Hbi Kelompok 10
Hbi Kelompok 10
SYARIAH
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Disusun Oleh:
Santri Ayu : 1721508040
Yohana Mega Nanda : 1721508049
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia Nya sehingga kami diberikan waktu dan kesempatan untuk
menyelesaikan makalah HUKUM BISNIS ISLAM dengan judul “Aspek
Perlindungan Konsumen Dalam Bisnis Syariah”
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak termasuk teman-teman yang
telah berpartisipasi dalam mencari bahan-bahan untuk menyusun tugas ini
sehingga memungkinkan terselesaikan makalah ini, meskipun banyak terdapat
kekurangan.
Penyusun
Kelompok 10
i
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
C. Tujuan ................................................................................................................2
A. Pengertian...........................................................................................................3
A. Kesimpulan ......................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laju perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia dari hari ke hari terus
bergeliat dan mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan.
Dimulai dari sektor perbankkan pada tahun 1991 dengan pendirian Bank
Muamalat yang kemudian diikuti oleh munculnya lembaga-lembaga
keuangan, kini tren ekonomi syari’ah di tanah air menjalar ke berbagai aspek
bisnis lainnya seperti asuransi, gadai, properti, perhotelan, multifinance,
koperasi hingga multi level marketing (MLM) syariah dan seterusnya.
Diperkirakan di masa-masa mendatang bisnis syari’ah akan terus membasar,
terlebih Indonesia adalah negeri dimana penduduknya mayoritas muslim
sehingga konsep ekonomi syariah akan cepat beradaptasi dan mudah
diterima. Hal ini terbukti, pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia
merupakan yang terbaik di dunia dengan pertumbuhan mencapai 39 persen
setiap tahunnya. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi
konvensional yang hanya sebesar 19 persen.
Perlindungan konsumen secara sistematis dalam hukum di Indonesia
tercermin dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (berikutya disingkat dengan UUPK). UUPK pada dasarnya lahir
dengan misi perlindungan dan pengamanan atas kesejahteraan masyarakat
dalam segala sektor kegiatan ekonomi yang digambarkan dalam frase kalimat
”Melindungi konsumen sama dengan melindungi bangsa”. Hal ini menjadi
motivasi dasar dari pemberlakuan UUPK bahwa setiap masyarakat baik
secara individual maupun komunal merupakan konsumen yang selalu
menikmati barang/jasa. Motivasi ini dilatarbelakangi pemahaman bahwa
filosofi pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang
memberikan perlindungan terhadap konsumen untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhnya.
1
Selama ini sejarah hubungan antara produsen dan konsumen
menunjukkan bahwa konsumen biasanya berada pada posisi lebih lemah.
Adapun produsen biasanya sering dikenal sebagai pihak yang mempunyai
keunggulan baik dari segi teknologi maupun modal. Sehingga dengan
kemampuan itu produsen mampu menghasilkan produk dalam jumlah besar
(mass production) untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Karenanya dalam
kegiatan menjalankan usaha, UUPK memberikan sejumkah hak dan
membebankan sejumlah kewajiban dan larangan kepada produsen.
Pengaturan tentang hak, kewajiban dan larangan itu dimaksudkan untuk
menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dan konsumennya,
sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan
usaha dan perekonomian pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari perlindungan konsumen ?
2. Apa saja Landasan hukum Perlindungan Konsumen ?
3. Apa saja Asas Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Islam ?
4. Bagaimana Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen dalam Hukum
Positif ?
5. Bagaimana Hak dan Kewajiban Konsumen dalam Perspektif Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 (UUPK) ?
6. Bagaimana bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha ?
C. Tujuan
1. Agar dapat mengetahui pengertian dari perlindungan konsumen
2. Agar dapat mengetahui Landasan hukum Perlindungan Konsumen
3. Agar dapat mengetahui Asas Perlindungan Konsumen Dalam Hukum
Islam
4. Agar dapat mengetahui Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen dalam
Hukum Positif
5. Untuk mengetahui Bagaimana Hak dan Kewajiban Konsumen dalam
Perspektif Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 (UUPK)
6. Untuk mengetahui Bagaimana bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan
konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan
akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir.
Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai ekonomi.
Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini
adalah perusahaan korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang
distributor dan lain-lain.1
Kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara
pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh
laba (profit) dari transaksi dengan konsumen, sedAngkan kepentingan
konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya
terhadapa produk tertentu. Namun, kesenjangan ekonomi merugikan berbagai
pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi. Masyarakat yang tidak lain
adalah konsumen yang paling sering dirugikan.
1
Elsi Kartika Sari, Advendi Simangunsong, HUKUM DALAM EKONOMI, Edisi 2 (Jakarta:
PT.Grasindo,2007), h.159.
3
Hubungan yang demikian seringkali terdapat ketidaksetaraan antara
keduanya. Konsumen biasanya berada dalam posisi yang lemah dan
karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara
sosial dan ekonomi memounyai posisi yang kuat. Dengan perkataan lain,
kosnumen adalah pihak yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha dalam
menjalankan kegitan bisnisnya. Untuk melindungi atau memberdayakan
konsumen diperlukan seperangkat aturan hukum. Oleh karena itu diperlukan
adanya campur tangan Negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum
terhadap konsumen.2
B. Landasan Hukum Perlindungan Konsumen
a. Landasan Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Islam
Sumber hukum dalam Islam yang telah disepakati oleh para fuqaha
ada 4, yaitu berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sumber-
sumber hukum ini dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan hukum
perlindungan konsumen dalam Islam. AlQur’an merupakan sumber
hukum pertama (sumber primer) dalam ajaran Islam. Sunnah adalah
sumber hukum kedua (sumber sekunder) setelah Al-quran, dan dapat
dijadikan sumber hukum pertama (sumber primer) apabila tidak
ditemukan penjelasan atas suatu masalah di dalam Al-Qur’an.
Adapun ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari kalangan
umat Islam pada suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah SAW atas
suatu hukum syara’ mengenai suatu kejadian maupun kasus.3 Ijma’
hanya ditetapkan setelah wafatnya Rasulullah SAW dan hanya dapat
dijadikan sebagai sumber hukum apabila tidak ditemukan penjelasan atau
norma-norma hukum di dalam Al-Qur’an maupun sunnah mengenai
suatu masalah atau kasus. Sedangkan qiyas adalah menghubungkan
suatu kejadian yang tidak ada nash-nya kepada kejadian yang ada nash-
2
Abdur Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta:
Kencana, 2005), h.220.
3
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung,
Alma’arif, 1986), h.58-59.
4
nya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash.4 Qiyas ini merupakan
metode dalam pengambilan hukum yang didasarkan pada illat-illat
hukum yang terkandung di dalamnya.
b. Landasan Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia
Di Indonesia yang menjadi sumber hukum perlindungan konsumen
adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang selanjutnya disingkat UUPK. Undang-undang ini
diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dan dinyatakan berlaku efektif
pada tanggal 20 April 2000.5 UUPK bukanlah satu-satunya UU yang
mengatur tentang perlindungan konsumen, tetapi sebagaimana
disebutkan dalam penjelasan umumnya bahwa sebelum UUPK disahkan
sebagai undang-undang perlindungan konsumen telah ada 20 UU yang
materinya memuat perlindungan konsumen sehingga UUPK dijadikan
sebagai payung hukum bagi peraturan perundang-undangan lain yang
menyangkut konsumen, dan sekaligus mengintegrasikannya sehingga
dapat memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
UUPK bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen, tetapi terbuka kemungkinan
terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat
ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen.6
Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Hukum perlindungan konsumen adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur dan melindungi
konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan
produk konsumen antara penyedia dan penggunaannya, dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini terkait dengan Pasal 64 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang berbunyi: “segala ketentuan perundang-
undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada
4
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, h.66.
5
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung, Citra Aditia Bakti,
2010), h.48.
6
Penjelasan Umum UUPK.
5
saat undang-undang ini diundAngkan, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak di atur secara khusus dan/atau tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.7
Dengan diterapkan perlindungan konsumen di Indonesia, maka
kedudukan konsumen yang tadinya cenderung menjadi sasaran pelaku
usaha untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, misalnya dengan cara
memperdaya konsumen melalui kiat promosi, cara penjualan, serta
penerapan perjanjian dengan klausula baku yang akhirnya merugikan
pihak konsumen, kini menjadi subyek yang sejajar dengan pelaku usaha.8
C. Asas Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Islam
Melindungi kepentingan para pihak di dalam lalu lintas
perdagangan/berbisnis, hukum Islam telah menentapkan beberapa asas
yang dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan transaksi dalam
melakukan kegiatan bisnis, yaitu at tauhid, istiklaf, al-ihsan, al-amanah,
ash-shiddiq, al-adl, al-khiyar, at-ta’wun, keamanan, keselamatan, dan at-
taradhin.9
Asas tauhid (mengesakan Allah SWT) dari seluruh kegiatasn bisnis
di dalam hukum Islam ditempatkan pada asas tertinggi. Kemudian dari
asas ini lahir asas istiklaf, yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki
oleh manusia hakikatnya adalah titipan dari Allah SWT, manusia
hanyalah sebagai pemegang amanah yang diberikan kepadanya. Dari asas
tauhid juga lahir asas al-ihsan, yaitu melaksanakan perbuatan baik yang
dapat memberikan kemanfaatan kepada orang lain tanpa adanya
kewajiban tertentu yang mengharuskannya untuk melaksanakan
perbuatan tersebut.10 Dari ketiga asas tersebut melahirkan asas al-
amanah, ash shiddiq, al-adl, al-khiyar, at-ta’wun, keamanan,
7
Ahmad Miru S Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004)
h.293.
8
Endang Sari Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan
Konsumen, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 90.
9
Nurhalis, Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Islam dan UndangUndang Nomor 8
Tahun 1999, di akses melalui: http://smedia.neliti.commediapublications43513ID, diakases pada
taggal 18 sep 2019 pukul 13.51.
10
Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h.102.
6
keselamatan, dan at-taradhin. Menurut asas al-amanah setiap pelaku
usaha adalah pengemban amanah untuk masa depan dunia dengan segala
isinya (khalifah fi al-ardhi), oleh karena itu apapun yang dilakukannya
akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Ash-shiddiq
merupakan perilaku jujur, yang paling utama di dalam berbisnis adalah
kejujuran.
Al-adl adalah keadilan, keseimbangan, dan kesetaraan yang
menggambarkan dimensi horizontal dan berhubungan dengan
harmonisasi segala sesuatu di alam semesta ini. Al-khiyar adalah hak
untuk memilih dalam transaksi bisnis, hukum Islam menerapkan asas ini
untuk menjaga agar tidak perselisihan antara pelaku usaha dengan
konsumen. Ta’awun adalah tolong menolong, karena tidak ada satupun
manusia yang tidak membutuhkan bantuan dari orang lain. Untuk itu,
dalam hubungannya dengan transaksi antara konsumen dan pelaku usaha
asas ini harus diterapkan dan dijiwai oleh kedua belah pihak.
Asas keamanan dan keselamatan, dalam hukum Islam ada lima hal
yang wajib dijaga dan dipelihara (al-dharuriyyat al-khamsah), yaitu:
memelihara agama (hifdh al-din), memelihara jiwa (hifdh an-nafs),
memelihara akal (hifdh alaql), memelihara keturunan (hifdh nasl), dan
memelihara harta (hifdh al-maal)11
Tinjauan hukum Islam pada perlindungan atas konsumen
merupakan hal yang sangat penting. Islam melihat sebuah perlindungan
konsumen bukan sebagai hubungan keperdataan saja melainkan
menyangkut kepentingan publik secara luas, bahkan menyangkut
hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Dalam konsep hukum
Islam perlindungan atas tubuh berkait dengan hubungan vertical
(manusia dengan Allah) dan horizontal (sesama manusia). Islam sangat
memperhatikan kehati-hatian terhadap konsumsi suatu barang dan jasa,
11
Nurhalis, Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Islam dan UndangUndang Nomor 8
Tahun 1999, di akses melalui: http://smedia.neliti.commediapublications43513ID, diakases pada
taggal 18 sep 2019 pukul 13.51.
7
karena memperhatikan kepada aspek keselamatan konsumen dalam
mengonsumsi barang dan jasa.
Perlindungan konsumen harus sesuai dengan konsep
kemashlahatan, yaitu asas al-dharuriy yaitu faktor dasar yang harus ada
pada manusia agar terbentuknya kemashlahatan yang hakiki bagi
manusia. Asas ini berhubungan erat dengan pelaksanaan kaidah Islam,
yaitu:12
1. Ad-Dhien, yaitu memelihara kemashlatahan agama.
2. An-Nafs, yaitu asas pemeliharaan dan penjagaan jiwa.
3. An-Nasb, yaitu menjaga dan memelihara kehormatan dan
keturunan.
4. Al-Aql, yaitu menjaga dan memelihara kejernihan akal pikiran.
5. Al-Mal, yaitu menjaga dan memelihara harta benda.
12
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.73
8
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
duwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3) Asas keseimbangan dimaksud untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual.
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang di konsumsi atau digunakan.
5) Asas kepastian hukum dimaksud agar baik pelaku usaha maupun
konsumen manaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin
kepastian hukum.13
13
Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.216-217.
9
2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai kosumen;
4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.14
14
Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia.., h.216-
217.
15
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 34.
10
hubungan konsumen dan pelaku usaha dengan Allah SWT pemilik alam
semesta (hablum munallah). Sedangkan di dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen hanya mengatur hubungan antara konsumen dan
pelaku usaha sebagaimana yang telah rumuskan di dalam ketentuan Pasal 2
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
16
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001), h.25.
11
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen, dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/atau penggantian
jika barang dan/atau yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
dan tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diataur dalam ketentuan perundang-undangan lain
17
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen…,
h.29.
18
Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen…, h.47.
12
No. 8 Tahun 1999 Pasal 5. Adapun yang menjadi kewajiban konsumen
adalah:
19
Abdur Rasyid Saliman, Hukum Bisnis…, h. 222.
20
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 4.
13
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.21
Kewajiban pelaku usaha juga telah diatur dalam UUPK pada Pasal 7.
Kewajiban pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut:
21
Abdur Rasyid Saliman, Hukum Bisnis…, h. 223
14
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bawa hak dan kewajiban
pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti
hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.
Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang diterima
pelaku usaha.
22
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 331.
23
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah..,h.335.
15
perjanjian selain debitur sendiri yang tidak melaksanakannya, juga bisa
disebabkan oleh keadaan lain diluar dirinya seperti adanya keadaan memaksa
(keadaan darurat), atau perbuatan kreditor sendiri, atau perbuatan orang lain.
Dalam hal ini debitur harus membuktikan adanya sebab-sebab agar ia bebas
dari dhaman. Selama ia tidak bisa membuktikannya, ia di anggap tidak
melaksanakan kewajibannya sehingga ia memikul dhaman.
Oleh sebab itu, dalam Islam semua perbuatan yang berbahaya tidak
dibenarkan dan harus dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, bahwa
kerugian, bahaya materiil atau jiwa yang menimpa konsumen sebagai akibat
buruk yang disebabkan produk barang dan jasa pelaku usaha harus
ditanggung oleh pelaku usaha sesuai dengan prinsip ganti rugi (dhaman) yang
terdapat dalam Hukum Islam.
24
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah…,h.336
16
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksudkan pada Ayat (1) dapat berupa
pengembalian atau atau pengganti barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau
3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat
(2) tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan konsumen25
25
Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia..,h. 225.
26
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 34.
17
kerugian dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Apabila
ketentuan ini dipertahankan,, maka konsumen yang mengonsumsi barang di
hari yang kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapat pengganti
kerugian dari pelaku usaha walaupun secara nyata konsumen yang
bersangkutan telah menderita kerugian. Oleh karena itu, agar Undang-
Undang Perlindungan Konsumen ini dapat memberikan perlindungan yang
maksimal tanpa menmgabaikan kepentingan pelaku usaha, maka seharusnya
Pasal 19 Ayat (3) menentukan bahwa tenggang waktu pemberian ganti
kerugian kepada konsumen adalah 7 (tujuh) hari setelah terjadinya kerugian,
dan bukan 7 (tujuh) hari setelah transaksi seperti rumusan yang ada
sekarang.27 Posisi konsumen di Indonesia saat ini masih lemah. Dari aspek
hukum, lemahnya posisi konsumen terjadi tidak hanya dari aspek materi
(substansi) hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya
hukum.28
27
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 126-127.
28
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999),h. 85.
29
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Jakarta: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), h.1.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta
perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan
kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama
perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah
kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta
kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya
hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar
memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan
konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan
dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan
konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan
sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses
produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera
dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan
agar tercipta harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba
tanpa membahayakan konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum.
Ada langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk melindungi
hak-hak konsumen, yaitu:
1. Menetapkan undang-undang yang tegas dan jelas. Pemerintah
memang sudah memeiliki atau membuat beberapa undang-undang
yang membahas masalah yang sama sebelumnya. Namun hingga saat
ini undang-undang tersebut belum berjalan dengan efektif. Maka,
sebaiknya pemerintah kembali memperbaruhi atau merevisi
uundang-undag tersebut.
19
2. Menetapkan sanksi yang tegas atas pelanggaran terhadap UU.
Selama ini pun pemerintah sudah membuat sanksi atas pelanggaran
terhadap UU mengenai undang-undang terhadap perlindungan
konsumen namun hingga saat ini sanksi tersebut belum diterapkan
secara nyata dan tegas sehingga belum mampu menyebabkan efek
jera pada setiap pelanggar UU tersebut.
3. Mengawasi secara langsung dalam proses produksi sebuah produk
yang akan diproduksi dalam kemasan banyak dikonsumsi oleh
masyarakat secara umum. Oleh karena ituada baiknya selain
pemerintah pembuat UU,dan sanksi terhadap pelanggarnya,
pemerintah pun melakukan pengawasan secara langsung. Hal ini
akan diharapkan akan mengurangi kemungkinan sebuah perusahaan
melakukan kecurangan dalam produksi.
20
DAFTAR PUSTAKA
21