Anda di halaman 1dari 5

Diet atau Pola Makan Sehat ala Rasulullah

Sebagian orang ingin memiliki badan yang ideal atau ingin menurunkan berat badan. Karena
keinginan itu, banyak di antara mereka yang menempuh berbagai metode diet, menjaga aktivitas
dan latihan fisik, serta menjaga pola tidur yang cukup dan tidak stres. Sebagian yang lain
melakukan diet khusus karena memang ingin menjaga diri dari penyakit.

Berbagai Dalil yang Berkaitan dengan Makanan


Di dalam Al-Qur’an kita dapati petunjuk dari Allah Ta’ala agar makan makanan yang halal dan
thayyib, serta menjauhkan diri dari makanan haram. Selain itu, kita diperintahkan untuk tidak
berlebih-lebihan ketika makan, meskipun makanan halal. Allah Ta’ala berfirman,

‫ت‬ ِ ‫اس ُكلُوا ِم َّما فِي أاْل َ أر‬


ُ ‫ض َح ََل اًل َطيِباا َو ًَل تَت َّ ِبعُوا ُخ‬
ِ ‫ط َوا‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
‫عد ٌُّو ُمبِين‬ ِ ‫ش أي َط‬
َ ‫ان إِنَّهُ لَ ُك أم‬ َّ ‫ال‬
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang salih.
Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 51)

Allah Ta’ala juga berfirman,

“Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Larangan sikap berlebih-lebihan juga ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah seorang manusia memenuhi satu wadah yang lebih berbahaya dibandingkan perutnya
sendiri. Sebenarnya seorang manusia itu cukup dengan beberapa suap makanan yang bisa
menegakkan tulang punggungnya. Namun jika tidak ada pilihan lain, maka hendaknya sepertiga
perut itu untuk makanan, sepertiga yang lain untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas.”
(HR Ibnu Majah no. 3349, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Penjelasan Ulama Tentang Pokok Kesehatan


Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala– berkata,

“Pokok (inti) kesehatan ada tiga.

Pertama, menjaga kesehatan dengan memanfaatkan (melakukan) berbagai hal yang bermanfaat.

Ke dua, menjaga diri dari berbagai hal yang membahayakan kesehatan.

Ke tiga, menghilangkan (membuang) kotoran atau penyakit yang masuk ke badan.

Semua permasalahan kesehatan kembali kepada tiga inti pokok tersebut. Dan sungguh Al-Qur’an
telah mengingatkan dalam firman-Nya tentang menjaga kesehatan dan membuang kotoran
(penyakit) (yang artinya), “Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf [7]:
31).” (Al-Qawa’idul hisaan, hal. 150)

Kemudian beliau –rahimahullahu Ta’ala- menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala
memerintahkan untuk makan dan minum, dua aktivitas yang sangat dibutuhkan oleh badan (poin
pertama). Perintah tersebut bersifat mutlak, yang menunjukkan bahwa makanan dan minuman
yang dikonsumsi hendaklah sesuatu yang baik dan bermanfat untuk manusia di setiap waktu dan
keadaan.

Dan Allah Ta’ala melarang dari sikap berlebih-lebihan, misalnya dengan terlalu banyak makan
dan minum. Ini adalah bentuk penjagaan dari segala sesuatu yang berpotensi membahayakan
badan manusia. Jika makanan pokok yang sangat dibutuhkan saja tidak diperbolehkan untuk
dikonsumsi ketika ada potensi membahayakan kesehatan badan, maka bagaimana lagi dengan
yang selain makanan pokok?
Diperbolehkan bagi orang yang sakit untuk tayammum, sebagai pengganti berwudhu dengan air,
jika menggunakan air dapat membahayakan kesehatannya. Hal ini sebagai bentuk penjagaan dari
hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan (poin ke dua). Demikian pula diperbolehkan bagi
orang yang sedang berihram jika ada penyakit di kepalanya untuk mencukurnya. Ini termasuk
dalam bentuk menghilangkan penyakit yang ada di badan (poin ke tiga). Lalu bagaimana lagi jika
ada hal-hal yang lebih berbahaya dari itu semua? (Lihat Al-Qawa’idul hisaan, hal. 150)

Ayat-ayat dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan secara global petunjuk
syariat dalam urusan makanan. Allah Ta’ala tidak merinci makanan apa saja yang baik dimakan,
karena tentunya sangat banyak makanan halal di dunia ini yang Allah Ta’ala sediakan.

Kesederhanaan Rasulullah dalam Masalah


Makanan
Kalau kita memperhatikan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang urusan
makanan, kita dapati potret kesederhanaan yang luar biasa dari beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Dalam urusan makanan, beliau tidaklah berlebih-lebihan dan hanya meminta rizki makanan
secukupnya. Hal ini sebagaimana doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Ya Allah, jadikan rizki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya.” (HR. Muslim
no. 1055)

Berbeda dengan kita umumnya yang makan 2-3 kali sehari sampai kenyang, maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam baru merasakan kenyang tiap 2-3 hari sekali. Kondisi ini diceritakan
oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan mengatakan,

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena
makan roti gandum dalam dua hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat.” (HR. Muslim no. 2970)

Dalam riwayat yang lain, kondisi tidak kenyang tersebut berlangsung sampai tiga hari,

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena
makan burr (gandum kasar) dalam tiga hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat.” (HR. Bukhari no. 6454 dan Muslim no. 2970)

Terkadang, makanan berupa roti gandum tersebut dicampur dengan semacam kuah. Ibunda
‘Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan,

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena
makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai dia bertemu dengan
Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423)
Adapun yang dimaksud idam, dijelaskan dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith,

“sesuatu (makanan atau kuah) yang biasa digunakan untuk membantu menelan roti.”

Terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan sama sekali karena memang tidak
punya makanan. Dan pada kondisi semacam itu, beliau pun kemudian berpuasa sunnah.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku pada suatu hari, “Wahai ‘Aisyah,
apakah Engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah,
kita tidak memiliki makanan sedikit pun (untuk dimakan).” Beliau lalu berkata, “Kalau begitu, aku
akan puasa hari ini.” (HR. Muslim no. 1154)

Kondisi semacam ini bisa berlangsung berhari-hari hingga sebulan. Hal ini sebagaimana penuturan
ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

“Pernah kami melalui suatu bulan yang ketika itu kami tidak menyalakan api sekali pun. Yang
kami miliki hanyalah kurma dan air, kecuali ada yang memberi kami hadiah berupa potongan
daging kecil untuk dimakan.” (HR. Bukhari no. 6458)

Kemungkinan yang lebih mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedikit makan bukan karena sengaja ingin diet, akan tetapi karena memang demikian
sederhananya rizki yang Allah Ta’ala karuniakan kepada beliau yang banyak sekali hikmah yang
bisa kita petik dari hal ini. Di antara indikasinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, apakah ada makanan? Artinya, kalau ada makanan, tentu akan
Nabi makan.

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan akan berpuasa, tidak lama kemudian,
‘Aisyah diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi: seorang tamu mengunjungi ‘Aisyah-
.

‘Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, saya pun berkata, “Ya
Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan aku simpan untukmu.”

Beliau bertanya, “Makanan apa itu?”

Saya menjawab, “Roti khais (yakni roti yang terbuat dari kurma, minyak samin, dan keju).”

Beliau bersabda, “Bawalah kemari.”

Maka roti itu pun aku sajikan untuk beliau. Lalu beliau makan, kemudian berkata,

“Sungguh dari pagi tadi aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154)
Dalam lanjutan hadits di atas, jelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan puasanya
ketika ada makanan. Kalau maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk diet, tentu
Nabi tetap melanjutkan puasa meskipun ada makanan. Sehingga sekali lagi, makna yang lebih
mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jarang makan karena
keterbatasan dan kondisi ekonomi yang sederhana yang Allah tetapkan untuk beliau, bukan karena
sengaja ingin diet demi kesehatan tubuh.

Demikian juga jika kita melihat keterangan para sahabat Nabi yang mereka sangat memahami
kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana atsar dari sahabat An-Nu’man
bin Basyir radhiyallahu’anhu, dia mengatakan,

“Bukankah kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum
sesuka kalian? Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau tidak
mendapati sekedar daql (kurma yang buruk kualitasnya) untuk memenuhi perutnya.” (HR.
Muslim no. 2977)

Di sini An-Nu’man bin Basyir menasihati para sahabat untuk senantiasa bersyukur atas kecukupan
rizki berupa makanan dan minuman, dengan mengambil ibrah dari kehidupan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka jelas sekali dari hadits ini bahwa para sahabat memahami bahwa keadaan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkadang tidak mendapati makanan atau jarang sekali
mendapati perutnya kenyang oleh makanan ini bukan karena beliau bersengaja atau untuk
melakukan metode diet atau untuk mempraktekkan gaya hidup sehat tertentu. Andaikan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersengaja melakukan itu karena mempraktekkan metode diet atau
semisalnya, tentu An-Nu’man bin Basyir tidak akan menjadikannya sebagai ibrah.

Dan dari hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu ini juga, kita memahami bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itu semua bukan dalam rangka qurbah
(ibadah) dan beliau tidak mengajarkan para sahabatnya untuk memiliki pola makan yang sama
seperti beliau. Nyatanya, An-Nu’man bin Basyir mengatakan kepada para sahabat, “Bukankah
kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum sesuka kalian?”

Artinya, umumnya para sahabat berkecukupan dalam masalah makanan dan minuman, bahkan
mereka makan setiap hari. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Andaikan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam rangka
qurbah dan bernilai ibadah atau merupakan pola maka terbaik, maka tentunya para sahabat
ridhwanullah ‘alaihim ajma’in sudah berlomba-lomba untuk menirunya.

@Rumah Lendah, 23 Shafar 1441/22 Oktober 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Anda mungkin juga menyukai