nilai pH antara 5 dan 9. Bagi
enzim yang mekanismenya melibatkan katalisis asam, residu-residu yang terlibat
harus dalam keadaan terprotonasi yang tepat agar reaksi dapat berlangsung.
Penambahan atau pengurangan gugus-gugus bermuatan akan mempengaruhi

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


12

secara negatif pengikatan substrat sehingga katalisis akan melambat atau lenyap
(Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

2.5.1.3 Konsentrasi Substrat


Peningkatan konsentrasi substrat akan meningkatkan laju reaksi. Namun
jika seluruh enzim bebas sudah berikatan dengan enzim maka akan terjadi
kejenuhan dan penambahan substrat lebih lanjut tidak akan meningkatkan laju
reaksi. Pada kondisi yang sudah jenuh ini, laju reaksi semata-mata bergantung
pada kecepatan disosiasi (penguraian) substrat yang sudah berikatan dengan
enzim tersebut sehingga enzim ini dapat mengikat kembali substrat yang lain
(Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

2.5.2 Persamaan Michaelis-Menten


Persamaan Michaelis-Menten memperlihatkan secara matematis hubungan
antara kecepatan awal reaksi dan konsentrasi substrat
𝑣𝑚𝑎𝑥 [𝑆]
𝑣𝑖 = (2.1)
𝐾𝑚 +[𝑆]

Dengan:
vi = kecepatan awal reaksi
vmax = kecepatan maksimal reaksi
[S] = konsentrasi substrat
Km = konstanta Michaelis
Konstanta Michaelis Km adalah konsentrasi substrat dengan vi adalah separuh dari
kecepatan maksimal (vmax/2) yang dapat dicapai pada konsentrasi tertentu enzim.
Oleh karena itu, Km memiliki besaran konsentrasi substrat. Kurva Michaelis-
Menten dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


13

[Sumber: McPherson dan Pincus, 2007]


Gambar 2.3 Kurva Michaelis-Menten

2.5.2.1 Bentuk Linier Persamaan Michaelis-Menten


Pengukuran langsung nilai numerik vmax, dan karenanya perhitungan Km
sering memerlukan konsentrasi substrat yang sangat tinggi (sehingga secara
praktis sulit dilakukan) untuk mencapai kondisi jenuh. Bentuk linier persamaan
Michaelis-Menten mengatasi masalah ini dan memungkinkan vmax dan Km
diekstrapolasikan dari data kecepatan awal yang diperoleh pada konsentrasi
substrat lebih rendah daripada konsentrasi jenuh (Murray, Granner, & Rodwell,
2009).
𝑣𝑚𝑎𝑥 [𝑆]
𝑣𝑖 = (2.1)
𝐾𝑚 +[𝑆]
1 𝐾 +[𝑆]
dibalik = 𝑣𝑚 (2.2)
𝑣𝑖 𝑚𝑎𝑥 [𝑆]
1 𝐾𝑚 [𝑆]
difaktorkan =𝑣 +𝑣 (2.3)
𝑣𝑖 𝑚𝑎𝑥 [𝑆] 𝑚𝑎𝑥 [𝑆]
1 𝐾𝑚 1 1
dan disederhanakan = (𝑣 ) [𝑆] + 𝑣 (2.4)
𝑣𝑖 𝑚𝑎𝑥 𝑚𝑎𝑥

Y slope X intecept
Persamaan (2.4) adalah persamaan untuk garis lurus, y = ax+b dengan y = 1/vi dan
x = 1/[S]. Oleh karena itu, plot 1/vi sebagai y yang merupakan fungsi dari 1/[S]
sebagai x menghasilkan garis lurus yang memotong di 1/vmax dengan kecuraman
Km/vmax. Plot semacam ini disebut plot timbal balik ganda atau plot Lineweaver-
Burk dapat dilihat pada Gambar 2.4 (Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


14

[Sumber: Page, D. S., 1989]


Gambar 2.4 Grafik Lineweaver-Burk

2.5.3 Inhibisi Enzim


Banyak zat bekerja untuk menghambat atau mengurangi laju reaksi-reaksi
enzim yang dikenal sebagai inhibitor. Beberapa inhibitor merupakan racun yang
potensial; yang lain merupakan pereaksi yang kemoterapeutik. Kita dapat
mengklasifikasikan inhibitor berdasarkan cara kerjanya pada enzim. Ketiga tipe
inhibisi reversibel dibedakan dengan serangkaian eksperimen dalam laboratorium.
Eksperimen inhibisi dilakukan dengan menggunakan level substrat yang
bervariasi (eksperimen dilakukan untuk menentukan nilai Km dan Vmax) dan
menambahkan sejumlah enzim dan inhibitor dengan jumlah yang konstan.
Dengan menganalisis data laju grafik Lineweaver-Burk, inhibitor dapat
diidentifikasi sebagai kompetitif, nonkompetitif, atau unkompetitif (Page, 1981;
Boyer, 2002).

2.5.3.1 Inhibisi Kompetitif


Inhibitor kompetitif biasanya mirip struktur substrat normal dan berikatan
pada active site enzim. Pengikatan substrat dan inhibitor ke active site enzim
merupakan reaksi bolak balik: ketika inhibitor berikatan, substrat tidak bisa
berikatan begitu pula sebaliknya (Boyer, 2002).
Kemampuan inhibisi bergantung pada rasio konsentrasi substrat dengan
inhibitor dan afinitas ikatan masing-masing terhadap enzim. Konsentrasi substrat
yang sangat tinggi mengurangi efek inhibitor kompetitif, kecuali jika inhibitor
Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


15

memiliki afinitas ikatan yang lebih besar daripada substrat. Molekul inhibitor
tidak dapat dikonversi menjadi “produk” karena tidak memiliki grup fungsional
yang normalnya bekerja pada enzim. Jika inhibitor mampu berikatan pada active
site, haruslah memiliki struktur yang mirip dengan substrat normal. Grafik inhibisi
kompetitif dapat dilihat pada Gambar 2.5 (Boyer, 2002).
E + S ↔ ES → E + P (2.5)
+
I

EI

[Sumber: Boyer, R., 2002]


Gambar 2.5 Grafik inhibisi kompetitif Lineweaver-Burk dengan konsentrasi
substrat yang berbeda-beda

2.5.3.2 Inhibisi Nonkompetitif


Pada inhibisi nonkompetitif, baik inhibitor dan substrat dapat berikatan
secara bersamaan dengan molekul enzim. Dua molekul berikatan pada sisi enzim
yang berbeda. Keberadaan inhibitor tidak mempengaruhi pengikatan substrat
namun menghalangi fungsi katalitik enzim. Mekanisme aksi inhibitor bervariasi
antar macam-macam molekul. Grafik inhibisi nonkompetitif dapat dilihat pada
Gambar 2.6 (Boyer, 2002).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


16

E + S ↔ ES → E + P (2.6)
+ +
I I
↕ ↕
EI + S ↔ EIS

[Sumber: Boyer, R., 2002]


Gambar 2.6 Grafik inhibisi nonkompetitif Lineweaver-Burk dengan konsentrasi
substrat yang berbeda-beda

2.5.3.3 Inhibisi Unkompetitif


Inhibitor unkompetitif mirip dengan inhibitor nonkompetitif, yaitu masih
dapat mengikatkan substrat kepada active site. Berbeda dalam hal ikatan inhibitor
unkompetitif hanya mengikat pada kompleks ES. Grafik inhibisi unkompetitif
dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Boyer, 2002).
E + S ↔ ES → E + P (2.7)
+
I

ESI

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


17

[Sumber: Boyer, R., 2002]


Gambar 2.7 Grafik inhibisi unkompetitif Line-weaver-Burk dengan konsentrasi
substrat yang berbeda-beda

2.6 Inhibitor Tirosinase


Sejumlah inhibitor tirosinase dari sumber alam maupun sintetik sudah
diketahui, namun definisi “inhibitor tirosinase” terkadang disalahartikan; banyak
penulis menggunakan terminologi itu sebagai inhibitor melanogenesis, yang
aksinya terutama menghalangi pembentukan melanin, terlepas adanya interaksi
langsung inhibitor/enzim. Banyak inhibitor diuji dengan kehadiran tirosin atau
DOPA sebagai substrat enzim, dan aktivitasnya dinilai dengan terbentuknya
dopakrom (Chang, 2009). Beberapa mekanisme inhibisi disebutkan dan yang
dikenal sebagai “inhibitor sejati” yaitu dua mekanisme yang cukup signifikan,
terikat pada enzim dan menginhibisi aktivitasnya yaitu:
a. Inaktivator tirosinase nonspesifik seperti inhibitor berdasarkan mekanisme,
yang juga dikenal sebagai substrat yang menginaktivasi kerja enzim. Inhibitor
dapat dikatalisis oleh tirosinase dan membentuk ikatan kovalen dengan enzim
yang irreversibel. Dalam hal ini menginduksi enzim mengatalisis reaksi yang
menginaktivasi kerja enzim (Chang, 2009).
b. Inhibitor tirosinase spesifik, senyawa ini secara reversibel berikatan dengan
tirosinase dan mengurangi kapasitas katalitik (Chang, 2009).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


18

2.6.1 Polifenol
Polifenol merupakan kelompok senyawa yang mengandung fenol dengan
fungsi ganda yang banyak tersebar di alam. Polifenol juga merupakan kelompok
terbesar dalam inhibitor tirosinase hingga sekarang. Karena beberapa polifenol
diterima sebagai substrat tirosinase, bergantung pada keberadaan dan posisi
subsisten tambahan apakah suatu polifenol berlaku sebagai inhibitor. Flavonoid
adalah polifenol yang paling banyak jumlahnya dan paling banyak dikaji,
terdistribusi luas di daun, biji, kulit batang, dan bunga dari suatu tanaman. Pada
tanaman, senyawa ini memberikan proteksi terhadap radiasi UV, patogen, dan
herbivora. Senyawa ini juga penting pada karakteristik warna merah dan biru pada
beri, anggur, dan beberapa sayur. Struktur flavonoid juga kompatibel dengan
peran baik sebagai substrat maupun inhibitor tirosinase (Chang, 2009).

2.6.2 Benzaldehid dan Derivat Benzoat


Sudah diketahui sejak dahulu benzaldehid dan derivat benzoat sudah
diisolasi dari tanaman sebagai inhibitor tirosinase, seperti asam benzoat, asam
anisat, anisaldehid, asam sinamat, asam metoksisinamat, benzaldehid tersubstitusi,
derivat hidroksisinamoil, dan asam vanilat. Mekanisme inhibisi tirosinase pada
inhibitor tipe benzaldehid adalah dari kemampuannya membentuk basa Schiff
dengan gugus amino primer yang melibatkan interaksi antara bentuk tidak
terionisasi dari inhibitor dan tembaga pada active site enzim. Dalam hal kekuatan
inhibisi, semua benzaldehid dan derivat benzoat alami menunjukkan aktivitas
yang lemah hingga sedang dalam menginhibisi tirosinase dan tidak ada yang
dapat melebihi kekuatan aktivitas asam kojat (Chang, 2009).

2.6.3 Lemak Rantai Panjang dan Steroid


Akhir-akhir ini diketahui beberapa lemak yang dipurifikasi dari alam dapat
memberikan aktivitas penghambatan tirosinase. Triasilgliserol, tilinolein yang
diisolasi dari endapan sake terbukti memiliki kekuatan yang sama dengan asam
kojat dalam inhibisi aktivitas difenolase pada tirosinase jamur (Chang, 2009).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


19

2.6.4 Inhibitor Alami Lainnya


Antrakuinon dari berbagai sumber tanaman yang berbeda digunakan sejak
dulu untuk laksatif dan katartik. Kelas senyawa ini menunjukkan variasi aktivitas
farmakologi, seperti antiinflamasi, penyembuhan luka, analgesik, antipiretik,
antimikroba, dan antitumor. Salah satu antrakuinon, fision, diketahui memiliki
aktivitas penghambatan tirosinase yang sama dengan asam kojat. Antrakuinon
lainnya, 1,5-dihidroksi-7-metoksi-3-metilantrakuinon menunjukkan aktivitas 72
kali lebih besar dalam menghambat tirosinase. Beberapa senyawa lainnya seperti
kelompok lignan, (+)-lioniresinol; derivat floroglusinol, diekol; 6-n-pentil-α-piron
bahkan menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan asam kojat dalam
menghambat enzim tirosinase (Chang, 2009).

2.7 Metode Ekstraksi dan Fraksinasi


2.7.1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari komponen lain yang tidak dapat larut pada suatu pelarut
cair tertentu (Departemen Kesehatan, 2000) yang diperoleh hasil berupa ekstrak.
Perlakuan selanjutnya pada ekstrak adalah penguapan semua atau hampir semua
pelarut, sehingga diperoleh massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Departemen
Kesehatan, 1995).
Proses ekstraksi suatu simplisia bahan alam mengarah pada penarikan
komponen kimia yang diinginkan melalui suatu sistem kesesuaian pelarut pada
komponen tersebut. Pelarut yang dipergunakan dalam proses ekstraksi ini adalah
pelarut yang bersifat optimal untuk menarik senyawa yang dimaksud sehingga
dapat dipisahkan dari kandungan senyawa lainnya dan dapat menghasilkan
ekstrak yang hanya mengandung sebagian besar senyawa yang diinginkan
(Departemen Kesehatan, 2000).
Idealnya, untuk analisis fitokimia, harus digunakan jaringan tumbuhan
segar. Beberapa menit setelah dikumpulkan, bahan tumbuhan itu harus direndam
ke dalam alkohol mendidih. Kadang-kadang, tumbuhan yang telah ditelaah tidak
tersedia dan bahan mungkin harus disediakan oleh seorang pengumpul yang

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


20

tinggal di benua lain. Dalam hal demikian, jaringan yang diambil segar sebaiknya
disimpan kering di dalam kantung plastik sehingga akan tetap dalam keadaan baik
untuk dianalisis setelah beberapa hari dalam perjalanan dengan pos udara
(Harborne, J. B., 1987).
Cara lain, tumbuhan dapat dikeringkan sebelum diekstraksi. Bila hal ini
dilakukan, pengeringan tersebut harus dilakukan dalam keadaan terawasi untuk
mencegah terjadinya perbahan kimia yang terlalu banyak. Bahan harus
dikeringkan secepat-cepatnya, tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih baik dengan
aliran udara yang baik. Setelah betul-betul kering, tumbuhan dapat disimpan
untuk jangka waktu lama sebelum digunakan untuk analisis. Dan memang
demikianlah, analisis flavonoid, alkaloid, kuinon, dan terpenoid telah dilakukan
dengan berhasil pada herbarium yang telah disimpan bertahun-tahun (Harborne, J.
B., 1987).
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang sesuai dikategorikan secara
garis besar menjadi dua macam, yaitu cara dingin dan cara panas (Departemen
Kesehatan, 2000).

2.7.1.1 Cara Dingin


a. Maserasi
Asal mula kata maserasi berasal dari bahasa Latin macerare yang berarti
merendam. Proses ekstraksi simplisia secara maserasi dilakukan dengan
menggunakan pelarut yang sesuai disertai beberapa kali pengocokon atau
pengadukan pada temperatur ruangan (suhu kamar). Secara teknologi termasuk
ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus menerus).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Departemen Kesehatan, 2000).

b. Perkolasi
Ekstraksi sampai sempurna dengan pelarut yang selalu baru dan
dilakukan pada suhu kamar. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan,
tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


21

ekstrak) yang dilakukan secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat)
dengan jumlah 1-5 kali bahan (Departemen Kesehatan, 2000).

2.7.1.2 Cara Panas


a. Refluks
Ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu
tertentu dengan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan akibat adanya
pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan pada residu pertama hingga 3-
5 kali proses refluks. Oleh karena itu, proses ekstraksi dengan refluks ini
tergolong dalam proses ekstraksi yang sempurna (Departemen Kesehatan, 2000).

b. Soxhlet
Ekstraksi yang umumnya menggunakan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang selalu baru yang relatif konstan
akibat adanya pendingin balik (Departemen Kesehatan, 2000).

c. Digesti
Ekstraksi digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu
yang dilakukan pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (suhu
kamar), yaitu umumnya dilakukan pada temperatur 40-50oC (Departemen
Kesehatan, 2000).

d. Infus
Ekstraksi infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air dengan bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih.
Temperatur yang digunakan pada metode ini adalah 96-98oC selama 15-20 menit
(Departemen Kesehatan, 2000).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


22

e. Dekok
Ekstraksi dekok merupakan ekstraksi infus pada waktu yang lebih lama
(30 menit) dan dilakukan pada temperatur hingga titik didih air (Departemen
Kesehatan, 2000).

2.7.2 Kromatografi Kolom


Kromatografi kolom pertama kali ditemukan oleh botanis dari Rusia
bernama Tswett menggunakan kolom kalsium karbonat untuk memisahkan
pigmen hijau daun ke dalam berbagai seri pita-pita dengan melewatkan pelarut
melalui kolom (Poole & Poole, 1991).
Kromatografi kolom klasik merupakan yang tertua dari cara kromatografi
yang banyak dan seperti yang dipraktekkan secara tradisional, merupakan bentuk
kromatografi cair. Fase diam, baik bahan yang jerap atau film zat cair pada
penyangga, ditempatkan di dalam tabung kaca berbentuk silinder, pada bagian
bawah tertutup dengan katup atau keran, dan fase gerak dibiarkan mengalir ke
bawah melaluinya karena gaya gravitasi. Kolom kromatografi biasanya dibuat
dengan menuangkan suspensi fase diam dalam pelarut yang sesuai ke dalam
kolom dan dibiarkan memampat. Selanjutnya permukaan pelarut diturunkan
sampai tepat pada bagian atas penjerap, dan cuplikan yang dilarutkan dalam
pelarut yang sesuai diletakkan pada bagian atas kolom dan dibiarkan mengalir ke
dalam lapisan atas penjerap atau penyangga. Kemudian fase gerak dimasukkan
dan dibiarkan mengalir mengembangkan kromatogram. Pada kondisi yang dipilih
dengan baik, linarut yang merupakan komponen campuran, turun berupa pita
dengan laju yang berlainan dan dengan demikian dipisahkan. Linarut biasanya
dipisahkan dengan cara membiarkannya mengalir keluar dari kolom dan
dikumpulkan sebagai fraksi, seringkali dengan memakai pengumpul fraksi
mekanis (Gritter, Bobbitt, & Schwarting, 1985).

2.7.3 Kromatografi Lapis Tipis


Pada kromatografi lapis tipis, fase cair berupa lapisan tipis (tebal 0,1-2
mm) yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan kepada permukaan penyangga
datar yang biasanya terbuat dari kaca, tetapi dapat pula terbuat dari pelat polimer

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


23

atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat,
biasanya kalsium sulfat atau amilum (pati). Pada kromatografi lapis tipis lapisan
itu biasanya berfungsi sebagai permukaan padat yang menjerap, walaupun dapat
pula dipakai sebagai penyangga zat cair. Campuran yang akan dipisahkan
dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, lebih menguntungkan jika dipakai pelarut
pengembang atau pelarut yang kepolarannya sama dengan pengembang dan
ditotolkan berupa bercak (garis tengah 15 mm) pada lapisan dekat salah satu
ujung (kira-kira 2 cm dari ujung). Penotolan biasanya dilakukkan memakai
kapiler kaca, tetapi dapat pula dilakukan dengan semprit atau alat otomatis.
Pelarut dibiarkan menguap atau dihilangkan dengan bantuan aliran udara kering
atau nitrogen. Lapisan kemudian dimasukkan ke dalam bejana pengembang yang
berisi pelarut yang dalamnya sekitar 1 cm yang akan bertindak sebagai fase gerak.
Ini dilakukan sedemikian rupa sehingga pelarut berkontak dengan lapisan pada
ujung yang dekat dengan bercak totolan, tetapi tentu saja di bawah totolan itu.
Lalu bejana ditutup ketat dan pelarut dibiarkan 10-15 cm di atas totolan cuplikan
(Gritter, Bobbitt, & Schwarting, 1985).
Titik tempat campuran ditotolkan pada ujung pelat atau lembaran disebut
titik awal. Garis depan pelarut ialah bagian atas fase gerak atau pelarut ketika ia
bergerak melalui lapisan, dan setelah pengembangan selesai, merupakan tinggi
maksimum yang dicapai oleh pelarut. Perilaku senyawa tertentu di dalam sistem
kromatografi tertentu dinyatakan dengan harga Rf. Angka ini diperoleh dengan
membagi jarak yang ditempuh oleh bercak linarut dengan jarak yang ditempuh
oleh garis depan pelarut. Keduanya diukur dari titik awal, dan harga Rf beragam
mulai dari 0 sampai 1 (Gritter, Bobbitt, & Schwarting, 1985).

2.8 Identifikasi Golongan Senyawa Kimia


Identifikasi golongan senyawa kimia adalah suatu prosedur analisis kimia
kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa yang terdapat dalam suatu ekstrak
yang didapat untuk memperkirakan golongan senyawa yang berpotensi
memberikan mekanisme kerja seperti yang sudah dilakukan pada uji in vitro.
Golongan senyawa kimia yang diidentifikasi berupa senyawa-senyawa metabolit

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


24

sekunder seperti alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin, glikosida, polifenol, dan


saponin.

2.8.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder terbesar yang
senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya
gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Sebagian alkaloid beracun bagi
manusia dan beberapa memiliki fungsi fisiologis yang bermakna sehingga dapat
digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tanpa warna,
seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal, hanya sedikit yang
berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne, J. B., 1987).

2.8.2 Tanin
Tanin merupakan senyawa yang mengandung gugus fenol, terdapat
banyak dalam tumbuhan berpembuluh dan dalam jaringan berkayu pada
angiospermae. Tanin memiliki kemampuan untuk menyambung ikatan protein
membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Secara kimia terdapat
dua jenis utama tanin yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin
terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan
cara kondensasi katekin tunggal (atau galokatekin) yang membentuk senyawa
dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi, terdapat dalam paku-pakuan dan
gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama jenis tumbuhan
berkayu. Tanin terhidrolisis merupakan tanin yang apabila direaksikan dengan
asam akan terurai menjadi senyawa monomer-monomer asam, penyebarannya
terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harborne, J. B., 1987).

2.8.3 Saponin
Saponin adalah senyawa glikosida triterpenoid yang dapat diamati melalui
proses pembentukan busa mantap pada waktu mengekstraksi tumbuhan atau pada
waktu memekatkan ekstrak tumbuhan. Uji saponin yang sederhana ialah dengan
mengocok ekstrak alkohol-air dari tumbuhan dalam tabung reaksi dan
diperhatikan apakah ada terbentuk busa tahan lama pada permukaan cairan atau
Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


25

tidak. Saponin juga dapat diperiksa dalam ekstrak kasar berdasarkan


kemampuannya menghemolisis sel darah. Namun, lebih baik bila uji sederhana
tersebut dipastikan dengan kromatografi lapis tipis dan pengukuran spektrum
(Harborne, J. B., 1987).

2.8.4 Terpenoid
Terpenoid berasal dari molekul isoprena CH2=C(CH3)-CH=CH2 dan
kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5.
Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak
atsiri, yaitu monoterpen dan seskuiterpen yang mudah menguap (C10 dan C5),
diterpen yang lebih sukar menguap (C20), sampai ke senyawa yang tidak
menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen karotenoid (C40).
Secara kimia, senyawa ini larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel
tumbuhan (Harborne, J. B., 1987).

2.8.5 Flavonoid
Flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon
yang terdapat pada tumbuhan Primula. Flavonoid mengandung sistem aromatik
yang terkonjugasi terlarut dalam air dan karena itu menunjukkan pita serapan kuat
pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid umumnya terdapat
dalam tumbuhan terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid yang
manapun mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan dalam beberapa bentuk
kombinasi glikosida (Harborne, J. B., 1987).

2.8.6 Glikosida
Glikosida merupakan suatu senyawa yang bila dihidrolisis akan terurai
menjadi gula (glikon) dan genin (aglikon). Pada umumnya glikon berupa glukosa,
fruktosa, laktosa, galaktosa dan manosa. Aglikon (genin) biasanya mempunyai
gugus –OH dalam bentuk alkohol atau fenol. Kegunaan glikosida bagi tanaman
adalah untuk cadangan gula sementara. Glikosida dapat dibedakan menjadi α-
glikosida dan β-glikosida (Harborne, J. B., 1987).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


26

2.8.7 Antrakuinon
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai dan mempunyai
kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus
karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk
tujuan identifikasi, kuinon dapat dipilah menjadi empat kelompok: benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama
termasuk antrakuinon biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta
mengkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida
atau dalam bentuk kuinol tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer
(Harborne, J. B., 1987).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Laboratorium Penelitian Fitokimia dan Laboratorium Kimia Farmasi
Analisis Kuantitatif Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, dari bulan
Januari hingga Mei 2013.

3.2 Bahan
3.2.1 Bahan Uji
Berupa kulit batang C. siamea Lam. yang sudah dicuci dan dikeringkan
yang diperoleh dari tanaman C. siamea Lam. di area FMIPA Universitas
Indonesia yang sudah dideterminasi oleh Herbarium Bogoriensis, Pusat Penelitian
Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

3.2.2 Bahan Kimia


Pelarut organik untuk ekstraksi dan fraksinasi tanaman yaitu metanol
(Brataco, Indonesia), etil asetat (Brataco, Indonesia), n-heksan (Brataco,
Indonesia), buffer fosfat, kalium dihidrogen fosfat (Merck, Jerman), akuades
demineralisata, natrium hidroksida (Univar, USA), iodium (Merck, Jerman),
kuersetin (Merck, Jerman), kloroform, vanilin (Merck, Jerman), asam klorida
(Merck, Jerman), kalium hidroksida (Merck, Jerman), asetat anhidrat (Merck,
Jerman), asam sulfat (Merck, Jerman), kalium iodida (Merck, Jerman), besi (III)
klorida (Merck, Jerman), aluminium (III) klorida (Merck, Jerman), dan silika gel
(Merck, Jerman). Bahan uji yang dipakai yaitu enzim mushroom tyrosinase
(Sigma Aldrich, Singapora) dan substratnya yaitu L-DOPA (Sigma Aldrich,
Singapora), dimetil sulfoksida (Merck, Jerman), serta asam kojat (Thornhill,
Kanada) sebagai kontrol positif.

3.3 Alat
Rotary vacuum evaporator (HanShin, Janke & Kunkel IKA, Jerman),
multichannel pipet 10-100 µL (Finnpippet, USA), pipet mikro 100-1000 µL dan
27 Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


28

10-100 µL (Finnpippet, USA), microtube, 96 well-microtiter plate, plate reader


(BioTek Elx80, USA), lempeng kromatografi lapis tipis silika gel 60 (Merck,
Jerman), spektrofotometer UV-Vis (Camag; T80+ UV/VIS spektrometer, PG
Instrument Ltd), kuvet kuarsa (Merck, Jerman), alat penggiling (Phillips, Jerman),
penyaring vakum, pH meter (Eutech Instruments, Singapura), oven, oven vakum
(Hotpack, USA), alat sonikasi (Elmasonic, Jerman), timbangan digital analitik
(Acis AW-x series; AND HR-200; Mettler Toledo, Swiss), penangas air (Lab-
Line, India), kromatografi kolom dipercepat, lempeng kromatografi lapis tipis
(Merck, Jerman), chamber, vial berbagai ukuran, dan alat gelas lainnya.

3.4 Prosedur Pelaksanaan


3.4.1 Penyiapan Simplisia
Dikumpulkan kulit batang C. siamea Lam. yang terlebih dahulu dilakukan
pencucian menggunakan air bersih yang mengalir. Kemudian ditiriskan dan
disortasi hingga didapat simplisia kering kulit batang C. siamea Lam. sebanyak 1
kg. Kemudian dilakukan penumbukan serta penggilingan simplisia hingga
menjadi serbuk kering yang siap diekstraksi.

3.4.2 Ekstraksi dengan Cara Maserasi


Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Pertama-tama
serbuk kulit batang C. siamea Lam. sebanyak 1 kg dibagi menjadi 3 bagian,
dimasukkan ke dalam 3 botol dan diisikan n-heksan hingga tinggi permukaan
pelarut tiga jari di atas permukaan simplisia. Botol ini dimaserasi sambil dikocok
selama kurang lebih 2 jam didiamkan selama 24 jam. Ekstrak yang didapat
kemudian disaring dan diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator pada suhu
40-50oC dan dikeringkan dengan diuapkan pada waterbath di dalam cawan
penguap, penguapan pelarut lebih lanjut dilakukan pada ekstrak menggunakan
oven vakum pada suhu 40oC dan tekanan 25 mmHg hingga didapat ekstrak kental
hingga kering. Proses ini dianggap sebagai satu siklus. Ketika akan mengganti
pelarut dengan kepolaran berbeda, ampas kemudian diangin-anginkan untuk
menghilangkan pelarut sebelumnya. Kemudian ampas dimaserasi berturut-turut
dengan pelarut etil asetat dan metanol dengan cara yang sama dengan proses

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


29

maserasi menggunakan pelarut n-heksan. Masing-masing larutan ekstrak ini


dipekatkan. Sehingga diperoleh ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak
metanol yang diuji aktivitas penghambatan enzim tirosinase. Ekstrak yang
memiliki aktivitas penghambatan yang teraktif akan dilanjutkan dengan proses
fraksinasi.

3.4.3 Optimasi Kondisi Uji Penghambatan Enzim Tirosinase Secara In Vitro


3.4.3.1 Pembuatan Dapar Fosfat 50 mM dengan pH 6,8
Untuk menyiapkan 200 mL dapar fosfat 50 mM, kalium dihidrogen fosfat
ditimbang seksama sebanyak 2,722 g, kemudian dilarutkan dengan air
demineralisata hingga 100 mL. Larutan tersebut diambil 50 mL ditambahkan
larutan NaOH 0,2 M sebanyak 22,4 mL dan ditambahkan air demineralisata
hingga hampir mencapai 200 mL. pH larutan diukur dan diteteskan NaOH hingga
pH mencapai 6,8 (United States Pharmacopoeia, 2007).

3.4.3.2 Pembuatan Larutan L-DOPA 20 mM


L-DOPA (BM = 197,19) ditimbang seksama sebanyak ± 20 mg, kemudian
ditambahkan dengan dapar fosfat (pH = 6,8) sebanyak 5,07 ml dengan pipet mikro
hingga diperoleh konsentrasi 20 mM. Larutan ini disimpan dalam wadah yang
terlindung dari cahaya matahari (Ki, Alam, Jae, Kyung, & Tae, 2011).

3.4.3.3 Pembuatan Larutan Tirosinase


Tirosinase sebanyak 25.000 unit dilarutkan dengan 10.080,6 µL dapar
fosfat pH 6,8 hingga didapat konsentrasi sebesar 2.480 U/mL. Larutan ini
disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -20oC (Ki, Alam, Jae, Kyung, &
Tae, 2011).

3.4.3.4 Pembuatan Larutan Dimetil Sulfoksida 1,25%


Sebanyak 1,0 mL dimetil sulfoksida dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0
mL kemudian dicukupkan volumenya hingga batas pada labu ukur 10,0 mL
dengan dapar fosfat pH 6,8 hingga diperoleh konsentrasi dimetil sulfoksida 10%.
Kemudian larutan dimetil sulfoksida 10% dipipet sebanyak 1,25 mL dan
Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


30

dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 mL kemudian dicukupkan volumenya


hingga batas pada labu ukur dengan dapar fosfat pH 6,8 hingga diperoleh
konsentrasi dimetil sulfoksida 1,25% (Ki, Alam, Jae, Kyung, & Tae, 2011).

3.4.3.5 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum


Sebanyak 2.400 µL larutan dapar fosfat (0,1 M, pH 6,8), 800 µL larutan L-
DOPA 10 mM, dan 800 µL larutan enzim tirosinase 31 U/mL dicampur dan
diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37oC. Kemudian dimasukkan ke dalam
kuvet dan diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
dengan kisaran 350-500 nm untuk menentukan panjang gelombang maksimum.

3.4.3.6 Optimasi Konsentrasi Enzim


Sebanyak 120 µL larutan dapar fosfat (0,1 M, pH 6,8), 40 µL larutan L-
DOPA 5 mM dan 10 mM, dan 40 µL larutan enzim tirosinase dimasukkan ke
dalam 96 well-microtiter plate. Dibuat pula blanko di mana tidak ditambahkan
larutan enzim tirosinase. Larutan enzim yang ditambahkan dibuat dengan
konsentrasi 248; 124; 62; 31; dan 15,5 U/mL dari larutan induk 2.480 U/mL.
Kemudian campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37oC. Absorbansi
diukur menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 490 nm.
Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali (Ki, Alam, Jae, Kyung, & Tae, 2011).

Tabel 3.1 Prosedur Optimasi Konsentrasi Enzim


Bahan Plate (µL)
Sampel Blanko
Larutan dapar fosfat 120 160
L-DOPA 5 mM dan 10 mM 40 40
Tirosinase (248; 124; 62; 31; dan 15,5 U/mL) 40 -
Inkubasi suhu 37oC selama 10 menit, panjang gelombang 490 nm

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


31

3.4.3.7 Optimasi Konsentrasi Substrat


Sebanyak 120 µL larutan dapar fosfat (0,1 M, pH 6,8), 40 µL larutan L-
DOPA, dan 40 µL larutan enzim tirosinase dengan konsentrasi yang optimum,
dimasukkan ke dalam 96 well-microtiter plate. Masing-masing sampel dibuat
blanko di mana tidak ditambahkan larutan enzim tirosinase. Konsentrasi substrat
20 mM dibuat pengenceran hingga didapat konsentrasi 20; 10; 5; 2,5; 1,25 mM.
Kemudian inkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit. Campuran diukur
absorbansinya menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 490 nm.
Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali (Ki, Alam, Jae, Kyung, & Tae, 2011).

Tabel 3.2 Prosedur Optimasi Konsentrasi Substrat

Bahan Plate (µL)


Sampel Blanko
Larutan dapar fosfat 120 160
L-DOPA (20; 10; 5; 2,5; 1,25 mM) 40 40
Tirosinase konsentrasi optimum 40 -
Inkubasi suhu 37oC selama 10 menit, panjang gelombang 490 nm

3.4.3.8 Optimasi Waktu Inkubasi


Sebanyak 120 µL larutan dapar fosfat (0,1 M, pH 6,8), 40 µL larutan L-
DOPA konsentrasi optimum, dan 40 µL larutan enzim tirosinase konsentrasi
optimum dimasukkan ke dalam 96 well-microtiter plate. Masing-masing sampel
dibuat blanko di mana tidak ditambahkan larutan enzim tirosinase. Waktu
inkubasi dibuat empat macam yaitu 5, 10, 15, dan 20 menit. Inkubasi dilakukan
pada suhu 37oC. Campuran diukur absorbansinya menggunakan microplate
reader pada panjang gelombang 490 nm (Ki, Alam, Jae, Kyung, & Tae, 2011).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


32

Tabel 3.3 Prosedur Optimasi Waktu Inkubasi

Bahan Plate (µL)


Sampel Blanko
Larutan dapar fosfat 120 160
L-DOPA 10 mM 40 40
Tirosinase 31 U/mL 40 -
Inkubasi suhu 37oC selama 5, 10, 15, dan 20 menit; panjang gelombang 490 nm

Untuk selanjutnya, seluruh prosedur yang dilakukan untuk menguji aktivitas


penghambatan enzim tirosinase menggunakan konsentrasi enzim, konsentrasi
substrat, dan waktu inkubasi yang paling optimal yang dihasilkan oleh data hasil
optimasi (Ki, Alam, Jae, Kyung, & Tae, 2011).

3.4.4 Uji Penghambatan Enzim Tirosinase oleh Kontrol Positif Asam Kojat
3.4.4.1 Pembuatan Larutan Asam Kojat Sebagai Kontrol Positif
Serbuk asam kojat ditimbang sejumlah 50 mg dan dilarutkan dalam 10 mL
dapar fosfat pH 6,8 sehingga diperoleh konsentrasi 5.000 µg/mL. Kemudian
larutan asam kojat 5.000 µg/mL dipipet 100 µL dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 5,0 mL. Volume labu ukur dicukupkan dengan dapar fosfar 0,1 M pH 6,8
hingga diperoleh konsentrasi larutan asam kojat 100 µg/mL, demikian selanjutnya
hingga diperoleh konsentrasi larutan asam kojat 40; 20; 10; 5; dan 2,5 µg/mL.
Maka didapat konsentrasi akhir asam kojat dalam sumuran sebesar 8; 4; 2; 1; dan
0,5 µg/mL (Ki, Alam, Jae, Kyung, & Tae, 2011).

3.4.4.2 Pengujian Larutan Asam Kojat Sebagai Kontrol Positif


Sebanyak 40 µL larutan asam kojat, 40 µL larutan L-DOPA, 40 µL larutan
enzim tirosinase, dan dicukupkan dengan dapar fosfat (0,1 M, pH 6,8) hingga 200
µL dimasukkan ke dalam 96 well-microtiter plate. Dibuat pula blanko dengan
komposisi yang sama tanpa penambahan larutan asam kojat. Masing-masing
sampel dan blanko dibuat kontrol di mana tidak ditambahkan larutan enzim

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


33

tirosinase. Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC. Campuran diukur absorbansinya


menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 490 nm. Pengujian
dilakukan sebanyak tiga kali (Ki, Alam, Jae, Kyung, & Tae, 2011).

Tabel 3.4 Prosedur Uji Penghambatan Enzim Tirosinase oleh Asam Kojat
Bahan Plate (µL)
B1 B0 S1 S0
Larutan dapar fosfat 120 160 80 120
L-DOPA 40 40 40 40
Larutan asam kojat - - 40 40
Tirosinase 40 - 40 -
Inkubasi suhu 37oC selama 10 menit, panjang gelombang 490 nm
B1= blanko, B0 = kontrol blanko, S1 = sampel, S0 = kontrol sampel

3.4.5 Uji Aktivitas Penghambatan Tirosinase oleh Ekstrak Kulit Batang Cassia
siamea Lam.
3.4.5.1 Pembuatan Larutan Sampel Ekstrak
Ekstrak n-heksan, etil asetat, dan metanol masing-masing ditimbang
seksama 100 mg dan dilarutkan dalam dimetil sulfoksida 1 mL kemudian
dicukupkan volumenya hingga batas pada labu ukur 10,0 mL dengan dapar fosfat
pH 6,8 hingga diperoleh konsentrasi ekstrak 10% dalam dimetil sulfoksida.
Kemudian larutan ekstrak 10% dipipet 625 µL dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 5,0 mL. Volume labu ukur dicukupkan dengan dapar fosfat pH 6,8 hingga
diperoleh konsentrasi larutan ekstrak 1.250 µg/mL sehingga kosentrasi larutan
ekstrak dalam sumuran adalah 250 µg/mL. Jika pada ketiga ekstrak dengan
konsentrasi 1.250 µg/mL hasil pengujian penghambatan enzim terdapat ekstrak
yang memiliki persentase penghambatan di atas 50% maka dilakukan
pengenceran lebih lanjut sehingga diperoleh konsentrasi 1.250, 625, 312, 156, 78
µg/mL untuk menghitung nilai IC50. Sehingga didapat konsentrasi akhir ekstrak
dalam sumuran sebesar 250; 125; 62,5; 31,2; dan 15,6 µg/mL (Ki, Alam, Jae,
Kyung, & Tae, 2011).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


34

3.4.5.2 Pengujian Larutan Sampel Ekstrak


Sebanyak 40 µL larutan sampel ekstrak, dan 40 µL larutan L-DOPA, 40
µL larutan enzim tirosinase, dan dicukupkan dengan dapar fosfat (0,1 M, pH 6,8)
hingga 200 µL dimasukkan ke dalam 96 well-microtiter plate. Dibuat pula blanko
dengan komposisi yang sama tanpa penambahan larutan sampel, namun diberi
dimetil sulfoksida 1,25%. Masing-masing sampel dan blanko dibuat kontrol di
mana tidak ditambahkan larutan enzim tirosinase. Kemudian diinkubasi pada suhu
37oC. Campuran diukur absorbansinya menggunakan microplate reader pada
panjang gelombang 490 nm. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali (Ki, Alam,
Jae, Kyung, & Tae, 2011).

Tabel 3.5 Prosedur Uji Aktivitas Penghambatan Tirosinase oleh Ekstrak Kulit
Batang Cassia siamea Lam.
Bahan Plate (µL)
B1 B0 S1 S0
Larutan dapar fosfat 80 120 80 120
Larutan DMSO 1,25% 40 40 - -
L-DOPA 40 40 40 40
Larutan sampel - - 40 40
Tirosinase 40 - 40 -
Inkubasi suhu 37oC selama 10 menit, panjang gelombang 490 nm
B1= blanko, B0 = kontrol blanko, S1 = sampel, S0 = kontrol sampel

Dihitung persen penghambatannya yang apabila didapat persen inhibisi yang


melebihi 50%, dibuat kurva % inhibisi vs konsentrasi sampel untuk mendapatkan
persamaan linear dan nilai IC50.

𝐴−𝐵 −(𝐶−𝐷)
% 𝑖𝑛ℎ𝑖𝑏𝑖𝑠𝑖 = 𝑋 100 (3.1)
(𝐴−𝐵)

A= absorbansi larutan blanko dengan enzim (B1)


B= absorbansi larutan blanko tanpa enzim (B0)
C = absorbansi larutan sampel dengan enzim (S1)
D = absorbansi larutan sampel tanpa enzim (S0)

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


35

3.4.6 Fraksinasi Ekstrak Kulit Batang Cassia siamea Lam. dengan Aktivitas
Penghambatan Tertinggi
3.4.6.1 Penentuan Fase Gerak dengan Kromatografi Lapis Tipis
Setelah pengujian enzim pada ketiga ekstrak yang berbeda kepolaran maka
didapatlah ekstrak dengan aktivitas penghambatan enzim tirosinase teraktif.
Ekstrak kental ini kemudian ditotolkan pada lempeng kromatografi lapis tipis dan
diuji dengan metode trial and error untuk mengetahui pelarut mana yang dapat
memberikan elusi yang terbaik. Pelarut yang memberikan elusi yang baik pada
kromatografi lapis tipis akan dipakai sebagai fase gerak pada tahap fraksinasi
menggunakan kromatografi kolom dipercepat.

3.4.6.2 Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Dipercepat


Ekstrak kental dengan aktivitas penghambatan enzim teraktif kemudian
ditimbang sebanyak 20-40 g difraksinasi menggunakan kolom Silika gel dengan
fase gerak sistem pelarut gradien disesuaikan dengan kepolaran ekstrak kental
yang didapat. Silika gel pertama-tama dimasukkan ke dalam kolom untuk
menentukan jumlah Silika gel yang akan dipakai. Setelah itu Silika gel
dikeluarkan untuk ditimbang dan dimampatkan di dalam kolom dengan bantuan
vakum. Kemudian bagian permukaan atas Silika gel ditaruh kertas saring dan
dituangkan ekstrak kering yang sudah dicampur dengan sedikit silika gel. Hasil
elusi ditampung ke dalam botol-botol berukuran 100 mL menjadi fraksi-fraksi.
Fraksi digabungkan berdasarkan kesamaan spot pada hasil elusi menggunakan
kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi gabungan tadi dilakukan pengujian kembali
aktivitas penghambatan enzim tirosinase untuk mengetahui fraksi mana yang
memiliki aktivitas penghambatan enzim yang teraktif.

3.4.7 Uji Aktivitas Penghambatan Tirosinase oleh Fraksi Kulit Batang Cassia
siamea Lam.
Uji aktivitas penghambatan tirosinase fraksi-fraksi kulit batang C. siamea
Lam. dari kromatografi kolom dipercepat dilakukan dengan prosedur sama seperti
uji penghambatan tirosinase ekstrak kulit batang C. siamea Lam.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


36

3.4.8 Penentuan Kinetika Penghambatan Tirosinase oleh Fraksi dengan


Aktivitas Penghambatan Tertinggi
Penentuan kinetika penghambatan enzim dilakukan pada fraksi yang
memiliki aktivitas penghambatan teraktif serta memiliki nilai IC50 yang cukup
kecil. Tipe inhibisi diketahui dengan kurva Lineweaver-Burk. Konsentrasi
substrat dibuat empat macam yaitu 20; 10; 5; dan 2,5 mM dengan masing-masing
ditambahkan larutan enzim dengan konsentrasi 31 U/mL (Ki, Alam, Jae, Kyung,
& Tae, 2011).

3.4.8.1 Pengujian Kinetika Penghambatan Tirosinase Larutan Sampel


Sebanyak 40 µL larutan sampel, 40 µL larutan L-DOPA, 40 µL larutan
enzim tirosinase, dan dicukupkan dengan dapar fosfat (0,1 M, pH 6,8) hingga 200
µL dimasukkan ke dalam 96 well-microtiter plate. Dibuat pula blanko dengan
komposisi yang sama tanpa penambahan larutan sampel. Masing-masing sampel
dan blanko dibuat kontrol di mana tidak ditambahkan larutan enzim tirosinase.
Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC. Campuran diukur absorbansinya
menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 490 nm. Pengujian
dilakukan sebanyak tiga kali (Ki, Alam, Jae, Kyung, & Tae, 2011).

Tabel 3.6 Prosedur Uji Kinetika Penghambatan Tirosinase oleh Fraksi Teraktif
Kulit Batang Cassia siamea Lam.

Bahan Plate (µL)


B1 B0 S1 S0
Larutan dapar fosfat 80 120 80 120
Larutan DMSO 1,25% 40 40 - -
L-DOPA (20; 10; 5; 40 40 40 40
dan 1,25 mM)
Larutan sampel - - 40 40
Tirosinase 40 - 40 -
Inkubasi suhu 37oC selama 10 menit, panjang gelombang 490 nm
B1= blanko, B0 = kontrol blanko, S1 = sampel, S0 = kontrol sampel

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


37

3.4.8.2 Analisis Data Kinetika


Dari data yang didapatkan diplot kurva Lineweaver-Burk dengan sumbu x
adalah 1/[S] dan y adalah 1/v membentuk persamaan regresi y = a + bx. Hasil plot
digunakan untuk menentukan tipe inhibisi sampel uji terhadap enzim tirosinase.

3.4.9 Identifikasi Golongan Senyawa Kimia Ekstrak dan Fraksi


Identifikasi golongan senyawa kimia dilakukan pada ±10 - 50 mg ekstrak
dengan aktivitas penghambatan enzim teraktif dan dilarutkan dengan etanol atau
air secukupnya tergantung dari uji yang dilakukan. Uji dilakukan dengan metode
reaksi kualitatif pada tabung reaksi pada ekstrak dan pada fraksi dilakukan metode
kombinasi reaksi kualitatif dan kromatografi lapis tipis. Pada identifikasi
menggunakan kromatografi lapis tipis, larutan uji ditotolkan pada lempeng dan
dielusi dengan eluen yang sesuai dan hasil elusi disemprotkan dengan pereaksi
kimia atau dilihat di bawah sinar ultraviolet.

3.4.9.1 Identifikasi Alkaloid


a. Uji Mayer
Filtrat dalam etanol ditambah dengan asam klorida 2 N lalu diteteskan
dengan 2 tetes reagen Mayer. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya endapan
berwarna putih atau kuning.
b. Uji Bouchardat
Filtrat dalam etanol ditambah dengan asam klorida 2 N lalu diteteskan
dengan 2 tetes reagen Bouchardat. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya
endapan berwarna coklat hingga hitam.
c. Uji Dragendorf
Filtrat dalam etanol ditambah dengan asam klorida 2 N lalu diteteskan
dengan 2 tetes reagen Dragendorf. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya
endapan berwarna jingga kecoklatan.

Identifikasi alkaloid pada fraksi dilakukan dengan menotolkan sampel


pada lempeng kromatografi lapis tipis kemudian lempeng dielusi dengan eluen
yang sesuai. Setelah elusi selesai lempeng disemprot dengan pereaksi
Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


38

penyemprot, yaitu pereaksi Dragendorf. Hasil positif akan menunjukkan warna


jingga-coklat atau dengan pengamatan bercak dapat dilakukan dengan sinar ultra
violet pada λ 254 nm dan 365 nm (Wagner & Bladt, 1984).

3.4.9.2 Identifikasi Glikosida


Uji Mollisch: Filtrat dalam air ditambah dengan 5 tetes reagen Mollisch
kemudian diteteskan asam sulfat pekat melalui dinding tabung perlahan-lahan.
Hasil positif ditandai dengan terbentuknya cincin berwarna ungu pada batas antar
cairan.

3.4.9.3 Identifikasi Saponin


Ekstrak sejumlah 5 mg ditambahkan 10 mL air suling panas, didinginkan
dan dikocok kuat-kuat selama 10 detik, kemudian didiamkan selama 10 menit.
Hasil positif saponin ditunjukan dengan terbentuknya buih yang mantap setinggi 1
hingga 10 cm dan pada penambahan 1 tetes asam klorida 2 N buih tidak hilang
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

3.4.9.4 Identifikasi Flavonoid


a. Uji Pew
Filtrat dalam etanol ditambah 0,1 g serbuk zink dan 2 mL asam klorida 2
N diamkan selama 1 menit, tambahkan 10 tetes asam klorida pekat, dalam 2-5
menit terjadi warna merah intensif jika positif.
b. Uji Shinoda
Filtrat dalam etanol ditambah 0,5 g serbuk magnesium dan 2 mL asam
klorida 2 N diamkan selama 1 menit, tambahkan 10 tetes asam klorida pekat,
dalam 2-5 menit terjadi warna merah jika positif.
Identifikasi flavonoid pada fraksi dilakukan dengan menotolkan sampel
pada lempeng kromatografi lapis tipis kemudian lempeng dielusi dengan eluen
yang sesuai. Setelah elusi selesai lempeng disemprot dengan penyemprot
aluminium klorida. Pengamatan bercak dapat diamati pada panjang gelombang
254 nm dan 365 nm (flouresensi kuning) dengan pereaksi penyemprot berupa
pereaksi aluminium (III) klorida (Wagner & Bladt, 1984).
Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


39

3.4.9.5 Identifikasi Antrakuinon


Beberapa mg ekstrak kental dilarutkan dengan 5 mL asam sulfat 2 N lalu
dipanaskan kemudian didinginkan. Ditambahkan 10 mL benzene, dikocok dan
didiamkan. Lapisan benzene dipisah lalu dikocok dengan 1-2 mL natrium
hidroksida 2 N dan didiamkan. Lapisan air akan berwarna merah.
Identifikasi antrakuinon pada fraksi menggunakan pereaksi semprot
kalium hidroksida 10% dalam etanol. Bercak yang muncul berupa warna merah
menunjukkan adanya antrakuinon (Wagner & Bladt, 1984).

3.4.9.6 Identifikasi Terpenoid atau Steroid


a. Liebermann-Burchard
Filtrat dalam etanol ditambah 2 mL asetat anhidrat kemudian ditambahkan
asam sulfat pekat perlahan dari dinding tabung. Hasil positif ditunjukkan dengan
perubahan warna dari ungu hingga biru.
b. Salkowski
Filtrat dalam etanol ditambah 2 mL kloroform dan ditambah perlahan
asam sulfat pekat dari dinding tabung. Hasil positif ditunjukkan dengan
terbentuknya warna coklat kemerahan.
Identifikasi terpenoid atau steroid pada fraksi menggunakan pereaksi
semprot vanillin/asam sulfat, kemudian dipanaskan selama 5 - 10 menit pada suhu
100oC. Bercak yang muncul berupa spot berwarna ungu (steroid) atau hijau biru
(terpenoid) (Wagner & Bladt, 1984).

3.4.9.7 Identifikasi Fenol


a. Filtrat dalam etanol ditambah 1 mL besi (III) klorida 3% lalu diteteskan 1
tetes kalium ferrisianida 1%. Hasil positif ditunjukkan dengan warna biru
kehijauan pada filtrat.
b. Identifikasi fenol dapat dilakukan dengan penyemprotan lempeng dengan
besi (III) klorida 10%. Bercak yang muncul berupa spot berwarna hijau
kehitaman (Wagner & Bladt, 1984).

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


40

3.4.9.8 Identifikasi Tanin


a. Filtrat dalam etanol diteteskan dengan 1-2 tetes larutan gelatin. Hasil positif
ditunjukkan dengan terbentuknya endapan setelah ditunggu beberapa saat.
b. Filtrat dalam air diteteskan dengan beberapa tetes Pb (II) asetat 10%. Hasil
positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan coklat.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penyiapan dan Ekstraksi Simplisia


Simplisia kulit batang C. siamea Lam. dikumpulkan dari lapangan hoki di
dekat area Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Simplisia dicuci, dikeringkan,
disortasi dan diserbukkan sehingga didapat serbuk simplisia sebanyak kurang
lebih 1 kg. Serbuk didapatkan dari rendemen terhadap bobot simplisia awal 1,2 kg
yaitu sebesar 83,33%. Kemudian serbuk simplisia diekstraksi secara maserasi
dengan kepolaran pelarut bertingkat dengan membagi menjadi tiga bagian yang
masing-masing dimasukkan ke dalam botol cokelat.
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut berturut-turut n-heksan
sebagai pelarut nonpolar, etil asetat sebagai pelarut semipolar, dan metanol
sebagai pelarut polar. Maserasi menggunakan pelarut n-heksan dilakukan
sebanyak lima siklus, dengan pelarut etil asetat sebanyak lima siklus, dan dengan
pelarut metanol sebanyak sembilan siklus. Masing- masing ekstrak yang sudah
dikeringkan dihitung rendemen terhadap serbuk simplisia. Ekstrak n-heksan
sebesar 17,752 g dengan rendemen 1,775%. Ekstrak etil asetat sebesar 83,0735 g
dengan rendemen 8,307%. Ekstrak metanol sebesar 45,6572 g dengan rendemen
4,566%.

4.2 Optimasi Kondisi Uji Penghambatan Enzim Tirosinase


Uji aktivitas enzim tirosinase oleh ekstrak kulit batang C. siamea Lam.
dilakukan berdasarkan terbentuknya produk dopakrom dari substrat L-DOPA.
Produk akhir ditandai warna merah yang lama kelamaan berubah menjadi coklat
seiring meningkatnya jumlah produk yang terbentuk. Intensitas warna inilah yang
diukur menggunakan microplate reader. Prinsip pembentukan produk ini yang
dijadikan acuan uji aktivitas penghambatan tirosinase. Semakin kuat aktivitas
ekstrak kulit batang dalam menghambat tirosinase, maka produk yang terbentuk
akan lebih sedikit sehingga absorbansi intensitas warna yang diukur juga akan
menurun.

41 Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


42

Terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan yaitu penentuan panjang


gelombang maksimum untuk konfirmasi panjang gelombang yang akan
disesuaikan dengan panjang gelombang yang akan dipakai pada alat microplate
reader kemudian dilakukan optimasi konsentrasi enzim, optimasi konsentrasi
substrat, optimasi waktu inkubasi untuk menentukan kondisi yang optimum untuk
pengujian enzim tirosinase.
Uji pendahuluan yang pertama adalah pengukuran panjang gelombang
maksimum untuk memastikan panjang gelombang 490 nm pada alat microplate
reader masih memungkinkan untuk dipakai sebagai acuan pengukuran uji enzim.
Pada beberapa literatur selain menggunakan panjang gelombang 490 nm (Ji, Eun,
Song, Lee, & Chang, 2010) ada juga yang menggunakan panjang gelombang 475
nm (Lim, Lim, & Yule, 2009; Baurin, Arnoult, Scior, Do, & Bernard, 2002). Oleh
sebab itu dilakukan uji menggunakan spektrofotometer UV-Vis untuk mengetahui
apakah absorbansi pada panjang gelombang maksimum yang diukur berbeda jauh
dengan absorbansi pada 490 nm. Hasil yang diperoleh yaitu panjang gelombang
maksimum terletak pada 474 nm dengan absorbansi sebesar 0,536 dan pada
panjang gelombang 490 nm memiliki absorbansi 0,523. Namun karena
keterbatasan filter panjang gelombang yang terdapat pada microplate reader yaitu
405, 450, 490, dan 630 nm, serta nilai absorbansi yang didapat dari hasil
pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis tidak berbeda jauh maka diputuskan
dapat menggunakan panjang gelombang 490 nm sebagai pengukur pada alat
microplate reader. Hasil pengukuran panjang gelombang dapat dilihat pada
Gambar 4.1 dan Tabel 4.1.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


43

Gambar 4.1 Kurva spektrum serapan blanko 350 hingga 500 nm

Uji pendahuluan kedua adalah optimasi konsentrasi enzim. Dari banyak


literatur, didapat banyak variasi konsentrasi enzim yaitu 31 U/mL (Ki, Alam, Jae,
Kyung, & Tae, 2011), 200 U/mL (Saeio, Yotsawimonwat, Anuchapreeda, &
Okonogi, 2011), dan 333 U/mL (Batubara, et al., 2011). Maka peneliti membuat
variasi konsentrasi enzim yang akan diuji 248; 124; 62; 31; 15,5 U/mL. Uji
optimasi ini dilakukan dengan substrat L-DOPA konsentrasi 5 mM dan 10 mM.
Dibuat pula blanko yaitu larutan tanpa enzim tirosinase. Dari hasil uji optimasi
tersebut didapat konsentrasi enzim yang baik adalah 31 U/mL. Absorbansi yang
diperoleh masuk ke dalam rentang absorbansi yang dianjurkan dalam pembacaan
alat spektrofotometer seperti microplate reader yaitu 0,2 hingga 0,8 karena pada
rentang nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah yang
paling minimal. Hasil optimasi konsentrasi enzim dapat dilihat pada Gambar 4.2
dan Tabel 4.2.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


44

1,4
1,22
1,2
1,03
1,05
1
0,78
Absorbansi
0,8 0,82
0,77
0,6 0,52
0,48 Konsentrasi substrat 5 mM
0,4 0,27
0,23 Konsentrasi substrat 10 mM
0,2

0
0 50 100 150 200 250 300
Konsentrasi Enzim (U/mL)
Gambar 4.2 Kurva optimasi konsentrasi enzim tirosinase

Uji pendahuluan yang ketiga adalah optimasi konsentrasi substrat L-


DOPA. L-DOPA dipilih sebagai substrat karena tidak mengalami reaksi yang
menghasilkan produk antara yang juga dapat dikatalisis oleh tirosinase seperti
tirosin. Sehingga hasil reaksi yang dikatalisis tirosinase berjalan pada satu tahap.
Peneliti membuat variasi konsentrasi substrat yang akan diuji 20; 10; 5; 2,5; 1,25
mM. Konsentrasi enzim yang dipakai adalah konsentrasi enzim yang optimum
dari hasil uji sebelumnya yaitu 31 U/mL. Dibuat pula blanko pada masing-masing
konsentrasi substrat yaitu larutan tanpa enzim tirosinase. Dari hasil uji optimasi
tersebut didapat konsentrasi substrat yang optimum adalah 10 mM. Dapat dilihat
pada grafik pada 10 mM terlihat sebagai permulaan absorbansi yang mulai
konstan, sehingga dapat dikatakan pada keadaan ini enzim sudah mulai
mengalami kejenuhan di mana seluruh enzim berikatan dengan substrat. Hasil
optimasi konsentrasi substrat dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan Tabel 4.3.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


45

0,7

0,6 0,60 0,62

0,5
Absorbansi
0,46
0,4
0,34
0,3
0,24
0,2

0,1

0
0 5 10 15 20 25

Konsentrasi L-DOPA (mM)

Gambar 4.3 Kurva optimasi konsentrasi substrat L-DOPA

Uji pendahuluan yang keempat adalah optimasi konsentrasi waktu


inkubasi. Optimasi ini dilakukan untuk memastikan waktu inkubasi 10 menit
merupakan waktu inkubasi yang optimal. Banyak literatur yang menggunakan
waktu inkubasi yang bervariasi antara lain 10 menit (Ki, Alam, Jae, Kyung, &
Tae, 2011), 15 menit ((Rangkadilok, Sitthimonchai, Worasuttayangkurn, Mahidol,
Ruchirawat, & Satayavivad, 2007), dan 30 menit (Lim, Lim, & Yule, 2009).
Maka peneliti membuat variasi waktu inkubasi 5; 10; 15; dan 20 menit.
Pengukuran dilakukan satu per satu karena waktu inkubasi yang berbeda-beda.
Dibuat pula blanko pada masing-masing waktu inkubasi yaitu larutan tanpa enzim
tirosinase. Dari hasil uji optimasi tersebut didapat waktu inkubasi yang cukup
tinggi serapannya adalah pada 10 dan 15 menit. Namun absorbansi antara 10 dan
15 menit yang tidak berbeda jauh dan efisiensi waktu inkubasi dalam uji enzim
maka diputuskan waktu inkubasi optimum adalah 10 menit. Hasil optimasi waktu
inkubasi dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Tabel 4.4.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


46

0,5
0,45 0,44
0,43 0,43
0,4
Absorbansi 0,35
0,3 0,31
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0 5 10 15 20 25

Waktu Inkubasi (menit)

Gambar 4.4 Kurva optimasi waktu inkubasi

Dari hasil uji pendahuluan maka kondisi yang optimum untuk melakukan
uji aktivitas penghambatan tirosinase adalah pada konsentrasi enzim tirosinase 31
U/mL, konsentrasi substrat L-DOPA 10 mM, waktu inkubasi 10 menit, dengan
panjang gelombang pengukuran 490 nm.

4.3 Pengujian Aktivitas Penghambatan Tirosinase Ekstrak


Uji aktivitas penghambatan tirosinase dilakukan dengan menggunakan
asam kojat sebagai kontrol positif. Asam kojat digunakan karena merupakan
senyawa yang umum digunakan sebagai agen pemutih kulit dan penghambat
enzim tirosinase yang sering juga dipakai sebagai kontrol positif untuk
perbandingan kekuatan inhibisi enzim tirosinase (Arung, Shimizu, & Kondo,
2006). Pada pengujian ini terdapat empat jenis larutan, yaitu blanko adalah larutan
tanpa asam kojat, kontrol blanko adalah larutan tanpa asam kojat dan enzim
tirosinase, sampel adalah larutan uji dengan asam kojat dan enzim tirosinase, serta
kontrol sampel adalah larutan dengan asam kojat tanpa enzim tirosinase. Dibuat
pula variasi konsentrasi larutan asam kojat 40; 20; 10; 5; 2,5 µg/mL sehingga
didapat konsentrasi akhir asam kojat 8; 4; 2; 1; 0,5 µg/mL. Variasi konsentrasi
inilah yang digunakan untuk membuat persamaan regresi untuk mendapatkan nilai
IC50 asam kojat. IC50 adalah konsentrasi yang dapat menghambat 50% aktivitas.
Diperoleh dari hasil uji IC50 asam kojat adalah 6,726 ppm yang masih berada

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


47

dalam kisaran IC50 yang didapat dari literatur yaitu 2 hingga 9,8 ppm (Heung, et
al., 2008; Sariri, Seifzadeh, & Sajedi, 2009; Caixeiro, Goncalves, de Oliveira,
Sant'Anna, Rumjanek, & DaCosta, 2012; Rho, Heung, Soo, Duck, & Ih, 2008;
Hsiou, Hang, & Te, 2009). Hasil uji kontrol positif asam kojat dapat dilihat pada
Gambar 4.5 dan Tabel 4.5.

80
70
60 y = 6,332x + 7,408
R² = 0,96
% Inhibisi

50
40
30
20
10
0
0 2 4 6 8 10

Konsentrasi Asam Kojat (µg/mL)

Gambar 4.5 Kurva inhibisi enzim tirosinase oleh asam kojat

Dilakukan uji penghambatan enzim terhadap ekstrak n-heksan, etil asetat,


dan metanol. Ketiga ekstrak diuji pada konsentrasi 1.250 µg/mL atau 250 µg/mL
sebagai konsentrasi dalam sumuran. Dibuat pula larutan dimetil sulfoksida 1,25%
sebagai komponen dalam blanko maupun kontrol blanko untuk faktor koreksi
dalam pengukuran aktivitas enzim sehingga konsentrasi akhir dimetil sulfoksida
pada sumuran sebesar 0,25%. Konsentrasi dimetil sulfoksida dibuat 1,25% karena
ekuivalen dengan konsentrasi dimetil sulfoksida yang ada dalam larutan sampel
1.250 µg/mL. Didapatkan hasil uji berupa persentase inhibisi pada ekstrak
metanol memiliki penghambatan enzim tirosinase teraktif yaitu sebesar
22,5671%. Maka ekstrak metanol inilah yang akan dilanjutkan dengan fraksinasi
menggunakan kromatografi kolom dipercepat. Hasil uji ekstrak dapat dilihat pada
Gambar 4.6 dan Tabel 4.6.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


48

30
25

% Inhibisi
20
15
10
5
0
heksan etil asetat metanol

Ekstrak Uji

Gambar 4.6 Persentase inhibisi ekstrak heksan, etil asetat, dan metanol

4.4 Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Dipercepat


Ekstrak metanol yang diketahui teraktif pada pengujian ekstrak,
difraksinasi menggunakan kolom dipercepat. Sebelumnya dilakukan dahulu
penentuan dengan kromatografi lapis tipis untuk menentukan gradien pelarut
untuk eluen pada kromatografi kolom dipercepat. Penentuan dengan
menggunakan gradien pelarut n-heksan : etil asetat 10:0; 8:2; 5:5; 2:8; 10:0 lalu
dilanjutkan dengan gradien pelarut etil asetat : metanol 8:2; 5:5; 2:8; 10:0. Maka
dari hasil pola elusi kromatografi lapis tipis ditentukan gradien pelarut untuk
kolom dipercepat adalah n-heksan : etil asetat 100:0; 90:10; 80:20; 70:30; 60:40;
50:50; 40:60; 30:70; 20:80; 10:90; 0:100 dilanjutkan dengan etil asetat : metanol
95:5; 90:10; 85:15; 80:20; 75:25; 70:30; 65:35; 60:40; 55:45; 50:50; 45:55; 40:60;
35:65; 30:70; 25:75; 20:80; 15:85; 10:90; 5:95; 0:100.
Hasil fraksinasi ditampung dalam botol 100 mL. Didapatkan 107 fraksi
yang kemudian dilakukan penggabungan fraksi dengan kesamaan pola elusi
kromatografi lapis tipis didapat sebelas fraksi gabungan. Dilakukan kembali elusi
kromatografi lapis tipis pada fraksi gabungan untuk penggabungan lebih lanjut
dan didapat sembilan fraksi gabungan dilabeli dengan fraksi A hingga I yang akan
diuji untuk mengetahui fraksi yang memberikan aktivitas penghambatan enzim
tirosinase teraktif.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


49

4.5 Pengujian Aktivitas Penghambatan Tirosinase Fraksi


Uji penghambatan enzim pada kesembilan fraksi gabungan metanol
diperlakukan sama seperti pada uji ekstrak. Uji dilakukan dengan blanko dan
kontrol blanko menggunakan dimetilsulfoksida 1,25% serta sampel dengan
kontrol sampel berupa sembilan fraksi gabungan dengan konsentrasi 1.250
µg/mL. Didapatkan hasil uji berupa persentase inhibisi pada fraksi metanol E
memiliki penghambatan enzim tirosinase teraktif yaitu sebesar 19,1919%. Hasil
uji fraksi metanol dapat dilihat pada Gambar 4.7 dan Tabel 4.7.

25

20
% Inhibisi

15

10

0
A B C D E F G H I

Fraksi Uji

Gambar 4.7 Persentase inhibisi fraksi metanol A hingga I

Dari hasil pengujian pada ekstrak dan fraksi, baik ekstrak metanol maupun
fraksi metanol E dengan persentase inhibisi teraktif memiliki potensi yang jauh di
bawah kontrol positif yang diuji juga oleh peneliti yaitu asam kojat dengan nilai
IC50 sebesar 6,831 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa kulit batang johar tidak
memiliki potensi sebagai penghambat enzim tirosinase.
Selama pengujian aktivitas penghambatan enzim pada ekstrak dan fraksi,
larutan substrat L-DOPA dan larutan enzim tirosinase yang sudah siap dipipet
diletakkan di dalam icebox sehingga suhu untuk penyimpanan enzim selama
pengukuran berlangsung tetap terjaga pada suhu 2-8oC. Nilai r yang didapat dari
pengukuran tidak linear (r < 0,999), hal ini disebabkan teknik penggunaan

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


50

microplate reader dan pipet mikro yang baru bagi peneliti dalam mengukur
penghambatan aktivitas enzim tirosinase.
Dalam menguji menggunakan microplate reader banyak keuntungan yang
dapat diperoleh selain sumuran untuk analisis yang banyak, menghemat waktu
dan bahan, juga praktis dan relatif cepat pengukurannya. Namun kekurangan
menggunakan alat ini adalah pemipetan yang kurang tepat akan sangat
berpengaruh pada hasil pengukuran disebabkan volumenya yang relatif sangat
kecil.

4.6 Identifikasi Golongan Senyawa Kimia Ekstrak dan Fraksi Teraktif


Identifikasi golongan senyawa dilakukan pada ekstrak metanol dan fraksi
metanol E untuk membandingkan golongan senyawa yang terdapat pada ekstrak
dan fraksi teraktif yang diduga memiliki aktivitas menghambat enzim tirosinase.
Identifikasi yang dilakukan meliputi alkaloid, glikosida, saponin, flavonoid,
antrakuinon, terpenoid-steroid, fenol, dan tanin. Identifikasi pada ekstrak
menggunakan pereaksi kualitatif warna dan endapan, sedangkan identifikasi pada
fraksi metanol menggunakan kombinasi kromatografi lapis tipis untuk menghemat
fraksi yang akan digunakan serta reaksi kualitatif warna dan endapan untuk
glikosida, saponin, dan tanin. Setiap identifikasi disertai kontrol positif sebagai
pembanding yang diketahui telah memiliki golongan senyawa yang akan diuji.
Kontrol positif yang digunakan adalah Chinae Cortex untuk alkaloid, Digitalis
Folium untuk glikosida, Nothopanax Folium untuk saponin, kuersetin untuk
flavonoid, Caryophylli Flos untuk terpenoid pada ekstrak, sitosterol untuk steroid
pada ekstrak, Liquiritiae Radix untuk terpenoid-steroid pada fraksi, Cameliae
Folium untuk fenol dan tanin, dan Rhei Radix untuk antrakuinon.

4.6.1 Alkaloid
Identifikasi alkaloid pada ekstrak diuji menggunakan pereaksi Mayer,
Dragendorf, dan Bouchardat. Setelah pengujian, hasilnya tidak terdapat endapan
putih pada reaksi dengan Mayer, tidak terdapat endapan jingga kecoklatan pada
reaksi dengan Dragendorf, tidak terdapat endapan coklat pada reaksi dengan
Bouchardat. Hasil dibandingkan dengan blanko positif yang terdapat endapan

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


51

pada ketiga pereaksi alkaloid menunjukkan bahwa ekstrak tidak mengandung


alkaloid.
Identifikasi alkaloid pada fraksi diuji dengan disemprot penyemprot
Dragendorf pada lempeng kromatografi lapis tipis yang telah ditotol fraksi beserta
blanko positif dan dielusi dengan eluen n-heksan : etil asetat : metanol = 1 : 2 : 1.
Hasilnya tidak nampak bercak jingga seperti pada blanko positif. Hal ini
menunjukkan bahwa fraksi pun tidak mengandung alkaloid.

4.6.2 Glikosida
Identifikasi glikosida pada ekstrak diuji dengan pereaksi Mollisch karena
Mollisch dapat bereaksi dengan segala jenis gula pada umumnya termasuk gula
pada glikosida. Hasilnya terdapat cincin berwarna ungu seperti pada blanko
positif menunjukkan bahwa ekstrak mengandung glikosida.
Identifikasi glikosida pada fraksi diuji pula dengan pereaksi Mollisch.
Hasilnya terdapat cincin berwarna ungu seperti pada blanko positif menunjukkan
bahwa fraksi pun mengandung glikosida.

4.6.3 Saponin
Identifikasi saponin pada ekstrak setelah pemanasan, didinginkan dan
dikocok terbentuk busa dalam tabung reaksi yang tidak hilang setelah
penambahan asam klorida 2 N seperti pada blanko positif menunjukkan bahwa
ekstrak mengandung saponin.
Identifikasi saponin pada fraksi setelah pemanasan, didinginkan dan
dikocok tidak terbentuk busa dalam tabung reaksi. Hasil dibandingkan dengan
blanko positif yang terbentuk busa dalam tabung reaksi menunjukkan bahwa
fraksi tidak mengandung saponin.

4.6.4 Flavonoid
Identifikasi flavonoid pada ekstrak diuji dengan metode Pew dan Shinoda.
Pada metode Pew, ekstrak tidak menghasilkan warna merah seperti pada blanko
positif. Begitupun pada metode Shinoda, ekstrak tidak menghasilkan warna merah

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


52

seperti pada blanko positif. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tidak
mengandung flavonoid.
Identifikasi flavonoid pada fraksi diuji dengan disemprot penyemprot
aluminium klorida 10% pada lempeng kromatografi lapis tipis yang telah ditotol
fraksi beserta blanko positif dan telah dielusi dengan eluen n-heksan : etil asetat :
metanol = 1 : 2 : 1. Hasilnya tidak nampak bercak kuning dan tidak nampak
fluoresensi kuning di bawah sinar UV panjang gelombang 366 nm seperti pada
blanko positif. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi pun tidak mengandung
flavonoid.

4.6.5 Antrakuinon
Identifikasi antrakuinon pada ekstrak menghasilkan warna kuning pada
lapisan benzene yang tertarik ke lapisan air ketika dicampur dengan natrium
hidroksida 2 N menjadi warna merah seperti pada blanko positif. Hal ini
menunjukkan ekstrak mengandung antrakuinon.
Identifikasi antrakuinon pada fraksi diuji dengan disemprot penyemprot
kalium hidroksida 10% pada lempeng kromatografi lapis tipis yang telah ditotol
fraksi beserta blanko positif dan telah dielusi dengan eluen etil asetat : metanol :
air = 100 : 13,5 : 10. Hasilnya nampak bercak warna merah seperti pada blanko
positif. Hal ini menunjukkan fraksi pun mengandung antrakuinon.

4.6.6 Terpenoid dan Steroid


Identifikasi terpenoid maupun steroid pada ekstrak dengan menggunakan
metode Liebermann-Burchard menghasilkan warna keunguan pada batas antar
cairan dan pada metode Salkowski terbentuk warna coklat kemerahan seperti pada
blanko positif. Hal ini menunjukkan ekstrak mengandung terpenoid dan steroid.
Identifikasi terpenoid-steroid pada fraksi diuji dengan disemprot
penyemprot vanilin disusul dengan penyemprot asam sulfat pada lempeng
kromatografi lapis tipis setelah ditotol fraksi beserta blanko positif dan dielusi
dengan eluen kloroform : metanol : air = 64 : 50 : 10, yang kemudian dipanaskan
pada suhu 100oC selama 5 menit. Hasilnya nampak bercak merah keunguan

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


53

seperti pada blanko positif. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi pun mengandung
terpenoid dan steroid.

4.6.7 Tanin
Identifikasi tanin pada ekstrak didahului dengan identifikasi fenol sebagai
uji fenol pada umumnya yaitu ditambah besi (III) klorida 1% dan kalium
ferrisianida. Hasilnya terjadi perubahan warna kuning dari tetesan kalium
ferrisianida menjadi biru pada filtrat seperti pada blanko positif menunjukkan
adanya fenol. Untuk uji tanin dilakukan dengan penambahan gelatin 10%
terbentuk endapan seperti pada blanko positif. Uji tanin lainnya dilakukan dengan
penambahan Pb (II) asetat 10% terbentuk endapan coklat yang melayang-layang
seperti pada blanko positif. Hal ini menunjukkan ekstrak mengandung tanin.
Identifikasi tanin pada fraksi didahului dengan uji fenol dengan disemprot
penyemprot besi (III) klorida 3% pada lempeng kromatografi lapis tipis setelah
ditotol fraksi beserta blanko positif dan dielusi dengan eluen n-heksan : etil asetat
: metanol = 1 : 2 : 1. Hasilnya terbentuk bercak berwarna hijau kehitaman seperti
pada blanko positif menunjukkan adanya fenol. Untuk uji tanin dilakukan dengan
penambahan gelatin 10% terbentuk endapan seperti pada blanko positif. Uji tanin
lainnya dilakukan dengan penambahan Pb (II) asetat 10% terbentuk endapan
coklat yang melayang-layang seperti pada blanko positif. Hal ini menunjukkan
fraksi pun mengandung tanin.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


54

Tabel 4.8 Hasil identifikasi ekstrak dan fraksi teraktif

Golongan Senyawa Ekstrak Metanol Fraksi Metanol E


Alkaloid - -
Glikosida + +
Saponin + -
Flavonoid - -
Antrakuinon + +
Terpenoid dan Steroid + +
Tanin + +

Keterangan: (+) = hasil positif


(-) = hasil negatif

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
a. Ekstrak kulit batang C. siamea Lam. teraktif yang dapat menghambat enzim
tirosinase adalah ekstrak metanol dengan persentase inhibisi sebesar 22,5671%
dan fraksi teraktif yang dapat menghambat enzim tirosinase adalah fraksi
metanol E dengan persentase inhibisi sebesar 19,1919% pada konsentrasi akhir
250 ppm. Potensi penghambatan aktivitas enzim tirosinase sangat jauh berada
di bawah potensi kontrol positif asam kojat.
b. Golongan senyawa pada fraksi metanol E adalah glikosida, antrakuinon,
steroid, terpenoid, dan tanin.

5.2 Saran
Perlu dilakukan kajian dan penelitian lebih lanjut yang dapat
memanfaatkan kulit batang C. siamea Lam. selain sebagai penghambat enzim
tirosinase.

55 Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


56

DAFTAR ACUAN

A.Mohammed, Mada, S. B., & Yakasai, H. M. (2012). Sub-chronic Study of


Aqueous Stem Bark Extract of Senna siamea in Rats. Asian Journal of
Biological Sciences, 1-8. doi: 10.3932/ajbs.2012
Arung, E. T., Shimizu, K., & Kondo, R. (2006). Inhibitory Effect of
Artocarpanone from Artocarpus heterophyllus on Melanin Biosynthesis.
Biol. Pharm. Bull., 29(9), 1966-1969.
B.Jones, S., & Luchsinger, A. E. (1987). Plant Systematics second edition.
Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Batubara, L., Darusman, L. K., Mitsunaga, T., Aoki, H., Rahminiwati, M.,
Djauhari, E., et al. (2011). Flavonoid from Intsia palembanica as Skin
Whitening Agent. Journal of Biological Sciences., 1-6. doi:
10.3923/jbs.2011
Baurin, N., Arnoult, E., Scior, T., Do, Q. T., & Bernard, P. (2002). Preliminary
Screening of Some Tropical Plants for Anti-Tyrosinase Activity. Journal
of Ethnopharmacology, Elsevier, 82, 155-158.
Boyer, R. (2002). Concepts in Biochemistry. Pacific Grove: Wadsworth Group.
Caixeiro, J. M., Goncalves, V. T., de Oliveira, M. C., Sant'Anna, C. M.,
Rumjanek, V. M., & DaCosta, J. B. (2012). Dialkylphosphorylhydrazones
as Potent Tyrosinase Inhibitors. J. Braz. Chem. Soc., 23(5), 804-809.
Chang, T. S. (2009). An Updated Review of Tyrosinase Inhibitors. International
Journal of Molecular Sciences, 10, 2440-2475. doi:
10.3390/ijms10062440
Departemen Kesehatan. (1995). Farmakope Indonesia edisi keempat. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Draelos, Z. D. (2010). Cosmetic Dermatology. Chichester: Blackwell Publishing
Ltd.
Ebadi, M. (2002). Pharmacodynamic Basis of Herbal Medicine. Boca Raton:
CRC Press.
Eisai. (1995). Medicinal Herb Index in Indonesia. PT Eisai Indonesia.
Germanas, J. P., Wang, S., Miner, A., Haob, W., & Ready, J. M. (2007).
Discovery of small-molecule inhibitors of tyrosinase. Bioorganic &
Medicinal Chemistry Letters, 17, 6871–6875.
Gritter, R. J., Bobbitt, J. M., & Schwarting, A. E. (1985). Introduction to
Chromatography. Oakland: Holden-Day, Inc.
Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


57

Harborne, J. (1987). Metode Fitokimia: penuntun cara modern menganalisis


tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Heung, S. B., Ho, S. R., Jae, W. Y., Soo, M. A., Jin, Y. L., Lee, J., et al. (2008).
Inhibitory Effect of New Hydroxamic Acid Derivatives on Melanogenesis.
Bull. Korean Chem. Soc., 29(1), 43-46.
Hsiou, Y. D., Hang, C. L., & Te, S. C. (2009). Tyrosinase Inhibitors Isolated from
the Roots of Paeonia suffruticosa. J. Cosmet. Sci., 60, 347-352.
Ji, Y. M., Eun, Y. Y., Song, G., Lee, N. H., & Chang, G. H. (2010). Screening of
Elastase and Tyrosinase Inhibitory Activity from Jeju Island Plants.
EurAsian Journal of BioSciences, 4, 41-53. doi:10.5053/ejobios.2010.4.0.6
Jones, S. B., & Luchsinger, A. E. (1987). Plant Systematics second edition.
Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Kardono, L., Artanti, N., Dewiyanti, I., & Basuki, T. (2003). Selected Indonesian
Medicinal Plants: Monographs and Description Volume 1. Jakarta:
Grasindo.
Ki, N. Y., Alam, N., Jae, S. L., Kyung, R. L., & Tae, S. L. (2011). Detection of
Phenolic Compounds Concentration and Evaluation of Antioxidant and
Antityrosinase Activities of Various Extracts from the Fruiting Bodies of
Lentinus edodes. World Applied Sciences Journal, 12(10), 1851-1859.
Kim, Y. J., & Uyama, H. (2005). Tyrosinase inhibitors from natural and synthetic
sources structure, inhibition mechanism and perspective for the future.
Cellular and Molecular Life Sciences, 62, 1707-1723. doi
10.1007/s00018-005-5054-y
Kwada, A. D., & Tella, I. O. (2009). Determination of infochemicals and the
phytochemical screening of the foliage and stem-bark of Senna siamea
(lam.) in Yola, Adamawa State. Journal of Medicinal Plants Research,
3(9), 630-634.
Lim, T. Y., Lim, Y. Y., & Yule, C. M. (2009). Evaluation of Antioxidant,
Antibacterial and Anti-Tyrosinase Activities of Four Macaranga Species.
Food Chemistry, Elsevier, 114, 594-599.
McPherson, R. A., & Pincus, M. R. (2011). Henry's Clinical Diagnosis and
Management by Laboratory Methods (22th ed.). USA: Elsevier Inc.
Mohammed, A., Mada, S. B., & Yakasai, H. M. (2012). Sub-chronic Study of
Aqueous Stem Bark Extract of Senna siamea in Rats. Asian Journal of
Biological Sciences, 1-8. doi: 10.3923/ajbs.2012
Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. (2009). Biokimia Harper edisi
27. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Ntandou, G. F., Banzouzi, J. T., Mbatchi, B., Elion-Itou, R. D., Etou-Ossibi, A.
W., Ramos, S., et al. (2010). Analgesic and anti-inflammatory effects of
Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


58

Cassia siamea Lam. stem bark extracts. Journal of Ethnopharmacology,


Elsevier, 127, 108-111.
Page, D. S. (1981). Principles of Biochemistry. Brunswick: Willard Grant Press.
Poole, C., & Poole, S. K. (1991). Chromatography Today. Amsterdam: Elsevier
Science B. V.
Rangkadilok, N., Sitthimonchai, S., Worasuttayangkurn, L., Mahidol, C.,
Ruchirawat, M., & Satayavivad, J. (2007). Evaluation of Free Radical
Scavenging and Antityrosinase Activities of Standardized Longan Fruit
Extract. Food and Chemical Toxicology, Elsevier, 45(2), 328-336.
Rho, H. S., Heung, S. B., Soo, M. A., Duck, H. K., & Ih, S. C. (2008). Synthesis
of New Anti-melanogenic Compounds Containing Two Molecules of
Kojic Acid. Bull. Korean Chem. Soc., 29(8), 1569-1571.
Saeio, K., Yotsawimonwat, S., Anuchapreeda, S., & Okonogi, S. (2011).
Development of Microemulsion of a Potent Anti-Tyrosinase Essential Oil
of an Edible Plant. Drug Discoveries &Therapeutics, 5(5), 246-252. doi:
10.5582/ddt.2011.v5.5.246
Sariri, R., Seifzadeh, S., & Sajedi, R. H. (2009). Anti-Tyrosinase and Antioxidant
Activity of Lavandula sp. Extracts. Pharmacologyonline , 319-326.
Smith, E. L., Hill, R. L., Lehman, I. R., Lefkowitz, R. J., Handler, P., & White, A.
(1983). Principles of Biochemistry General Aspects. Singapore: McGraw-
Hill, Inc.
Steenis, C. G. (1975). Flora untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: PT Pradnya
Paramita.
Stjernschantz, J. W., Albert, D. M., Hu, D. N., Drago, F., & Wistrand, P. J.
(2002). Mechanism and Clinical Significance of Prostaglandin-Induced
Iris Pigmentation. Survey of Ophthalmology, 47(1), 162-175.
Wagner, H., & Bladt, S. (1984). Plant Drug Analysis: A Thin Layer
Chromatography Atlas. New York: Springer-Verlag.

Universitas Indonesia

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


LAMPIRAN

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


60

Gambar 3.1 Peralatan laboratorium (A) Microplate reader (B) Pipet mikro 100-
1.000 µL dan 10-100 µL (C) Multichannel pipet (D) Rotary
vacuum evaporator (E) Oven vakum (F) Kolom kromatografi
dipercepat

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


61

Gambar 4.8 Uji alkaloid ekstrak metanol dengan pereaksi Mayer (A = blanko
positif, B = sampel)

Gambar 4.9 Uji alkaloid ekstrak metanol dengan pereaksi Dragendorf (A =


sampel, B = blanko positif)

Gambar 4.10 Uji alkaloid ekstrak metanol dengan pereaksi Bouchardat (A =


blanko positif, B = sampel)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


62

Gambar 4.11 Uji glikosida ekstrak metanol dengan pereaksi Mollisch (A =


blanko positif, B = sampel)

Gambar 4.12 Uji saponin ekstrak metanol setelah penambahan asam klorida 2 N
(A = blanko positif, B = sampel)

Gambar 4.13 Uji flavonoid ekstrak metanol dengan metode Shinoda (A =


blanko positif, B = sampel)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


63

Gambar 4.14 Uji flavonoid ekstrak metanol dengan metode Pew (A = blanko
positif, B = sampel)

Gambar 4.15 Uji antrakuinon ekstrak metanol (A = blanko positif, B =


sampel)

Gambar 4.16 Uji steroid ekstrak metanol dengan metode Liebermann -Burchard
(A = blanko positif, B = sampel)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


64

Gambar 4.17 Uji steroid ekstrak metanol dengan metode Salkowski (A =


blanko positif, B = sampel)

Gambar 4.18 Uji terpenoid ekstrak metanol dengan metode Liebermann -


Burchard (A = blanko positif, B = sampel)

Gambar 4.19 Uji terpenoid ekstrak metanol dengan metode Salkowski (A =


blanko positif, B = sampel)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


65

Gambar 4.20 Uji fenol ekstrak metanol (A = blanko positif, B = sampel)

Gambar 4.21 Uji tanin ekstrak metanol dengan gelatin (A = blanko positif,
B = sampel)

Gambar 4.22 Uji tanin ekstrak metanol dengan Pb (II) asetat (A = blanko
positif, B = sampel)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


66

Gambar 4.23 Kromatogram alkaloid fraksi E setelah disemprot dengan larutan


Dragendorf dengan eluen n-heksan: etil asetat : metanol = 1 : 2 : 1
(A = blanko positif, B = sampel)

Gambar 4.24 Uji glikosida fraksi E dengan pereaksi Mollisch (A = blanko


positif, B = sampel)

Gambar 4.25 Uji saponin fraksi E setelah penambahan asam klorida 2 N (A =


blanko positif, B = sampel)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


67

Gambar 4.26 Kromatogram flavonoid fraksi E setelah disemprot dengan larutan


AlCl3, di bawah UV 366 nm dengan eluen n-heksan: etil asetat :
metanol = 1 : 2 : 1 (A = blanko positif, B = sampel)

Gambar 4.27 Kromatogram antrakuinon fraksi E setelah disemprot dengan


larutan KOH dengan eluen etil asetat : metanol : air= 100 : 13,5 :
10 (A = blanko positif, B = sampel)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


68

Gambar 4.28 Kromatogram terpenoid fraksi E setelah disemprot dengan larutan


vanilin-asam sulfat dengan eluen kloroform : metanol : air = 64 :
50 : 10 (A = blanko positif, B = sampel)

Gambar 4.29 Kromatogram fenol fraksi E setelah disemprot dengan larutan


FeCl3 dengan eluen n-heksan: etil asetat : metanol = 1 : 2 : 1
(A = blanko positif, B = sampel)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


69

Gambar 4.30 Uji tanin fraksi E dengan gelatin (A = blanko positif,


B = sampel)

Gambar 4.31 Uji tanin fraksi E dengan Pb (II) asetat (A = blanko


positif, B = sampel)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


70

Tabel 4.1 Serapan Panjang Gelombang pada Spektrofotometer UV-Vis


Panjang 350 373 475 474 490 500
gelombang (nm)
Absorbansi 0,281 0,166 0,529 0,536 0,523 0,501

Tabel 4.2 Optimasi Konsentrasi Enzim


Konsentrasi Konsentrasi Rata-
substrat enzim Serapan (S) rata S-B
(U/mL)
Blanko (B) -0,001 -0,004 -0,003 -0,003 -
15,5 0,226 0,229 0,228 0,228 0,2390
5 mM 31 0,464 0,476 0,485 0,475 0,478
62 0,767 0,749 0,776 0,764 0,767
124 0,806 0,819 0,817 0,814 0,817
248 1,031 1,070 1,044 1,048 1,051

Blanko -0,005 0,01 0,01 0,005 -


15,5 0,285 0,271 0,258 0,2713 0,2663
10 mM 31 0,52 0,522 0,521 0,521 0,516
62 0,785 0,788 0,796 0,7897 0,7847
124 1,03 1,027 1,036 1,031 1,026
248 1,208 1,258 1,209 1,225 1,22

Tabel 4.3 Optimasi Konsentrasi Substrat

Konsentrasi Serapan Rata-rata S-B


Substrat (mM)
1,25 (S) 0,223 0,221 0,211 0,2183
Blanko 2,5 (B) -0,012 -0,013 -0,006 -0,0103 0,238
2,5 (S) 0,283 0,278 0,276 0,279
Blanko 1,25 (B) -0,013 -0,015 -0,014 -0,014 0,339
5 (S) 0,382 0,416 0,371 0,3897
Blanko 5 (B) -0,007 -0,008 -0,008 -0,0077 0,458
10 (S) 0,506 0,522 0,508 0,512
Blanko 10 (B) -0,007 -0,005 -0,006 -0,006 0,595
20 (S) 0,521 0,53 0,521 0,524
Blanko 20 (B) -0,01 -0,007 -0,011 -0,0093 0,615

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


71

Tabel 4.4 Optimasi Waktu Inkubasi


Waktu Inkubasi Serapan Rata-rata S-B
(menit)
5 (S) 0,301 0,306 0,319 0,3087
Blanko 5 (B) -0,003 -0,002 -0,002 -0,0023 0,311
10 (S) 0,427 0,429 0,429 0,4283
Blanko 10 (B) -0,003 -0,004 -0,003 -0,0033 0,4317
15 (S) 0,43 0,43 0,448 0,436
Blanko 15 (B) -0,004 -0,002 -0,002 -0,0027 0,4387
20 (S) 0,448 0,396 0,44 0,428
Blanko 20 (B) -0,002 0,002 -0,002 -0,0007 0,4287

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


72

Tabel 4.5 Uji Kontrol Positif Asam Kojat


Konsentrasi akhir Serapan Rata-rata U-K % inhibisi
(µg/mL) (S-B)
Blanko (U) 0,607 0,602 0,58 0,5963
Kontrol Blanko (K) -0,002 -0,002 0 -0,0013 0,5977 (B) -
0,5 (U) 0,55 0,5 0,516 0,522
Kontrol 0,5 (K) -0,003 -0,003 0 -0,0017 0,5237 (S) 12,3815
1 (U) 0,491 0,493 0,512 0,4987
Kontrol 1 (K) 0 0 0,002 0,0013 0,4973 (S) 16,787
2 (U) 0,481 0,468 0,48 0,4763
Kontrol 2 (K) -0,006 -0,006 -0,015 -0,0117 0,488 (S) 18,3491
4 (U) 0,473 0,437 0,388 0,4327
Kontrol 4 (K) -0,004 -0,004 -0,009 -0,006 0,4387 (S) 26,6035
8 (U) 0,236 0,251 0,187 0,2247
Kontrol 8 (K) -0,016 -0,016 0 -0,008 0,2327 (S) 61,0708
Persamaan regresi linear y = 7,408 + 6,332 x

Tabel 4.6 Uji Ekstrak


Ekstrak (250 ppm) Serapan Rata- U-K % inhibisi
rata (S-B)
Blanko (U) 0,395 0,405 0,402 0,4007
Kontrol Blanko (K) 0,003 0,004 0,003 0,0033 0,3973 (B) -
Heksan (U) 0,395 0,389 0,38 0,388
Kontrol heksan (K) 0,011 0,011 0,01 0,0107 0,3773 (S) 5,0336
Etil asetat (U) 0,429 0,427 0,444 0,4333
Kontrol etil asetat (K) 0,078 0,086 0,087 0,0837 0,3497 (S) 11,9966
Metanol (U) 0,338 0,331 0,333 0,334
Kontrol metanol (K) 0,028 0,025 0,026 0,0263 0,3077 (S) 22,5671

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


73

Tabel 4.7 Uji Fraksi Metanol


Fraksi Metanol Serapan Rata-rata U-K % inhibisi
(250 ppm) (S-B)
Blanko (U) 0,445 0,415 0,439 0,433
Kontrol Blanko (K) 0,005 0,003 0,004 0,004 0,429 (B) -
A (U) 0,485 0,452 0,474 0,4703
Kontrol A (K) 0,07 0,073 0,072 0,0717 0,3987 (S) 7,0707
B (U) 0,502 0,484 0,504 0,4967
Kontrol II (K) 0,066 0,073 0,07 0,0697 0,427 (S) 0,4662
C (U) 0,767 0,761 0,754 0,7607
Kontrol C (K) 0,37 0,371 0,347 0,3627 0,398 (S) 7,2261
D (U) 0,705 0,748 0,709 0,7207
Kontrol D (K) 0,352 0,387 0,367 0,3687 0,352 (S) 17,9487
E (U) 0,409 0,423 0,436 0,4227
Kontrol E (K) 0,083 0,072 0,073 0,076 0,3467 (S) 19,19192
F (U) 0,394 0,409 0,399 0,4007
Kontrol F (K) 0,011 0,024 0,012 0,0157 0,385 (S) 10,2564
G (U) 0,412 0,411 0,406 0,4097
Kontrol G (K) 0,035 0,038 0,037 0,0367 0,373 (S) 13,0536

Blanko (U) 0,346 0,366 0,344 0,352


Kontrol Blanko (K) 0,006 0,006 0,004 0,0053 0,3467 (B) -
H (U) 0,337 0,334 0,33 0,3337
Kontrol H (K) 0,019 0,016 0,016 0,017 0,3167 (S) 8,6538
I (U) 0,355 0,371 0,349 0,3583
Kontrol I (K) 0,023 0,028 0,021 0,024 0,3343 (S) 3,5577

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


74

Lampiran 1 Alur Penelitian

Penyiapan dan Pengumpulan Simplisia Kulit Batang Cassia siamea Lam.

Pencucian, sortasi, dan pengeringan simplisia

Simplisia Kulit Batang Cassia siamea Lam.

Ekstraksi dengan n-heksan

Ekstrak n-heksan Ampas

Ekstraksi dengan etil asetat

Ekstrak etil asetat Ampas

Ekstraksi dengan metanol

Ekstrak metanol Ampas

Identifikasi Golongan Uji Aktivitas Penghambatan Enzim Tirosinase


Senyawa Ekstrak
dengan Aktivitas
Inhibisi Enzim Terkuat Ekstrak dengan Aktivitas Inhibisi Enzim Terkuat

Fraksinasi dengan Kolom Dipercepat

107 Fraksi Hasil Kromatografi Kolom Dipercepat


Penggabungan Fraksi
Dikumpulkan
Menggunakan KLT Menjadi
9 Fraksi

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Uji Aktivitas Penghambatan Enzim Tirosinase


Identifikasi Golongan
Senyawa Fraksi dengan
Aktivitas Inhibisi Fraksi dengan Aktivitas Inhibisi Enzim Terkuat
Enzim Terkuat
Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013
75

Lampiran 2 Determinasi tanaman Cassia siamea Lam. dari LIPI

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


76

Lampiran 3 Sertifikat analisis asam kojat

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


77

Lampiran 4 Sertifikat analisis L-DOPA

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


78

Lampiran 5 Sertifikat analisis enzim tirosinase

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013


79

(lanjutan)

Uji aktivitas..., Vincent Cahya Saputra, FF UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai