Anda di halaman 1dari 10

Diagnosis dan Tatalaksana Konjungtivitis Viral

Nafthalia Rila Charisma T


102016124
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jln. Arjuna Utara no.6, Jakarta Barat 11510
Nafthalia.2016fk124@civitas.ukrida.ac.id
Abstrak
Konjungtiva adalah membran mukosa tipis transparan yang melapisi bagian anterior bola mata dan bagian
dalam palpebral. Konjungtiva berfungsi sebagai salah satu komponen sistem perlindungan mata dari
peradangan dan infeksi. Peradangan konjungtiva disebut konjungtivitis dan infeksi virus merupakan
etiologi peradangan akut tersering pada konjungtiva. Virus yang menyebabkan konjungtivitis adalah
adenovirus, herpes simpleks, herpes zoster, pox virus, myxovirus, paramyxovirus, dan arbovirus.
Konjungtivitis sering terjadi bersama atau sesudah infeksi saluran napas dan umumnya terdapat riwayat
kontak dengan pasien konjungtivitis viral. Gejala konjungtivitis viral berupa mata merah, sekret mata berair
dan dapat disertai pembesaran kelenjar limfe. Gejala konjungtivitis viral biasanya ringan, dapat sembuh
sendiri dan tidak disertai penurunan tajam penglihatan sehingga dapat ditatalaksana di pelayanan kesehatan
primer. Meskipun demikian, terdapat kasus-kasus yang bersifat mengancam penglihatan sehingga perlu
segera dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis mata. Konjungtivitis viral sangat menular sehingga
pasien perlu mendapat edukasi untuk mengurangi kontak langsung dan tidak langsung agar tidak menjadi
sumber infeksi bagi lingkungannya. Konjungtivitis viral dapat sembuh sendiri, namun pemberian air mata
buatan, antihistamin topikal, atau kompres dingin berguna untuk meredakan gejala. Terapi antiviral tidak
diperlukan untuk konjungtivitis virus, kecuali untuk konjungtivitis herpetik. Kata kunci: epidemi,
konjungtivitis, virus.

Kata Kunci Keratitis viral, keratitis bakteri, trakoma, konjungtivitis alergi


Abstract
The conjunctiva is a transparent thin mucous membrane that coats the anterior part of the eyeball and the
inside of the palpebral. The conjunctiva functions as a component of the eye's protection system from
inflammation and infection. Conjunctival inflammation called conjunctivitis and viral infection is the
most common etiology of acute inflammation in the conjunctiva. The viruses that cause conjunctivitis are
adenovirus, herpes simplex, herpes zoster, pox virus, myxovirus, paramyxovirus, and arbovirus.
Conjunctivitis often occurs together or after airway infection and generally there is a history of contact
with viral conjunctivitis patients. Symptoms of viral conjunctivitis in the form of red eyes, runny eye
secretions and can be accompanied by enlarged lymph nodes. Symptoms of viral conjunctivitis are
usually mild, can heal on their own and are not accompanied by a sharp decrease in vision so that they
can be managed in primary health care. Nonetheless, there are cases that are threatening to the eyes, so
they need to be referred to a hospital or ophthalmologist immediately. Viral conjunctivitis is very
contagious so patients need to be educated to reduce direct and indirect contact so as not to become a
source of infection for their environment. Viral conjunctivitis can heal on its own, but administration of
artificial tears, topical antihistamines, or cold compresses is useful for relieving symptoms. Antiviral
therapy is not needed for viral conjunctivitis, except for herpetic conjunctivitis. Keywords: epidemic,
conjunctivitis, virus.

P a g e 1 | 10
Key Words Viral keratitis, bacterial keratitis, trachoma, allergic conjunctivitis

Pendahuluan
Mata merah merupakan keluhan penderita yang sering kita temui maupun kita dengar.
Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan
mata akut misalnya keratitis, iritis, glaucoma akut, dan konjungtivitis. Mata merah yang
disebabkan akibat adanya infeksi atau tanpa infeksi, tanpa adanya gangguan pada visus disebut
konjungtivitis.
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva yang disebabkan oleh
mikroorganisme, alergi, iritasi bahan bahan kimia. Insiden konjungtiva di Indonesia antara 2-75%.
Data lain menunjukkan bahwa dari 10 penyakit mata utama, konjungtivitis menduduki tempat
kedua setelah kelainan refraksi. Oleh karena itu pembuatan makalah ini bertujuan agar masyarakat
semakin mengetahui mengenai konjungtivitis dan bagaimana menanganinya dengan harapan
peradangan tersebut tidak meluas ke kornea.
Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan untuk mengarah diagnosis yang tepat, dimana pasien datang
dengan keluhan mata gatal dan buram sejak 3 hari yang lalu adalah, bagaimana frekuensi dari rasa
gatalnya, lokasi mata yang gatal, ada disertai demam atau tidak, ada riwayat batuk pilek atau tidak,
ada secret atau tidak, apakah ada bengkak, pekerjaan, apakah ada rasa mengganjal di mata, apakah
ada fotofobia, apakah ada alergi , apakah dilingkungan sekitar juga ada yang mengalami gejala
yang serupa.
Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
1. Tanda-tanda vital (Tekanan darah, denyut nadi, suhu dan frekuensi pernapasan) dalam
batas normal
2. Pemeriksaan visus OD 6/12 dan OS 6/10
3. Kelenjar getah bening membesar
4. Segmen anterior
 Palpebra edema ringan
 Tarsal : Reaksi folikuar
 Bulbi : Injeksi silier, kemosis, sekret mukopurulen
 Lensa : Jernih
5. Segmen posterior
 Refleks fundus (+)
 Tekanan bola mata : normotonus

P a g e 2 | 10
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja dari kasus ini adalah konjungtivitis virus.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding nya antara lain konjungtivitis bakteri dan konjungtivitis alergi
Konjungtivitis Bakteri
Konjungtivitis bakteri dapat disebabkan oleh bakteri diantaranya Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, H. influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Escherichia coli.
Dimana penyebab yang terserign disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Gejala dari
konjungtivitis bakteri adalah berupa kemerahan, rasa mengganjal, perih dan timbul secret baik
mukopurulen dan purulent, edema kelopak mata, dan kadang disertai keratitis dan blefaritis.
Penyakit ini dapat menular melalui kontak langsung yaitu bersalaman dengan penderita ataupun
melalui benda yang dipegang oleh penderita.10
Konjungtivitis bakteri akut berlangsung kurang dari 3 minggu, dan merupakan penyakit
mata yang paling sering ditemukan oleh dokter umum. Pengobatan dapat diberikan sebelum
dilakuakan pemeriksaan mikrobiologik dengan antibiotic tunggal (tetes mata ) seperti Neosporin,
basitrasin, gentamisin, kloramfenikol, tobramisin, eritromisin, sulfa. Jika dalam 3-5 hari tidak ada
perbaikan, maka lihat hasil mikrobiologik dan pengobatan disesuaikan. Untuk pemberian oral
dapat diberikan vitamin seperti vitamin A, E, B kompleks dan NSAID pada konjungtivitis sedang-
berat. Jika tidak ditemukan kuman dalam pemeriksaan mikrobiologik, maka berikan antibiotic
spektrum luas (tetes mata ) atau salep dalam 4-5 x/hari. Pemberian salep mata (sulfasetamid 10-
15% atau kloramfenikol).
Konjungtivitis Alergi
Suatu radang pada konjungtiva yang disebabkan karena reaksi alergi terhadap noninfeksi,
dapat berupa reaksi cepat (alergi biasa) dan reaksi lambat (obat, bakteri, zat toksik). Gejala utama
berupa tanda radang (merah, sakit, bengkak, dan panas), gatal, silau berulang dan menahun.
Karakteristik lainnya aalah terdapat papil besar pada konjungtiva, datangnya musiman, dan dapat
mengganggu penglihatan. Pada hasil lab didapatkan sel eusinofil, sel plasma, limfosit, an basofil.
Pengobatan utama sebagai modifikasi primer untuk semua jenis adalah dengan menghindari
antigen pencetus, serta diberikan astrigen, sodium kromolin, steroid topical dosis rendah yang
kemudian disusul dengan kompres air dingin untuk menghilangkan edema nya. pada kasus berat
dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik. Terdapat beberapa macam bentuk konjungtivitis
alergi, yaitu konjungtivitis vernal, flikten, atopi, alegi bakteri, alergi akut, alergi kronik, syndrome
stevens johnson, pemfigoi okuli, syndrome syogren.

Anatomi
Konjungtiva adalah membrane mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis/tarsal) dan permukaan anterior sklera
P a g e 3 | 10
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengna kulit pada tepi kelopak dan dengna
epitel kornea limbus. Tempat peralihan konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbi disebut
konjungtiva fomises/fornix. Secara histologis konjungtiva terdiri dari lapisan epitel konjungtiva
(2-5 lapis sel epitel bertingkat), sel epitel superficial yang mengandung sel goblet untuk
mensekresi mucus, dan stroma konjungtiva.

Etiologi
Penyebab tersering konjungtivitis akut adalah virus. Infeksi virus tertentu cenderung
mengenai konjungtiva misalnya pharyngoconjunctival fever sedangkan virus lainnya lebih sering
menginfeksi kornea misalnya virus herpes simpleks. Konjungtivitis virus meliputi konjungtivitis
adenovirus, konjungtivitis herpes simpleks, konjungtivitis herpes-zooster, konjungtivitis pox
virus, konjungtivitis miksovirus, konjungtivitis paramiksovirus, dan konjungtivitis arbovirus. 1,2
Epidemiologi
Kasus konjungtivitis 80% disebabkan oleh virus sedangkan konjungtivitis bakteri sangat
jarang dan biasanya salah diagnosis di awal pemeriksaan. Virus penyebab konjungtivitis yang
paling sering adalah Adenovirus terutama tipe 3 dan 7 terutama di tularkan melalui tangan yang
terkontaminasi virus dari sekret mata yang sakit.8 Laki-laki dan perempuan memiliki resiko yang
sama untuk terkena konjungtivitis. Konjungtivitis virus dapat menyerang segala usia tergantung
dari etiologi virusnya. Adenovirus biasanya menyerang orang dengan rentang usia 20-40 tahun
sedangkan virus Herpes simpleks dan varicella zoster virus primer lebih banyak menyerang anak-
anak dan bayi. Herpes zoster oftalmika dapat terjadi karena reaktivasi laten dari virus varicella
zoster dan dapat terjadi di segala usia. Picornavirus biasanya menyerang anak-anak dan remaja.3,4

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis
konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009). Mikroorganisme masuk ke
dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi dan invasi. Adhesi adalah penempelan molekul
mikoorganisme ke epitel mata yang dimediasi oleh protein permukaan mikroorganisme. Evasi
adalah upaya mikoorganisme untuk menembus pertahanan sistem imun.Pada infeksi virus, adhesi
sekaligus memfasilitasi proses invasi melalui interaksi molekul virus dengan sel hospes seperti
interaksi kapsul adenovirus dengan integrin sel hospes yang menyebabkan endositosis virus oleh
sel.5,6
Konjungtivitis Viral Akut
1. Demam faringokonjungtiva
Demam faringokonjungtiva merupakan konjungtivitis yang biasanya disebabkan oleh
adenovirus tipe 3,4 dan 7. Kelainan ini akan memberikan gejala berupa demam, faringitis,
sekret berair dan sedikit, folikel pada konjungtiva yang mengenai satu atau kedua mata,

P a g e 4 | 10
hiperemia konjungtiva, sekret serous, fotofobia, kelopak bengkak dengan pseudomembran.
Selain itu, dapat terjadi keratitis epitel superfisial dan atau subepitel dengan pembesaran
kelenjar limfe preaurikel. Masa inkubasi demam faringokonjungtivitis adalah 5-12 hari dan
di tularkan melalui droplet atau kolam renang terutama pada anak-anak.1-4 Terapi pada
demam faringokonjungtiva berupa terapi suportif dan simptomatik karena biasanya dapat
sembuh sendiri.5,6

2. Keratokonjungtivitis epidemi
Keratokonjungtivitis epidemi adalah infeksi viral akut yang biasanya disebabkan oleh
adenovirus tipe 8,19,29 dan 37 yang umumnya menyerang kedua mata. Masa inkubasi
keratokonjungtivitis epidemi adalah 8-9 hari dan masa infeksius 14 hari. Gejala yang
menyertai pada orang dewasa terbatas pada bagian luar mata seperti injeksi konjungtiva,
perdarahan subkonjungtiva, fotofobia, keratitis epitel dan kekeruhan subepitel yang bulat,
kelenjar preaurikular membesar, adanya pseudomembran, hiperemia konjungtiva, edema
palpebra dan kemosis. Sedangkan pada anak-anak gejala yang timbul lebih sistemik seperti
adanya demam, sakit tenggorok dan otitis media.5,6

3. Konjungtivitis herpetik
Konjungtivitis herpetik disebabkan oleh virus Herpes simpleks yang biasanya di mulai
dengan terbentuknya vesikel pada kelopak, konjungtiva dan periorbita. Konjungtivitis
herpetik dapat merupakan manifestasi primer herpes dan terdapat pada anak-anak yang
mendapat infeksi dari pembawa virus yang berlangsung 2-3 minggu. Gejala yang muncul
biasanya infeksi unilateral, iritasi, terdapat sekret mukosa, nyeri dan fotofobia ringan serta
dapat disertai keratitis herpes simpleks dengan vesikel pada kornea yang membentuk
gambaran dendrit. Vesikel-vesikel pada herpes terkadang muncul di palpebra dan tepi
palpebra disertai edema palpebra hebat dengan pembesaran kelenjar preaurikular disertai
nyeri tekan.1-4 Terapi pada neonatus diberikan Asiklovir sistemik sedangkan pada orang
dewasa biasanya diberikan antivirus topikal (Trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun).
Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan karena bisa memperburuk infeksi herpes
simpleks.5,6

4. Konjungtivitis varicela-zoster
Konjungtivitis varicela-zoster disebabkan oleh virus herpes zoster. Infeksi herpes zoster
terdapat usia lebih dari 50 tahun dan dapat memberikan infeksi pada ganglion Gaseri saraf
trigeminus. Bila terkena ganglion cabang oftalmik maka akan terlihat gejala herpes zoster
pada mata. Kelainan yang terjadi akibat herpes zoster tidak akan melampaui garis median
kepala. Herpes zoster dan varicela memberikan gambaran yang sama pada konjungtivitis
seperti hiperemia, vesikel dan pseudomembran pada konjungtiva, papil dengan perbesaran
kelanjar preaurikel.1,4 Terapi dilakukan dengan kompres dingin dan pemberian Asiklovir
400 mg/hari selama 5 hari. Apabila terdapat episkleritis, skleritis dan iritis dapat diberikan

P a g e 5 | 10
steroid deksametason 0.1% sedangkan pada kelainan permukaan dapat diberikan salep
Tetrasiklin.5

5. Konjungtivitis New Castle


Konjungtivitis New Castle disebabkan oleh virus New Castle yang biasanya menyerang
para peternak unggas yang terinfeksi virus New Castle dari unggasnya. Manifestasi
klinisnya sama dengan demam faringokonjungtiva yaitu demam ringan, sakit kepala, nyeri
sendi, sakit pada mata, mata gatal, mata berair, penglihatan kabur,fotofobia, edema
palpebra ringan, kemosis, sekret yang sedikit, folikel-folikel terutama di temukan pada
kongjungtiva tarsal superior dan inferior serta terdapat pembesaran kelenjar preaurikular
tanpa nyeri tekan.1,3,4 Konjungtivitis New Castle biasanya akan sembuh sendiri dalam
waktu 1 minggu dan terapi yang diberikan hanya bersifat suportif dan simptomatik.5,6

6. Konjungtivitis hemoragik epidemik


Konjungtivitis hemoragik epidemik merupakan konjungtivitis yang disertai perdarahan
konjungtiva. Etiologi konjungtivitis hemoragik epidemik adalah infeksi virus Picorna atau
Enterovirus 70 dengan masa inkubasi 24-48 jam. Gejala yang timbul berupa kedua mata
iritatif, sakit periorbita, edema kelopak, kemosis konjungtiva, sekret seromukous. Pada
keadaan akut biasanya ditemukan kongjungtiva folikular ringan, sakit periorbita, keratitis,
adenopati preaurikel serta perdarahan subkonjungtiva yang dimulai dengan ptekie.5,6

Gejala Klinis
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan etiologinya. Secara
umum gejala konjungtivitis virus adalah hiperemia, mata berair (epifora), eksudasi, hipertrofi
papilar, kemosis, folikel, membran atau pseudomembran, pseudoptosis (mata susah di buka bukan
karena saraf, melainkan adanya infiltrat pada otot Muller) dan limfadenopati preaurikular.1-3,6 Pada
keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus biasanya dijumpai demam dan
mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai
infiltrat subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari
2 bulan. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan
atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti sakit kepala dan demam. Pada konjungtivitis herpetic
yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai
injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes.
Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan coxsackie virus
memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, hipersekresi airmata, kemerahan,
edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis.

P a g e 6 | 10
Diagnosis
Gejala klinis konjungtivitis dapat menyerupai penyakit mata lain sehingga penting untuk
membedakan konjungtivitis dengan penyakit lain yang berpotensi mengganggu penglihatan.
Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan mata yang teliti untuk menentukan tata laksana gangguan
mata termasuk konjungtivitis. Infeksi virus biasanya menyerang satu mata lalu ke mata lain
beberapa hari kemudian disertai pembesaran kelenjar limfe dan edema palpebra. Tajam
penglihatan secara intermiten dapat terganggu karena sekret mata. Jenis sekret mata dan gejala
okular dapat memberi petunjuk penyebab konjungtivitis. Sekret mata berair merupakan ciri
konjungtivitis viral dan sekret mata kental berwarna kuning kehijauan biasanya disebabkan oleh
bakteri. Konjungtivitis viral jarang disertai fotofobia, sedangkan rasa gatal pada mata biasanya
berhubungan dengan konjungtivitis alergi. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis
konjungtivitis viral memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 94% untuk adenovirus. Tes tersebut
dapat mendeteksi virus penyebab konjungtivitis dan mencegah pemberian antibiotik yang tidak
diperlukan. Deteksi antigen dapat mencegah lebih dari satu juta kasus penyalahgunaan antibiotik
dan menghemat sampai 429 USD setiap tahunnya. Akurasi diagnosis konjungtivitis viral tanpa
pemeriksaan laboratorium kurang dari 50% dan banyak terjadi salah diagnosis sebagai
konjungtivitis bakteri. Meskipun demikian, pemeriksaan laboratorium sangat jarang dilakukan
karena deteksi antigen belum tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Sementara itu,
kultur dari sekret konjungtiva memerlukan waktu tiga hari sehingga menunda terapi.7 Pendekatan
algoritmik menggunakan riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan sederhana dengan penlight
dan loupe dapat untuk mengarahkan diagnosis dan memilih terapi. Konjungtivitis dan penyakit
mata lain dapat menyebabkan mata merah, sehingga diferensial diagnosis dan karakteristik tiap
penyakit penting untuk diketahui. Penamaan diagnosis konjungtivitis virus bervariasi, tetapi
umumnya menggambarkan gejala klinis khas lain yang menyertai konjungtivitis dan dari
gambaran klinis khas tersebut dapat diduga virus penyebabnya. pelayanan kesehatan primer.
Sementara itu, kultur dari sekret konjungtiva memerlukan waktu tiga hari sehingga menunda
terapi.

P a g e 7 | 10
Tatalaksana
Konjungtivitis virus biasanya akan sembuh dengan sendirinya, namun pemberian kompres
dingin, air mata artifisial atau antihistamin topikal bermanfaat untuk meredakan gejala. Terapi
antiviral tidak diperlukan kecuali untuk konjungtivitis herpetik yaitu asiklovir oral 400mg/hari
untuk virus herpes simpleks dan 800mg/hari untuk herpes zoster selama 7-10 hari. Pemberian
antibiotik topikal tidak dianjurkan karena tidak mencegah infeksi sekunder dan dapat
memperburuk gejala klinis akibat reaksi alergi dan reaksi toksik serta tertundanya kemungkinan
diagnosis penyakit mata lain. Cara pemakaian obat tetes mata perlu diperhatikan untuk mencegah
risiko penyebaran infeksi ke mata yang sehat. Selain itu, pemakaian antibiotik yang tidak perlu
berdampak terhadap peningkatan resistensi antibiotik juga perlu dipertimbangkan. Walaupun akan
sembuh sendiri, penatalaksanaan konjungtivitis virus dapat dibantu dengan pemberian air mata
buatan (tetes mata) dan kompres dingin. Antibiotik (ofloxacin dan levofloxacin) dapat
dipertimbangkan jika konjungtivitis tidak sembuh setelah 10 hari dan diduga terdapat superinfeksi
bakteri. Penggunaan deksametason 0,1% topikal membantu mengurangi peradangan konjungtiva.
Prognosis konjungtivitis virus adalah baik karena akan sembuh dengan sendirinya. Meskipun
demikian untuk mencegah penularan perlu diperhatikan kebersihan diri dan lingkungan. Bila
gejala belum reda dalam 7-10 hari dan terjadi komplikasi pada kornea sebaiknya pasien dirujuk ke
dokter spesialis mata.8
Prognosis
Dubia ad bonam
Komplikasi

P a g e 8 | 10
Komplikasi yang dapat terjadi adalah keratitis, keratokonjungtivitis, jaringan sikatrik dan
ulkus kornea superficial.9
Pencegahan
Konjungtivitis virus sangat menular dengan risiko transmisi sekitar 10%-50%. Virus
menyebar melalui jari tangan yang tercemar, peralatan medis, air kolam renang, atau barang-
barang pribadi. Masa inkubasi diperkirakan 5-12 hari dan menular hingga 10-14 hari. Pada 95%
kasus, aktivitas replikasi virus terlihat sepuluh hari setelah gejala timbul dan hanya 5% kasus yang
tampak pada hari ke-16 setelah gejala muncul. Berdasarkan tingginya angka penularan, maka perlu
dibiasakan cuci tangan, desinfeksi peralatan medis, dan isolasi Vol. 5, No. 1, April 2017
Konjungtivitis Viral 71 penderita. Pasien tidak boleh saling bertukar barang pribadi dengan orang
lain dan harus menghindari kontak langsung atau tidak langsung (seperti di kolam renang) selama
dua minggu. Cara pencegahan penularan yang paling efektif adalah meningkatkan daya tahan
tubuh, menghindari bersentuhan dengan sekret atau air mata pasien, mencuci tangan setelah
menyentuh mata pasien sebelum dan sesudah menggunakan obat tetes mata. Selain itu, hindari
penggunaan tetes mata dari botol yang telah digunakan pasien konjungtivitis virus, hindari
penggunaan alat mandi dan bantal kepala yang sama. Penggunaan kaca mata hitam bertujuan
mengurangi fotofobia, namun tidak bermanfaat mencegah penularan.1
Kesimpulan
Konjungtivitas viral merupakan inflamasi jaringan konjungtiva yang disebabkan karena
invasi virus dengan gejala hiperemia, mata berair (epifora), eksudasi, hipertrofi papilar, kemosis,
folikel, membran atau pseudomembran, pseudoptosis (mata susah di buka bukan karena saraf,
melainkan adanya infiltrat pada otot Muller) dan limfadenopati preauricular. Pengobatan
konjungtivitis viral bersifat self limiting disease.
Daftar Pustaka
1. Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis:a systemic review of diagnosis and treatment.
JAMA.2013;310(6):1721-9.
2. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia: American
Academy of Ophtalmology; 2014.
3. Eva PR, Witcher JP. Vaughan & Asbury oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta:
EGC;2007.h
4. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American handbook of
ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2011.
5. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi kelima. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2014.h.
6. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani PA. Buku ajar oftalmologi. Edisi pertama.
Jakarta: BP FKUI;2017.h.
7. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Edisi ke-4. New Delhi: New Age
International; 2007.

P a g e 9 | 10
8. Gilani CJ, Yang A, Yonkers M, Boysen-Osborn M. Differentiating urgent and emergent
causes of acute red eye for the emergency physician. West J Emerg Med. 2017; article in
press.
9. Lambert L. Diagnosing red eye: an allergy or an infection. S Afr Pharm J. 2017;84(1):24-
30.
10. Tarabishi AB, Jeng BH. Bacterial Conjunctivitis: A Review for Internists. Cleve Clin J Med. 2008;
75(7): 507-512.

P a g e 10 | 10

Anda mungkin juga menyukai