Anda di halaman 1dari 15

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perdarahan Subdural Kronik

1. Definisi

Hematoma subdural kronik yaitu kumpulan darah lama yang

terkapsulasi, yang sebagian besar mengalami likuefaksi dan berada di

antara dura mater dan arachnoid (Adhiyaman et al., 2002). Definisi lain

menjelaskan bahwa hematoma subdural kronik adalah hematoma kistik

yang memiliki membran dalam dan luar pada ruang subdural. Hematoma

subdural kronik biasanya berkembang dalam satu atau dua bulan setelah

trauma kepala minor. Pada era computed tomography (CT), beberapa

klinisi mendeskripsikan proses klinis hematoma subdural kronis sebagai

kumpulan cairan subdural persisten selama beberapa minggu setelah

trauma kepala ringan atau sedang. Namun, jangka waktu antara kumpulan

cairan subdural dan perkembangan hematoma subdural kronik belum

ditentukan secara pasti (Tanaka dan Ohno, 2013).

Hematoma subdural kronik harus dibedakan dengan hematoma

subdural akut. Hematoma subdural akut secara umum terjadi pada usia

dewasa muda setelah trauma kepala dan sering berhubungan dengan

trauma struktur otak, serta gejala muncul dalam kurun waktu 72 jam.

Sedangkan hematoma subdural kronik sering terjadi pada usia lanjut

setelah trauma kepala ringan tanpa ada kerusakan struktur otak dan

biasanya gejala muncul dalam rentang minggu hingga bulan (Adhiyaman

et al., 2002).
5

2. Epidemiologi

Insidensi hematoma subdural kronik telah dilaporkan secara

sporadik setiap tahunnya. Penelitian di Wales Utara oleh Asghar et al.

(2002) melaporkan insidensi hematoma subdural kronik pada tahun 1996

hingga 1999 yaitu 8.2 per 100.000 populasi per tahun pada pasien di atas

usia 65 tahun. Penelitian lain melaporkan insidensi hematoma subdural

kronik pada tahun 2005 hingga 2007 di Jepang mencapai 20.6 per 100.000

populai per tahun, dengan insidensi 76.5 pada kategori usia 70-79 tahun

dan 127.1 pada usia 80 tahun (Karibe et al., 2011).

Dari beberapa penelitian di atas dapat dilihat bahwa insidensi

hematoma subdural kronik mengalami peningkatan setiap tahunnya,

dengan peningkatan risiko yang berhubungan dengan meningkatkan angka

harapan hidup dan medikasi antikoagulasi atau antiplatelet (Yang dan

Huang, 2017).

3. Etiologi

Berikut merupakan etiologi pada kasus hematoma subdural

kronik (Yadav et al., 2016):

a. Post Traumatik

Riwayat trauma yang umumnya ringan. Trauma ini mungkin

sangat ringan hingga tidak diingat oleh kebanyakan pasien. Trauma

berulang pada kepala juga dapat menyebabkan terjadinya hematoma

subdural kronik. Beberapa kasus dapat terjadi akibat operasi

kraniotomi.
6

b. Hipotensi Intrakranial

Kebocoran cairan serebrospinal dapat menyebabkan hipotensi

intrakranial yang mengakibatkan hematoma subdural kronik.

1) Hipotensi Intrakranial Spontan

2) Rinorea Cairan Serebrospinal

3) Post pungsi lumbal, anestesi spinal, pembedahan spinal

4) Dekompresi cepat

c. Koagulopati, medikasi antikoagulan dan antiplatelet

4. Faktor Risiko

Usia lanjut telah diketahui menjadi faktor risiko terhadap

berkembangnya hematoma subdural kronik, terutama setelah trauma

minor. Atrofi serebri generalisata dan peningkatan kerentanan vena

berhubungan dengan penuaan. Proses penuaan menyebabkan penurunan

massa otak sehingga menyebabkan peningkatan ruang antara otak dan

tulang tengkorak dari 6% menjadi 11% dari seluruh ruang intrakranial. Hal

tersebut menyebabkan peregangan bridging veins dan pergerakan yang

lebih besar dari otak di dalam kranium menyebabkan vena rentan terhadap

trauma (Adhiyaman et al., 2002).

Trauma merupakan faktor penting dalam perkembangan hematoma

subdural kronik. Faktor predisposisi lainnya yaitu penggunaan

antikoagulan, alkoholisme, epilepsi, perdarahan diatesis, tekanan

intrakranial rendah akibat dehidrasi atau setelah proses pengambilan

cairan serebrospinal, hemodialisa, disfungsi platelet. Penelitian

menyebutkan bahwa 24% pasien hematoma subdural kronik sedang dalam


7

penggunaan warfarin atau obat-obatan anti-platelet, 5-10% memiliki

riwayat alkoholisme dan epilepsi (Adhiyaman et al., 2002; Yang dan

Huang, 2017).

5. Patofisiologi

Proses patofisiologi perdarahan subdural kronik telah ditelaah sejak

lebih dari 150 tahun lalu. Terdapat beberapa hipotesis mengenai

patofisiologi perdarahan subdural kronik yang telah dipublikasikan.

Hingga tahun 1974, secara umum para peneliti mengasumsikan bahwa

hematoma subdural post trauma yang tipis memiliki peran penting dalam

perkembangan proses inflamasi granulasi neomembran sebagai fase awal

perdarahan subdural kronik. Hipotesis tersebut kemudian dibantah oleh

penelitian yang menjelaskan bahwa kumpulan cairan serebospinal

bercampur darah menjadi fokus perhatian pada perkembangan hematoma

subdural kronik. Selain itu, spekulasi lain menjelaskan bahwa perdarahan

multipel terjadi di alam neomembran dari banyak kanal sinusoid dan

neomembran terpisah menjadi membran dalam dan luar (Tanaka dan

Ohno, 2013). Pada era computed tomography (CT), teori tentang

patomekanisme hematoma subdural kronik mulai berubah. Menurut para

peneliti, proses terjadinya hematoma subdural kronik membutuhkan pre-

kondisi cairan subdural yang persisten dan kondisi tersebut menyebabkan

perubahan inflamasi terhadap permukaan dalam dura mater. Sebagai

sekuel dari cedera otak traumatik, kontusio otak disertai keluarnya cairan

serebrospinal dan darah menuju ruang subdural dari ruang subarachnoid.

Hal tersebut disebabkan oleh adanya laserasi arachnoid disekitar bridging


8

vein yang mengakibatkan kumpulan cairan serebrospinal disertai darah

(Tanaka dan Ohno, 2013).

Gambar 2.1 Proses Terjadinya Hematoma Subdural

Trauma pada bridging veins menyebabkan perdarahan pada ruang

subdural. Satu hari setelah perdarahan, permukaan luar hematoma

diselubungi oleh lapisan tipis fibrin dan fibroblas. Migrasi dan proliferasi

fibroblas menyebabkan pembentukan membran di atas perdarahan pada

hari keempat. Membran luar secara progresif membesar dan fibroblas

menginvasi hematoma dan membentuk membran tipis saat mencapai

periode dua minggu. Likuefaksi hematoma terjadi karena adanya fagosit.

Kemudian hematoma dapat terserap secara spontan atau secara perlahan

membesar menyebabkan hematoma subdural kronik (Adhiyaman et al.,

2002).

Pada hematoma subdural kronik juga terjadi proses inflamasi. Sel-

sel inflamasi direkrut masuk ke dalam ruang subdural untuk memperbaiki

dural border cells, dan saa itulah dibentuk membran baru dan pembuluh

darah baru ang rapuh (Dharmajaya, 2018). Teori yang menjelaskan


9

terjadinya hematoma subdural kronik yaitu adanya perdarahan berulang

dari kapsul hematom. Kapsul hematom memiliki pembuluh darah yang

terdilatasi dan abnormal yang menjadi sumber perdarahan. Selain itu, pada

hematoma subdural kronik juga terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik

dan abnormalitas koagulasi. Pada hematoma subdural kronik jarang terjadi

peningkatan tekanan intrakranial. Atrofi otak dan tidak adanya efek

tampon yang menyebabkan terjadinya ekspansi perlahan pada hematoma

subdural kronik (Adhiyaman et al., 2002).

Teori lain menyebutkan bahwa hematoma subdural kronik sering

terjadi sebagai komplikasi kraniotomi pada pasien lanjut usia dengan

aneurisma serebri yang belum ruptur. Insisi pada membran arachnoid saat

prosedur kraniotomi menyebabkan mekanisme serupa dengan trauma

kepala. Kumpulan cairan pada ruang subdural bercampur komponen sel

darah menetap selama bebra waktu sehingga menyebabkan perubahan

inflamasipada dura mater (pachymeningitis haemorrhagica interna) dan

dapat membentuk neomembran pada bagian dalam dura mater (Tanaka

dan Ohno, 2013).


10

Gambar 2.2. Mekanisme Perkembangan Hematoma Subdural pada Trauma


Kepala dan Prosedur Kraniotomi. DM: dura mater; AM: arachnoid mater;
SDFC: subdural fluid collection; NM: neomembra; OM: outermembrane; IM:
inner membran; CSDH: chronic subdural hematoma (Tanaka dan Ohno, 2013).

6. Manifestasi Klinis

Presentasi hematoma subdural kronik bervariasi dari pasien

asimtomatik hingga nyeri kepala, kejang, hingga penurunan kesadaran.

Pasien dengan hematoma subdural kronik dapat terjadi tanpa riwayat

cedera kepala, dapat muncul gejala penurunan kesadaran yang

berfluktuasi, demensia progresif, dan peningkatan tekanan intrakranial

tanpa disertai tanda fokal (Dharmajaya, 2018).

Progres klinis hematoma subdural kronik secara umum

dikategorikan menjadi tiga periode: periode inisial trauma, periode laten

ekspansi hematoma, dan periode manifestasi klinis (Iliescu dan

Constantinescu, 2015). Periode inisial mungkin dapat terjadi sebagai

trauma subklinis tunggal atau multipel yang menyebabkan pembentukan

inisial hematoma yang disebut sebagai “seed” untuk perkembangan


11

hematoma subdural kronik. segera setelah fase inisial adalah fase laten di

mana hematoma menjadi matur secara perlahan dan volume bertambah.

Pembentukan neomembran pada sisi dura dan arachnoid memfasilitasi

proses kapsulasi hematoma, dan berpotensi menjadi sumber perdarahan

mikro akibat kerentanan pembuluh darah yang terbentuk dari

neovaskularisasi ekstensif (Yang dan Huang, 2017). Hiperaktivasi sistem

fibrinolitik juga memiliki peran dalam proses ekstensi hematoma

(Kageyama et al., 2013). Pada periode ini, biasanya bersifat asimtomatik

dan dapat berlangsung dalam rentang minggu hingga tahun. Setelah

periode laten, dekompensasi progresif dari kapasitas intrakranial terjadi

sebagai akibat dari pertumbuhan terus menerus kapsul hematom, dan

gejala dapat ,ucul sebagai akibat dari peningkatan tekanan intrakranial.

Manifestasi klinis dari hematoma subdural hematoma yaitu 10% - 20%

kejang, 2% - 15% koma, dan 2% dengan herniasi otak (Yang dan Huang,

2017).

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa hari, minggu,

dan bahkan beberapa bulan setelah cedera pertama. Trauma pertama

merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural sehingga

menyebabkan perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7

sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingin membran

fibrosa. Adana selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke

dalam hematoma sehingga menyebabkan penambahan ukuran hematoma

yang mengakibatkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran


12

atau pembuluh darah di sekelilingnya dan semakin menambah ukuran dan

tekanan hematoma (Dharmajaya, 2018).

Pada bayi, hematoma subdural kronik biasanya dapat

menyebabkan pembesaran kepala karena sutura belum menutup, dengan

fontanella atau ubun-ubun besar masih terbuka (Dharmajaya, 2018).

Manifestasi klinis pada pasien hematoma subdural kronik

diantaranya (Adhiyaman et al., 2002):

a. Penurunan kesadaran

Manifestasi paling umum pada pasien lanjut usia (50-

70%) yaitu penurunan kesadaran. Derajat penurunan

kesadaran dapat bervariasi dari confusion, cenderung

mengantuk, atau koma.

b. Defisit neurologi fokal

Hemiparesis diteukan pada 58% kasus. Kelemahan

anggota gerak biasanya terjadi secara perlaha dan progresif.

c. Nyeri kepala

Insidensi nyeri kepala bervariasi. Keluhan ini lebih sering

terjadi pada usia dewasa muda daripada lanjut usia.

d. Kejang

Kejang parsial sederhana dilaporkan menjadi salah satu

manifestasi hematoma subdural kronik. Kejang biasanya

terjadi pada hematoma besar yang berhubungan dengan defisit

neurologi fokal.
13

e. Defisit Neurologis Transien

Defisit neurologi yang palong sering terjadi yaitu

gangguan bicara dan defisi heiplegia atau hemisensorik.

Mekanisme yang menjelaskan defisit neurologis transien pada

hematoma subdural kronik yaitu tekanan mekanik intermiten

pada pembuluh darah sekitar, peningkatan pembengkakan

parenkim transien menyebabkan gangguan vaskular dan

iskemia, perdarahan kecil berulang pada ruang subdural.

7. Diagnosis

Langkah paling penting dalam mendiagnosis hematoma subdural

kronik yaitu menetapkan kecurigaan. Pada pasien dengan atau tanpa

riwayat trauma yang memiliki keluhan (1) penurunan kesadaran, (2) defisit

neurologis fokal, dan (3) nyeri kepala dengan atau tanpa defisit neurologis

fokal harus dipertimbangkan. Pemeriksaan computed tomography (CT)

kepala sangat direkomendasikan untuk menyingkirkan diagnosis

hematoma subdural kronik (Adhiyaman et al., 2002).

Hematoma subdural kornik merupakan lesi dinamis dan

penampakannya sesuai dengan onset perdarahan. Segera setelah

perdarahan (fase akut), hematoma tampak sebagai lesi hipedens

dibandingkan dengan otak normal karena adanya perdarahan baru.

Beberapa minggu setelahnya (fase subakut), terjadi resolusi akibat

fibrinolisis sehingga hematoma tampak sebagai lesi isodens. Setelah

sekitar empat minggu (fase kronik), hematoma tampak sebagai lesi

hipodens karena proses resorpsi cairan. Namun, perdarahan berulang pada


14

hematoma subdural kronik dapat meningkatkan densitas gambaran

sehingga memberikan gambaran heterogen atau hiperdens (Adhiyaman et

al., 2002).

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna

untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-Scan

memiliki proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa

hematoma subdural kronik sehingga lebih praktis menggunakan CT-Scan

ketimbang MRI. MRI biasanya dipakai pada masa penyembuhan untuk

menentukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma

yang tidak dapat dilihat dengan CT-Scan. MRI lebih sensitif untuk

mendeteksi lesi otak non perdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus

(Dharmajaya, 2018).

Pada pemeriksaan MRI, hematoma subdural akut akan

memberikan gambaran isointense hingga hipointense terhadap substansia

grisea pada T1, hipointense terhadap substansia grisea pada T2, dan

hiperitense pada FLAIR. Hematoma subdural subakut akan memberikan

gambaran hiperintense pada T1, hiperintense pada T2, dan hiperintense

pada FLAIR. Pada T1, hematoma subdural kronik akan isointense jika

hematoma stabil dan hiperintense jika terjadi perdarahan berulang atau

infeksi. Pada T2 juga akan memberikan gambaran isointense jika

hematoma stabil, tapi hipointense jika berdaraha berulang. Pada FLAIR

berupa hipointense terhadap CSF.


15

8. Tatalaksana

Manjemen hematoma subdural kronik dibagi menjadi dua

modalitas, yaitu medikamentosa dan drainase hematoma. Hematoma

subdural kronik dapat ditataaksana dengan manajemen medis aitu istirahat,

diuretik osmotik, dan kortikosteroid. Konservatif dapat dilakukan paa

pasien dengan defisit neurologis minimal dan volume hematoma minimal

(15).

Penelitian yang dilakukan oleh Kageyama et al. (2013)

melaporkan mengenai penggunaan asam tranexamat sebagai tatalaksana

non-pembedahan pada hematoma subdural kronik. Diantara beberapa

pasien, gejala klinisnya berkurang sebelum hematoma berkurang secara

sempurna, keluhan nyeri kepala berkurang secara cepat. Pada

penelitiannya juga melaporkan bahwa terjadi penurunan hematoma dan

tidak ada kasus rekurensi setelah terapi dengan asam tranexamat. Asam

tranexamat merupakan golongan antifibrinolitik spesifik yang

menginhibisi aktivasi plasminogen dan aktivitas plasmin melalui

pengikatan pada lisin pada plasminogen.

Terapi operatif dalam penatalaksanaan hematoma subdural kronis

terdiri atas burrhole drainage, twist drill drainage, dan craniotomy.

Hematom subdural kronis paling sering dievakuasi dengan tindakan

burrhole. Jumlah dan lokasi burrhole bergantung pada ukuran dan lokasi

hematoma yang dapat dilihat dari gambaran CT scan. Membran yang

melapisi hematom kemudian dibuka agar terjadi drainase. Tindakan

craniotomy dilakukan apabila terdapat substansial solid pada hematom dan


16

juga memungkinkan pengangkatan membran hematom secara parsial pada

pasien dengan hematoma subdural kronis yang persisten dan berulang.

Twist drill craniostomy merupakan terapi operatif yang kurang invasif

dimana celah pada tulang kepala berukuran kurang dari 5 mm. Akan tetapi,

proses irigasi sulit dilakukan bila melalui celah yang kecil (Plaha et al.,

2008).

9. Komplikasi dan Prognosis

Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera

parenkim otak dapat berhubungan dengan subdural hematoma akut dan

dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi

rekurensi hematoma yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan.

Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera

kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah

kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah dilakukan

tindakan intrakranial (Dharmajaya, 2018).

Pada pasien dengan subdural hematoma kronik yang menjalani

operasi drainase, sebanyak 5.4-19% mengalami komplikasi medis atas

operasinya. Komplikasi medis, seperti kejang, pneumonia, empiema, dan

infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti

rekurensi subdural hematoma, intraparenkim hematoma, atau tension

pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus. Residual hematom ditemukan

pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan 4 hari pasca operasi.

Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilapaorkan sekitar 12-

22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien.


17

Empiema subdural, abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada

kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase dari subdural hematoma

kronis (SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait dengan

anestesi, rawat inap, usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan

(Dharmajaya, 2018).

Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa

kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat

menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-

gejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan

operatif segera untuk dekompresi otak (Dharmajaya, 2018).

Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan

prognosis yang baik, karena sekitar 90% kasus pada umumnya akan

sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak

menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi mencapai 50%

(Dharmajaya, 2018).

Morbiditas dan mortalitas pada kasus hematoma subdural kronik

bervariasi pada literatur. Overall in-hospital mortality mencapai 15.6%

untuk pasien dengan hematoma subdural kronik. Namun, hasil akhirnya

baik bagi pasien yang menjalani intervensi operatif di mana morbiditas dan

mortalitas setelah pembedahan mencapai 16% dan 6.5%. perbedaan yang

signifikan disebabkan oleh pasien dengan kondisi kritis yang tidak sugestif

untuk dilakukan pembedahan menyebabkan peningkatan pada angka

mortalitas. Status neurologis saat awal diagnosis merupakan fator

prognosis penting. Pengaruh usia pada kejadian morbiditas dan mortalitas


18

masih diperdebatkan, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa

makin tua usia pasien akan makin meningkatkan risiko kematian

(Adhiyaman et al., 2002).

Anda mungkin juga menyukai