Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERBEDAAN MU’JIZAT, KAROMAH, ISTIDRAJ DAN


IRHASH

DOSEN PENGAMPU

Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A.

Oleh:

MOHAMMAD AGUNG FAUZI RIDWAN ( 11180340000211 )

MUHAMMAD RIZKI FATHULLAH ( 11180340000186 )

AHMAD MUZAYYIN ( 11180340000164 )

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYAHTULLAH

JAKARTA
2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Didalam Islam terdapat sebuah keajaiban yang diberikan kepada hamba Allah
yang bertakwa, yang kita kenal dengan sebutan, seperti Mu’jizat, Karomah, Istidraj dan
irhash.

Dan yang dimaksud dengan kemu'jizatan, karomah, istidaraj dan irhash. Bukan berarti
melemahkan manusia, artinya memberi pengertian kepada mereka dengan kelemahannya
untuk mendatangkan keyakinan, karena hal itu telah dimaklumi oleh setiap orang yang
berakal, tetapi maksudnya adalah untuk menjelaskan bahwa karomah, istidraj dan irhash
untuk membuat mereka yakin akan keberadaan Allah.

Tujuannya hanya untuk melahirkan kebenaran mereka, menetapkan bahwa yang


mereka bawa adalah semata-mata pemberian dari Dzat Yang Maha Bijaksana, dan diturunkan
dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka hanyalah menyampaikan risalah Allah dan tiada lain
tugasnya hanya memberitahukan dan menyampaikan. Oleh karena itu mu'jizat, karomah,
Istidraj dan irhash, adalah berasal dari Allah Swt terhadap hamba-Nya untuk membenarkan
rasul-rasul dan nabi-nabi. Dengan perantaraan mu'jizat, karomah, istidraj dan irhash.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mu’jizat
1) Pengertian
Menurut bahasa kata Mu’jizat berasal dari kata i’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-
i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya (yang
melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol
sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat. Tambahan ta’ marbhuthah pada
akir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[1]
Menurut istilah Mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang
yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya. Dengan redaksi yang
berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah
SWT.melalui para nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan
kerasulannya.
Kata I’jaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah kepada orang lain.
Sebagimana Allah berfirman:

‫س ْوأَةَ أ َ ِخي‬ ِ ‫ع َج ْزتُ أ َ ْن أَكُونَ ِمثْ َل َهذَا ا ْلغُ َرا‬


َ ‫ب فَأ ُ َو ِار‬
َ ‫ي‬ َ َ‫أ‬
Artinya:“…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku
dapat menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31)
Maksud kemukjizatan Al-Qur’an bukan semata mata untuk melemahkan manusia atau
menyadarkan mereka atas kelemahanya untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an akan tetapi
tujuan yang sebenarnya adalah untuk menjelaskan kebenaran Al-Qur’an dan Rasul yang
membawanya dan sekaligus menetapkan bahwa sesuatu yang dibawa oleh mereka hanya
sekedar menyampaikan risalah Allah SWT, mengkhabarkan dan menyerukan.
Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain, sebagai “suatu hal atau
peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku nabi, sebagai bukti
kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal
serupa, tetapi mereka tidak mampu melayani tantangan itu.[2] Dengan redaksi yang berbeda,
mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu luar biasa yang dipelihatkan Allah melalui para
nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.[3]
2)
Unsur-Unsur Mukjizat
M. Quraish Shihab dalam tulisan Rosihan menjelaskan empat unsur mukjizat yaitu:
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa

1 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997, hal.23.


2 Ibid
3 Said Aqil Husain Al-Munawwwar, I’jaz Al-Qur’an, dan Metedologi Tafsir, Dimas, Semarang, 1994, hal.1.
Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak
dinamai mukjizat.Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa.Yang
dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan sebab akibat
yang hukum-hukumnya diketahui secara umum.Demikian pula dengan hipnotis dan sihir,
misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam
pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun.Apabila
keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku nabi, hal itu tidak
dinamai mukjizat.Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang kelak
bakal menjadi nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash.Keluarbiasaan itu terjadi
pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat,
melainkan karamah atau kerahmatan.Bahkan, karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang
durhaka kepada-Nya, yang terakhir dinamai ihanah (penghinaan) atau Istidraj (rangsangan
untuk lebih durhaka lagi).
Bertitik tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad Saw.adalah nabi
terakhir, maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalannya.
Namun, ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini.
3. Mendukung t antangan terhadap mereka yang meragukan kenabian
Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelum dan
sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang berjalan
dengan ucapan sang nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”, tetapi ketika
batu itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang berbohong”, maka keluarbiasaan ini
bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj.
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang
penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus
benar-benar dipahami oleh yang ditantang.Untuk membuktikan kegagalan mereka, aspek
kemukjizatan tiap-tiap nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Ada beberapa orang yang meragukan kemungkinan terjadinya “keluarbiasaan”.
Bukankah aneka keluarbiasaan tersebut bertentangan dengan akal sehingga mustahil terjadi ?
Sesungguhnya keluarbiasaan itu tidak mustahil menurut pandangan akal yang sehat dan
tidak pula bertentangan dengannya, yang sebenarnya terjadi adalah bahwa keluarbiasaan itu
hanya sukar, tidak atau belum dapat dijangkau hakikat atau cara kejadiannya oleh akal.
3) Macam-macam Mukjizat
Menurut syahrur mukjizat dapat diklarifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:[4]
1. Mu’jizat Material Indrawi

4 Rosihon.‘Ulum. Hlm. 192


Mukjizat yang tidak kekal, maksudnya mukjizat jenis ini hanya berlaku pada Nabi
selain Nabi Muhammad Saw.dan juga mukjizat ini juga berlaku untuk jaman tertentu, kapan
mukjizat itu di turunkan. Oleh karena itu wajar kalau sifat mukjizat tersebut tidak kekal.
Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat Nabi Musa As. dapat membelah lautan,
mukjizat Nabi Daud As. dapat melunakkan besi, mukjizat Nabi Isa As. dapat menghidupkan
orang mati, mukjizat Nabi Ibrahim As. tidak hangus oleh api saat di bakar dan mukjizat-
mukjizat nabi lainnya.
2. Mukjizat Immaterial
Mukjizat ini bersifat kekal dan berlaku sepanjang jaman.Mukjizat tersebut adalah al-
Quran al-Karim.Hal ini, menurut Syahrur karena Muhammad (sebagai penerima mukjizat ini)
nabi terkhir sehingga mukjizatnya harus memiliki sifat abadi dan berlaku sampai dunia ini
hancur, secara lebih gampang Syahrur membedakan mukjizat Nabi Muhammad dengan nabi-
nabi sebelumnya.Pertama, aspek rasionalitas kenabian Muhammad yang berupa Al-Quran
dan Al-sab’ul Al-matsani mendahului pengetahuan inderawi, yaitu dalam
bentuk mutasyabih. Setiap jaman berubah, konsepsi-konsepsi Al-Quran masuk kedalam
wilayah pengetahuan inderawi yang disebut sebagai takwil langsung yaitu kesesuaian antara
teks pengetahuan terhadap hal inderawi. Kedua, Al-Quran memuat hakikat wujud mutlak
yang dapat di fahami secara relatif sesuai dengan latar belakang pengetahuan. Pada masa
yang di dalamya usaha pemahaman Al-Quran dilakukan.Ketiga, kemukjizatan Al-Quran
bukan hanya bentuk redaksinya saja, tetapi juga kandungannya.
Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat
materialdan indrawi dalam artian keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau
langsung melalui indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya.
Perahu Nabi Nuh As. yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan
dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya Nabi Ibrahim
As. dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa As. yang beralih wujud menjadi
ular; penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa As. atas seizin Allah, dan lain-lain,
kesemuanya bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat nabi berada, dan
berakhir dengan wafatnya tiap-tiap nabi. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad
Saw.yang sifatnya bukan indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena sifatnya
yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an
dapat dijangkau oleh setiap orangyang menggunakan akalnya dimana dan kapanpun.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok:
1. Para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. ditugaskan untuk masyarakat dan masa
tertentu. Oleh karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat
tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad Saw. yang
diutus untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman, sehingga bukti kebenaran
ajarannya selalu ada, dimana dan kapanpun berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat
tersebut tidak mungkin bersifat material, karena kematerialan membatasi ruang dan
waktunya.
2. Manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi khususnya
sebelum Nabi Muhammad Saw. membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan
tingkat pemikiran mereka. Bukti tersebut harus demikian jelas dan langsung terjangkau
oleh indra mereka. Akan tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan
berpikir, bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Itulah sebabnya, Nabi
Muhammad Saw. ketika diminta bukti-bukti yang sifatnya demikian oleh mereka yang
tidak percaya, beliau diperintahkan oleh Allah untuk menjawab:
ً ‫س‬
‫وَّل‬ ُ ‫س ْب َحانَ َربِّي ه َْل ُك ْنتُ ِّإ اَّل َبش ًَرا َر‬
ُ ‫…قُ ْل‬
Artinya:“Katakanlah, ‘Maha Suci Tuhanku, bukanlah aku ini hanya seorang manusia
yang menjadi rasul?(Q.S. Al-Isra’[17]:93).

B. ISTIDRAJ
1) PENGERTIAN

Kata istidraj merupakan salah satu kata yang terdapat dalam al-Qur’an, salah satunya
dalam QS.al-A’raf ayat 182:

‫والذين كذبوا باياتنا سنستدرجهم من حيث ال يعلممون‬

" Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, nanti kami akan menarik mereka
dengan berangsur-angsur ( ke arah kebinasaan ), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”

Istidraj menurut bahasa merupakan akar kata dari kata ( ‫ ) الدرج‬yang artinya
tingkat.[5] Sedangkan menurut istilah, Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa makna istidraj adalah
menarik mereka ke arah kebinasaan, akan tetepi balasan itu diakhirkan untuk memberikan
mereka pelajaran.[ 6 ] Dan Wahbah Zuhali juga sependapat tentang makna istidraj yaitu
merendahkan mereka sedikit demi sedikit menuju ke arah kehanjuran.[7]

Orang yang tertimpa istidraj pada umumnya mereka bergelimangan harta ataupun
kekuasaan. Akan tetapi mereka melupakan siapa yang memberinya ataupun lupa mereka
selalu berbuat maksiat. Mengutip dari tulisan Ibnu Qayim al-Jauziyah bahwa ulama salaf
mengatakan tentang istidraj yaitu: “Jika Allah Swt melimpahkan berbagai macam nikmat
kepada seorang hamba, sementara dia selalu berbuat maksiat kepada-Nya, maka berhati-
hatilah bahwa itu adalah istidraj. Dimana semuanya hanyalah sebuah kesenangan duniawi.[8]
Dalam sebuah hadist diceritakan bahwa ada seorang laki-laki dari kaum bani Israil
menyatakan bahwa dia banyak melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Swt akan tetapi

5 Abi Hasan Ali, Al-Nukatu wa Al-Uyun Tafsir Al-Mawardi (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, t.t), juz ke-2, h. 282.
6 Ibnu ‘Asyur, Tafsir al- Tahrir wa al-Tanwir (Tunisia: Dar suhun, t.t), h. 101.
7 Wahbah Zuhali, al-Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj (Beirut: Dar al-Fikri,2014), Juz ke-
5, h. 194.
8 Ibnu Qayim al-Jauziyah, Penawar hati yang sakit: Seri Penyucian Hati, Penerjemah: Ahmad Turmudzi
(Jakarta: Gema Insani,2003), h. 45
Allah Swt tidak memberikan hukuman dengan sesuatu apapun. Kemudian Allah Swt
memberikan wahyu kepada utusan-Nya yang hidup pada masa nya, lalu Allah Swt
memberikan perintah kepada utusan-Nya untuk memberitahukan kepada laki-laki tersebut
bahwa Allah Swt telah banyak melimpahkan hukuman kepadanya akan tetapi dia tidak
menyadarinya. Dan juga Allah Swt menyatakan bahwa butanya kedua mata dan keras hatinya
sehingga dia tidak menyadari hal tersebut merupakan istidraj dan hukuman untuknya.[9]

2) SEBAB-SEBAB

Setelah membahas makna dan hakikat istidraj, maka pastinya ketika Allah Swt
melakukan istidraj kepada manusia ada penyebabnya, karena Allah Swt tidak semata-mata
melakukannya. Diantara penyebab seseorang tertimpa istidraj adalah sebagai berikut:

1. Kedustaan Kepada Allah Swt.


Berbicara tentang orang yang mendustakan Allah, sebagai contoh ketika seseorang
yang sedang diberi kesehatan oleh Allah Swt, akan tetapi ia berani bermaksiat kepada
Allah Swt maka ia disebut sebagai orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt.
2. Kufur Nikmat
Betapa zalimnya manusia, hidup dengan bergelimangan nikmat tetapi mereka
melupakan Rabbnya. Betapa zalimnya manusia, ketika nikmat belum ia rengkuh tiap
malam, tangisnya tak henti-hentinya mengiba dihadapan Allah Swt, tapi setelah
nikmat didapatkan, dengan mudah ia lupa bahkan tidak bersyukur sama sekali kepada
Rabbnya. Betapa kufurnya manusia, bahkan hanya untuk menyadari kehadiran Allah
Swt dalam setiap yang diperolehnya saja seolah tak sudi ataupun enggan. Ia dengan
mudah melupakan Allah Swt sebagai penolong yang senantiasa menjaganya.
Na’udzubillahimindzalik.
3. Kemasiatan
Menurut Husni Mubaraq dalam tulisannya bahwa pengertian maksiat adalah
perbuatan yang melanggar perintah Allah Swt, juga melanggar norma-norma
agama.[10]

3) MENJAUHKAN DIRI DARI ISTIDRAJ

9 Al-Qurtubi, al-Jami’ lil Ahkam al-Qur’a, Penerjemah Ahmad Khatib, dkk, (Jakarta: Pustaka Azam,2009), Jilid
19, h. 137.
10 Husni Mubaraq, Pengaruh Maksiat Terhadap Penyakit Hati Menurut Ibn Qayim al-Jauziah, (Skripsi S1
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universita Islam Negri Jakarta,2008), h. 16.
Untuk menghindari diri dari istidraj, maka manusia harus menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Diantara hal-hal yang dapat
menghindarkan diri dari istidraj menurut analisis penulis adalah sebagai berikut:
1. Memahami Nikmat dan Bersyukur Atas-Nya.
Hakikat syukur menurut Quraish Shihab yaitu “menampakkan nikmat”, dan
sebaliknya hakikat dari kekufuran adalah menyembunyikannya. Meskipun
Allah Swt sama sekali tidak membutuhkan sedikitpun rasa syukur kepada-Nya
akan tetapi manfaat dari rasa syukur tersebut kembali kepada orang yang
bersyukur.[11] Adapun cara bersyukur kepada Allah Swt terdapat bermacam-
macam yaitu dengan hati, lisan, maupun anggota badan. Cara bersyukur
dengan hati adalah dengan berniat melakukan kebaikan dan
menyembunyikannya dari semua manusia. Sedangkan cara bersyukur dengan
lisan yaitu dengan memperlihatkan syukur kepada Allah Swt dengan
mengucap Tahmid. Selanjutnya, cara bersyukur dengan anggota badan yaitu
dengan tidak menggunakannya dalam bermaksiat.
2. Keimanan Kepada Allah Swt.
Dalam al-Qur’an, tentang keimanan mendapat perhatian yang sangat
besar.[ 12 ] Karena memang berhubungan dengan penghambaan dengan
keyakinan kepada-Nya. Maka dari itu, sebagai seseorang yang meyakini
keberadaan-Nya, selazimnya terus mengasah keimanannya begitu juga harus
lebih diperhatikan dengan sunggguh-sungguh. Dan juga dengan adanya
keimanan, seseorang dapat menyadari bahwa sesungguhnya janji dan kuasa
Allah Swt sangatlah benar. Sehingga manusia bisa mengambil pelajaran dari
sekitarnya. Dan juga dengan keimanan, seseorang menyadari bahwa segala
nikmat yang diberikan oleh Allah swt kepadanya merupakan sebuah titipan
yang harus dijaga dan disyukuri adanya. Sehingga bisa terhindar dari istidra,
dimana dia tidak mensyukuri atas nikmat yang diberikan kepadanya dan juga
melupakan atau mengabaikan Dia yang telah memberinya.
C. Karomah

11 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 289


12 Maksudnya yaitu kata iman dalam al-Qur’an diulang sebanyak 37 kali, sedangkan derivasinya, diulang lebih
dari empat ratus kali. Liahat, Muhammad Fu’ad Abd Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fadz al-Qur’an al-Karim,
(Beirut: Dar al-Fikr,1987), h. 81-89
Karamah berasal dari bahasa arab ‫ كرم‬berarti kemuliaan, keluhuran, dan
anugerah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah
dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan
manusia biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan.
Menurut ulama sufi, karamah berarti keadaan luar biasa yang diberikan Allah
SWT kepada para wali-Nya. Wali ialah orang yang beriman, bertakwa, dan beramal
shaleh kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Yunus: 62-64,

ِّ‫علَ ْي ِّه ْم َوَّل ُه ْميَحْ زَ نُونَ ۞ الاذِّينَ آ َمنُوا َو َكانُوا يَتاقُونَ ۞ لَ ُه ُم ْالبُ ْش َرى فِّي ْال َحيَاة‬
َ ‫ف‬ ‫أََّل ِّإ ان أ َ ْو ِّليَا َء ا‬
ٌ ‫َّللاِّ َّل خ َْو‬
……ِّ‫اآلخ َرة‬ ِّ ‫الدُّ ْنيَا َوفِّي‬
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka, dan
mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan bertakwa. Bagi
mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat….”
Ulama’ sufi meyakini bahwa para wali mempunyai keistimewaan, misalnya
kemampuan melihat hal-hal ghaib yang tidak dimiliki oleh manusia umumnya. Allah
SWT dapat memberi karamah kepada orang beriman, takwa, dan beramal shaleh
menurut kehendaknya.
a. Kejadian yang Dialami Seorang Ahli Ilmu pada masa Nabi Sulaiman a.s
Ketika Nabi Sulaiman a.s. sedang duduk di hadapan dengan para tentaranya
yang terdiri atas manusia, hewan, dan jin, beliau meminta kepada mereka
mendatangkan singgasana Ratu Bulqis. Ada seorang yang berilmu berkata kepada
Nabi Sulaiman a.s. menurut sebuah keterangan, orang yang berilmu itu bernama Asif.
Perkataan orang berilmu tersebut diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya Q.S. an-
Naml: 40,
َ َ‫ب أَنَا آتِّيكَ ِّب ِّه قَ ْب َل أ َ ْن َي ْرتَدا ِّإ َليْك‬
‫ط ْرفُكَ فَلَ اما َرآهُ ُم ْست َ ِّق ًّرا ِّع ْندَهُ قَا َل َهذَا‬ ِّ ‫قَا َل الاذِّي ِّع ْندَهُ ِّع ْل ٌم ِّمنَ ْال ِّكت َا‬
‫ي َك ِّري ٌم‬
ٌّ ِّ‫غن‬ َ ‫ض ِّل َر ِّبي ِّليَ ْبلُ َو ِّني أ َأ َ ْش ُك ُر أ َ ْم أ َ ْكفُ ُر َو َم ْن‬
َ ‫ش َك َر فَإِّنا َما يَ ْش ُك ُر ِّلنَ ْف ِّس ِّه َو َم ْن َكفَ َر فَإ ِّ ان َربِّي‬ ْ َ‫ِّم ْن ف‬
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku
untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan
barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia”.
b. Kejadian yang Dialami Maryam binti Imran
Nabi Zakaria a.s. menemukan makanan setiap hadir di mihrab Maryam binti Imran.
Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imran: 37,

َ ‫علَ ْي َها زَ َك ِّرياا ْال ِّمحْ َر‬


‫اب َو َجدَ ِّع ْندَهَا‬ َ ‫سنًا َو َكفالَ َها زَ َك ِّرياا ُكلا َما دَ َخ َل‬
َ ‫سن َوأ َ ْنبَت َ َها نَ َباتًا َح‬
َ ‫فَتَقَبالَ َها َربُّ َها بِّقَبُول َح‬
‫ساب‬ َ ‫َّللاَ َي ْر ُز ُق َم ْن يَشَا ُء ِّبغَي ِّْر ِّح‬
‫َّللاِّ ِّإ ان ا‬ ْ َ‫ِّر ْزقًا قَا َل َيا َم ْر َي ُم أَناى لَ ِّك َهذَا قَال‬
‫ت ُه َو ِّم ْن ِّع ْن ِّد ا‬
“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria
pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati
makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh
(makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya
Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
Peristiwa yang disaksikan Nabi Zakaria a.s. merupakan karamah yang
dianugerahkan Allah SWT kepada maryam binti Imran.
Allah SWT mentakdirkan bahwa pengasuh Maryam adalah pamannya sendiri, yakni
Nabi Zakaria a.s.
D. Irhash
Irhash adalah sesuatu yang luar biasa yang diberikan Allah kepada seseorang
yang dipersiapkan untuk membawa risalah. Seperti melindunginya awan atas Nabi
Muhammad Saw sebelum Pengutusan beliau. Dapat dikatakan Irkhash adalah sesuatu
yang diberikan kepada calon Nabi berupa keluarbiasaan.
Irhas adalah kejadian luar biasa atau hal-hal yang istimewa pada diri calon nabi
atau Rasul ketika masih kecil. Contohnya, Muhammad saw. Selalu dinaungi awan
sehingga kepanasan saat melakukan perjalanan dagang ke negeri Syam. Peristiwa
yang terjadi pada diri Nabi Isa a.s. ketika beliau masih bayi dalam buaian ibunya,
Maryam. Pada saat masih bayi, Nabi isa dapat berbicara kepada orang-orang yang
melecehkan ibunya. Pembicaraan Nabi Isa a.s. ketika masih bayi itu disebutkan dalam
firman Allah, Q.S. Maryam: 29-33.

َ ‫ي ْال ِّكت‬
۞‫َاب َو َج َعلَنِّي نَبِّيًّا‬ َ ‫صبِّيًّا۞ قَا َل ِّإنِّي‬
‫ع ْبدُ ا‬
َ ِّ‫َّللاِّ آت َان‬ َ ‫ْف نُ َك ِّل ُم َم ْن َكانَ فِّي ْال َم ْه ِّد‬
َ ‫ت ِّإلَ ْي ِّه قَالُوا َكي‬ َ ‫فَأَش‬
ْ ‫َار‬
ُ‫ار ًكا أَيْنَ َما ُك ْنت‬
َ َ‫اارا َو َج َعلَنِّي ُمب‬ ً ‫الز َكاةِّ َما د ُْمتُ َحيًّا۞ َوبَ ًّرا ِّب َوا ِّلدَتِّي َولَ ْم يَجْ َع ْلنِّي َجب‬ ‫صالةِّ َو ا‬ ‫صانِّي ِّبال ا‬ َ ‫َوأ َ ْو‬
۞‫ث َحيًّا‬ ُ ‫ي يَ ْو َم ُو ِّلدْتُ َويَ ْو َم أ َ ُموتُ َويَ ْو َم أ ُ ْب َع‬‫علَ ا‬
َ ‫سال ُم‬
‫ش ِّقيًّا۞ َوال ا‬ َ
“Maka dia (Maryam) menunjuk kepada anaknya, mereka berkata “Bagaimana kami
akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?” Dia (Isa) berkata,
“Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku kitab Injil) dan Dia menjadikan aku
seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku
berada dan Dia memerintahkan kepadaku melaksanakan shalat dan menunaikan zakat
selama hidup, dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari
kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”
E. Persamaan dan perbedaan Mu’jizat, Karomah, dan Irhash
Pada dasarnya mukjizat, karamah, ma’unah, dan irhas adalah sama, yaitu
anugerah Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya. Perbedaannya terletak pada
siapa yang menerimanya. Perbedaan antara mukjizat, karamah, ma’unah, dan irhas
adalah sebagai berikut.
a) Mukjizat diberikan kepada para nabi dan rasul.
b) Karamah dianugerahkan kepada wali.
c) Irhas dianugerahkan kepada calon nabi atau rasul Allah SWT (sebelum
diangkat menjadi nabi dan rasul).
Persamaan antara mukjizat, karomah, ma’unah dan irhas adalah sama-sama
datangnya dari Allah SWT. Orang yang diberikan mukjizat, karamah, ma’unah, dan
irhas pantas diteladani hidupnya, karena mukjizat, karamah, ma’unah, dan irhas hanya
diberikan kepada hamba-hamba Allah SWT yang bertakwa dan beramal shaleh.
.

KESIMPULAN

Mukjizat merupakan kejadian luar biasa atau kelebihan di luar akal manusia yang
tidak dimiliki oleh siapapun, karena mukjizat hanya diberikan oleh Allah kepada para
nabi dan rasul-Nya.Sedangkan apabila ada seseorang selain para nabi dan rasul
diberikan kejadian yang luar biasa oleh Allah maka itu tidak bisa dikatakan sebagai
mukjizat melainkan itu adalah karomah.

Menurut Ibnu ‘Asyur makna istidraj adalah menarik mereka ke arah kebinasaan,
akan tetepi balasan itu diakhirkan untuk memberikan mereka pelajaran. Dan Wahbah
Zuhali juga sependapat tentang makna istidraj yaitu merendahkan mereka sedikit demi
sedikit menuju ke arah kehanjuran.

Irhash adalah kejadian yang istimewa yang terjadi pada diri seorang calon Rasul.
Misalnya kejadian yang dialami oleh Muhammad SAW, ketika berada dalam
perjalanan untuk berniaga ke negri Syam selalu diikuti dan dipayungi oleh awan. Hal
ini merupakan keistimewaan sebelum ia menjadi Rasul.

Karomah adalah kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah kepada
hambaNya yang shaleh dan taat kepadaNya. Orang shaleh yang tinggi ketaatannya
kepada Allah disebut wali (wali Allah).

Adapun Persamaan dan Perbedaannya adalah :

Perberdaan:

- Mukjizat diberikan kepada Nabi dan rasul, sedangkan irhas, maunah, dan
karomah bukan diberikan kepada Nabi dan Rasul.

- Mukjizat diberikan Allah kepada Nabi dan Rasul untuk membuktikan kenabian
dan kerasulannya, sekaligus untuk melemahkan orang-orang kafir yang
bermaksud jahat. Sedangkan irkhash, maunah dan karomah diberikan Allah
kepada orang mukmin, orang shaleh, untuk menolong dan melindungi mereka
dari bahaya atau hal-hal yang tidak menyenangkan.

Persamaan:

- Sama-sama datang atas kehendak dari Allah SWT.


- Sama-sama merupakan kejadian yang luar biasa yang sulit diterima akal.

- Kejadian sama-sama tidak direncanakan, terjadi dengan tiba-tiba. Tidak bisa


dikalahkan.

- Sama-sama diberikan untuk mengatasi masalah dan menolong hambaNya.

DAFTAR PUSTAKA

-M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997.

- Said Aqil Husain Al-Munawwwar, I’jaz Al-Qur’an, dan Metedologi Tafsir, Dimas,
Semarang, 1994.

- Abi Hasan Ali, Al-Nukatu wa Al-Uyun Tafsir Al-Mawardi (Beirut: Dar Kutub Al-
Ilmiyah, t.t), juz ke-2,

- Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunisia: Dar suhun, t.t)

- Wahbah Zuhali, al-Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj (Beirut:


Dar al-Fikri,2014), Juz ke-5

- Ibnu Qayim al-Jauziyah, Penawar hati yang sakit: Seri Penyucian Hati, Penerjemah:
Ahmad Turmudzi (Jakarta: Gema Insani,2003)

Anda mungkin juga menyukai