3
MANAGEMENT OF DENTAL DISEASE 2
Oleh:
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I ................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
B. Skenario ........................................................................................................ 1
BAB II................................................................................................................ 2
KESIMPULAN ................................................................................................ 13
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pulpa adalah jaringan lunak dari bagian gigi yang terdiri dari pembuluh-pembuluh
darah dan saraf. Pulpa gigi dalam rongga pulpa berasal dari jaringan mesenkhim dan
mempunyai berbagai fungsi : sebagai pembentuk, sebagai penahan, mengandung zat-zat
makanan, mengandung sel saraf/sensori. Nekrosis atau kematian pulpa memiliki
penyebab yang bervariasi, salah satunya disebabkan oleh trauma (Setyowati, 2009).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Larasi pada tahun 2014 penyakit pulpa
paling banyak adalah nekrosis pulpa dengan prevalensi sebesar 45%. Banyaknya
distribusi kasus necrosis pulp dapat dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran
masyarakat akan kesehatan gigi dan mulut. Pasien rata-rata baru akan berobat ke dokter
gigi apabila mengalami rasa sakit yang sangat atau danya rasa tidak nyaman seperti bau
yang dapat disebabkan gangren pulpa (Larasati, Kamizar and Usman, 2014). Kematian
pulpa dapat terjadi karena fraktur mahkota karena adanya aktivitas toksin
mikroorganisme yang masuk melewati tubuli dentin yang akhirnya menyebabkan pulpa
terinflamasi dan aliran neurovascular terputus dari apical (Haryuni and Fauziah, 2018).
B. Skenario
Seorang pasien laki-laki berusia 27 tahun mengeluhkan gigi depan atas patah setelah
jatuh dari motor 2 tahun yang lalu. Saat ini tidak ada keluhan sakit. Pemeriksaan intraoral
terlihat fraktur pada gigi 11 bagian mesioproksimal dengan kedalaman dentin, hasil CE -,
perkusi - , mobilitas -, palpasi -. Gigi 21 fraktur Ellis klas 3 hasil CE -, perkusi - ,
mobilitas -, palpasi -. Gambaran radiografi terlihat radiolusen pada apical gigi 11 dan 21
dengan gambaran batas jelas dan tegas.
C. Rumusan Masalah
1. Macam klasifikasi Ellis, serta diagnosis pada kasus
2. Pemeriksaan subyektif, obyektif, dan penunjang pada trauma/fraktur gigi
3. Interpretasi hasil pemeriksaan obyektif dan penunjang pada skenario
4. Pathogenesis efek trauma/fraktur gigi pada jaringan pulpa
5. Pathogenesis efek trauma/fraktur gigi pada keadaan jaringan periapikal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LandasanTeori
1. Macam klasifikasi Ellis, serta diagnosis pada kasus
Ellis dan Davey (1970) menyusun klasifikasi fraktur pada gigi anterior menurut
banyaknya struktur gigi yang terlibat (Pagadala and Tadikonda, 2015), yaitu:
a. Kelas I : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan email.
Fraktur ini relative tidak berbahaya karena melibatkan bagian terluar dari
permukaan gigi. Hal ini biasanya tidak menimbulkan rasa sakit.
b. Kelas II : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan dentin
tetapi belum melibatkan pulpa. Fraktur ini menembus lapisan kedua gigi yang
cenderung sensitif terhadap suhu panas atau dingin.
c. Kelas III : Fraktur mahkota yang melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan
terbukanya pulpa.
d. Kelas IV : Fraktur pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi nonvital dengan
atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
e. Kelas V : Fraktur pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi.
f. Kelas VI : fraktur dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
g. Kelas VII : Fraktur pada gigi yang menyebabkan perubahan posisi atau
displacement gigi
h. Kelas VIII : Kerusakan gigi akibat trauma atau benturan pada gigi sulung.
b. Pemeriksaan Obyektif
Pemeriksaan obyektif merupakan pemeriksaan klinis dengan melakukan
tes klinis. Tes klinis terbagi menjadi 2 tahap (Hargreaves and Berman, 2014),
yaitu:
1. Tes Diagnosis
Sebelum melakukan tes diagnosis gigi dan rongga mulut harus dibersihkan
terlebih dahulu baru dilakukan tes diagnosis tersebut.
2. Visual
Tes visual merupakan tes diagnosis yang paling sederhana yang dilakukan
oleh operator (dokter gigi) dengn cara hanya melihat dengan mata dan
bantuan penerangan lampu yang maksimal untuk dapat melihat dengan jelas
dan dapat meninterpretasikan tentang gejala klinis penyakit yang dialami
pasien. Dalam tes visual ada hal-hal yang perlu diperhatikan seperti kelainan
ekstraoral dan intraoral.
a. Kelainan ekstraoral
- Asimetris muka
- Pembengkakan
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah pembengkakan sudah
menyebar/ terlokalisir, tegas/ fluktuasi, dan lokasi dari pembengkakan ada
dibagian mana dari gigi.
b. Kelainan intraoral
- Warna gigi yang tidak normal seperti hipoplasi enamel
- Pemeriksaan Lesi Jaringan Lunak
Pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat lesi/
ulserasi pada mukosa dan gingiva. Cara pemeriksaan menggunakan kaca
mulut untuk membuka/ menekan lidah dan pipi supaya semua jaringan
lunak rongga mulut terlihat jelas dan dilihat dalam keadaan kering untuk
mengecek warna dan tekstur normal dari mukosa. Bila terdapat lesi/
ulserasi perlu dilakukan dokumentasi dan biopsy.
- Gigi Fraktur
- Perkusi
Tes perkusi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan ketukan
ringan dengan jari atau ujung instrument yang bertujuan untuk
menentukan ada/ tidaknya kelainan pada jaringan periodontal gigi. Ada
2 cara pemeriksaan tes perkusi, yaitu:
a. Arah Vertical
Tes perkusi arah vertical merupakan tes yang dilakukan pada daerah
insisal/ oklusal gigi yang dimulai pada gigi tetangga yang sehat ke gigi
yang sakit untuk dibandingkan yang bertujuan menentukan adanya
kelainan pada periapikal.
b. Arah Horizontal
Tes perkusi arah horizontal merupakan tes yang dilakukan pada daerah
bukal/ lingual gigi yang dimulai dari gigi tetangganya yang sehat ke gigi
yang sakit untuk dibandingkan yang bertujuan menentukan kelainan
pada jaringan periodontal.
- Palpasi
Tes palpasi merupakan pemeriksaan yang dilakukan perabaan dengan
tekanan ringan untuk menentukan konsistensi jaringan. Cara
pemeriksaan dimulai dengan perabaan dengan tekanna ringan pada gusi/
mukosa sekitar apeks gigi dengan memperhatikan adanya fluktuasi pada
pembengkakan/ rasa sakit, adanya ggi yang goyang saat palpasi yang
bertujuan untuk mengetahui adanya kerusakan yang terjadi pada
periosteum. Tes palpasi ini tidak boleh dilakukan apabila diduga abses
akut.
- Tes Vitalitas
Tes vitalitas merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk mencari
tau gigi masih vital ataukah sudah nonvital. Ada 3 tahap yang dapat
dilakukan dalam pemeriksaan tes vitalitas, yaitu:
a. Rangsang Dingin
Rangsang dingin ini dapat dilakukan dengan menggunakan es, udara
dingin dan kapas+ chloretyl. Apa bila hasilnya positif (+) maka
menandakan bahwa gigi masih vital, begitupun sebaliknya jika
hasilnya negative (-) maka menandakan bahwa gigi sudah nonvital.
b. Rangsang Panas
Rangsang pans dapat dilakukan dengan menggunakan gutta perca.
c. Electronic Pulp Tester (EPT)
Tes yang diindikasikan untuk gigi yang dapat diisolasi/ dikeringkan.
Kontraindikasinya adalah untuk gigi yang sulit untuk diisolasi/
dikeringkan, gigi yang mengalami trauma, gigi yang teranestesi,
pasien yang gugup/ nervous dan rasa sakit yang kontinyu.
- Tes Mobilitas
Tes mobilitas merupakan tes yang bertujuan untuk menentukan derajat
kegoyangan gigi sehingga dapat dideteksi ada/ tidaknya kerusakan
tulang alveolar. Derajat kegoyangan gigi di klasifikasikan menjadi 3
menurut Grossman, sebagai berikut:
a. Derajat I: Pasien merasa adanya gigi yang goyang sedangkan operator
tidak melihat adanya gigi yang goyang.
b. Derajat II: Pasien dan operator melihat adanya kegoyangan gigi ± 1
mm dari soket gigi.
c. Derajat III: Kegoyangan gigi sudah lebih dari 1 mm dan dapat
digerakkan ke arah vertical.
Tes untuk keadaan sulit
- Trasiluminasi
Transiluminasi merupakan tes yang bertujuan untuk mengetahu ada/
tidaknya garis fraktur. Cara pemeriksaaannya dengan menggunakan
sinar fiberoptic sebagai sumber cahaya yang akan menembus struktur
jaringan gigi, bila jaringan sehat maka akan tampak warna jernih
kemerahan, jaringan patologik maka akan tampak warna keruh
kegelapan, sedangkan apabila gigi fraktur cahaya tidak bias menembus/
melewati garis fraktur gigi.
- Tes Anestesi
Tes anestesi merupakan tes yang bertujuan untuk mendapatkan
kepastian terakhir bila sumber sakit belum ditemukan dengan tes yang
lain. Cara pemeriksaan tes anestesi adalah dengan melakun anestesi
infiltrasi untuk gigi maxilla anterior dan anestesi blok untuk gigi
mandibular. Apabila gigi yang dilakukan anestesi itu berhenti rasa
sakitnya maka gigi itu yang merupakan sumber rasa sakit. Tes anestesi
ini biasanya dilakukan pada kasus pulpitis irreversible akut.
- Tes Gigit/ Bite Test
Bite test merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk menentukan
gigi yang mengalami retak. Cara melakukan pemerikaan ini adalah
pasien diinstruksikan untuk menggigit forceps yang dililit kapas/
aplikator stick, apabila timbul rasa sakit maka gigi itulah yang
mengalami retak/ fraktur vertical.
- Tes Pewarnaan/ Staining test
Tes pewarnaan merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
mengisolasi gigi yang fraktur ada 3 cara:
a. Larutan 2% iodine akan mewarnai garis fraktur menjadi gelap
b. Campuran zinx okside dan eugenol akan memperlihatkan gais fraktur
c. Pemberian discosing tablet akan memperlihatkan garis fraktur.
- Gutta perca point tracing dengan radiograf
Pemeriksaan yang bertujuan untuk mendiagnosis banding antara lesi
periodontal dan endodontic dengan cara meletakkan gutta point ke
dalam fistula dan pengambilan foto rontgen, apabila dari foto rontgen
memperlihatan kea rah apeks gigi yang dicurigai penyebab fistula maka
menandakan adanya ada kerusakan periapikal.
Respon Host
a. Peradangan
Proses penyakit dasar pada pulpa dan penyakit periapikal adalah infeksi. Host
merespons infeksi dengan peradangan. Ada banyak definisi peradangan, tetapi
tidak ada yang tepat. Menkin mendefinisikan peradangan sebagai reaksi jaringan
vaskular, limfatik, dan lokal yang kompleks dari organisme yang lebih tinggi
terhadap iritan. Karena peradangan adalah respons inang terhadap suatu infeksi,
istilah peradangan dan infeksi tidak dapat dipertukarkan.
b. Perubahan Vaskular
Perubahan vaskular awal pada peradangan adalah kontraksi transien dari
mikrosirkulasi yang diikuti segera oleh dilatasi. Saat pembuluh darah melebar,
Aliran darah melambat. Sel darah merah bergerak ke tengah pembuluh darah
(pembentukan rouleaux) dan sel darah putih bergerak ke perifer kemudian
menempel pada dinding endotel. Pembuluh darah di venula postcapillary menjadi
bocor karena kontraksi sel endotel di bawah pengaruh histamin, yang
memungkinkan plasma untuk melarikan diri ke dalam ruang jaringan. Karena
kebocoran ini, hasil edema, menyebabkan adanya peningkatan tekanan jaringan.
Respons vaskular transien langsung kemungkinan besar dimediasi oleh histamin,
sedangkan respons vaskuler yang tertunda dimediasi oleh vasoaktifamin lain
seperti bradikinin. Selain itu, protein plasma lainnya seperti fibrinogen masuk ke
dalam (jaringan dan berkontribusi terhadap respon inflamasi. Fibrinogen
dikonversi menjadi fibrin ketika ia menghubungi kolagen jaringan dan
membentuk meshwork untuk mengisolasi reaksi. Sel-sel darah putih yang
sekarang melapisi dinding endotel pembuluh menekan melalui celah endotel dan
masuk ke dalam dengan gerakan ameboid yang disebut diapedesis.
c. Peradangan Akut
Pada peradangan akut, PMN adalah sel pertama yang beremigrasi ke tempat
infeksi. ditarik ke tempat yang terinfeksi oleh agen kemotaksis yang
diekspresikan baik oleh bakteri itu sendiri atau oleh mediator peradangan lainnya.
Monosit areneil tertarik ke lokasi. Ketika sel-sel ini memasuki jaringan mereka
disebut makrofag atau histiosit jaringan. Neutrofil bertahan selama berjam-jam,
sedangkan makrofag bertahan selama berhari-hari hingga berbulan-bulan.
Neutrofil dikarakterisasi oleh nucleus lobulatednya, sedangkan makrofag
memiliki nukleus tunggal yang besar. butiran sitoplasma pasif yang mengandung
enzim lisosom.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dewiyani, S. (2014) ‘Perawatan Endodontik pada Kasus Periodontitis Apikalis Kronis’, Jurnal
PDGI, 63(3), pp. 99–103.
Hargreaves, K. M. and Berman, L. H. (2014) Cohen’s Pathways of the Pulp. 8th edn, Elsevier.
8th edn. California.
Haryuni, R. F. and Fauziah, E. (2018) ‘Penatalaksanaan Fraktur Ellis Kelas II gigi 11 , 21 pada
Anak Usia 9 Tahun’, Journal of Indonesian Dental Association, 1(1), pp. 10–16.
Ingle, J. I. and Bakland, L. K. (2002) Endodontics. 4th edition, BC Decker. Edited by 5. Canada.
Khoironi, E. et al. (2017) ‘Determination of Pulp Necrosis Based on Periapical Digital
Radiography Histogram and Pulp Histopathology’, Padjadjaran Journal of Dentistry, 29(3), pp.
183–189.
Larasati, N., Kamizar and Usman, M. (2014) ‘Distribusi Penyakit Pulpa berdasarkan Etiologi
dan Klasifikasi di RSKGM ’, Fkg Ui.
Pagadala, S. and Tadikonda, D. C. (2015) ‘An Overview of Classification of Dental Ttrauma’,
International Archives of integrated medicine, 2(9), pp. 157–164.
Yuliana Pujo Setyowati (2009) ‘Prevalensi Nekrosis Pulpa pada Pasien dengan Riwayat
Diabetes Mellitus di Poliklinik Gigi dan Mulut Rsud Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2009’, 2(5),
p. 255.