Anda di halaman 1dari 51

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/330440778

ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT) DAN KAJIAN ETIK KEPERAWATAN

Article · January 2019

CITATIONS READS

0 1,387

1 author:

Dedi Kurniawan
STIKes Kepanjen
6 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

thesis research: Length of stay patient with STEMI View project

Keperawatan Jiwa (Mental Health Nursing) View project

All content following this page was uploaded by Dedi Kurniawan on 17 January 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MAKALAH

RESTRAIN DALAM TINJAUAN HUKUM DI


KEPERAWATAN JIWA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis
bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan
gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia (Keliat, 2011 ).
Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang
sangat signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita
gangguan jiwa bertambah. Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO)
dalam Yosep (2013) ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan
jiwa. WHO menyatakan setidaknya ada satu dari empat orang didunia mengalami
masalah mental, dan masalah gangguan kesehatan jiwa yang ada di seluruh
dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius.
Berdasarkan hasil penelitian dari Rudi Maslim dalam Mubarta (2011 )
prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 6,55%. Angka tersebut
tergolong sedang dibandingkan dengan negara lainnya. Data dari 33 Rumah
Sakit Jiwa ( RSJ ) yang ada di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah
penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang.
Penderita gangguan jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di
Indonesia mencapai 0,46%. Hal ini berarti terdapat lebih dari 1 juta jiwa di
Indonesia yang menderita gangguan jiwa berat. Berdasarkan data tersebut diketahui
bahwa 11,6% penduduk Indonesia mengalami masalah gangguan mental
emosional ( Riset kesehatan dasar, 2007 ). Sedangkan pada tahun 2013 jumlah
penderita gangguan jiwa mencapai 1,7 juta (Riskesdas, 2013 ).
Perilaku kekerasan merupakan masalah kesehatan jiwa yang sering di
jumpai. Berdasarkan data jumlah pasien pada tahun 2010 di rumah sakit jiwa
Dr. Amino Gondohutomo Semarang dari total jumlah pasien gangguan
jiwa yaitu sebanyak 3914 pasien, 39,2% (1534 pasien) masuk dengan indikasi
masalah perilaku kekerasan dan jumlah ini menduduki peringkat terbesar kedua
dalam masalah keperawatan yang dialami pasien.
Masalah perilaku kekerasan pasien hampir selalu terjadi di ruang
perawatan jiwa. Beberapa riset menunjukkan bahwa perawat jiwa sering

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 2


mengalami kekerasan dari klien (Fight, 2002; Nijman, Foster, & Bowers,
2007). Penelit ian yang dilakukan oleh Elita (2011) memperoleh hasil bahwa
perilaku kekerasan yang terbanyak dilakukan klien dalam satu tahun di RSJ
Tampan adalah 84% kekerasan fisik pada diri sendiri yang menyebabkan cedera
ringan, 79% kemudian diikut i oleh ancaman fisik, 77% penghinaan dan 70%
kekerasan verbal. Selain itu, dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa 20%
perawat mengalami kekerasan fisik yang menyebabkan cedera serius.
Prinsip-prinsip menangani perilaku kekerasan terdiri dari tiga strategi
yaitu preventif, antisipasi, dan pengekangan/ managemen krisis. Strategi
pencegahan meliputi di dalamnya yaitu self awareness perawat, edukasi,
managemen marah, dan terapi kognitif. Sedangkan strategi perilaku meliputi
teknik komunikasi, perubahan lingkungan, psikoedukasi keluarga, dan
pemberian obat ant ipsikotik. Strategi yang ket iga yaitu pengekangan meliputi
tindakan manajemen krisis, pengikatan, dan pembatasan gerak (Stuart &
Laraia, 2005).
Restrain dan seklusi merupakan terapi yang diberikan pada pasien dengan
tujuan merubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik. Restrain merupakan terapi
dengan menggunakan alat- alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas
klien. Alat tersebut meliputi penggunaan manset untuk pergelangan tangan atau kaki
dan kain pengikat. Retran harus dilakukan pada kondisi khusus, hal ini merupakan
intervensi yang terahir jika perilaku klien sudah tidak bias diatasi atau dikontrol
dengan strategi perilaku maupun modifikasi lingkungan. Seklusi adalah bentuk
terapi dengan mengurung pasien dalam ruangan khusus. Klien dapat meninggalkan
ruangan tersebut secara bebas. Bentuk seklusi dapat berupa pengurungan di ruangan
tidak terkunci sampai pengurungan dalam ruangan terkunci dengan kasur tanpa
seprei, tergantung dari tingkat kegawatan klien (Herman, 2011).
Tindakan Restrain dan seklusi menimbulkan dampak bagi pasien dan
petugas kesehatan khususnya perawat. Restrain dan seklusi pada pasien bisa
menyebabkan trauma, termasuk trauma secara fisik dan psikologis (Haimowits,
Urff & Huckshorn, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa restrain secara fisik telah
membuat 22 orang dari 26 kasus pasien gangguan jiwa meninggal . Restrain dan

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 3


seklusi juga menyebakan trauma psikologis, dimana restrain dan seklusi membuat
pasien gangguan jiwa mengambil langkah untuk bunuh diri (suicide) . Akibat
selanjutnya dengan adanya restrain dan seklusi adalah pasien menjadi cedera atau
bahkan meninggal dunia. Pada tahun 1998 terdapat sekitar 50 hingga 150 orang
yang meninggal dan mengalami trauma karena adanya pengasingan dan pengikatan
di ruangan perawatan jiwa di Amerika Serikat (NASMHPD, 2012).
Pada kenyataannya tindakan restrain dan seklusi masih dilakukan pada
pasien di rumah sakit jiwa yang dalam keadaan amuk dengan rata-rata pengekangan
delapan jam, ini disebabkan belum adanya peraturan khusus tentang standar-standar
restrain dan seklusi, belum adanya pelarangan yang juga di dalam kebijakan tersebut
akan diberikan sanksi yang sesuai.
Perawat sebagai tenaga kesehatan dengan kontak terlama dengan pasien dan
pasien bisa menjadi korban dalam pelaksanaan restrain dan seklusi karena tidak ada
peraturan khusus yang menangani tentang restrain dan seklusi ini. Saat ini di
Indonesia belum ada ditemukan peraturan, aspek legal, kebijakan mengenai restrain
dan seklusi untuk penanganan pasien yang amuk dan tidak terkontrol yang lebih
spesifik. Banyaknya kasus yang mengakibatkan pasien menjadi trauma karena
tindakan restrain dan seklusi dan peraturan restrain yang sesuai dengan standar.
Restrain dan seklusi bisa mengakibatkan banyak dampak negatif jika tidak
dilakukan sesuai standar maka dampak tersebut secara tidak langsung juga
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) pasien itu sendiri. Hal ini dapat
menyebabkan dilema ketika pasien dengan gangguan jiwa harus dilakukan restrain,
seklusi dan pasung tetapi mengalami cedera karena pasien tersebut melawan
restrain, seklusi yang di berikan, secara tidak langsung perawat akan dirugikan
karena peraturan ini. Selain itu banyaknya dampak negatif pada pasien dan perawat
serta tidak ada peraturan, kebijakan atau legal aspek yang jelas dalam melakukan
restrain, seklusi.
Berdasarkan permasalahan diatas maka kelompok mengangkat judul
Tindakan restrain dan seklusi pada pasien jiwa ditinjau dari aspek hukum yang
nantinya akan menjadi dasar dalam pembuatan peraturan atau kebijakan tentang
restrain di Indonesia.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 4


1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tindakan restrain pada pasien jiwa ditinjau dari aspek
hukum
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Membahas konsep restrain dan seklusi
2. Membahas legalitas restrain dan seklusi
3. Membahas sistem pelayanan kesehatan jiwa
1.3 Manfaat
Menambah wawasan keilmuan dan sebagai bahan referensi dalam memecahkan
kasus dilema etik yang terjadi dalam tatanan akademik maupun praktik
keperawatan khususnya tindakan keperawatan : restrain dan seklusi pada pasien
gangguan jiwa.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 5


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perilaku Kekerasan
2.1.1 Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihapai
oleh seseorang, yang ditunukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan,
baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun
nonverbal. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang
timbul sebagai respon terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman. Perilaku kekerasan adalah suatu kondisi maladaktif
seseorang dalam berespon terhadap marah. Tindak kekerasan merupakan suatu
agresi fisik dari seorang terhadap lainnya (Kaplan & Sadock, 2007). Agression
is harsh physical or verbal action that reflect rage, holislity, and potential for
physical or verbal destructiveness. Agresi adalah sikap atau perilaku kasar atau
kata-kata yang menggambarkan perilaku amuk, permusuhan, dan ptensi untuk
meusak secara fisik atau dengan kata-kata (Yosep, 2009).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan perasaan marah
dan bermusuhan yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu
bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain ataupun lingkungan.
2.1.2 Rentang Respon Marah
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu
bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu. Orang yang
mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia “tidak
setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituntut atau
diremehkan”. Rentang respons kemarahan individu dimulai dari respon normal
(asertif) sampai pada respon sangat tidak normal (maladaptif) (Yosep, 2009).

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 6


Respon Adaptif
a. Asertif adalah mengemukakan pendapat atau mengekspresikan rasa tidak
senang atau tidak setuju tanpa menyakiti lawan bicara (Stuart & Sudeen,
1998). Asertif merupakan ungkapan rasa tidak setuju atau kemarahan yang
dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain sehingga akan
memberikan kelegaan dan tidak menimbulkan masalah. Asertif merupakan
bentuk perilaku untuk menyampaikan perasaan diri dengan kepastian dan
memperhatikan komunikasi yang menunjukkan respek pada orang lain.
Mereka dapat melihat norma dari individu lainnya dengan tepat sesuai
dengan situasi. Pada saat berbicara kontak mata langsung tapi tidak
mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak mengancam. Individu
yang asertif dapat menolak permintaan yang tidak beralasan dan
menyampaikan rasionalnya kepada orang lain dan sebaliknya individu dapat
menerima dan tidak merasa bersalah apabila permintaanya ditolak orang lain
(Stuart dan Laraia, 2005)
b. Frustasi adalah suatu proses yang menyebabkan terhambatnya seseorang
dalam mencapai keinginannya. Individu tersebut tidak dapat menerima atau
menunda sementara sambil menunggu kesempatan yang memungkinkan.
Selanjutnya individu merasa tidak mampu dalam mengungkapkan perannya
dan terlihat pasif (Stuart & Sudeen, 1998). Frustasi merupakan respon yang
terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang tidak realistis atau hambatan
dalam pencapaian tujuan (Yosep, 2007). Fristasi akan bertambah berat
apabila keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam
kehidupan (Rawlin, William & Beck, 1993).
Respon Transisi

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 7


Pasif adalah suatu perilaku dimana seseorang merasa tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaannya sebagai usaha mempertahankan hak-haknya. Klien
tampak pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena merasa kurang mampu,
rendah diri atau kurang menghargai dirinya (Stuart & Sudeen, 1998). Orang
yang pasif merasa haknya di bawah hak orang lain. Bila marah, orang ini akan
menyembunyikan marahnya sehingga menimbulkan ketegangan bagi dirinya.
Bila ada orang mulai memperhatikan non verbal marahnya, orang ini akan
menolak dikonfrontasi sehingga semakin menimbulkan ketegangan bagi dirinya.
Sering berperilaku seperti memperhatikan, tertarik, dan simpati walau dalam
dirinya sangat berbeda. Kadang-kadang bersuara pelan, lemah, seperti anak
kecil, menghindar kontak mata, jarak bicara jauh dan mengingkari kenyataan.
Ucapan sering menyindir atau bercanda yang keterlaluan (Yosep, 2007).
Respon Maladaptif
a. Agresif adalah suatu perilaku yang mengerti rasa marah, merupakan
dorongan mental untuk bertindak (dapat secara konstruksi/destruksi) dan
masih terkontrol. Perilaku agresif dapat dibedakan dalam 2 kelompok, yaitu
pasif agresif dan aktif agresif.
- Pasif agresif adalah perilaku yang tampak dapat berupa pendendam,
bermuka asam, keras kepala, suka menghambat dan bermalas-malasan.
- Aktif agresif adalah sikap menentang, suka membantah, bicara keras,
cenderung menu0ntut secara terus menerus, bertingkah laku kasar
disertai kekerasan.
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang yang
agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan verbal.
Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa
percaya diri sehingga timbul perilaku mengancam dan memusuhi orang lain
atau lingkungan (Stuart & Laraia, 2005).
b. Amuk atau kekerasan adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat dan
disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang
lain atau lingkungan (Yosep, 2007).

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 8


Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai
kekerasan. Menurut Fitria (2009), perbedaan perilaku, asertif pasif dan agresif
adalah:
Kriteria Pasif Asertif Agresif
Negatif dan Positif dan menawarkan Menyombongkan diri,
Isi merendahkan diri,contoh diri, contoh perkataan: merendahkan orang lain, contoh
pembicaraan perkataan: ”Dapatkah “Saya dapat….” “Saya perkataan: “Kamu selalu…”,
saya”,“ Dapatkah kamu” akan…” “Kamu tidak pernah….”
Tekanan Cepat, lambat, mengeluh Sedang Keras dan ngotot
suara
Posisi badan Menundukkan kepala Tegap dan santai Kaku, condong ke depan
Menjaga jarak dengan Mempertahankan jarak Siap dengan jarak yang akan
Jarak
sikap mengabaikan yang nyaman menyerang
Penampilan Tidak dapat tenang Sikap tenang Mengancam, posisi menyerang
Sedikit/sama sekali tidak Mempertahankan kontak Mata melotot dan
Kontak mata ada kontak mata mata sesuai dengan dipertahankan
hubungan

Menurut Yosep (2007) kemarahan diawali oleh adanya stressor yang


berasal dari internal atau eksterna. Stressor internal seperti penyakit, hormonal,
dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian,
makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan
sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada
sistem individu (disruption and loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana
individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan
tersebut (personal meaning).
2.1.3 Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan
a. Fisik
Muka merah dan tegang, mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal,
rahang mengatur, postur tubuh kaku, jalan mondar-mandir.
b. Verbal
Bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak, mengancam secara
verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor, suara keras, ketus.
c. Perilaku
Melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang orang lain, melukai
diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.
d. Emosi

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 9


Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual (Yosep, 2009).
Pada individu dengan perilaku kekerasan terlihat adanya gejala positif
dari empat dimensi utama gejala skizoprenia. Ketika individu mendapat stressor
dalam fakor predisposisi maupun presipitasi yang berasal dari biologis, maupun
sosiokultural akan berlanjut pada proses penilaian terhadap stressor tersebut.
Penilaian stressor adalah proses dari situasi stress yang komprehensif yang
berada pada beberapa tingkatan. Secara spesifik proses ini melibatkan respon
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan social (Stuart & Laraia, 2009).
2.1.3.1. Respon Kognitif
Bentuk yang berbeda dari agresi dapat dihubungkan dan berhubungan
dengan psiklogis seperti permusuhan, kemarahan dan keyakinan yang
irasional. Hubungan pemikiran dan emosi ini berperan penting dalam
menerjemahkan marah menjadi perilaku agresif (Cristopher, 2010).
Pada individu dengan perilaku kekerasan berpikir secara irrasional akan
tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis
menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat
menujukkan cara berpikir yang benar. Perasaan dan pikiran negatif serta
penolakan diri harus dilawan menurut akal sehat, serta menggunakan
cara verbalisasi yang rasional (Faizmh, 2009). Tanda dan gejala
perilaku kekerasan dapat diketahui secara kognitif yaitu akan ditemukan
tekanan atau gangguan pada pikiran (Boyd & Nihart, 2002).
2.1.3.2. Respon Afektif (emosi)
Marah sebagai suatu emosi yang mempunyai ciri-ciri aktivitas syaraf
simpatis yang tinggi (Triantoro & Saputra, 2009). Pengalaman

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 10


emosional dari marah tidak selalu mengarah pada respon antagonis
(Cristopher, 2010). Sesorang yang marah merasa tidak nyaman, merasa
tidak berdaya, jengkel, merasa ingin berkelahi, mengamuk,
bermusuhan, sakit hati, menyalahkan, menuntut, mudah tersinggung,
euporia yang berlebihan atau tidak tepat dan afek labil (Stuart & Laraia,
2009). Tanda dan gejala perilaku kekerasan diketahui secara afektif
yaitu akan ditemukan iritabilitas, depresi, marah, kecemasan dan apati
(Boyd & Nihart, 2002).
2.1.3.3. Respon Fisiologis
Respon fisiologis marah timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom
bereaksi terhadap sekresi epinephrine sehingga tekanan darah
meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat, wajah merah, pupil
melebar dan frekuensi pengeluaran urin meningkat. Ada gejala yang
sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan,
ketegangan otot seperti tangan dikepal, tubuh kaku dan reflek yang
cepat. Hal ini disebabkan karena energy yang dikeluarkan saat marah
bertambah (Triantoro & Saputra, 2009). Tanda dan gejala perilaku
kekerasan dapat diketahui secara fisiologi yaitu akan ditemukan
gangguan tidur, sakit kepala, sakit perut dan peningkatan tekanan darah
(Boyd & Nihart, 2002).
2.1.3.4. Respon Perilaku
Respon perilaku menarik perhatian dan timbulnya konflik pada diri
sendiri perlu di kaji, seperti melarikan diri, bolos bekerja atau
penyimpangan seksual (Triantoro & Saputra 2009). Marah selalu
dihubungkan dengan perilaku agresif dan bentuk perilaku lainnya.
Perilaku agresif tidak selalu terjadi dalam pengalaman marah. Bentuk
yang berbeda dari agresi dapat dihubungan dan berhubungan dengan
psikologis seperti permusuhan, kemarahan dan keyakinan irrasional
(Cristopher, 2010). Tanda dan gejala perilaku kekerasan secara perilaku
akan ditemukan penurunan interaksi social (Boyd & Nihart, 2002).
Perilaku kekerasan terdiri dari perilaku kekerasan pada orang lain
berupa serangan fisik, memukul, melukai; perilaku kekerasan pada diri

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 11


sendiri berupa ancaman melukai, melukai diri; perilaku kekerasan pada
lingkungan berupa merusak perabotan rumah tangga; perilaku
kekerasam verbal berupa kata-kata kasar, nada suara tinggi dan
permusuhan (Keliat, 2003)
2.1.3.5. Respon Sosial
Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Sebagian orang
menyalurkan kemarahan dengan menilai dan mengkritik tingka laku
orang lain sehimgga orang lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat
menyebabkan seseorang menarik diri dari orang lain. Pemgalaman
marah dapat mengganggu hubungan interpersonal (Triantoro & Saputra
2009). Tanda dan gejala perilaku kekerasan secara social akan
ditemukan penurunan interaksi sosial (Boyd & Nihart, 2002).
Respon-Respon Pada Rentang Respon Marah
Rentang
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk
Respon
Berpikir Berpikir Kesampingkan Berpikir Kehilangan

rasional, kurang haknya dari irrasional & kontrol diri

berbicara rasional pada kurang

dengan jujur karenan persepsinya percaya diri,


Kognitif
& jelas tujuan yang terhadap hak menilai &

kurang orang lain mengkritik

realistis tingkah laku

orang lain
Tidak merasa Merasa Merasa Merasa Merasa

tersinggung gagal, tidak tertekan marah, marah dan

Afektif & bersalah bersemangat merasa bersaing yang

bila ditolak & kurang bersaing & kuat

motivasi merasa malu


Fisiologis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tekanan Tekanan

perubahan perubahan perubahan darah darah

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 12


meningkat, meningkat,

frekuensi frekuensi

denyut denyut

jantung jantung

meningkat, meningkat,

wajah tegang, peningkatan

tidak bisa pernafasan,

diam, pupil

mengepalkan melebar,

atau wajah merah

memukulkan & tegang,

tangan, rahang

rahang mengencang

mengencang
Saat Menghindar Menghindari Tidak Bermusuhan,

berbicara dari masalah masalah dan menghargai perilaku

kontak mata menutupi hak orang mencederai

langsung tapi kemarahannya lain, diri sendiri,

tidak bermusuhan, orang lain &

Perilaku mengganggu, perilaku lingkungan

intonasi suara mulai

dalam mengarah

berbicara pada

tidak kekerasan

mengancam verbal & fisik


Sosial Dapat Menghindar Menghindar Hubungan Hubungan

berinteraksi dari orang dari orang lain interpersonal interpersonal

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 13


dengan baik lain berkurang & berkurang &

& cenderung cenderung

menghargai menyakiti menyakiti

orang lain orang lain orang lain

Tanda dan gejala perilaku kekerasan lainnya adalah verbalisasi yaitu


menggunakan ancaman verbal secara langsung atau dengan membayangkan hal
yang membuat individu marah, perhatian mudah beralih, bicara keras dan tinggi
serta riwayat delusi atau pikiran paranoid dan tingkat kesadaran yaitu
kebingungan, terjadi perubahan status mental, disorientasi, gangguan daya ingat
dan tidak mau diarahkan (Stuart & Laraia, 2009).
2.1.4 Mekanisme Koping Pasien Perilaku Kekerasan
Perawat perlu mengidentifikasi mekanime koping pasien, sehingga dapat membantu
pasien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan masalahnya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego seperti displacement (dapat menggungkapkan kemarahan
pada objek yang salah, misalnya pada saat marah pada dosen, mahasiswa
mengungkapkan kemarahan dengan memukul tembok). Proyeksi yaitu kemarahan
dimana secara verbal mengalihkan kesalahan diri sendiri pada orang lain yang dianggap
berkaitan, misalnya pada saat nilai buruk seorang mahasiswa menyalahkan dosennya
atau menyalahkan sarana kampus atau menyalahkan administrasi yang tidak becus
mengurus nilai. Mekanisme koping yang lainnya adalah represi, dimana individu
merasa seolah-olah tidak marah atau tidak kesal, ia tidak mencoba menyampaikannnya
kepada orang terdekat atau express feeling, sehingga rasa marahnya tidak terungkap dan
ditekan sampai ia melupakannya. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi
berduka yang berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh seseorang yang
dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak berakhir dapat
menyebabkan perasaan harga diri rendah sehingga sulit untuk bergaul dengan orang
lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan timbul
halusinasi yang menyuruh untuk melakukan tindakan kekerasan dan ini berdampak
terhadap resiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan (Fitria, 2009).
2.1.5 Penatalaksanaan

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 14


a. Medis
Menurut Yosep (2007), obat-obatan yang diberikan adalah:
 Antianxiety dan sedative hipnotics. Obat-obatan ini dapat mengendalikan
agitasi yang akut. Benzodiazepine seperti Lorazepam dan Clonazepam,
sering digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan
perlawanan pasien.
 Buspirone dan obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku
kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
 Antidepressants, obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku
agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan
Trazodone, menghilangkan agresifitas yang berhubungan dengan cedera
kepala dan gangguan mental organik.
 Antipsychotic untuk perawatan perilaku kekerasan.
b. Keperawatan
Perawat dapat mengimplementasikan berbagai cara untuk mencegah dan
mengelola perilaku agresif melalui rentang intervensi keperawatan.
 Strategi Preventif
1. Kesadaran diri
Perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya dan
melakukan supervisi dengan memisahkan antara masalah pribadi dan
masalah klien.
2. Pendidikan klien
Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikasi dan cara
mengekspresikan marah yang tepat.
3. Latihan asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki meliputi:
- Berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang.
- Mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak beralasan.
- Sanggup melakukan komplain.
- Mengekspresikan penghargaan dengan tepat.
 Strategi Antisipatif
1. Komunikasi
Strategi berkomunikasi dengan klien perilaku agresif yaitu bersikap
tenang, bicara lembut, bicara tidak dengan cara menghakimi, bicara
netral dan dengan cara konkrit, tunjukkan rasa hormat, hindari
intensitas kontak mata langsung, demonstrasikan cara mengontrol
situasi, fasilitasi pembicaraan klien dan dengarkan klien.
2. Perubahan lingkungan

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 15


Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti
membaca, program kelompok yang dapat mengurangi perilaku klien
yang tidak sesuai dan meningkatkan adaptasi sosialnya.
3. Tindakan perilaku
Pada dasarnya membuat kontrak dengan klien mengenai perilaku
yang dapat diterina dan tidak dapat diterima serta konsekuensi yang
didapat bila kontrak dilanggar.
 Strategi Pengurungan
a. Managemen krisis.
b. Seclusion merupakan tindakan keperawatan yang terakhir dengan
menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak dapat
keluar atas kemauannya sendiri dan dipisahkan dengan pasien lain.
c. Restrains adalah pengekangan fisik dengan menggunakan alat
manual untuk membatasi gerakan fisik pasien menggunakan manset,
sprei pengekang.
2.2 Konsep Hak Pasien

Semua pasien yang sedang menjalani perawatan jiwa memiliki hak yang
sama dengan pasien-pasien lainnya, kecuali hak untuk meninggalkan rumah sakit
dalam keadaan tertentu. Berikut merupakan hak-hak pasien tersebut menurut
American Hospital Association (AHA) tahun 1992.

1. Pasien memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang terhormat.


2. Pasien memiliki hak dan didukung oleh dokter, dan semua pelayan
kesehatan terkait untuk mendapatkan informasi yang hangat dan
terpercaya mengenai diagnosa, pengobatan (treatment), dan prognosa.
3. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan terhadap rencana
perawatan dan pengobatan, dan untuk menolak pengobatan yang
direkomendasikan.
4. Pasien memiliki hak atas petunjuk cepat (seperti kehendak hidup, kuasa
penuh atas perawatan kesehatan, atau mendapatkan pembelaan dari
pengacara kesehatan).
5. Pasien memiliki hak atas setiap pertimbangan kebijakan.
6. Pasien memiliki hak atas komunikasi dan rekaman tentang perawatan
kesehatan yang akan diolah secara terpercaya.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 16


7. Pasien memiliki hak untuk mengulas kembali rekaman yang masuk atas
perawatan medisnya dan untuk menerima penjelasan atas informasi
sesuai kebutuhan.
8. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak berpartisipasi atas
usulan studi penelitian atau percobaan yang melibatkan manusia yang
mempengaruhi perawatan dan pengobatan.
9. Pasien memiliki hak atas perawatan berkelanjutan yang beralasan yang
diinformasikan oleh dokter dan petugas kesehatan.
10. Pasien memiliki hak untuk menerima informasi atas kebijakan dan
praktik rumah sakit yang berhubungan dengan perawatan, pengobatan,
dan tanggung jawab pasien.

Menurut Gorman (2014), salah satu hak pasien jiwa adalah bebas dari
restraint dan seklusi (kecuali dalam kondisi gawat darurat). Restrain dapat dilakukan
secara kimia atau fisik. Hal ini membutuhkan diagnose khusus untuk menentukan
restrain mana yang akan diberikan kepada pasien. Yang perlu diperhatikan adalah
lakukan observasi dan dokumentasi yang akurat tentang respon fisik dan perilaku
pasien terhadap retraint dan cek fungsi sirkulasi setiap 3o menit dan lakukan latihan
serta reposisi minimal setiap 2 jam (Gorman, 2014).

2.3 RESTRAIN
2.3.1. Pengertian Restrain
Restrain adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada individu, tanpa ijin
individu tersebut, untuk membatasi kebebasan geraknya. Kekuatan fisik ini
dapat menggunakan tenaga manusia, alat mekanis atau kombinasi keduanya.
Pengekangan fisik termasuk penggunaan pengekangan mekanik, seperti manset
untuk pergelangan tangan dan pergelangan kaki, serta sprey pengekangan.
Restrain dengan tenaga manusia terjadi ketika anggota staf secara fisik
mengendalikan klien dan memindahkannya ke ruangan. Restrain mekanis adalah
peralatan, biasanya restrain pada pergelangan tangan, kaki yang diikatkan ke
tempat tidur untuk mengurangi agresi fisik klien, seperti memukul, menendang,
menjambak rambut (Videbeck, 2008). Tindakan restrain untuk mengendalikan
perilaku pasien dilkukan oleh tenaga professional.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 17


2.3.2 Indikasi Restrain
Adapun dari indikasi tindakan restrain adalah sebagai berikut:
a. Menurut Kontio, Raija, Valimaki, Maritta, et.al (2010):
1. Perilaku agresif yang berpotensi membahayakan diri pasien sendiri atau
orang lain.
2. Gangguan mental yang serius.

b. Menurut Kontio, Raija, Jofe, Grigoriti, et.al (2010):


1. Perilaku psikotik
2. Pengendalian agitasi dan disorientasi.
c. Menurut Bowers, Len, et.al (2011):
1. Perilaku kekerasan pada benda-benda disekitarnya atau pada
lingkungan.
2. Agresi verbal atau ancaman menyakiti dan atau secara aktual menyakiti
dirinya.
3. Agresi fisik kepada orang lain.
4. Gejala kejiwaan yang parah.

2.3.3 Prinsip Restrain


Prinsip restrain menurut beberapa peneliti adalah sebagai berikut:
a. Menurut Kontio, Raija, Valimaki, Maritta, et.al (2010):
1. Restrain sebagai alternatif terakhir, jika benar-benar diperlukan untuk
melindungi pasien atau keselamatan orang lain.
2. Tindakan yang diberikan harus seaman mungkin.
3. Menghormati martabat pasien.
4. Tindakan tersebut harus di bawah pengawasan dokter.
b. Menurut Bowers, Len, et.al (2011):
1. Bagi staf perawat yang melakukan restrain harus dibekali dengan
keterampilan bantuan hidup dasar.
2. Memiliki peralatan resusitasi
3. Hanya melakukan restrain sebagai alternatif “terakhir”.
4. Pasien harus diperlakukan dengan hormat.
5. Pasien harus diobservasi setiap 2 jam selama restrain dan hal tersebut
dimasukan ke dalam rencana keperawatan
c. Menurut Knox & Holloman (2010):
1. Penggunaan obat dalam pelaksanaan restrain juga dianggap bentuk
pengekangan bila digunakan sebagai pembatasan untuk mengatasi
perilaku pasien atau membatasi kebebasan pasien.
2. Observasi pada pasien selama restrain dilakukan setiap 1 jam oleh
dokter atau praktisi independen lain yang berlisensi atau perawat yang

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 18


teregistrasi atau asisten dokter yang telah memenuhi pelatihan
requirements.

3. Memperhatikan hak-hak pasien, diantaranya:


1) Restrain hanya digunakan ketika intervensi awal telah dinyatakan
tidak efektif untuk melindungi pasien, tenaga kesehatan atau orang
lain.
2) Semua pasien mempunyai hak untuk bebas dari restrain dan seklusi
dalam bentuk apapun yang dikenakan sebagai sarana pemaksaan,
disiplin, kenyamanan atau pembalasan
3) Restrain dan seklusi hanya dapat diterapkan untuk menjamin
keselamatan fisik langsung dari pasien, tenaga kesehatan ataupun
oranglain disekitarnya.
2.3.4 Hal-hal yang penting diperhatikan pada restraint :
1. Pada kondisi gawat darurat, restraint/seklusi dapat dilakukan tanpa order
dokter
2. Sesegera mungkin ( < 1 jam ) setelah melakukan restraint/seklusi,
perawat melaporkan pada dokter untuk mendapatkan legalitas tindakan
baik secara verbal maupun tertulis
3. Intervensi restraint/seklusi dibatasi waktu : 4 jam untuk klien berusia >
18 th, 2 jam untuk usia 9-17 th, dan 1 jam untuk umur < 9 tahun
4. Evaluasi dilakukan 4 jam I untuk klien > 18 th, 2 jam I untuk anak-anak
dan usia 9-17 tahun
5. Waktu minimal reevaluasi oleh dokter adalah 8 jam untuk usia > 18 th
dan 4 jam untuk usia < 17 tahun
6. Selama restraint/seklusi klien diobservasi tiap 10-15 menit, focus
obsevasi :
Restrain secara fisik merupakan suatu tindakan yang membatasi
pergerakan ruang bebas individu dengan menggunakan alat seperti kursi
dan meja, sabuk yang diikat pada kursi atau pengikatan yang dilakukan
diatas tempat tidur (Hantikainen, 1998 dalam Huizing, Hamers, Gulpers,
& Berger 2006). Tindakan tersebut dilakukan untuk mengendalikan
tindakan kekerasan yang timbul akibat perilaku maladaptif dalam diri
pasien, mengontrol pasien dengan gangguan mental yang berat,
mencegah cidera, dan mengurangi tindakan agitasi serta perilaku yang

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 19


agresif (Chien, Chan, Lam, Kam, 2005 dalam Moghadam, Khoshknab, &
Pazargadi 2014).
Restrain secara fisik hingga saat ini masih sering dilakukan di
rumah sakit jiwa di seluruh dunia. Prevalensi tindakan restrain rata-rata
berkisar antara 4% sampai 85% dilakukan pengikatan dirumah
(Gastmans, Milisen, 2006 dalam Scheepmans, Casterle, Paquay,
Gansbeke, Milisen., 2014). Sementara itu, pengikatan yang dilakukan di
rumah sakit berkisar antara 8% sampai 68% (Hamers, Huizing, 2005
dalam Scheepmans et al., 2014). Hasil ini menunjukkan bahwa angka
kejadian restrain masih cukup tinggi prevalensinya dengan alasan untuk
melindungi pasien dari tindakan yang dapat menciderai dirinya, orang
lain, dan lingkungan.
Tindakan restrain yang di design sebagai intervensi keperawatan
yang bertujuan untuk melindungi pasien dari kemarahan pada dirinya
sendiri atau orang lain ternyata memiliki dampak negatif yang potensial
baik bagi pasien maupun bagi petugas kesehatan (Bowers, Alexander,
Simpson, 2004 dalam Moghadam et al., 2014). Beberapa dampak negatif
yang ditimbulkan dari tindakan restrain bagi pasien yakni dapat
menimbulkan luka secara fisik dan menyebabkan kematian , memicu
timbulnya perasaan yang negatif pada diri pasien serta anggota
keluarganya, pengalaman distress secara psikologis, memicu tindakan
penyerangan, merusak hubungan terapeutik antara pasien dan tenaga
kesehatan (Bowers et al., 2004; Hendryx et al., 2010; Pollard et al.,
2007; Almvik et al., 2006 dalam Moghadam et al., 2014). Sementara itu,
dampak negatif bagi tenaga kesehatan seperti memicu timbulnya luka
secara fisik, dampak secara emosional, dan menyebabkan kematian
(Pollard et al 2007 dalam Moghadam et al., 2014).
Walaupun tindakan restrain banyak menimbulkan dampak negatif seperti
menurunkan ruang gerak pasien dan meningkatkan tekanan psikologis
dari pasien (Agens 2010 dalam Kruger, Mayer, Haastert, Meyer, 2013).
Namun tindakan restrain untuk saat ini masih dijadikan sebagai tindakan
untuk melindungi pasien (RNAO 2012 dalam Kruger et al., 2013).

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 20


2.4. SEKLUSI

Seclusion (pengasingan) adalah pengurungan seseorang bukan keinginan


sendiri dalam konstruksi khusus, ruangan terkunci dengan sebuah jendela
keamanan atau kamera untuk monitoring visual langsung (Videbeck, 2011).
Tingkatan pengisolasian berkisar dari penempatan dlm ruang yg tertutup tapi tidak
terkunci sampai penempatan dalam ruangan terkunci dengan kasur tanpa seprei di
lantai, kesempatan komunikasi yang dibatasi. Benda – benda tajam dan benda yang
potensi membahayakan seperti bolpoin, gelas, sabuk dan korek api dipindahkan
atau dijauhkan dari pasien sebagai tindakan keamanan untuk pasien. Seklusi akan
menurunkan stimulasi, melindungi yang lain dari pasien, mencegak kerusakan
lingkungan dan memberikan privasi pada pasien. Tujuannya adalah untuk memberi
kesempatan pada pasien untuk bisa mengontrol emosi dan fisik. Restrain dan
seklusi jangka pendek diperbolehkan untuk dilakukan hanya ketika pasien
melakukan tndakan yang agresif dan membahayakan dirinya sendiri, orang lain dan
lingkungan yang tidak berhasil ditenangkan.
Untuk pasien dewasa, penggunaan restraint dan seklusi memerlukan evaluasi
face to face dalam 1 jam dan setiap 8 jam setelahnya, setiap 4 jam oleh dokter,
mendokumentasikan pengkajian oleh perawata setiap 1 sampai 2 jam, dan
melakukan pengawasan secara tertutup pada pasien. Untuk anak – anak, dokter
harus melakukan evaluasi setiap 2 jam, dengan face to face evaluation setiap 4 jam.
Perawat mengkaji pasien untuk melihat apakah ada luka dan memberikan
pengobatan yang diperlukan pasien. Pengawasan secara tidak langsung bisa juga
dilakukan dengan monitor atau video. Perawat memonitor dan mendokumentasikan
kondisi kulit pasien, sirkulasi darah pada tangan dan kaki (untuk pasien yang
direstraint), kondisi emosional dan kesiapan untuk tidak dilakukan restraint dan
seklusi. Perawat juga harus mengobservasi efek samping dari pengobatan yang
diberikan pada dosis tinggi dalam kondisi emergensi. Perawat atau care provider
yang terlibat juga harus menawarkan makanan, air, dan kesempatan menggunakan
kamar mandi. Pasien sebaiknya diberikan informasi mengenai perilaku – perilaku
yang harus dilakukan untuk menentukan apakah restrain atau seklusi dikurangi atau
diakhiri. Kriterianya meliputi kemampuan pasien untuk mengungkapkan perasaan
secara verbal, tidak melakukan ancaman verbal, ketegangan otot yang menurun dan

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 21


bisa melakukan kontrol diri. Perawat sebaiknya memberitahukan bahwa restrains
atau seklusi adalah bukan suatu hukuman tapi merupakan prosedur.

2.5. KEBIJAKAN RESTRAIN & SEKLUSI


Peraturan dan Aspek legal restrain dan seklusi sudah ada di negara-negara
di dunia. Amerika Serikat merupakan negara yang mempunyai peraturan mengenai
restain dan seklusi pada pasien. Peraturan tentang restrain dan seklusi pada pasien
ini ada pada Federal Register Part IV Departement of Health and Human
Services; Medicare and Medicaid Programs; Hospital Conditions of Partisipation;
Patients’ Right; Final Rule tahun 2006. Peraturan tentang restrain dan seklusi
dibahas secara umum. Peraturan tersebut membahas restrain dan seklusi pada
pasien umum dan pasien gangguan jiwa. Dalam peraturan ini terdapat kriteria-
kriteria restrain dan seklusi, pengaturan penggunaan restrain dan seklusi, siapa
yang berhak melakukan restrain dan seklusi. Angka yang tinggi dalam pelaksaan
restrain dan seklusi dan kematian yang terjadi karena pelaksanaan restrain dan
seklusi di Australia membuat National Mental Health Consumer & Carer Forum
(NMHCCF) Australia mencoba mengubah tentang peraturan penggunaan restrain
dan seklusi yang sudah ada yang diatur oleh Departemen Kesehatan mereka . Tidak
semua negara di dunia mempunyai peraturan khusus mengenai restrain dan seklusi,
begitu juga di Indonesia.
Indonesia telah mempunyai kebijakan tentang restrain dan seklusi.
Pemasungan (restrain dan seklusi) di Indonesia sebelumnya telah dilarang Surat
Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15 tahun 1977 berisi tentang pelarangan
pasung pada pasien gangguan jiwa, dan masyarakat diharapkan untuk membawa
pasien dengan gangguan jiwa untuk dilakukan perawatan di rumah sakit jiwa,
sehingga pasien yang dianggap mencederai diri sendiri dan lingkungannya bisa
ditangani di rumah sakit. Saat ini di Indonesia juga sudah ada penanganan restrain
tersendiri untuk gawat darurat psikiatri, dimana sudah dituangkan dalam modul
Psychiatric Intensive Care Unit (PICU).
Pelaksanaan restrain dan seklusi atau pasung di masyarakat juga telah
tertuang secara tersirat dalam Undang-undang (UU) Kesehatan No 36 tahun 2009
tentang kesehatan jiwa. Pasal-pasal dalam UU tersebut telah tercantum hak-hak
pasien dengan masalah kejiwaan bahwa mereka punya hak yang sama dengan

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 22


orang sehat lainnya. Ayat 149 dalam pasal tersebut juga menyebutkan bahwa jika
ada pasien dengan gangguan jiwa yang mengganggu, mengancam diri sendiri dan
orang lain berhak untuk mendapatkan perawatan yang layak. Pada kenyataannya
masih banyak pasien yang di restrain dan seklusi dan mendapatkan berbagai
dampak akibat dari restrain, seklusi dan pasung tersebut. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa belum adanya peraturan khusus tentang standar-standar restrain
dan seklusi. Perawat sebagai tenaga kesehatan dengan kontak terlama dengan
pasien dan pasien bisa menjadi korban dalam pelaksanaan restrain dan seklusi
karena tidak ada peraturan khusus yang menangangi tentang restrain dan seklusi
ini. Saat ini di Indonesia belum ada ditemukan peraturan, aspek legal, kebijakan
mengenai restrain dan seklusi untuk penanganan pasien yang amuk dan tidak
terkontrol yang lebih spesifik.
Banyaknya kasus yang mengakibatkan pasien menjadi trauma karena
tindakan restrain dan peraturan restrain dan seklusi yang sesuai dengan standar.
Restrain, seklusi dan pasung yang mengakibatkan banyaknya dampak negatif jika
tidak dilakukan sesuai standar maka dampak tersebut secara tidak langsung juga
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) pasien itu sendiri. Hal ini dapat
menyebabkan dilema ketika pasien dengan gangguan jiwa harus dilakukan restrain
tetapi mengalami cedera karena pasien tersebut melawan restrain, yang diberikan,
secara tidak langsung perawat akan dirugikan karena peraturan ini. Selain itu
banyaknya dampak negatif pada pasien dan perawat serta tidak ada peraturan,
kebijakan atau legal aspek yang jelas dalam melakukan restain restrain.

2.6 Tinjauan Teori Terkait Aspek Legal Dalam Keperawatan Jiwa


Pelanggaran etik keperawatan diproses melalui MKEK-PPNI dan jika
diperlukan diteruskan ke Departemen Kesehatan. Sementara itu pelanggaran
hukum diselesaikan melalui pengadilan (Nursalam, 2014). Untuk menghindari
pelanggaran etik dan hukum dalam praktik keperawatan profesional, maka perawat
harus menerapkan prinsip/asas etik dan kode etik serta mematuhi aspek legal
keperawatan yang diatur dalam KepMenkes 148 Tahun 2010, Undang-Undang
Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Undang-Undang Keperawatan Jiwa No. 18 Tahun
2014 dan Undang-Undang Keperawatan No. 38 Tahun 2014.
Pelanggaran etik keperawatan diproses melalui MKEK-PPNI dan jika
diperlukan diteruskan ke Departemen Kesehatan. Sementara itu pelanggaran

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 23


hukum diselesaikan melalui pengadilan (Nursalam, 2014). Untuk menghindari
pelanggaran etik dan hukum dalam praktik keperawatan profesional, maka perawat
harus menerapkan prinsip/asas etik dan kode etik serta mematuhi aspek legal
keperawatan yang diatur dalam KepMenkes 148 Tahun 2010, Undang-Undang
Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Undang-Undang Keperawatan Jiwa No. 18 Tahun
2014 dan Undang-Undang Keperawatan No. 38 Tahun 2014.
Hal-hal yang berkaitan tentang kesehatan jiwa sudah diatur dalam Undang-
Undang Keperawatan Jiwa no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa:

Pasal 3
Upaya Kesehatan Jiwa bertujuan

a. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikrnati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan
lain yang dapat mengganggu Kesehatan Jiwa;
b. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan;
c. Memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa bagi
ODMK dan ODGJ berdasarkan hak asasi manusia;
d. Memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi ODMK dan ODGJ;
e. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam Upaya
Kesehatan Jiwa;
f. Meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
g. memberikah kesempatan kepada ODMK dan ODGJ untuk dapat memperoleh
haknya sebagai Warga Negara Indonesia.

Pasal 22
Dalam hal ODGJ menunjukkan pikiran dan/atau perilaku yang dapat
membahayakan dirinya, orang lain, atau sekitarnya, maka tenaga kesehatan yang
berwenang dapat melakukan tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 24


terhadap ODGJ sesuai standar pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditujukan untuk
'mengendalikan perilaku berbahaya.

Pasal 23
(1) Penatalaksanaan terhadap ODGJ dengan cara lain di luar ilmu kedokteran hanya
dapat dilakukan apabila dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.
(2) Penatalaksanaan yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya
sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) mencakup penggunaan produk, modalitas
terapi, dan kompetensi pemberi pelayanan yang sesuai dengan produk dan
modalitas terapi.
(3) Penatalaksanaan ODGJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar manfaat dan keamanannya dapat
dipertanggung jawabkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penatalaksanaan ODGJ dengan cara lain di luar
ilmu kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 43
(1) Sumber daya manusia di bidang Kesehatan Jiwa dalam menjalankan tugasnya
dilarang melakukan kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan
kekerasan atau tindakan lainnya yang tidak sesuai standar pelayanan dan standar
profesi terhadap ODMK dan ODGJ.
(2) Sumber daya manusia di bidang Kesehatan Jiwa yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan lisan;
b. peringatan tertulis; dan/atau
c. pencabutan izin praktik atau izin kerja

Pasal 51
Fasilitas pelayanan kesehatan harus memiliki izin dan memenuhi persyaratan
keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan sesuai dengan pedoman yang
berlaku dalam pemberian pelayanan terhadap ODMK dan ODGJ.

Pasal 70
(1) ODGJ berhak:
a. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan
yang mudah dijangkau;

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 25


b. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan
Kesehatan Jiwa;
c. mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka sesuai dengan
kebutuhannya;
d. memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya;
e. mendapatkan informasi yang jujur dan lengkaptentang data kesehatan
jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan
Jiwa;
f. mendapatkan pelindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan,
eksploitasi, serta diskriminasi;
g. mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguan jiwa; dan
h. mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan
kepadanya.

(2) Hak ODGJ untuk mengelola sendiri harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf h hanya dapat dibatalkan atas penetapan pengadilan.

Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan
dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau
kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak
asasi ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

UU Tenaga Kesehatan No. 36 Tahun 2014


Pasal 84 :
1) Setiap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat mengakibatkan
penerima pelayanan kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling
lambat tiga tahun.
2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian, setiap tenaga kesehatan di pidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.

UU Keperawatan No. 38 Tahun 2014


Pasal 35
1) Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat dapat
melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan kompetensinya.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 26


2) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang
mengancam nyawa atau kecacatan Klien.
3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat
sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Apabila perawat melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian seperti


kematian ataupun luka berat sehingga dapat dikategorikan sebagai malpraktik yang
termasuk ke dalam criminal malpractice bersifat neglicence yang dapat dijerat hukum
antara lain:
1. Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati: Barangsiapa karena
kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.
2. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebabkan luka berat: Ayat (1) Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun. Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-
luka sedemikian rupa sehingga menimbulkan penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga
ratus ribu rupiah.

Pasal 361 KUHP


Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan
(misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis, dan lain-lain) apabila melalaikan
peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka
mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan bahwa jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah sepertiga, dan yang bersalah dapat
dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 27


BAB III
KASUS

Nn. K dibawa ke RSJ. Jatim karena mengamuk di rumah dan melempari tetangganya
dengan batu. Ketika sampai di RS, tampak Nn. K sulit diajak komunikasi, tampak ia
mengobrol sendiri, mengumpat, dan melontarkan kata-kata kotor dengan sesekali
meludah. Ns. Mela dan Ns. Anton merupakan perawat baru yang sedang bertugas siang
itu di UGD RSJ Maryland. Mereka melakukan pengkajian kepada Nn. K. saat
dilakukan pengkajian Nn. K mengaku marah sama suara-suara yang selalu mengumpat
dan mengolok-oloknya. Ketika ditanya alasan menyerang orang-orang, Nn. K hanya
diam dan tidak bisa menjawab. Namun, tiba-tiba klien marah-marah pada Ns. Mela dan
mencoba meludahinya. Secara reflek Ns. Anton langsung datang dan memegangi Nn. K.
Karena Nn. K terus meronta dan melakukan perlawanan, akhirnya Ns. Mela langsung
mengambil tali dan menyerahkannya kepada Ns. Anton. Sementara, Ns. Mela
menjelaskan kepada keluarga tindakan yang akan dilakukan pada Nn. K. Keluarga
mengerti dengan maksud dan tujuan perawat tersebut, dan akhirnya menyetujui bahwa
Nn. K akan dilakukan restrain. Setelah mendapatkan tanda tangan, Ns. Anton
merestrain Nn. K pada tempat tidur yang ada di Ruang UGD RS tersebut. Ini adalah
pertama kali Ns. Anton melakukan restrain, karena belum berpengalaman Ns. Anton
merestrain dengan terburu-buru dan sangat erat serta dengan prosedur yang kurang
tepat. Nn. K terus meronta-ronta selama proses restrain. Setelah 3 jam, restrain dilepas
terlihat luka dan lebam di pergelangan tangan Nn.K akibat posisi restrain yang kurang
tepat dan ikatan yang terlalu erat. Oleh karena klien mengalami amuk maka, keluarga
mengaftakan tidak sanggup lagi untuk merawat klien ketika di rumah. Sehingga
keluarga meminta bantuan dalam merawat klien. Ns. Mela menjelaskan kepada keluarga
bahwa puskesmas akan menindak lanjuti perawatan selama di rumah dengan bekerja
sama keluarga.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 28


BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam melakukan praktik keperawatan, seorang perawat harus memiliki


legalitas dalam melakukan perawatan. Legalitas ini diperlukan untuk melindungi
hak pasien dan hak perawat itu sendiri (Damayanti, 2013). Legal merupakan suatu
yang dianggap sah oleh hukum dan undang-undang. Perawat secara langsung
berhubungan dan berinteraksi kepada penerima jasa pelayanan dalam melakukan
praktik keperawatan dan pada saat inilah sering timbul beberapa hal yang tidak
diinginkan baik disengaja maupun tidak disengaja.
Dalam menjalankan tugas keprofesiannya, perawat bisa saja melakukan
kesalahan yang dapat merugikan klien sebagai penerima asuhan keperawatan,
bahkan bisa mengakibatkan kecacatan dan lebih parah lagi mengakibatkan
kematian, terutama bila pemberi asuhan keperawatan tidak sesuai dengan standar
praktek keperawatan. Dijelaskan bahwa tidak setiap ethical malpractice merupakan
juridical malpractice akan tetapi semua bentuk juridical malpractice pasti
merupakan ethical malpractice (Hasyim, 2014).
Beberapa asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat tentu memiliki
efek samping atau dampak yang dapat merugikan baik bagi pasien, keluarga,
lingkungan maupun perawat itu sendiri. Salah satu contoh tindakan keperawatan
restrain dan seklusi pasien dalam seting jiwa juga tidak luput dari efek samping
tersebut, seperti yang telah tergambar pada kasus. Namun dengan adanya efek
samping dari tindakan tersebut bukan berarti tindakan tersebut menjadi dilarang,
dengan melakukan tindakan sesuai indikasi, berdasarkan prosedur, monitoring dan
tentunya evaluasi maka efek samping tersebut dapat diminimalkan atau bahkan
dapat dicegah.
Seklusi adalah pemenpatan seseorang pada ruangan tertentu . Pada dasarnya
seklusi dibolehkan untuk melindungi pasien agar tidak melukai dirinya sendiri .
Dalam beberapa literature memang tidak disebutkan kapan harus dilakukan seklusi
dan kapan harus dilakukan restrain. Bahkan dibeberapa negara, tindakan seklusi
dilakukan tanpa ada indikasi yang jelas. Selama ini hanya berpedoman bahwa,
tindakan yang dapat membahayakan pasien, maka pasien tersebut dapat dilakukan
seklusi. Salah satunya adalah peningkatan gejala seperti agitasi dan kekerasan.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 29


Namun, apabila seklusi memang belum mampu mengendalikan perilaku agresif
klien, tindakan restrain dibenarkan. Sehingga tidak ada regulasi khusus yang
mengatur tentang seklusi di beberapa negara, kedua hal tersebut dijadikan satu
aturan. Hal tersebut yang membuat adanya area abu-abu dalam penerapan seklusi.
Walaupun, beberapa penelitian mengenai seklusi dilakukan dan didapatkan bahwa
peningkatan gejala agitasi/ disorientasi tanpa diikuti oleh episode menyakiti diri
sendiri dan orang lain, maka akan dikategorikan sebagai indikasi seklusi. Sampai
saat ini waktu seklusi atau batas seklusi maish belum dijelaskan sevcara detail,
beberapa literature mengatakaan bahwa seklusi dilakukan apabila gejala sudah reda
atau menurun (keski valkama). Pengkajian secara spesifik perlu dilakukan pada
penerapan seklusi dan retrain yang dilakukan, sehingga akan mengetahui seberapa
besar risiko pasien dalam emlakukan agresif atau tindakan kekerasan .
Sedangkan, indikasi dilakukan restrain adalah apabila pasien mengalami
agresi, agitasi, psikotik, perilaku kekerasan terhadap orang dan lingkungan. Dalam
beberapa literature pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa indikasi dilakukan
tindakan restrain yaitu meliputi gangguan mental yang serius, perilaku psikotik,
pengendalian agitasi dan disorientasi, perilaku kekerasan pada benda-benda
disekitarnya atau pada lingkungan, agresi verbal atau ancaman menyakiti dan atau
secara aktual menyakiti dirinya, agresi fisik kepada orang lain, gejala kejiwaan yang
parah (Kontio et al, 2010; Bowers et al, 2011).
Restrain sebagai alternatif terakhir, jika benar-benar diperlukan untuk
melindungi pasien atau keselamatan orang lain, tindakan yang diberikan harus
seaman mungkin, tidak dapat tertangani dan dikendalikan dengan obat atau terapi
psikososial, menghormati martabat pasien, pasien harus diobservasi setiap 2 jam
selama restrain dan hal tersebut dimasukan ke dalam rencana keperawatan (Kontio
et al, 2010; Bowers et al, 2011).
Tindakan restrain yang di design sebagai intervensi keperawatan yang
bertujuan untuk melindungi pasien dari kemarahan pada dirinya sendiri atau orang
lain ternyata memiliki dampak negatif yang potensial baik bagi pasien maupun bagi
petugas kesehatan (Bowers, Alexander, Simpson, 2004 dalam Moghadam et al.,
2014). American Psychiatric Association juga menjabarkan tentang tujuan
dilakukan tindakan restrain, yaitu untuk mencegah bahaya terhadap diri dan orang

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 30


lain, menghindarkan gangguan serius dan kerusakan lingkungan, mempertahankan
penanganan sebagai bagian dari terapi perilaku, menurunkan stimulus, dan
menuruti pesanan klien sendiri.
Selain terkait aspek legalitas indikasi pemberian tindakan restrain, secara
eksplisit melihat yang terjadi pada kasus dikaitkan prosedur tindakan yang
dilakukan perawat, dalam UU Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014, yakni pada pasal
3 point c dan d, pasal 51 ayat 1 dan pasal 70 ayat 1 point b, tampak adanya
keterkaitan dan berusaha memberikan penegasan terhadap pemberian pelayanan
kesehatan jiwa bagi ODMK dan ODGJ untuk memberikan perlindungan dan
pelayanan berdasarkan hak asasi manusia, fasilitas kesehatan yang menjamin
keamanan dan kenyamanan pasien. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan sikap dan
tindakan yang ditunjukkan oleh Ns. Anton beserta rekannya yang tidak melakukan
monitoring terhadap kondisi pasien seperti dalam standar operasional prosedur
(SOP) selama pasien mendapat tindakan restrain. Bertolak dari UU diatas, maka
Ns. Anton beserta rekannya tidak menunjukkan sikap profesionalnya dalam
memberikan perawatan pada ODGJ dengan tidak memberikan perlindungan selama
pemberian pelayanan, tidak menjamin hak dari ODGJ sendiri untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan jiwa sesuai dengan standar, serta dapat berdampak pada rumah
sakit jiwa tempat Ns. Anton bekerja, dimana rumah sakit jiwa tersebut tidak dapat
menjamin keamanan dan kenyamanan pada pasien.
Salah satu pedoman perawat dalam melakukan tindakan adalah berdasarkan
dengan standar operasional prosedur yang telah disepakati di institusi tempat
bekerja tersebut, selain itu SOP juga menjadi salah satu acuan secara legal apakah
tindakan tersebut melanggar atau tidak. Dengan melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan SOP berarti perawat telah melakukan kelalaian malpraktek yang
tentunya dapat merugikan pasien, keluarga,perawat itu sendiri dan institusi tersebut
sebagai pemberi pelayanan. Secara khusus pelaku kelalaian dan malpraktek dalam
hal ini perawat yang memberikan tindakan restrain tentunya bisa mendapat sanksi
pidana jika muncul suatu complain atau gugatan dari pihak pasien. Oleh karena itu
sangat penting bagi seorang perawat melakukan asuhan keperawatan kepada pasien
harus sesuai dengan SOP yang berlaku, selain bermanfaat bagi pasien dan keluarga

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 31


pasien, hal tersebut juga menjadi perlindungan bagi perawat dan institusi di ranah
hukum.
Kasus yang menimpa Perawat Anton terkait pelaksanaan restrain pada
pasien Nn.K, disatu sisi pelaksanaan restrain yang dilakukan sesuai dengan indikasi
juga dijamin oleh undang-undang yang berlaku dikarenakan masalah tersebut sudah
masuk dalam kegawatdaruratan psikiatri. Akan tetapi, disisi lain beberapa tindakan
perawat A telah merujuk pada juridical malpractice.
Juridical malpractice yang mengenai perawat Anton dapat dalam bentuk,
civil malpractice (malpraktik perdata) dan administrative malpractice (malraktik
administratif). Civil malpractice, yang dibuktikan dengan pelaksanaan restrain
tanpa observasi yang maksimal oleh perawat Anton telah membuat tangan pasien
yang direstrain terluka. Administrative malpractice, dibuktikan dengan perawat
Anton telah melakukan tindakan restrain tersebut tidak sesuai dengan standar
profesi dalam kode etik keperawatan serta tidak melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
Melihat dari sisi legalitas, Penanganan yang sering dilakukan dilakukan di
rumah sakit jiwa adalah pengikatan atau restrain (restraint) dan pengurungan atau
seklusi (seclusion). Sedangkan pasien dengan skizofrenia di komunitas akan di
restrain dan di seklusi yang dikenal dengan istilah pasung (confinement) . Restrain
dan seklusi adalah tindakan untuk mengendalikan pasien yang dilakukan oleh
profesional, sedangkan pasung (confinement) adalah tindakan untuk mengendalikan
pasien yang tidak terkontrol oleh masyarakat biasa atau non profesional . Jadi,
dapat disimpulkan bahwa restrain, seklusi dan pasung merupakan tindakan yang
dilakukan untuk mengontrol perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan pada pasien dengan gangguan jiwa.
Perawat adalah komponen yang krusial dalam usaha mengurangi
pelaksanaan restrain. Perawat dapat pula menjadi inovator untuk merubah kultur
dan memahami budaya dengan mengidentifikasi batasan yang cukup jelas
mengenai penggunaan restrain yaitu bahwa restrain seharusnya digunakan bukan
untuk menghukum namun hanya digunakan untuk mengontrol tingkah laku
kekerasan dalam upaya untuk melindungi pasien dan tenaga kesehatan dari
tanggung jawab hukum. Berdasarkan uraian diatas diperlukan Undang-undang dan

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 32


peraturan tertulis untuk pedoman dalam penatalaksanaan restrain dan seklusi di
Rumah Sakit Jiwa maupun pasung (confinement) di masyarakat Mengacu pada
kasus diatas dapat di analisis menggunakan tinjauan yuridis (prinsip legal).
Pelaksanaan restrain, seklusi dan pasung telah tertuang secara tersirat dalam
Undang-undang (UU) kesehatan No 36 tahun 2009 tentang kesehatan jiwa. Pasal-
pasal dalam UU tersebut telah tercantum hak-hak pasien dengan masalah kejiwaan
bahwa mereka punya hak yang sama dengan orang sehat lainnya. Ayat 149 dalam
pasal tersebut juga menyebutkan bahwa jika ada pasien dengan gangguan jiwa yang
mengganggu, mengancam diri sendiri dan orang lain berhak untuk mendapatkan
perawatan yang layak. Berdasarkan kasus diatas, menilik pada cedera yang terjadi
pada Nn.K pelaksanaan restrain perlu ditinjau kembali tentang kompetensi
Ns.Anton dalam melakukan prosedur restrain dan tentang kelayakan tali atau
restrain mekanik yang dipakai untuk tindakan restrain. Sehingga sesuai dengan UU
no.36 tahun 2009 dapat ditarik kesimpulan apakah Nn.K mendapatkan perawatan
yang layak sesuai dengan kebijakan UU tersebut melalui analisis kompetensi Ns.
Anton dan kelayakan tali atau restrain mekanik yang digunakan sehingga dapat
ditindaklanjuti sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Lebih lanjut pasal 148 ayat 1 dalam Undang-Undang Kesehatan no 36
Tahun 2009 menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa mempunyai hak yang
sama dengan manusia sehat lainnya sebagai warga negara Indonesia. Begitu juga di
jelaskan pada pasal 148 ayat 2 bahwa pasien dengan gangguan jiwa mendapatkan
perlakuan yang sama untuk setiap aspek kehidupan. Pasal 147 ayat 3 bahwa untuk
merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas pelayanan
kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan. Berdasarkan aplikasi Undang-Undang dalam kasus
diatas, pasien dengan gangguan jiwa yang di lakukan restrain (Nn.K) harus
dihormati selayaknya manusia lain pada umumnya. Hak Asasi Manusia (HAM)
Nn.K harus dilindungi dalam pelaksanaan restrain dan seklusi. Antara lain
penyediaan tempat seklusi yang aman dan kondusif serta melindungi privasi pasien
dengan memberikan pakaian, memberikan kebutuhan dasar seperti makanan
minuman dan toilet. Menghargai pasien dengan gangguan jiwa berarti menghargai

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 33


harkat dan martabat pasien sebagai manusia sehingga sesuai dengan kebijakan
dalam Undang-Undang Kesehatan no 36 Tahun 2009.
Berdasarkan KUH Pidana Pasal 48, Tindakan restrain dan seklusi yang
dilakukan oleh petugas kesehatan dalam penanganan pasien gangguan jiwa yang
berperilaku kekerasan seringkali mendapat sorotan dari masyarakat tentang
pembatasan hak asasi pasien yang ternyata tindakan tersebut diperbolehkan
sebagaimana telah diatur dalam KUH Pidana Pasal 48 yang mengatakan bahwa
barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (overmacht), tidak
dipidana. Menilik pada kasus pasien gangguan jiwa perbuatan pengekangan
(restrain) dan seklusi (pengurungan) penderita gangguan jiwa diperbolehkan oleh
karena terpaksa dan demi kebaikan penderita (Widiyanto, 2012). Akan tetapi,
tindakan fiksasi yang dimaksud dalam aturan tersebut yaitu tindakan fiksasi yang
dilakukan tanpa melepas hak-hak pasien utuk memperoleh fasilitas kesehatan yang
memadai. Sedangkan sesuai kasus diatas fasilitas untuk memfiksasi pasien masih
belum memadai, dimana tindakan fiksasi Nn.K dilakukan di tempat tidur pasien
dan dengan fiksasi mekanik yang telah menimbulkan cedera bagi pasien
dikarenakan Ns Anton belum memiliki kompetensi dan pengalaman dalam
pemasangan restrain pada pasien jiwa. Perlu dipertimbangkan tindakan seklusi
(pengurungan) terlebih dahulu untuk meredam emosi klien mengingat restrain
adalah alternatif terakhir dalam penanganan pasien gangguan jiwa.
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia Pasal 9, Berkaitan dengan tindakan
restrain da seklusi yang dilakukan oleh perawat, berbagai kalangan mengatakan
bahwa tindakan tersebut telah melanggar hukum tentang hak asasi pasien
sebagaimana telah dijelaskan dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia yang
terdapat dalam pasal 9 yaitu, hak-hak asasi pasien adalah hak-hak yang sangat
fundamental yang dimiliki pasien sebagai seorang makhluk Tuhan, terutama yang
dimaksud dalam pasal ini menyangkut hak-hak yang berkaitan dengan pelayanan
rumah sakit. Dari pasal tersebut dapat diturunkan hak-hak pasien yang salah
satunya mengenai hak pasien untuk diperlakukan secara manusiawi. Restrain dan
seklusi yang dilakukan pada pasien dengan gangguan jiwa yang terjadi pada pasien
gangguan jiwa selain untuk mengendalikan perilaku pasien tetapi juga memberikan
dampak tersendiri untuk pasien dan perawat. Dampak terjadinya restrain dan

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 34


seklusi bisa terjadi pada pihak pasien sendiri dan untuk perawat yang melakukan
tindakan ini. Restraint pada pasien bisa menyebabkan trauma, demikian pula
seklusi termasuk trauma secara fisik dan psikologis (Haimowits, Urff &
Huckshorn, 2006). Salah satu Penelitian menunjukkan bahwa restrain dan seklusi
secara fisik telah membuat 22 orang dari 26 kasus pasien gangguan jiwa
meninggal . Restrain dan seklusi juga menyebakan trauma psikologis, dimana
restrain membuat pasien gangguan jiwa mengambil langkah untuk bunuh diri
(suicide) . Akibat selanjutnya dengan adanya restrain maupun seklusi yang kurang
tepat adalah pasien menjadi cedera atau bahkan dapat meninggal dunia.
Berdasarkan dampak diatas perlu tinjauan ulang pada kasus Nn.K apakah pasien
sudah dilakukan secara manusiawi melalui integritas kompetensi perawat dalam
melakukan restrain, kelayakan fiksasi mekanik. observasi perawat selama pasien
terikat restrain dan apakah pasien mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
manusia (KDM) yang memadai selama restrain.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan (4), Manusia dalam
keadaan sakit jiwa memiliki hak konstitusional untuk sembuh dan mendapatkan
pelayanan kesehatan sebagaimana berdasarkan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang
menyataan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta memperoleh
pelayanan kesehatan”. Kesembuhan dari seseorang yang sedang ada dalam sakit
jiwa adalah sebuah keniscayaan agar orang sakit tersebut dapat memperoleh dan
menikmati jaminan konstitusional bagi hak-hak asasi manusia yang dijamin
konstitusi, /hak konstitusional atau hak sipil lainya.
Ketentuan konstitusional yang meletakan kewajiban dan tanggungjawab
dalam penyelenggaraan dan pemenuhan hak-hak asasi atau hak konstitusional bagi
negara dan pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (4) yang
menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Kesembuhan
dan penyembuhan adalah langkah utama dalam upaya pemenuhan hak
konstitusional orang sakit jiwa, dan kiranya ini adalah bukan sekedar permasalahan
konstitusional tapi juga merupakan permasalahan tuntutan moralitas dalam
penghormatan hak-hak asasi manusia yang dianugerahkan Tuhan.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 35


Implikasi kasus Nn. K diatas sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28, yaitu
perlunya imbal balik dari pemerintah maupun manajemen Rumah Sakit Jiwa dalam
menyoroti kasus gangguan jiwa dan tindakan restrain, seklusi dan pasung yang ada
di Indonesia. Peran pemerintah dan Manajemen Rumah Sakit Jiwa sangat
diperlukan dalam kebijakan penatalaksanaan restrain dan seklusi yang tepat sesuai
hukum dan penyediaan sarana prasarana untuk pelaksanaan restrain dan seklusi
yang aman bagi pasien jiwa seperti Ruangan seklusi yang kondusif dan tali restrain
atau fiksasi mekanik yang sesuai dengan standar patient safety di Indonesia.
Kebijakan diatas didukung oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Pasal 147 ayat (1) tentang Kesehatan menekankan bahwa “Upaya penyembuhan
penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggungjawab pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat”, jaminan ini penting karena bagi orang dalam
keadaan sakit jiwa dalam hal menikmati hak-hak hukum dan konstitusional harus
terlebih dahulu disembuhkan; karena pada dasarnya orang sakit jiwa juga memiliki
hak yang sama sebagai warga negara.
Berdasarkan UU No.18 Th.2014 Pasal 22 : Dalam hal Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) menunjukkan pikiran dan/atau perilaku yang dapat
membahayakan dirinya, orang lain, atau sekitarnya, maka tenaga kesehatan yang
berwenang dapat melakukan tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka
terhadap ODGJ sesuai standar pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditujukan untuk
mengendalikan perilaku berbahaya. Lebih lanjut pasal 21 ayat 3, ODGJ dianggap
tidak cakap dalam membuat keputusan, persetujuan tindakan medis dapat diberikan
oleh suami/istri, orang tua, anak, atau saudara sekandung yang paling sedikit
berusia 17 (tujuh belas) tahun dan wali atau pengampu.lebih lanjut.
Berdasarkan kasus diatas, Ns.Anton dan Ns. Mela telah melakukan tindakan
yang benar dengan memberikan Informed Consent terlebih dahulu kepada keluarga
Nn.K untuk meminta persetujuan keluarga terkait tindakan restrain yang akan
dilakukan oleh perawat. Ns. Mela juga meminta persetujuan tertulis dalam bentuk
tanda tangan persetujuan keluarga Nn.K. Hal ini dibenarkan sesuai pasal 21 ayat 3,
ODGJ dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan, persetujuan tindakan
medis dapat diberikan oleh suami/istri, orang tua, anak, atau saudara sekandung
yang paling sedikit berusia 17 (tujuh belas) tahun dan wali atau pengampu.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 36


Berdasarkan asas legal , kasus diatas dapat melanggar pada UU RI No.8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “Kematian, kecacatan atu
ketidaksembuhan pada perawatan pasien oleh dokter atau Rumah Sakit,
merupakan ingkar janji atau tidak memenuhi apa yang diharapkan pasien dan
keluarganya dapat digugat dengan : Pasal 62 dengan denda 500 juta (2 tahun)
atau sampai 2 milyar (5 tahun)” dan UU RI No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Pasal 54 yaitu ’’Tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin”.
Implikasi pada kasus diatas perlu dianalisis kembali apakah terjadi
negligence atau kelalaian yang memang dilakukan oleh Ns. Anton menilik dari
terjadinya cedera pasca restrain Nn.K yaitu adanya luka dan lebam yang
diakibatkan oleh pemasangan restrain. Telah diidentifikasi bahwa Ns. Mela dan Ns.
Anton merupakan perawat baru yang belum berpengalaman dan belum memiliki
kompetensi yang cukup dalam pemasangan restrain sehingga tidak sesuai dengan
prosedur yang ada.
Identifikasi kasus berdasarkan prinsip 4D antara lain kejadian ini memenuhi
semua persyaratan 4 D, yakni Duty : Sebagai tenaga kesehatan yang sedang
bertugas, seharusnya menjalankan kewajiban profesinya dengan selalu hati-hati,
bertanggung jawab, teliti dan mengevaluasi kemampuanya sendiri dalam
pelaksanaan restrain. Dereliction of The Duty (tindakan menyimpang dari apa yang
seharusnya) : Tindakan restrain memiliki prosedur dan pedoman untuk
keselamatan pasien diantaranya simpul restrain harus benar, tidak terlalu erat atau
longgar dan sesuai anatomis klien. Tindakan restrain yang kurang tepat dan tidak
sesuai standar keselamatan klien merupakan Dereliction of The Duty (tindakan
menyimpang dari apa yang seharusnya). Damage : Tindakan ini menyebabkan
cedera pada pasien pasca restrain, hal ini menunjukkan kerugian di pihak pasien
yang menyebabkan injury. Direct Causation : Kerugian yang terjadi pada pasien
merupakan hubungan sebab akibat langsung dari tindakan yang dilakukan. Dari
analisis diatas dapat disimpulkan bahwa perawat telah melakukan kelalaian
(negligence) dan telah memenuhi syarat 4D.
Peraturan dan Aspek legal restrain dan seklusi sudah ada di negara-negara di
dunia. Amerika Serikat merupakan negara yang mempunyai peraturan mengenai

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 37


restain dan seklusi pada pasien. Peraturan tentang restrain dan seklusi pada pasien
ini ada pada Federal Register Part IV Departement of Health and Human
Services; Medicare and Medicaid Programs; Hospital Conditions of Partisipation;
Patients’ Right; Final Rule tahun 2006. Peraturan tentang restrain dan seklusi
dibahas secara umum. Peraturan tersebut membahas restrain pada pasien umum dan
pasien gangguan jiwa. Dalam peraturan ini terdapat kriteria-kriteria restrain dan
seklusi antara lain pengaturan penggunaan restrain, tempat seklusi yang kondusif,
keamanan alat restrain dan siapa yang berhak melakukan restrain maupun seklusi.
Sangat dibutuhkan Peraturan dan kebijakan tertulis tentang restrain dan seklusi
untuk diaplikasikan di Indonesia dalam upaya perlindungan hukum baik pada
pasien maupun perawat yang melakukan restrain ataupun seklusi. Perlu
dipertimbangkan lebih lanjut bahwa dalam penatalaksanaan pasien dengan perilaku
kekerasan tindakan seklusi (pengurungan) diberikan terlebih dahulu untuk meredam
emosi klien mengingat restrain adalah alternatif terakhir dalam penanganan pasien
gangguan jiwa dan beresiko untuk cedera apabila terjadi perlawanan di pihak
pasien selama proses restrain.
Restrain dan seklusi selain membahayakan pasien tindakan ini juga bisa
membahayakan staff perawat yang melakukannya yaitu mengalami cedera atau
mendapatkan sangsi (NASMHPD dalam Kaufman, 2012). Sebuah penelitian pernah
menemukan kasus dimana pasien mengamuk dan perawat melakukan tindakan
untuk merestrain dan seklusi pasien, tetapi karena tidak ada standar maka pasien
tersebut mengalami fraktur pada bagian tangan dan perawat tersebut di berikan
sanksi karena telah membahayakan keselamatan pasien. Penelitian yang berjudul
Staff perceptions and organizational factors as predictors of seclusion and restraint
on psychiatric wards menulis alasan yang membuat perawat di ruangan jiwa merasa
tidak nyaman melakukan restrain dan seklusi, alasan ketidaknyamanan dalam
melaksanakan restrain dan seklusi adalah peralatan yang kurang memadai,
peraturan yang tidak jelas hingga staff ikut merasa emosi ketika ada pasien yang
mengamuk dan di berikan restrain sekaligus seklusi .
Pada kenyataannya masih banyak pasien yang di restrain dan seklusi serta
mendapatkan berbagai dampak akibat dari hal tersebut. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa belum adanya peraturan khusus tentang standar-standar restrain dan seklusi

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 38


serta kebijakan tentang sangsi yang sesuai. Perawat sebagai tenaga kesehatan
dengan kontak terlama dengan pasien dapat menjadi korban dalam pelaksanaan
restrain dan seklusi karena tidak ada peraturan khusus yang menangani tentang
restrain dan seklusi secara terperinci. Saat ini di Indonesia belum ada ditemukan
peraturan, aspek legal, kebijakan mengenai restrain untuk penanganan pasien yang
amuk dan tidak terkontrol yang lebih spesifik. Banyak kasus yang mengakibatkan
pasien menjadi trauma karena tindakan restrain. Restrain dan seklusi
mengakibatkan banyaknya dampak negatif jika tidak dilakukan sesuai standar dan
secara tidak langsung juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) pasien itu sendiri.
Hal ini dapat menyebabkan dilema ketika pasien dengan gangguan jiwa
harus dilakukan restrain dan seklusi tetapi mengalami cedera karena pasien tersebut
melawan restrain atau seklusi yang di berikan, secara tidak langsung perawat akan
dirugikan karena peraturan ini. Berorientasi pada permasalahan ini dibutuhkan
aspek legal dalam bentuk peraturan dan kebijakan dalam pelaksanaan restrain dan
seklusi pada pasien dengan gangguan jiwa.
Penanganan klien gangguan jiwa tentu tidak hanya tanggung jawab perawat
klinik dan keluarga, tetapi juga di komunitas, peran perawat puskesmas dan
masyarakat jauh lebih penting. Sistem pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia
hingga tahun 2000 masih menganut sistem pusat pelayanan kesehatan jiwa adalah
Rumah Sakit Jiwa. Sistem pelayanan kesehatan terintegrasi dengan sistem rujukan
dari puskesmas atau dinas sosial menuju RSU dengan fasilitas perawatan jiwa atau
RSJ. Sistem rujukan ini menjadi polemik ketika pasien selalu masuk berulang kali
ke RSU atau RSJ tersebut. Hal ini terjadi karena dengan sistem terpusat pada RSJ
perawatan pada pasien gangguan jiwa tidak paripurna sehingga angka kekambuhan
juga terus meningkat. Sistem pelayanan kesehatan jiwa terpusat tidak
mempersiapkan masyarakat dalam menerima kembali pasien jiwa yang telah selesai
masa rehabilitasinya, sehingga stigma negatif masyarakat pada pasien gangguan
jiwa dan pada keluarga pasien. hal ini tentu membawa dampak, keluarga yang tidak
dipersiapkan dalam merawat pasien dan jauhnya pusat kesehatan jiwa dari
masyarakat menjadi pemicu tingginya angka kekambuhan gangguan jiwa di
Indonesia. Angka kekambuhan tersebut akan membawa beban pada keluarga
sehingga tidak sedikit keluarga yang memilih pemasungan sebagai jalan keluar dari

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 39


masalah gangguan jiwa yang terjadi pada anggota kelarga mereka . Sistem
kesehatan jiwa berbasis rujukan menjadi pilihan Indonesia hingga munculnya
berbagai penelitian dan studi banding dengan negara maju yang lebih menganut
sistem kesehatan jiwa berbasis komunitas, mengantarkan Indonesia menuju
reformasi sistem pelayanan kesehatan jiwa.
Sistem pelayanan kesehatan jiwa di negara maju salah satunya di negara-
negara Eropa telah sejak lama menganut sistem pelayanan kesehatan berbasis
komunitas. Sistem pelayanan berbasis komunitas atau keluarga dipandang sebagai
sebuah sistem yang memanusiakan para penderita gangguan jiwa. Perawatan
dengan berbasis masyarakat akan menurunkan stigma masyarakat pada penderita
gangguan jiwa secara sendirinya jika masyarakat benar-benar dilibatkan dalam
perawatan pasien. Di negara maju misalnya Norwegia pelayanan kesehatan jiwa di
RSJ hanya dilakukan apabila penderita membahayakan dirinya dan lingkungannya.
Pusat kesehatan jiwa pada negara maju dengan sistem berbasis masyarakat tidak
hanya mengandalkan Puskemas sebagai ujung pelayanan. Berbagai fasilitas
kesehatan jiwa didalam masyarakat didirikan, seperti pusat kesehatan jiwa
masyarakat, pusat kesehatan jiwa keluarga, rumah aktivitas bagi penderita
gangguan jiwa, pelayanan kesehatan jiwa di rumah dan pusat kesehatan jiwa di
sekolah. Dukungan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa di setiap pusat
pelayanan kesehatan jiwa di Norwegia dilakukan dengan menempatkan tenaga-
tenaga kesehatan yang berkualitas, seperti adanya dokter keluarga sebagai pusat
rujukan pertama masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa.
Kemudian pemerintah juga menempatkan banyak perawat jiwa pada setiap unit
pelayanan kesehatan yang dibantu oleh para pekerja sosial yang telah dilatih
tentang penanganan pasien jiwa, serta menempatkan spesialis jiwa untuk
penanganan tindak lanjut sebelum pasien di rujuk ke rumah sakit jiwa atupun ketika
pasien kembali dari rumah sakit jiwa ke masyarakat. Pelayanan spesialis ini akan
diperoleh pasien jiwa di pusat kesehatan jiwa mayarakat. Selain itu pemerintah
Norwegia juga membangun pabrik-pabrik yang memperkerjakan para penderita
gangguan jiwa yang telah mandiri, karena kesulitan tersering yang dihadapi pasien
gangguan jiwa yang telah sembuh adalah kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan .

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 40


Sistem kesehatan jiwa yang paripurna inilah yang ingin dikembangkan pemerintah
Indonesia dalam reformasi sistem kesehatan jiwa.
Mulai tahun 2000 mulai disusun reformasi pelayanan kesehatan jiwa.
Pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia mencakup 3 kategori yaitu: pelayanan
kesehatan jiwa yang terintegrasi pada pelayanan kesehatan umum (primer, sekunder
dan tersier), pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat dan pelayanan
kesehatan jiwa di institusi khusus (RSJ, Bag Psikiatri RS Pendidikan dan Klinik-
klinik superspesialis). Meskipun untuk pelayanan kesehatan jiwa telah diatur dalam
beberapa peraturan yang memungkinkan bagi daerah untuk mengembangkan
potensi lokalnya, namun penerapan pelayanan kesehatan jiwa dilapangan masih
terpusat pada pelayanan kesehatan jiwa di institusi khusus. Pemahaman bahwa
pelayanan kesehatan jiwa dapat dilakukan pada sarana kesehatan yang tersedia
seperti puskemas, balai kesehatan masyarakat, RSU ternyata masih sangat rendah
bahkan pada petugas kesehatan. Pada tingkat pelayanan primer, setiap kecamatan di
Indonesia telah memiliki paling sedikit satu puskesmas dan sebagian besar desa
telah dilayani oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta seperti
praktek dokter dan bidan. Sebagai akibat tidak masuknya kesehatan jiwa dalam
enam kegiatan pokok puskesmas, kemampuan puskesmas pada umumnya sangat
terbatas baik dalam diagnostic maupun terapi. Demikian pula promotif dan
preventif belum dilaksanakan secara terpadu di masyarakat. Pada tingkat pelayanan
kesehatan sekunder hampir sebagian besar kabupaten/kota telah memiliki rumah
sakit umum. Kemampuan RSU ini dalam menangani kasus gangguan jiwa sangat
terbatas dan tidak tersedia ruang perawatan untuk kasus kegawatdaruratan
psikiatri . Perbaikan sistem pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih menemui
berbagai kendala mulai dari pedoman pelayanan, SDM hingga jaminan kesehatan.
Pentingnya layanan kesehatan jiwa di Puskesmas telah sangat disadari oleh
dunia Internasional dan menjadi komitmen termasuk di negara-negara ASEAN,
terutama dalam menanggulangi treatment gap. Namun demikian, pemerintah dalam
hal ini Direktorat Kesehatan Jiwa masih mengalami kesulitan untuk memasukkan
layanan kesehatan jiwa pada program pokok puskesmas (dalam revitalisasi
puskesmas). Selain hal tersebut, SDM kesehatan jiwa di tingkat Puskesmas juga
masih rendah berdasarkan Rifaskes 2011 sebanyak 61,2% puskesmas (dari jumlah

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 41


sekitar 9000) menyatakan melakukan layanan kesehatan jiwa, namun baru sekitar
46,3% tenaga kesehatan puskesmas pernah mendapatkan pelatihan tentang
kesehatan jiwa. Kendala kedua pada perbaikan sistem pelayanan kesehatan jiwa
adalah adanya buku pedoman penanganan kesehatan jiwa di puskesmas tahun 2010
yang telah disosialisasikan ke Dinas Kesehatan Provinsi, namun demikian dalam
rifaskes 2011, baru sebanyak 42,8% yang sudah mendapatkan buku pedoman
tersebut. Program untuk mendukung integrasi layanan kesehatan jiwa ke dalam
layanan umum puskesmas, WHO telah membuat guide yaitu Mental Health Gap
Intervention Guide tahun 2010 yang berisi deteksi dini dan algoritma penanganan
secara praktis masalah-masalah kesehatan jiwa yang umum terjadi di puskesmas
dan kriteria pasien dapat dirujuk. Direktorat Kesehatan Jiwa juga telah membuat
modul pelatihan berdasarkan Mental Health Gap Intervention Guide, dan
melakukan pelatihan keterampilan (refreshment) kepada dokter dan perawat
puskesmas pada tahun 2012 di 7 kabupaten yang memiliki masalah kesehatan jiwa
terbanyak berdasarkan pertimbangan riskesdas dan rifaskes, mulai tahun 2013 akan
dilaksanakan dengan sistem regionalisasi (ke provinsi) sebagai upaya perbaikan
sistem kesehatan jiwa di Indonesia .
Ilustrasi kasus diatas memberikan gambaran bahwa kebijakan untuk
pemberdayaan masyarakat dan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat mulai
dikembangkan. Apabila sebelumnya kontrol hanya bisa dilakukan pada fasilitas
kesehatan tingkat lanjut seperti RSU atau RSJ, saat ini untuk pelayanan kesehatan
jiwa yang telah selesai melakukan perawatan di RSJ atau telah melewati fase akut
dapat dirawat pada fakes tingkat satu. Selain itu pada ilustrasi kasus diatas telah
dikembangkan empowering atau pemberdayaan keluarga dalam merawat pasien
gangguan jiwa. tentu saja pemberdayaan atau memandirikan keluarga dalam
merawat klien dengan gangguan jiwa memerlukan pelatihan dan pengawalan dari
kader kesehatan jiwa ataupun pihak puskesmas. Selain itu pihak puskesmas juga
harus memberdayakan masyarakat agar stigma terhadap pasien gangguan jiwa tidak
lagi melekat, sehingga lingkungan yang kondusif akan lebih mempercepat proses
rehabilitasi pasien gangguan jiwa. selain itu dengan peningkatan informasi pada
masyarakat tentang perawatan pasien gangguan jiwa berbasis komunitas, maka
diharapkan dapat menurunkan angka restrain, seklusi atau pasung yang dilakukan

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 42


keluarga ataupun masyarakat. Berbagai pendapat peneliti yang bergerak pada
pembebasan pasung mempunyai kesepakatan bahwa stigma merupakan alasan
utama seorang pasien mendapatkan tindakan restrain, seklusi ataupun pasung.
Stingma penderita gangguan jiwa di Indonesia masih sangat kuat. Stigma tersebut
berasal dari diri penderita sendiri, keluarga maupun masyarakat. Stigma yang
berasal dari penderita adalah penolakan labeling. Stigma kedua adalah stigma
keluarga terhadap penderita gangguan jiwa. Keluarga memiliki keyakinan bahwa
gangguan jiwa merupakan aib bagi keluarga, apalagi apabila keluarga tidak mampu
merawat pasien gangguan jiwa. Kondisi ini akan menjadi stressor bagi keluarga dan
apabila koping keluarga tidak efektif maka jalan pemasungan menjadi pilihan.
Stigma ketiga yang turut mendorong pemasungan adalah stigma masyarakat
terhadap gangguan jiwa. Stigma negative pada gangguan jiwa akan disematkan
lingkungan atau masyarakat pada penderita dan keluarga. Gangguan jiwa dianggap
penyakit yang lebih buruk dari penyakit fisik oleh masyarakat. Kondisi penderita
yang semakin parah akan mendorong stingma lebih negative dan kompleks
sehingga pengucilan atau pengisolasian bahkan penolakan masyarakat dapat terjadi.
Hal tersebutlah yang mendorong keluarga untuk melakukan pemasungan pada
pasien dengan gangguan jiwa .
Salat satu upaya perbaikan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia adalah
berbagai kebijakan yang mendorong keberhasilan program Indonesia bebas pasung
2014. Pasung sudah menjadi perhatian dari Kementrian Kesehatan RI. Tahun 2011
Menteri Kesehatan mencanangkan Indonesia bebas pasung 2014. Belum
tercapainya program Indonesia bebas pasung 2014 dikarenakan penanganan yang
signifikan dan komperhensif belum terlihat. Koordinasi dari pusat hingga ke daerah
pada tenaga kesehatan daerah belum terlihat jelas, sehingga Menteri Kesehatan
mengevaluasi Indonesia bebas pasung dari 2014 ke 2019. Pencapaian visi ini bukan
mustahil apabila komitmen yang jelas dan tegas dari pemerintah pusat dilanjutkan
dengan koordinasi yang baik hingga tenaga kesehatan di tingkat puskesmas .
Berbagai peraturan Gubernur telah diterbitkan dalam pendukung program Indonesia
bebas pasung diantaranya PerGub Sumatra Selatan no 36 2015 tentang
penanggulangan pemasungan ODGJ menjadi dasar Sumatra Selatan untuk
mengejar target Sumatra Selatan Benas pasung 2018. Pemerintah Sumatra Selatan

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 43


untuk mendukung realisasi pergub ini pihaknya juga telah membentuk tim peduli
pasung provinsi. Tim ini terdiri dari unsur pemprov, organisasi profesi, organisasi
masyarakat, LSM peduli kesehatan jiwa dan dunia usaha. Ketika ditemukan adanya
orang yang dipasung maka tim inilah yang akan bergerak untuk menuju tempat
orang yang dipasung dan membawanya ke RS Ernaldi Bahar (Erba) untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun, Pemerintah SumBar tetap
menitikberatkan perawatan atau rehabilitasi pasien gangguan jiwa berbasis
masyarakat, karena pemerintah SumBar meyakini jika masyarakat diberdayakan
dan kondusif maka rehabilitasi pasien gangguan jiwa akan lebih maksimal pada
setting komunitas. Peraturan Gubernur tentang bebas pasung lainnya adalah PerGub
Jawa Tengah no. 1 tahun 2012 telah menjadi dasar pembentukan desa siaga sehat
jiwa di Jawa Tengah. Peraturan Gubernur lainnya adalah PerGub NTB dan DIY.
PerGub DIY No 81 tahun 2014 menjadi dasar penanggulangan pasung pada DIY.
Pelaksanaan PerGub DIY ini diwujudkan dengan pembentukan Rehabilitasi
berbasis masyarakat, Tim kesehatan jiwa pada pelayanan primer, Kader kesehatan
jiwa, Kelompok bantu diri swabantu yang merupakan self help group yaitu sebuah
kelompok pemberdayaan masyarakat yang terdiri dari keluarga para penderita
gangguan jiwa. Adanya kelompok swabantu tersebut diharapkan dapat menjadi
solusi untuk meningkatkan peran aktif kaluarga dan masyarakat dalam merawat
pasien gangguan jiwa. Adanya Desentralisasi atau otonomi daerah, mendorong
masing –masing daerah untuk berlomba-lomba dengan peraturan, program dan
anggaran dalam mewujudkan bebas pasung pada daerah mereka. Beragamnya
program dan perbedaan karakteristik SDM serta tidak samanya jumalah anggaran
yang dialokasikan dalam penanganan pasung ini membawa dampak terhadap
pilihan program dan kebijakan public yang dihasilkan oleh masing-masing daerah .
Deinstitusionalisasi atau pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat
adalah kebijakan internasional di bidang kesehatan jiwa yang telah dijalankan di
Indonesia. Meskipun demikian, masih banyak masalah mendasar yang perlu
dibenahi antara lain adalah mencari model pelayanan kesehatan jiwa masyarakat
yang tepat dengan kondisi sosial dan budaya di Indonesia. Selain itu, JPKM dan
asuransi kesehatan harus dapat dikembangkan secara optimal sehingga mampu
menjangkau para penderita yang memerlukan pelayanan kesehatan jiwa.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 44


Deinstitusionalisasi dapat diimplementasikan secara berhasil apabila mendapat
dukungan dari berbagai pihak khususnya pihak legislatif terutama dalam
mendukung upaya penyediaan anggaran kesehatan jiwa masyarakat dan jaminan
obat-obat psikotropika generasi baru. Kebijakan deinstitusionalisasi yang ideal itu
hanya mungkin terimplementasi secara memadai apabila jumlah tenaga kesehatan
jiwa tersedia secara memadai. Bersamaan dengan pelaksanaan kebijakan
desentralisasi, pemerintah daerah seharusnya mampu membiayai pelatihan dan
pendidikan lanjut bagi para tenaga kesehatan jiwa yang diharapkan dapat bekerja di
daerahnya dan mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa yang kompeten dan
paripurna .

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 45


BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN
Restrain merupakan salah satu metode yang digunakan untuk penanganan pasien
amuk. Secara hokum, restrain diperbolehkan asalkan dengan cara dan tehnik yang
benar. Hal itu dikarenakan, tehnik restrain yang kurang tepat dapat mengakibatkan
cidera bagi klien. Sehingga, hal tersebut yang akan menjadi kelalaian bagi perawat
bahkan mengacu pada keselamatan pasien. Apabila hal tersebut terjadi, maka perawat
dapat dikenakan sanksi yang berupa sanksi perdata, pidana, maupun administrative.
Selain itu, keluarga berhak menuntut perawat karena kelalaiannya yang dapat
menimbulkan cidera bagi klien.

SARAN
1. Lakukan restrain hanya pada saat tindakan mendesak dan hal tersebut merupakan
satu-satunya cara untuk mengendalikan amuk klien.
2. Lakukan tehnik restrain dengan benar.
3. Lakukan restrain atas persetujuan keluarga

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 46


Referensi

Aedil, M., & Syafar, M. (2013). Perilaku Petugas Kesehatan dalam Perawatan Pasien
Gangguan Jiwa Skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2013. Jurnal UNHAS\
Aras, H. I. (2014). Violence in Schizophrenia. Psikiyatride Guncel Yaklasimlar -
Current Approaches in Psychiatry, 6(1)
Barbosa, Camila Padilha, Aires, Barbosa Juliana, Farias, Isabela Yasmin dos Santos,
Linhares, Francisca Marcia Percira, & Griz, Silvana Maria Sobral. (2013).
Newborn and infant hearing health education for nursing professionals.
Brazilian Journal of Otorhinolaryngology, 79(2). doi: 10.5935/1808-
8694.20130039
Berzlanovich, A. M., Schöpfer, J., & Keil, W. (2012). Deaths due to physical restraint.
Deutsches Ärzteblatt International, 109(3), 27.
Bowers, L., & Crowder, M. (2012). Nursing staff numbers and their relationship to
conflict and containment rates on psychiatric wards—A cross sectional time
series Poisson regression study. International journal of nursing studies, 49(1),
15-20.
Briner, M., & Manser, T. (2013). Clinical risk management in mental health: a
qualitative study of main risks and related organizational management practices.
BMC health services research, 13(1), 44.
Crocker, A.G., Mercier, C., Lachapelle, Y., Brunet, A., Morin, D., & Roy, M. E. (2006).
Prevalence and Types of Aggressive Behaviour Among Adults With Intelectual
Disabilities. Journal of Intellectual Disability Research, 50(9), 652-661. doi:
10.1111/j.1365-2788.2006.00815.x
Damayanti, D. (2013). Buku Pintar Perawat Profesional Teori & Praktik Asuhan
Keperawatan. Yogyakarta : Mantra Books.
De Benedictis, L., Dumais, A., Sieu, N., Mailhot, M. P., Létourneau, G., Tran, M. A. M.
& Lesage, A. D. (2011). Staff perceptions and organizational factors as
predictors of seclusion and restraint on psychiatric wards. Psychiatric Services,
62(5), 484-491
Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika.
Goethals, S., Casterle, B. D., & Gastmans, C. (2013). Nurses’ Ethical Reasoning In
Cases Of Physical Restraint In Acute Elderly Care: A Qualitative Study. Med
Health Care and Philos, 16, 983–991. doi: 10.1007/s11019-012-9455-z.
Haimowits, S., Urff, J., & Huckshorn, K. A. (2006). Restraint and Seclusion – A Risk
Management Guide. Retrieved from http://www.nasmhpd.org
Hasyim, M., Prasetyo, J., Ghofar, A. (2014). Buku Pedoman Keperawatan: dari etika
sampai kamus keperawatan. Yogyakarta : Indoliterasi.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 47


Huizing, A.R., Hamers, J.PH., Gulpers, M. JM., & Berger, M. PF. (2006). Short-Term
Effects Of An Educational Intervention On Physical Restraint Use: A Cluster
Randomized Trial. BMC Geriatrics, 6(17). doi:10.1186/1471-2318-6-17.
Idaiani, S. (2010). Kesehatan Jiwa di Indonesia dari Deinstitusionalisasi sampai
Desentralisasi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 4(5).
Information, Canadian Institute for Health. (2011). Restraint Use and Other Control
Interventions for Mental Health Inpatients in Ontario Idaiani, S. (2010).
Kesehatan Jiwa di Indonesia dari Deinstitusionalisasi sampai Desentralisasi.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 4(5).
J., Sadock B., A., Sadock V., & Kaplan. (2007). Synopsis of Psychiatry Behavuour
Science/Clinical Psychiatry (Vol. 10). Lippincott Williams & Wilkins.
Kaufman, E. A., McDonell, M. G., Cristofalo, M. A., & Ries, R. K. (2012). Exploring
barriers to primary care for patients with severe mental illness: frontline patient
and provider accounts. Issues in mental health nursing, 33(3), 172-180.
Keliat, Anna Budi. (2009). Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: ECG.
Keliat, B.A dan Akemat (2011). Marah Akibat Penyakit yang di derita. Jakarta : EGC.
KepMenkes 148 Tahun 2010
Kontio, R., Välimäki, M., Putkonen, H., Kuosmanen, L., Scott, A., & Joffe, G. (2010).
Patient restrictions: Are there ethical alternatives to seclusion and restraint?
Nursing Ethics, 17(1), 65-76. doi: http://dx.doi.org/10.1177/0969733009350140
Knox, D.K & Holloma,, G.H. (2012). Use avoidance of seclution and restraint:
consensus statement of The American Association for Emergency Psychiatric
project BETA seclution and restraint workgroup. US National Library of Medicine
National Institute. 13(1): 35-40.
Kruger, C., Mayer, H., Haastert, B., & Meyer, G. (2013). Use of physical restraints in
acute hospitals in Germany: A multi-centre cross-sectional study. International
Journal of Nursing Studies, 1599–1606.
Lestari, W, & Wardhani, Y. F. (2014). Stigma and Management on People with Severe
Mental Disorders with “Pasung” (Physical Restraint). Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 7(2), 157-166.
Machira, C. R. (2011). Integration of mental health into community health care in
indonesia: A review of the current challenges. Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 14(3), 120-126.
Malfasari,E, Keliat, B.A., dan Daulima, N.H.C. (2014). Analisis legal aspek dan
kebijakan restrain, seklusi dan pasung pada pasien dengan gangguan jiwa.
Retrieved from yimg.com
Malfasari, E., Keliat, B. A., Daulima, N. H. C., & Indonesia, F. I. K. U. Analisis legal
aspek dan kebijakan restrain, seklusi dan pasung pada pasien dengan gangguan
jiwa.
Minas, H., & Diatri, H. (2008). Pasung: Physical restraint and confinement of the
mentally ill in the community. International Journal of Mental Health Systems,
2(1), 1-5. doi: 10.1186/1752-4458-2-8
Moghadam, M. F., Khoshknab, M. F., & Pazargadi, M. (2014). Psychiatric Nurses’
Perceptions about Physical Restraint; A Qualitative Study. IJCBNM, 2(1), 20-
30.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 48


National Mental Health Consumer & Carer Forum, N. (2009). Ending seclusion and
restraint in Australian mental health services. Retrieved from
www.nmhccf.org.au
NMHCCF. (2012). Ending Seclusion and Restraint in Australian Mental Health
Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan: aplikasi dalam praktik keperawatan
professional. (4 ed.). Jakarta: Salemba Medika
Prihantini, D.A.S. (2014). Keefektifan penggunaan restrain terhadap penurunan perilaku
kekerasan pada pasien skizofrenia. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 3,
No 2, November 2014, hlm 106-214
Puteh, I, Marthoenis, M, & Minas, H. (2011). Aceh Free Pasung: Releasing the mentally
ill from physical restraint. Internattional Journal of Mental Health System,
5(10), 1-5.
Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan
Gangguan Jiwa. Medan: USU Press
Ranjan, J. K., Prakash, J., Sharma, V. K., & Singh, A. R. (2010). Manifestation of
Auditory Hallucination in the Cases of Schizophrenia. SIS Journal of
Projective Psychology & Mental Health, 17(1), 76-79.
Scotland, Mental Welfare Commission for. (2013). Good Practice Guide Rights, risks
and limits to freedom (Vol. Mental Welfare Commission for Scotland).
Scheepmans, K., Casterle, B. D., Paquay, L., Gansbeke, H. V., & Milisen, K. (2014).
Restraint Use In Home Care: A Qualitative Study From A Nursing Perspective.
BMC Geriatrics, 14(17). doi:10.1186/1471-2318-14-17.
Services. (Seclusion and Restraint in Mental Health Services). Retrieved from
www.nmhccf.org.au
SK Mendagri No. 29/6/15 Tahun 1977
Stuart & Sundeen. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta: EGC.
Stuart and Laraia (2005). Principlesand practice of Psichiatric Nursing. (5 th Ed).
Medical University of South Carolina.
Trimaya, A. (2014). Mengimplementasikan upaya kesehatan jiwa yang terintegrasi,
komprehensif, dan berkesinambungan melalui undang-undang kesehatan jiwa.
Jurnal Rechts Vinding.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
UU Tenaga Kesehatan No. 36 Tahun 2014
UU Kesehatan Jiwa No.18 Tahun 2014
UU Keperawatan No. 38 Tahun 2014
UU Kesehatan No. 36 tahun 2009
Videbeck, Sheila L (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa; alih bahasa : Renata
Komalasari, Afrina Hany; editor edisi Bahasa indonesia, Pamilih Eko Karyuni.
Jakarta: EGC.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 49


Widodo, A., & Witojo, D. (2008). Pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan
tingkat perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia di rumah sakit sakit jiwa
daerah surakarta.
Yosep, Iyus. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refrika Aditama.

Restrain Dalam Segi Hukum - Page | 50

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai