Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MODUL 5.

3
MANAGEMENT OF DENTAL DISEASE 2

FRAKTUR MAHKOTA DAN LESI PERIAPIKAL

Oleh:

INDAH SETIA NINGRUM


31101700042
SGD 6

FAKULTAS KEDOTERAN GIGI


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................... ii

BAB I ................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1

B. Skenario ........................................................................................................ 1

C. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1

BAB II................................................................................................................ 2

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 2

A. Landasan Teori........................................................................................ 2-11

B. Peta Konsep ................................................................................................ 12

BAB III ............................................................................................................ 13

KESIMPULAN ................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 14


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pulpa adalah jaringan lunak dari bagian gigi yang terdiri dari pembuluh-pembuluh
darah dan saraf. Pulpa gigi dalam rongga pulpa berasal dari jaringan mesenkhim dan
mempunyai berbagai fungsi : sebagai pembentuk, sebagai penahan, mengandung zat-zat
makanan, mengandung sel saraf/sensori. Nekrosis atau kematian pulpa memiliki
penyebab yang bervariasi, salah satunya disebabkan oleh trauma (Setyowati, 2009).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Larasi pada tahun 2014 penyakit pulpa
paling banyak adalah nekrosis pulpa dengan prevalensi sebesar 45%. Banyaknya
distribusi kasus necrosis pulp dapat dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran
masyarakat akan kesehatan gigi dan mulut. Pasien rata-rata baru akan berobat ke dokter
gigi apabila mengalami rasa sakit yang sangat atau danya rasa tidak nyaman seperti bau
yang dapat disebabkan gangren pulpa (Larasati, Kamizar and Usman, 2014). Kematian
pulpa dapat terjadi karena fraktur mahkota karena adanya aktivitas toksin
mikroorganisme yang masuk melewati tubuli dentin yang akhirnya menyebabkan pulpa
terinflamasi dan aliran neurovascular terputus dari apical (Haryuni and Fauziah, 2018).

B. Skenario
Seorang pasien laki-laki berusia 27 tahun mengeluhkan gigi depan atas patah setelah
jatuh dari motor 2 tahun yang lalu. Saat ini tidak ada keluhan sakit. Pemeriksaan intraoral
terlihat fraktur pada gigi 11 bagian mesioproksimal dengan kedalaman dentin, hasil CE -,
perkusi - , mobilitas -, palpasi -. Gigi 21 fraktur Ellis klas 3 hasil CE -, perkusi - ,
mobilitas -, palpasi -. Gambaran radiografi terlihat radiolusen pada apical gigi 11 dan 21
dengan gambaran batas jelas dan tegas.

C. Rumusan Masalah
1. Macam klasifikasi Ellis, serta diagnosis pada kasus
2. Pemeriksaan subyektif, obyektif, dan penunjang pada trauma/fraktur gigi
3. Interpretasi hasil pemeriksaan obyektif dan penunjang pada skenario
4. Pathogenesis efek trauma/fraktur gigi pada jaringan pulpa
5. Pathogenesis efek trauma/fraktur gigi pada keadaan jaringan periapikal
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LandasanTeori
1. Macam klasifikasi Ellis, serta diagnosis pada kasus
Ellis dan Davey (1970) menyusun klasifikasi fraktur pada gigi anterior menurut
banyaknya struktur gigi yang terlibat (Pagadala and Tadikonda, 2015), yaitu:
a. Kelas I : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan email.
Fraktur ini relative tidak berbahaya karena melibatkan bagian terluar dari
permukaan gigi. Hal ini biasanya tidak menimbulkan rasa sakit.
b. Kelas II : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan dentin
tetapi belum melibatkan pulpa. Fraktur ini menembus lapisan kedua gigi yang
cenderung sensitif terhadap suhu panas atau dingin.
c. Kelas III : Fraktur mahkota yang melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan
terbukanya pulpa.
d. Kelas IV : Fraktur pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi nonvital dengan
atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
e. Kelas V : Fraktur pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi.
f. Kelas VI : fraktur dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
g. Kelas VII : Fraktur pada gigi yang menyebabkan perubahan posisi atau
displacement gigi
h. Kelas VIII : Kerusakan gigi akibat trauma atau benturan pada gigi sulung.

Diagnosis yang didapat yaitu nekrosis pulpa disertai periapikal periodontitis


kronis et causa fraktur. Pulpa adalah jaringan lunak dengan berbagai komponen sel
dan matriks ekstraseluler dengan komponen terbesar adalah fibroblast. Proses
peradangan pada jaringan pulpa dibiarkan menyebabkan nekrosis. Nekrosis pulpa
adalah kematian pulpa dapat sebagian atau seluruh pulpa yang terlibat. Perubahan
warna yang ditandai secara klinis dan tidak adanya respons pulpa terhadap stimulasi
(Khoironi et al., 2017).

2. Pemeriksaan subyektif, obyektif, dan penunjang pada trauma/fraktur gigi


Pemeriksaan dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis merupakan
penentuan jenis penyakit berdasarkan tanda dan gejala menggunakan cara dan alat
seperti laboraturium, foto dan klinis. Ada 3 tahapan pemeriksaan (Hargreaves and
Berman, 2014), yaitu:
a. Pemeriksaan Subyektif
Pemeriksaan subyektif merupakan pemeriksaan berdasarkan pandangan
operator (dokter gigi) terhadap gejala klinis yang dialami dan dirasakan oleh
pasien yang dicatat dalam rekam medis pasien. Pemeriksaan suyektif meliputi
pengisian kartu status, identitas pasien (nama, jenis kelamin, tempat tanggal lahir,
ras, agama, dan pekerjaan), riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
terdahulu, riwayat kesehatan keluarga/ riwayat penyakit keluarga, riwayat sosial
ekonomi, melakukan anamnesis (the sacred seven). Anamnesis merupakan tanya
jawab mengenai kondisi pasien, ada/tidaknya penyakit yang menyertai pasien,
dan keluahan mengenai gejala sakit yang dirasakan pasien (Hargreaves and
Berman, 2014). Anamnesis berupa:
1. Lokasi (dimana letak keluhan, menyebar/ lokalisir?)
2. Onset dan Kronologis (kapan terjadi dan berapa lama, serta rasa sakit
ditimbulkan karena apa?)
3. Kuantitas Keluhan (seberapa sering terjadi keluhan, rasa nyeri yang
ditimbukan seperti nyeri sontan, tumpul, menusuk, rasa panas maupun
terbakar)
4. Kualitas Keluhan (skala/ derajat nyeri 1-10)
5. Faktor yang memperberat Keluhan (dingin, panas, pengunyahan)
6. Faktor yang memperingan keluhan (analgesic yang diminum?)
7. Kondisi sistemik yang menyertai (bengkak, demam, DM dll?)

b. Pemeriksaan Obyektif
Pemeriksaan obyektif merupakan pemeriksaan klinis dengan melakukan
tes klinis. Tes klinis terbagi menjadi 2 tahap (Hargreaves and Berman, 2014),
yaitu:
1. Tes Diagnosis
Sebelum melakukan tes diagnosis gigi dan rongga mulut harus dibersihkan
terlebih dahulu baru dilakukan tes diagnosis tersebut.
2. Visual
Tes visual merupakan tes diagnosis yang paling sederhana yang dilakukan
oleh operator (dokter gigi) dengn cara hanya melihat dengan mata dan
bantuan penerangan lampu yang maksimal untuk dapat melihat dengan jelas
dan dapat meninterpretasikan tentang gejala klinis penyakit yang dialami
pasien. Dalam tes visual ada hal-hal yang perlu diperhatikan seperti kelainan
ekstraoral dan intraoral.
a. Kelainan ekstraoral
- Asimetris muka
- Pembengkakan
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah pembengkakan sudah
menyebar/ terlokalisir, tegas/ fluktuasi, dan lokasi dari pembengkakan ada
dibagian mana dari gigi.
b. Kelainan intraoral
- Warna gigi yang tidak normal seperti hipoplasi enamel
- Pemeriksaan Lesi Jaringan Lunak
Pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat lesi/
ulserasi pada mukosa dan gingiva. Cara pemeriksaan menggunakan kaca
mulut untuk membuka/ menekan lidah dan pipi supaya semua jaringan
lunak rongga mulut terlihat jelas dan dilihat dalam keadaan kering untuk
mengecek warna dan tekstur normal dari mukosa. Bila terdapat lesi/
ulserasi perlu dilakukan dokumentasi dan biopsy.
- Gigi Fraktur
- Perkusi
Tes perkusi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan ketukan
ringan dengan jari atau ujung instrument yang bertujuan untuk
menentukan ada/ tidaknya kelainan pada jaringan periodontal gigi. Ada
2 cara pemeriksaan tes perkusi, yaitu:
a. Arah Vertical
Tes perkusi arah vertical merupakan tes yang dilakukan pada daerah
insisal/ oklusal gigi yang dimulai pada gigi tetangga yang sehat ke gigi
yang sakit untuk dibandingkan yang bertujuan menentukan adanya
kelainan pada periapikal.
b. Arah Horizontal
Tes perkusi arah horizontal merupakan tes yang dilakukan pada daerah
bukal/ lingual gigi yang dimulai dari gigi tetangganya yang sehat ke gigi
yang sakit untuk dibandingkan yang bertujuan menentukan kelainan
pada jaringan periodontal.
- Palpasi
Tes palpasi merupakan pemeriksaan yang dilakukan perabaan dengan
tekanan ringan untuk menentukan konsistensi jaringan. Cara
pemeriksaan dimulai dengan perabaan dengan tekanna ringan pada gusi/
mukosa sekitar apeks gigi dengan memperhatikan adanya fluktuasi pada
pembengkakan/ rasa sakit, adanya ggi yang goyang saat palpasi yang
bertujuan untuk mengetahui adanya kerusakan yang terjadi pada
periosteum. Tes palpasi ini tidak boleh dilakukan apabila diduga abses
akut.
- Tes Vitalitas
Tes vitalitas merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk mencari
tau gigi masih vital ataukah sudah nonvital. Ada 3 tahap yang dapat
dilakukan dalam pemeriksaan tes vitalitas, yaitu:
a. Rangsang Dingin
Rangsang dingin ini dapat dilakukan dengan menggunakan es, udara
dingin dan kapas+ chloretyl. Apa bila hasilnya positif (+) maka
menandakan bahwa gigi masih vital, begitupun sebaliknya jika
hasilnya negative (-) maka menandakan bahwa gigi sudah nonvital.
b. Rangsang Panas
Rangsang pans dapat dilakukan dengan menggunakan gutta perca.
c. Electronic Pulp Tester (EPT)
Tes yang diindikasikan untuk gigi yang dapat diisolasi/ dikeringkan.
Kontraindikasinya adalah untuk gigi yang sulit untuk diisolasi/
dikeringkan, gigi yang mengalami trauma, gigi yang teranestesi,
pasien yang gugup/ nervous dan rasa sakit yang kontinyu.
- Tes Mobilitas
Tes mobilitas merupakan tes yang bertujuan untuk menentukan derajat
kegoyangan gigi sehingga dapat dideteksi ada/ tidaknya kerusakan
tulang alveolar. Derajat kegoyangan gigi di klasifikasikan menjadi 3
menurut Grossman, sebagai berikut:
a. Derajat I: Pasien merasa adanya gigi yang goyang sedangkan operator
tidak melihat adanya gigi yang goyang.
b. Derajat II: Pasien dan operator melihat adanya kegoyangan gigi ± 1
mm dari soket gigi.
c. Derajat III: Kegoyangan gigi sudah lebih dari 1 mm dan dapat
digerakkan ke arah vertical.
Tes untuk keadaan sulit
- Trasiluminasi
Transiluminasi merupakan tes yang bertujuan untuk mengetahu ada/
tidaknya garis fraktur. Cara pemeriksaaannya dengan menggunakan
sinar fiberoptic sebagai sumber cahaya yang akan menembus struktur
jaringan gigi, bila jaringan sehat maka akan tampak warna jernih
kemerahan, jaringan patologik maka akan tampak warna keruh
kegelapan, sedangkan apabila gigi fraktur cahaya tidak bias menembus/
melewati garis fraktur gigi.
- Tes Anestesi
Tes anestesi merupakan tes yang bertujuan untuk mendapatkan
kepastian terakhir bila sumber sakit belum ditemukan dengan tes yang
lain. Cara pemeriksaan tes anestesi adalah dengan melakun anestesi
infiltrasi untuk gigi maxilla anterior dan anestesi blok untuk gigi
mandibular. Apabila gigi yang dilakukan anestesi itu berhenti rasa
sakitnya maka gigi itu yang merupakan sumber rasa sakit. Tes anestesi
ini biasanya dilakukan pada kasus pulpitis irreversible akut.
- Tes Gigit/ Bite Test
Bite test merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk menentukan
gigi yang mengalami retak. Cara melakukan pemerikaan ini adalah
pasien diinstruksikan untuk menggigit forceps yang dililit kapas/
aplikator stick, apabila timbul rasa sakit maka gigi itulah yang
mengalami retak/ fraktur vertical.
- Tes Pewarnaan/ Staining test
Tes pewarnaan merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
mengisolasi gigi yang fraktur ada 3 cara:
a. Larutan 2% iodine akan mewarnai garis fraktur menjadi gelap
b. Campuran zinx okside dan eugenol akan memperlihatkan gais fraktur
c. Pemberian discosing tablet akan memperlihatkan garis fraktur.
- Gutta perca point tracing dengan radiograf
Pemeriksaan yang bertujuan untuk mendiagnosis banding antara lesi
periodontal dan endodontic dengan cara meletakkan gutta point ke
dalam fistula dan pengambilan foto rontgen, apabila dari foto rontgen
memperlihatan kea rah apeks gigi yang dicurigai penyebab fistula maka
menandakan adanya ada kerusakan periapikal.

c. Pemeriksaan Penunjang/ Radiograf


Pemeriksaan radiografi wajib dilakukan untuk kasus endodontic. Gambar
yang didapat dari rontgen ada 2 (Hargreaves and Berman, 2014), yaitu;
1. Radiolusen menandakan bahwa jaringan lunak dan substansi lain dapat dilalui
sinar X.
2. Radiopak menandakan jaringan keras dan substansi lain tidak dapat dilalui
sinar X.

3. Interpretasi hasil pemeriksaan obyektif dan penunjang pada scenario


Interpretasi pemeriksaan obyektif menunjukkan bahwa gigi 11 mengalami fraktur
mesioproksimal dengan kedalaman dentin dan gigi 21 mengalami fraktur kelas III
Ellis. Hasil pemeriksaan obyektif pada gigi 11 dan 21 menunjukkan hasil yang sama,
dari hasil tes vitalitas menggunakan Chlor Etil (CE) didapatkan hasil negatif yng
berarti gigi tersebut sudah tidak vital. Pada pemeriksaan palpasi didapatkan hasil
negatif yang berarti tidak ada indurasi, pembengkakan dari mukosa maupun jaringan
sekitar. Pada pemeriksaan mobilitias didapatkan hasil negatif yang berarti tidak ada
kegoyahan gigi. Pada pemeriksaan perkusi didapatkan negatif yang berarti tidak ada
kelainan pada jaringan penyangga/periodontal.
Interpretasi radiografi dapat dilakukan dengan melihat terlebih dahulu kualitas
gambar yang diambil seperti kontras (Hargreaves and Berman, 2014). Dilihat dari
kualitas gambar yaitu diagnostically acceptable. Pada gambaran radiografi terlihat
radiolusen yang meluas pada bagian apical gigi 11 dan 21 dengan batas jelas dan
tegas. Radiodiagnosisnya yaitu gigi 11 mengalami apikal periodontitis kronis et
causa fraktur gigi kelas II klasifikasi Ellis dan gigi 21 mengalami nekrosis pulpa
disertai apikal periodontitis kronis et causa fraktur gigi kelas III klasifikasi Ellis.

4. Pathogenesis efek trauma/fraktur gigi pada jaringan pulpa


Pulpa dapat terbuka oleh karena proses karies atau trauma (Dewiyani, 2014).
Fraktur mahkota yang melibatkan pulpa jika tidak diberikan perawatan akan
menyebabkan nekrosis pulpa Setelah kehilangan email dan atau sementum, tubulus
dentin akan terpapar bakteri di rongga mulut (Hargreaves and Berman, 2014).
Kolonisasi mikroba adalah pembentukan mikroba dalam inang jika terdapat kondisi
biokimia dan fisik yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Flora mulut yang normal
adalah hasil dari kolonisasi mikroba permanen dalam hubungan simbiotik dengan
host. Meskipun mikroba di dalam flora oral normal banyak memiliki bermanfaat,
namun flora normal ini dapat bersifat patogen oportunistik jika mereka mengakses ke
area tubuh yang biasanya steril seperti pulpa gigi atau jaringan periradicular dan
menghasilkan penyakit (Ingle and Bakland, 2002).
Masuknya mikroorganisme karena terbukanya tubulus dentin akan berkembang
biak dan menyerang banyak tubulus yang terbuka sehingga menyebabkan
kontaminasi tubulus dentin (Hargreaves and Berman, 2014). Mikroorganisme atau
hasil metabolismenya yang masuk ke dalam ruang pulpa melalui dentin yang terbuka
akan menyebabkan pulpa langsung menjadi pajanan sehingga bakteri dapat masuk
sebagai akibat dari cedera traumatis atau kerusakan gigi dan menyebabkan
kontaminasi jaringan pulpa (Dewiyani, 2014). Jaringan pulpa yang kaya akan
pembuluh darah, syaraf dan sel odontoblast memiliki kemampuan untuk melakukan
defensive reaction yaitu kemampuan untuk melakukan pemulihan jika terjadi
peradangan. Akan tetapi apabila peradangan terus berlanjut atau terjadi inflamasi
kronis pada jaringan pulpa maka pulpa dapat mengalami kematian atau yang disebut
dengan nekrosis pulpa (Setyowati, 2009).
Kerusakan jaringan pulpa tergantung pada virulensi bakteri, resistensi host,
jumlah sirkulasi, dan tingkat drainase. Pulpa mungkin mengalami peradangan untuk
waktu yang lama atau dapat menjadi nekrotik. Setelah nekrosis pulpa, maka saluran
akar akan terinfeksi dengan berbagai spesies bakteri, yang dapat berdifusi ke dalam
ligament periodontal melalui foramen apikal atau kanal lateral. Bakteri dalam saluran
akar biasanya menghasilkan pengembangan lesi periradikular dan terkadang lateral
(Hargreaves and Berman, 2014).
Peningkatan invasi bakteri dapat dipicu oleh beberapa faktor yaitu kedekatan
fraktur dengan pulpa dimana bakteri akan mudah masuk melalui celah yang
diakibatkan oleh fraktur tersebut sehingga menyebabkan peradangan, selain itu, luas
permukaan dentin yang terpapar. Semakin luas dentin yang terpapar maka akan
semakin banyak jalan masuk bakteri ke jaringan pulpa melalui tubulus dentin seingga
memicu kolonisasi bakteri yang meningkat. usia pasien juga berpengaruh pada
peningkatan invasi bakteri karena semakin meningkat usia pasien (menua) maka akan
semakin besar diameter tubulus dentin yang terbuka. Kemudian lamanya waktu
antara trauma dengan perawatan, setelah 48 jam, peluang kontaminasi bakteri pada
pulpa meningkat, dengan zona peradangan berkembang secara apikal seiring
berjalannya waktu (Ingle and Bakland, 2002).

5. Pathogenesis efek trauma/fraktur gigi pada keadaan jaringan periapikal


Pulpa nekrotik yang steril dapat bertahan dalam keadaan itu selama bertahun-
tahun, dan tidak dapat menyebabkan terjadinya periodontitis apical. Namun dapat
menyediakan lingkungan yang baik untuk kolonisasi mikroba, suatu peristiwa yang
akan memicu perkembangan peradangan periapikal. Pada gigi yang tampaknya utuh
tanpa fraktur yang jelas, kemungkinan mikroorganisme menyerang pulpa nekrotik
mungkin tampak jauh. Tetapi tanpa aliran konstan cairan dentinal, tubulus dentik
lemah sehingga mikroba dapat masuk melalui dentin yang terpapar (Hargreaves and
Berman, 2014).
Patologi endodontik yaitu karena penyakit bakteri. Periapex gigi terlibat ketika
bakteri menginvasi pulpa, membuatnya sebagian menjadi nekrotik sepenuhnya.
jaringan pulpa nekrotik yang tidak terinfeksi tidak menyebabkan lesi periapikal atau
reaksi inflamasi. Namun, jika jaringan pulpa kemudian terinfeksi, lesi periapikal dan
radang pada jaringan apikal terjadi. Dengan demikian maka penyakit periapikal
adalah akibat dari bakteri, produk mereka, dan respons inang terhadapnya
(Hargreaves and Berman, 2014).

Respon Host
a. Peradangan
Proses penyakit dasar pada pulpa dan penyakit periapikal adalah infeksi. Host
merespons infeksi dengan peradangan. Ada banyak definisi peradangan, tetapi
tidak ada yang tepat. Menkin mendefinisikan peradangan sebagai reaksi jaringan
vaskular, limfatik, dan lokal yang kompleks dari organisme yang lebih tinggi
terhadap iritan. Karena peradangan adalah respons inang terhadap suatu infeksi,
istilah peradangan dan infeksi tidak dapat dipertukarkan.
b. Perubahan Vaskular
Perubahan vaskular awal pada peradangan adalah kontraksi transien dari
mikrosirkulasi yang diikuti segera oleh dilatasi. Saat pembuluh darah melebar,
Aliran darah melambat. Sel darah merah bergerak ke tengah pembuluh darah
(pembentukan rouleaux) dan sel darah putih bergerak ke perifer kemudian
menempel pada dinding endotel. Pembuluh darah di venula postcapillary menjadi
bocor karena kontraksi sel endotel di bawah pengaruh histamin, yang
memungkinkan plasma untuk melarikan diri ke dalam ruang jaringan. Karena
kebocoran ini, hasil edema, menyebabkan adanya peningkatan tekanan jaringan.
Respons vaskular transien langsung kemungkinan besar dimediasi oleh histamin,
sedangkan respons vaskuler yang tertunda dimediasi oleh vasoaktifamin lain
seperti bradikinin. Selain itu, protein plasma lainnya seperti fibrinogen masuk ke
dalam (jaringan dan berkontribusi terhadap respon inflamasi. Fibrinogen
dikonversi menjadi fibrin ketika ia menghubungi kolagen jaringan dan
membentuk meshwork untuk mengisolasi reaksi. Sel-sel darah putih yang
sekarang melapisi dinding endotel pembuluh menekan melalui celah endotel dan
masuk ke dalam dengan gerakan ameboid yang disebut diapedesis.
c. Peradangan Akut
Pada peradangan akut, PMN adalah sel pertama yang beremigrasi ke tempat
infeksi. ditarik ke tempat yang terinfeksi oleh agen kemotaksis yang
diekspresikan baik oleh bakteri itu sendiri atau oleh mediator peradangan lainnya.
Monosit areneil tertarik ke lokasi. Ketika sel-sel ini memasuki jaringan mereka
disebut makrofag atau histiosit jaringan. Neutrofil bertahan selama berjam-jam,
sedangkan makrofag bertahan selama berhari-hari hingga berbulan-bulan.
Neutrofil dikarakterisasi oleh nucleus lobulatednya, sedangkan makrofag
memiliki nukleus tunggal yang besar. butiran sitoplasma pasif yang mengandung
enzim lisosom.

Peradangan periapikal dapat dimulai sebelum pulpa benar-benar nekrotik. Produk


bakteri, mediator peradangan, dan memburuknya jaringan pulpa melewati apeks dan
membangkitkan respons inflamasi kronis dari pembuluh di ligamentum periodontal.
Ini menjelaskan mengapa terdapat gambaran radiolusen periapikal sementara
beberapa jaringan vital tetap berada di kanal apical. Respons inflamasi periapikal
merupakan perpanjangan dari respons inflamasi pulpa (Hargreaves and Berman,
2014).
B. Penta Konsep
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Dewiyani, S. (2014) ‘Perawatan Endodontik pada Kasus Periodontitis Apikalis Kronis’, Jurnal
PDGI, 63(3), pp. 99–103.
Hargreaves, K. M. and Berman, L. H. (2014) Cohen’s Pathways of the Pulp. 8th edn, Elsevier.
8th edn. California.
Haryuni, R. F. and Fauziah, E. (2018) ‘Penatalaksanaan Fraktur Ellis Kelas II gigi 11 , 21 pada
Anak Usia 9 Tahun’, Journal of Indonesian Dental Association, 1(1), pp. 10–16.
Ingle, J. I. and Bakland, L. K. (2002) Endodontics. 4th edition, BC Decker. Edited by 5. Canada.
Khoironi, E. et al. (2017) ‘Determination of Pulp Necrosis Based on Periapical Digital
Radiography Histogram and Pulp Histopathology’, Padjadjaran Journal of Dentistry, 29(3), pp.
183–189.
Larasati, N., Kamizar and Usman, M. (2014) ‘Distribusi Penyakit Pulpa berdasarkan Etiologi
dan Klasifikasi di RSKGM ’, Fkg Ui.
Pagadala, S. and Tadikonda, D. C. (2015) ‘An Overview of Classification of Dental Ttrauma’,
International Archives of integrated medicine, 2(9), pp. 157–164.
Yuliana Pujo Setyowati (2009) ‘Prevalensi Nekrosis Pulpa pada Pasien dengan Riwayat
Diabetes Mellitus di Poliklinik Gigi dan Mulut Rsud Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2009’, 2(5),
p. 255.

Anda mungkin juga menyukai