Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

Disusun Oleh :

Nama : Nipriyanti
NIM : 2019040730

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS AN-NUUR PURWODADI
2019/2020

1
LAPORAN PENDAHULUAN
ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

A. Definisi
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi
fisik yang merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus
gangguan psikiatri. Indikasi utama adalah depresi berat (Elvira & Hadisukanto,
2013).
ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk
gangguan psikiatri dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak
pasien yang berada dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan alat khusus.
Terapi Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk
pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental
serius lainnya (Sadock BJ, 2015).
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang
dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi
otot. Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu
rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien.
Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena
penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut
terangsang dan tidak merasa nyeri (Mental Health, Drugs And Division
Regions, 2012).
B. Sejarah Perkembangan ECT
Pada 1934 pengobatan yang menggunakan bangkitan kejang,
diperkenalkan dan ditulis di London Medical pengidap skizofrenia dan
penderita epilepsi yang disertai gangguan jiwa. Bila serangan epilepsi datang
maka gangguan jiwanya membaik. Berdasarkan pengamatannya ini maka ia
mendapat inspirasi pada penderita skizofenia dibuat kejang untuk menghilang
gejala-gejala gangguan jiwanya. Pada mulanya (Lasdislas J. Meduna)
menggunakan kamper dan kemudian digunakan metrazol (cardiazol). Selama 3
tahun metrazol digunakan untuk membangkitkan kejang dan dipergunakan

2
secara luas keseluruh dunia pada saat itu. Pada tahun 1937 diadakan pertemuan
internasional terapi kejang di Swiss oleh Muller seorang psikiater, kemudian
diterbitkan cara kerjanya di American Journal of Psychiatry. Selama 3 tahun,
cardiazol sebagai terapi kejang yang sudah dipakai secara luas dan mendunia.
Ugo Cerletti, seorang profesor neuropsikiatri, yang berkebangsaan Itali, juga
mengembangkan terapi kejang yang menggunakan listrik dengan uji coba pada
binatang. Lucio Bini teman Ugo Cerletti mempunyai ide, bahwa untuk
menimbulkan kejang dipakai listrik untuk menggantikan metrazol. Tahun 1937
percobaan pertama pada manusia yaitu, Sherwin B. Nuland dan kemudian baru
pada tahun 1970, ia ditetapkan sebagai orang pertama yang menjalani terapi
kejang listrik, serta dibuat uraian gambaran deskripsi dari hasil pada orang
yang pertama yang menjalani terapi kejang listrik tersebut (Yongki, 2012).
Terapi kejang listrik adalah bentuk pengobatan shok yang terjadi pada
pengobatan medis modern pada saat itu. ECT segera menggantikan metrazol
dan berkembang seluruh dunia karena beberapa faktor yaitu :
1. Lebih murah
2. Kurang menakutkan
3. Lebih cepat kerjanya
Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini dibatalkan,
sebab pada tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris dan Amerika
serikat. Selama tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan terapi kejang
listrik meluas.
Pada permulaan tahun 1940, untuk mengurangi gangguan ingatan dan
kebingungan setelah terapi kejang dilakukan diperkenalkan 2 cara modifikasi
dari ECT tersebut, yaitu :
1. Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi pelipis/temporal
yang dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala (verteks); untuk yang
kidal temporal kanan dan verteks.
2. Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang dipakai
pada pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus transfersal.
Aliran arus dibuat searah yang sinusoidal.

3
Friedman dan Wilcox, tahun 1942 melakukan modifikasi secara
unilateral dengan arus searah, Lancaster et.al di Inggris tahun 1958, melakukan
unilateral dengan menempatkan pada hemisfer non dominan untuk mengurangi
efek samping kebinggungan dan gangguan daya ingat sesudah ECT dan
hasilnya sama efektif dengan bilateral. Setelah beberapa tahun alat yang
memakai arus kejut listrik yang searah berkembang secara luas dan dipakai
seluruh dunia. ECT yang unilateral tidak begitu populer bagi para psikiater,
karena efek terapeutis kurang memuaskan.
Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui,
tidak pernah dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan kejang
yang maksimal, yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang
panjang. Pada tahun 1940 para psikiater mulai mengadakan penelitihan
eksprimental dengan menggunakan curare, disebut racun dari Amerika Selatan
yang dapat membuat otot jadi paralise untuk mengurangi akibat kejang yang
dihasilkan dari alat ECT tersebut. Kemudian diperkenalkan “suxamethonium”
(succinylcholine) zat yang sinthetis penggunaannya lebih aman dari curare.
Pada tahun 1951 digunakan secara luas untuk memodifikasi penggunaan dari
ECT dengan bantuan anaesthesi ringan biasanya berguna untuk menghindari
rasa takut pada pasien dan menghindari tercekik/tersumbatnya pernafasan.
Setelah ditemukan obat antidepresi yang dapat menangkal efek negatif ECT
dimedia masa, ditandai dengan menurunnya pemakaian ECT selama periode
tahun 1950 sampai 1970. Surat kabar, New York Times memberitakan
pandangan negatif terhadap ECT dari film yang berjudul “For Big Nurse in
One Flew Over the Cuckoo’s nest”. Ini adalah alat untuk menteror pikiran
masyarakat tentang ECT dan hal ini didukung citranya oleh novel Ken Kesey,
yang mengatakan bahwa berbahaya pada manusia bila penggunaan yang
berlebihan.
Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American Psychiatric
Association(APA) bahwa pengobatan depresi dipakai ECT dan selanjutnya
diikuti laporan dalam tahun 1990 sampai tahun 2001. Abrams tahun 1972 dan
Taylor tahun 1973 membuktikan bahwa metode unilateral tidak se-efektif

4
dengan cara bilateral dalam hasil terapeutiknya, maka dengan ini sampai
sekarang dilakukan secara bilateral.
Pada tahun 1976, Dr Blatchley mendemontrasikan keberhasilannya
dengan menggunakan ECT dengan arus listik yang searah yang dapat
mengurangi efek samping kognitif yang ditimbulkan, tetapi beberapa klinik di
AS masih menggunakan arus listrik yang bolak balik. Sebetulnya mulai tahun
1980 penggunaan ECT berkurang, tetapi penggunaan untuk depresi berat
meningkat, karena pemakai obat antidepresi harganya lebih mahal dari pada
menggunakan ECT. Pada 1985, National Institute of Mental Health dan
National Institutes of Health menetapkan bahwa ECT adalah masih kontroversi
pada pengobatan psikiatri karena ada efek samping yang signifikan dan dapat
dibuktikan bahwa masih efektif pada kasus gangguan psikiatri yang berat.
National Institute of Mental Health menetapkan aturan dari pengobatan yang
menggunakan ECT. Namun baru pada tahun 1990 American Psychiatric
Association, mengeluarkan pernyataan yang kedua, yang lebih spesifik dan
mendetail pada persalinan, pendidikan dan pelatihan ECT yang
didokumentasikan. Akhirnya pada tahun 2001, APA , mengeluarkan
pernyataan bahwa ECT masuk pada pengobatan modern yang prosedurnya
mengharuskan menanda tangani informed consent.
C. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama
perjalanan ECT yang mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan
neurotransmitter pusat, pelepasan hormon seperti arginine, vasopresin dan
oxytocin, dan perubahan ambang kejang (Puri et al., 2012).
Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah dengan
mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi positron (PET;
Positron Emission Tomography) mempelajari aliran darah serebral maupun
pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut telah menunjukkan
bahwa selama kejang aliran darah serebral, pemakaian glukosa dan oksigen,
dan permeabilitas sawar darah otak adalah meningkat. Setelah kejang, aliran
darah dan metabolisme glukosa menurun, kemungkinan paling jelas pada lobus

5
frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa derajat penurunan
metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus
kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal,
ECT sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai
dengan peningkatan ambang kejang saat terapi berlanjut (Sadock BJ et al.,
2015).
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah
memusatkan perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang
ini, perubahan sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir
setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion
ECT menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor
yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT
pada neuron serotonergik masih merupakan daerah penelitian yang
kontroversial. Berbagai penelitian telah menemukan suatu peningkatan reseptor
serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada neuron serotonin, dan
perubahan pada regulasi prasinaptik pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan
mempengaruhi sistem neuronal muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik.
Pada sistem pembawa kedua, ECT telah dilaporkan mempengaruhi
pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas adenylyl cyclase dan
phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam neuron (Sadock BJ,
Sadock VA, Ruiz P, 2015).
D. Indikasi
1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan
depresif berat atau ganggaun depresi mayor.
ECT harus dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien yang gagal
dalam uji coba medikasi, mengalami gejala yang parah atau psikotik,
mencoba bunuh diri atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki
gejala agitasi atau stupor yang jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT
menyebabkan sekurangnya derajat perbaikan klinis yang sama dengan terapi
standar dengan obat antidepressan.

6
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar.
Depresi delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif
terhadap ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode
depresi berat dengan ciri psikotik tidak lebih responsif terhadap ECT
dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun, karena episode
depresi berat dengan gejala psikotik adalah berespon buruk terhadap
farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering dipertimbangkan sebagai
terapi lini pertama untuk pasien dengan gangguan-gangguan depresi berat
dengan ciri melankolik (seperti gejala parah yang jelas, retardasi
psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan nafsu makan dan
berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap
ECT (Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P, 2015).
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul
dibandingkan lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data
menyatakan bahwa pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih
efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode manik. Tetapi,
terapi farmakologis untuk episode manik adalah sangat efektif dalam jangka
pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT untuk terapi episode
manik biasanya terbatas pada situasi dengan kontraindikasi spesifik untuk
semua pendekatan farmakologis (Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P, 2015).
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood
ditambah obat antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania parah
terkait dengan :
a. kelelahan fisik yang mengancam jiwa
b. resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan
pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya tidak
efektif atau tak tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan ECT, yang
relevan (Anderson I, et all., 2014).
3. Skizofrenia

7
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan
tidak untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala
afektif dianggap paling besar kemungkinannya berespons terhadap ECT
(Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P, 2015). Pemberian ECT pada pasien
skizofrenia diberikan bila terdapat :
a. Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
b. Katatonia
c. Riwayat ECT dengan hasil yang baik.
4. Indikasi lain
Penelitian kecil telah menemukan ECT efektif dalam pengobatan
katatonia, gejala terkait dengan gangguan mood, schizophrenia, dan
gangguan medis dan neurologis. ECT berguna untuk mengobati episode
psikotik, psikosis atypikal, gangguan obesif-kompulsif, dan delirium dan
kondisi medis seperti gangguan neuroleptic ganas, hypopituitarism,
gangguan kejang dan pada penyakit Parkinson. ECT juga dapat menjadi
terapi pilihan untuk depresi bunuh diri wanita hamil yang memerlukan
perawatan dan tidak bisa minum obat untuk geriatri dan sakit medis pasien
yang tidak bisa menggunakan obat antidepresan aman dan bahkan untuk
dan anak-anak dan remaja yang bunuh diri mungkin kurang respon untuk
antidepresan daripada orang dewasa. ECT tidak efektif dalam gangguan
somatisa, gangguan personaliti, dan gangguan kecemasan (Sadock BJ,
Sadock VA, Ruiz P, 2015).
E. Kontraindikasi
ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana
seorang pasien pada peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan
pemantauan ketat. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk ECT, dan
pemantauan janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali kehamilan risiko
tinggi atau rumit. Pasien dengan lesi sistem saraf pusat berada pada
peningkatan risiko untuk edema dan herniasi otak setelah ECT. Jika lesi kecil,
pengobatan pra dengan dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi
dikendalikan selama kejang dan risiko komplikasi serius diminimalkan untuk

8
pasien ini. Pasien yang mengalami peningkatan tekanan intraserebral atau
berisiko untuk perdarahan otak (misalnya, orang-orang dengan penyakit
serebrovaskular dan aneurisma) berada pada risiko selama ECT karena
peningkatan sawar darah otak selama kejang. Risiko ini dapat dikurangi,
meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan darah pasien selama
perawatan. Pasien dengan infark miokard adalah kelompok berisiko tinggi lain,
meskipun risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark miokard dan
lebih jauh berkurang 3 bulan setelah infark itu. Pasien dengan hipertensi harus
distabilkan pada obat antihipertensi mereka sebelum ECT diberikan.
Propranolol (Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan untuk
melindungi pasien tersebut selama pengobatan (Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz
P, 2015).
F. Prosedur Kerja
1. Informed Consent
Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT. Oleh
karena itu, dokter harus menjelaskan efek menguntungkan dan merugikan
dan pendekatan pengobatan alternatif. Proses informed consent harus
didokumentasikan dalam catatan medis pasien dan harus mencakup diskusi
tentang gangguan dan pilihan untuk tidak menerima pengobatan. Literatur
cetak dan rekaman video tentang ECT mungkin berguna untuk mendapatkan
persetujuan. Penggunaan paksa ECT harus disediakan untuk pasien yang
sangat membutuhkan pengobatan dan yang memiliki wali hukum yang
ditunjuk yang telah setuju untuk penggunaannya. Dokter harus tahu undang-
undang federal tentang penggunaan ECT (Sadock BJ & Sadock VA, 2015).
2. Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat meliputi :
a. Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan
otak)
b. Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
c. Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau
dengan pemberian premedikasi

9
d. Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
e. Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi
kejang.
3. Persiapan Alat :
a. Mesin ECT lengkap
b. Kasa basah untuk pelapis elektrode
c. Tabung dan masker oksigen
d. Penghisap lendir
e. Obat-obat : coramine, adrenalin
f. Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit
g. Tempat tidur datar dengan alas papan
4. Pelaksanaan :
a. Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
b. Bantalan gigi dipasang
c. Perawat memegang rahang bawah/kepala, bahu, pinggul dan lutut
d. Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang ditempelkan
dipelipis. Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti kejang klonik
dan kemudian akan terjadi fase apneu beberapa saat sebelum akhirnya
bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini sangat penting
diperhatikan tidak boleh terlalu lama.

10
Gambar 2.6 ECT
5. Pengawasan pasca ECT :
a. Penting dilakukan pengawasan karena pasien biasanya masih belum
sadar penuh.
b. Kondisi vital kembali seperti semula, biasanya pasien tertidur. Kadang-
kadang dapat juga pasien menjadi gelisah dan bergerak tidak menentu
seperti delirium. Pada fase ini sangat perlu diawasi sampai kesadaran
pulih kembali.
c. Setelah sadar, pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi
bahkan amnesia. Perlu distimulasi dengan cara mengajak berkomunikasi,
membantu memulihkan orientasi dan ingatan secara bertahap. Berikan
suasana tenang dan nyaman.
G. Penempatan Elektrode
1. ECT Bilateral
Posisi untuk elektroda pada ECT bilateral diilustrasikan pada
Gambar 2.7-1 (A). Pusat elektroda harus 4 cm di atas, dan tegak lurus, titik
tengah dari garis antara sudut lateral mata dan meatus auditori eksternal.
Satu elektroda diletakkan untuk setiap sisi kepala, dan posisi ini disebut
sebagai ECT temporal. (Beberapa penulis menyebut ECT frontotemporal.)
Ini merupakan posisi yang direkomendasikan untuk elektroda ECT bilateral
karena ini telah menjadi posisi standar dan tidak dapat diasumsikan bahwa
temuan penelitian terbaru dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya di ECT
bilateral . Ada eksperimen lain untuk posisi elektroda di ECT bilateral yaitu
ECT frontal, di mana jarak elektroda hanya sekitar 5 cm (2 inci) dan
masing-masing sekitar 5 cm di atas jembatan hidung. Sebuah modifikasi
lebih baru di mana elektroda diterapkan lebih lanjut selain telah diteliti
karena para peneliti menyarankan bahwa berkhasiat sebagai ECT bilateral
tradisional, tetapi dengan risiko yang lebih rendah dari efek samping
kognitif. Inggris ECT Review Group (2003) tidak menemukan perbedaan
yang signifikan antara ECT tradisional dan ECT bilateral baik dalam
kemanjuran klinis atau efek samping kognitif.

11
Gambar 2.7 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental / Elia’s
positioning (B)

2. ECT Unilateral
Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama
seperti dalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas
permukaan parietal dari kulit kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal
tidak penting, tujuan adalah untuk memaksimalkan jarak antara elektroda
untuk mengurangi arus listrik dan untuk memilih situs di mana busur
elektroda dapat diterapkan dengan tegas dan datar terhadap kulit kepala.
ECT unilateral biasanya diaplikasikan di atas belahan non-dominan, yang
merupakan sisi kanan kepala di kebanyakan orang . Ini adalah posisi yang
dianjurkan dalam ECT unilateral karena ini telah menjadi standar, dan tidak
dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat diekstrapolasi
untuk posisi lainnya.
Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih
sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan
sendirian. Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada
gambar 2.7-1 (B). Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal
atau d'ient's head. ECT unilateral dapat lebih efektif bila dilihat sebagai
tanggung jawab bersama dari tim klinik ECT. Beberapa dokter anestesi
secara rutin meminta pasien untuk mengaktifkan ke sisi kiri sebelum induksi

12
anestesi. Bantuan perawat atau anggota staf anestesi sangat penting untuk
melakukan tugas memutar kepala pasien.
H. Stimulus Listrik dan Kejang
Stimulus listrik harus cukup kuat untuk mencapai ambang kejang
(tingkat intensitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejang). Stimulus
listrik diberikan dalam siklus, dan setiap siklus berisi gelombang positif dan
gelombang negatif. Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara
pasien dan kemungkinan sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk
mencapai kejang anatar 25-60 detik dengan menggunakan jumlah energi listrik
terkecil. Sejumlah peralatan ECT memungkinkan penentuan energi stimulus
sebenarnya, dan nilai ini harus dipertahankan serendah mungkin. Kejang yang
lebih besar dari 60 detik sering menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang
supra dan harus dikurangi pada saat pengobatan berikutnya.
Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi
berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang yang
berlangsung kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali lagi. Jika hal
ini menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus
ditingkatkan, dan harus diberikan stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk
menimbulkan kejang yang adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri.
Karena keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi setelah
kejang, maka harus dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik sebelum
mengulangi stimulasi, selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan
oksigen.
I. Obat-Obatan Dalam Proses ECT
1. Antikolinergik Muskarinik
Obat antikolinergik muskarinik diberikan sebelum ECT untuk
meminimalkan sekresi oral dan pernapasan dan untuk memblokir bradycardi
dan asistole,kecuali denyut jantung istirahat di atas 90 per menit.Tujuan
antikolinergik adalah untuk melindungi terhadap bradikardi atau asistol
karena parasimpatis. Prinsipnya adalah menurunkan efek dari stimulasi
vagal karena ECT. Vagal refleks terjadi segera setelah stimulus ECT tanpa

13
bergantung besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan bradikardi atau
asistol transien. Jika aliran listrik mendekati atau melebihi ambang kejang,
kejang tonik-klonik dapat terjadi dengan disertai stimulasi simpatis.
Peningkatan aktivitas simpatis ini mengimbangi efek stimulasi vagal.
Namun jika aliran listrik gagal mencapai kejang (stimulasi subkonvulsi),
ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti stimulus menjadi besar
karena proteksi yang diberikan takikardi postiktal tidak ada.
a. Indikasi
(1) Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode titrasi
dosis, terutama pada sesi pertama ECT.
(2) Pasien yang menerima agen simpastis blocker
(3) Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan
misalnya adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik.
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg
iv atau 0,3-0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine
memiliki potensi lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi
blood brain barrier (sawar darah otak) dan memiliki efek antisialagogue.
2. Anasthesia
Tujuan : agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien
tidak menyadari adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama
kelumpuhan otot dan perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang
mungkin mengiringi permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang.
Prinsipnya adalah mendukung anestesi umum yang ringan dan sangat
singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat menyebabkan ketidaksadaran
pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek antikonvulsan,
meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan amnesia.
Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk ketidaksadaran yang
cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti
antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum
ada obat yang memenuhi semua karakter tersebut. Namun, methohexital
memenuhi banyak kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental,

14
ketamin, propofol, dan etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi
ECT.
3. Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada
sistem muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas.
Prinsipnya adalah menyediakan relaksasi otot . Secara umum, paralisis
penuh tidak dibutuhkan ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan
apneu yang memanjang. Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan
motor kejang harus diobservasi dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya
memfasilitasi oksigenasi, namun juga menurunkan penggunaan oksigen
oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus diberikan pada penggunaan
muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan resiko fraktur tulang
patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus ditentukan sebelum
pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes reduksi refleks
tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan succinylcholine
dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk
aritmia, peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena
suksinilkolin telah dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia,
telah dikembangkan muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini
harus ditentukan berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis
succinylcholine adalah 0,5-1 mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim
0,1-0,2 mg/kg, rocuronium 0,4-0,6 mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg,
merupakan obat-obat alternative untuk succynilcholine. Obat-obat muscle
relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan paralisis yang lebih lama, dan
baik onset maupun durasi kerja obat harus dimonitor oleh stimulator saraf.
J. Efek Samping ECT
1. Kematian
Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per pengobatan
dan 0,01 % untuk setiap pasien. Angka-angka ini menguntungkan
dibandingkan dengan risiko yang terkait dengan anestesi umum dan

15
persalinan. Kematian akibat ECT biasanya karena komplikasi
kardiovaskular.
2. Efek terhadap Sistem Saraf Pusat
Efek samping umum yang terkait dengan ECT adalah sakit kepala,
kebingungan, dan delirium setelah kejang . Kebingungan ditandai dapat
terjadi hingga 10 persen dari pasien dalam waktu 30 menit dari kejang dan
dapat diobati dengan barbiturat dan benzodiazepin. Delirium biasanya
paling menonjol setelah beberapa perawatan pertama pada pasien yang
menerima ECT bilateral atau yang mengidap gangguan neurologis. Delirium
yang khas terjadi dalam beberapa hari atau paling beberapa minggu.
3. Memory
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan
kehilangan memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan
ECT mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek samping yang
terburuk. Meskipun gangguan memori selama pengobatan , tindak lanjut
data menunjukkan bahwa hampir semua pasien yang kembali ke baseline
kognitif mereka setelah 6 bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun, mengeluh
kesulitan memori . Contohnya, pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang
mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan kenangan otobiografi tersebut
mungkin tidak akan pernah ingat. Tingkat kerusakan kognitif selama
perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke dasar terkait,
sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama pengobatan.
Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang telah
mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan memori,
yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang
disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa
studi pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua
menyimpulkan bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk dari ECT.
Ahli saraf dan epileptologists umumnya sepakat bahwa kejang yang
berlangsung kurang dari 30 menit tidak menyebabkan kerusakan saraf
permanen.

16
4. Efek samping lain dari Electroconvulsive Terapi
Fraktur sering disertai perawatan di hari-hari awal ECT. Dengan
penggunaan rutin relaksan otot, patah tulang dari tulang panjang atau
vertebra seharusnya tidak terjadi. Beberapa pasien, bisa terjadi pecah gigi
atau mengalami sakit punggung karena kontraksi selama prosedur. Nyeri
otot dapat terjadi pada beberapa individu, tetapi sering terjadi karena efek
depolarisasi otot dengan suksinilkolin. Nyeri ini dapat diobati dengan
analgesik ringan, termasuk obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Sebuah
minoritas yang signifikan dari pasien mengalami mual, muntah, dan sakit
kepala setelah pengobatan ECT.
5. Komplikasi
a. Luksasio dan dislokasi sendi
b. Fraktur vetebra
c. Robekan otot rahang
d. Apnoe
e. Sakit kepala, mual dan nyeri otot
f. Amnesia
g. Bingung, agresif, distruktif
h. Demensia

17
DAFTAR PUSTAKA

Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. (2015). Elektroconvulsive Therapy. Philadelphia:


Wolters Kluwer, 2015: 982 – 8
Yongki. (2012). Pro dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai
Terapi Alternatif Medis Pada Pasien Psikotik (2012). 317 : 22-7
Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. (2012). Buku Ajar Psikiatri (Textbook of
Psychiatry) Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Elvira SD, Hadisukanto G. (2013). Terapi Fisik dan Psikofarmaka di Bidang
Psikiatri. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia
Mental Health, Drugs And Division Regions. (2012) . Electroconvulsive Therapy
About You Rights. Victoria: Department of Health. Diakses dari
https://www2.health.vic.gov.au/.pdf, pada tanggal 28 Desember 2015.
Anderson I, Barnes R, Benbow S, Duffet R, Easton A, et all. (2014). The Place of
ECT in Contemporary Psychiatric Practice. London: The Royal Collage of
Pschyatrists, 2014 : 3-8
Scott A. (2014). Practical Administration Of ECT. London: The Royal Collage of
Pschyatrists, 2014 : 144 - 158.

Electro Convulsive Therapy(ECT) merupakan suatu bentuk terapi fisik dengan


menggunakan aliran listrik melalui otak, untuk menginduksi kejang menyeluruh
di susunan syaraf pusat. Di Amerika Serikat, Electro Convulsive Therapytelah
digunakan 70% pada pasien gangguan Bipolar dan 17 % pada pasien Skizofrenia
resisten terhadap psikofarmaka (Hauser, 2012).

18

Anda mungkin juga menyukai