Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Begitu Pentingnya kegiatan bisnis dalam kehidupan manusia, tidak
heran jika Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah memberi tuntunan
dalam bidang bisnis. Etika bisnis sangat penting untuk dikemukakan dalam era
globalissi yang sering kali mengabaikan nilai-nilai-moral dan etika.
Oleh karenanya, Islam menekankan agar aktifitas bisnis manusia
dimaksudkan tidak semata-mata sebagai alat pemuas keinginan dan kebutuhan
hidup saja, tetapi lebih pada upaya pencarian kehidupan berkeseimbangan
disertai prilaku positif sesuai etika bisnis dalam Islam. Suatu bisnis akan
bernilai apabila dapat memenuhi kebutuhan material dan juga kebutuhan
spiritual secara seimbang, tidak mengandung kebatilan, kerusakan, dan
kedzaliman. Akan tetapi mengandung nilai keesaan, keseimbangan, kehendak
bebas, tanggung jawab, kebajikan dan kejujuran. Selain itu, hal yang paling
penting untuk diperhatikan adalah dari segi kehalalan dan keharaman suatu
usaha itu, baik zat maupun cara memperolehnya.
Mengacu pada keterangan diatas, dalam makalah kami kali ini akan
membahas mengenai pengertian etika bisnis dalam Islam, konsep halal dan
haram dalam Islam, hal-hal yang perlu diperhatikan dan difahami dalam
kegiatan usaha, serta cara-cara atau jenis usaha terlarang apa saja yang tidak
diperbolehkan oleh Islam dalam mengembangkan kepemilikan harta atau untuk
mendapatkan keuntungan.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan etika bisnis dalam Islam ?
b. Bagaimana konsep halal dan haram dalam Islam ?
c. Apa saja hal yang perlu diperhatikan dan difahami dalam kegiatan usaha ?

1
d. Apa saja cara-cara terlarang yang tidak diperbolehkan oleh Islam dalam
mengembangkan kepemilikan harta ?
C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui dan memahami maksud dari etika bisnis Islam.
b. Mengetahui dan memahami konsep halal dan haram.
c. Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan usaha serta
memahaminya.
d. Mengetahui dan memahami cara-cara terlarang yang tidak diperbolehkan
oleh Islam dalam mengembangkan kepemilikan harga.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika Bisnis Dalam Islam


Etika dalam bahasa Yunani Kuno disebut dengan ethikos yang berarti
timbul dari kebiasaan. Maksudnya, sebuah sesuatu dimana dan bagaimana
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral. Secara metodologis, tidak setiap hal
menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis,
metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika
merupakan suatu ilmu yang mana objek dari etika itu adalah tingkah laku
manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah
laku manusia, etika memiliki sudut pandang normative. Maksudnya etika
melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.1
Secara historis kata bisnis berasal dari bahasa inggris yaitu business,
dari kata dasar busy yang berarti sibuk dalam konteks individu, komunitas,
ataupun masyarakat. Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang
atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan
keuntungan.2 Dengan kata lain yang dimaksud dengan bisnis adalah sebuah
kegiatan yang dilakukan oleh perseorangan atau individu maupun kelompok
atau organisasi dalam menjual produk barang atau jasa kepada konsumen untuk
mendapatkan laba.
Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari
tentang yang baik atau buruk, benar atau salah dalam dunia bisnis berdasarkan
kepada prinsip-prinsip moralitas. Kajian etika bisnis terkadang merujuk kepada

1
Wikipedia, “Pengertian Etika”, diakses dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/etika, pada
tanggal 17 Februari 2019 pukul 00.57.
2
“Pengertian Bisnis”, diakses dari
https://bisnissecaraumum.blogspot.com/2015/11/pengertian-bisnis-bisnis-suatu.html?m=1, pada
tanggal 17 Februari 2019 pukul 01.09.

3
management ethics atau organizational ethics. Etika bisnis dapat berarti
pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis.
Moralitas disini, sebagaimana disinggung diatas berarti : aspek baik
atau buruk, terpuji atau tercela, benar atau salah, wajar atau tidak wajar, pantas
atau tidak pantas dari perilaku manusia. Kemudian dalam kajian etika bisnis
Islam susunan adjective diatas ditambah dengan halal-haram (degrees of
lawfull and lawfull), sebagaimana yang disinyalir oleh Husein Sahatah, dimana
beliau memaparkan sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaq al Islamiyah) yang
dibungkus dengan dhawabith syariah (batasan syariah) atau general guideline
menurut Raffik Issa Beekun.3
Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa etika bisnis dalam Islam adalah
segala kegiatan usaha yang dilakukan suatu individu ataupun organisassi untuk
mencari keuntungan atau laba dengan jalan atau cara-cara yang sesuai dengan
syariat Islam.
B. Konsep Halal dan Haram Dalam Islam
Islam adalah agama universal yang dapat pula di mengerti sebagai
pandangan hidup, ritualitas dan syariah, agama dan Negara, intuisi dan aturan
main. Syariah mengandung kaidah-kaidah hukum dan aturan tentang ritual
ibadah dan muammalah untuk membimbing manusia agar hidup layak, patuh
pada Allah SWT. Dan hidup bahagia dengan ridha Allah pada hari di mana
harta dan anak-anak sudah
Dalam Al-Qur’an aturan halal dan haram kontrak komersial atau bisinis
diatur secara umum, firman Allah SWT:
‫اط َِل بَينَكُمَ أَم َوالَكُمَ تَأ ُكلُواَ َلَ آ َمنُواَ الَّذِينََ أَيُّهَا يَا‬
ِ ‫َارةَ تَكُونََ أَن إِ َلَّ ِبال ََب‬
َ ‫تَقتُلُواَ َو َلَ ِمنكُمَ تَ َراضَ عَن تِج‬
َ ُ‫للاَ إِنََّ أَنف‬
َ‫سكُم‬ َ ََ‫َر ِحيما بِكُمَ كَان‬

3
Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012),
hlm. 70-71.

4
Artinya; hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dangan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…. (QS. An-
Nisaa’ 4:29)
Mekanisme suka sama suka adalah panduan dari garis Al-Qur’an dalam
melakukan kontrol terhadap perniagaan yang dilakukan.
Kemudian dalam sebuah hadist Rasulullah dinyatakan yang artinya:
“Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itu pun jelas,
dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (meragukan )
yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barang siapa
menjaga diri dari pihak perkara syubhat, ia telah terbebas (dari kecaman)
untuk agamanya dan kehormatannya. Dan orang yang terjerumus kedalam
perkara haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat
terlarang, maka kemungkinan besar gembalaannya akan masuk ke tempat
terlarang tadi. Ingat! Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada sebuah gumpalan,
apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak
pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, tidak lain
ia adalah hati.” (HR. Muslim)
Hal tersebut dikuatkan dengan banyak hadist nabi yang memberikan
keleluasaan kepada manusia dalam menentukan mekanisme bertransaksi dan
berbisnis.
Dengan begitu keleluasaan dan keterbukaan ini (menentukan
mekanisme), bukannya sesuatu yang mutlak. Memang pada dasar prinsipnya
muslim dibebaskan melakukan segala bentuk transaksi dan bisnis
(permissibility of things), hanya saja terdapat sejumlah ayat maupun hadist nabi
yang memberikan batasan mekanisme mana saja yang secara khusus dan secara
jelas dilarang, sehingga transaksi muammalah yang dilakukan manusia dapat
bermanfaat bagi kehidupan mereka bukan menjadi malapetaka. Karena semua
yang dilarang itu berarti haram dan jika masih dikerjakan itu berdosa. Selain

5
itu, pada umumnya setiap perlarangan berarti perbuatan tersebut hamfull
(berbahaya) ataupun materinya impurity (tidak suci/najis).
Seperti nabi melarang transaksi jual beli yang semu, adanya secara jelas
larangan tentang riba, gharar, dan maysir. Bentuk larangan tersebut merupakan
koridor yang harus dilaksanakan oleh orang seorang muslim baik yang harus
dilaksanakan oleh muslim baik individu maupun kolektif.
Hadist Rasulullah saw. menjelaskan dengan lebih rinci tentang hal yang
diperkenankan dalam transaksi komersial yang dilakukan oleh seorang muslim
dalam bentuk larangan-larangan sesuai dengan kondisi yang saat itu terjadi,
beberapa hadist tersebut adalah:
“Nabi melarang jual beli anak kambing yang masih dalam kandungan
ibunya” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa’I dan Tirmidzi). Artinya,” Nabi
melarang jual beli ikan dalam air (HR. Ahmad). Artinya, “Nabi melarang jual
beli utang (HR. Daruquthni). Artinya, “ Nabi melarang adanya dua jenis
transaksi dalam satu akad/kontrak (HR. Abu Daud, tirmidzi dan Nasa’i).
Artinya,” Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak dimiliki (HR. Ahmad
ibn Majah dan Tirmidzi). Artinya, “Nabi melarang menjual barang yang belum
diserahterimakan“(HR. Bukhari dan Muslim) Artinya, “Nabi melarang kami
berjual beli dengan Talaq ar-rukban dab Hadir al-Bad” (HR. Muslim).
Artinya, “Nabi melarang jual beli yang mengandung unsur tipu daya” (HR.
Muslim dan Ahmad). Artinya “Nabi melarang jual beli dengan penawaran
palsu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa konsep fiqhiyah yang
menegaskan pelarangan para pelaku pasar untuk mempraktikkan system kerja
dan sejumlah transaksi berikut:
1. Jual beli An-Najsy yaitu adanya kesepakatan antara penjual dengam
pihak ketiga untuk melakukan penawaran palsu, sehingga dapat
memengaruhi perilaku calon pembeli yang sebenarnya.

6
2. Jual beli Al-Ghoban yaitu suatu transaksi jual beli yang dilakukan
di bawah atau di atas harga sebenarnya.
3. Jual beli Al-Ma’dum yaitu jenis penjualan efek yang tidak atau
belum dimiliki langsung oleh si penjual.4
C. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan dan Difahami Dalam Kegiatan Usaha
1. Prinsip Islam Tentang Halal Tidaknya Suatu Kegiatan
Islam diatur oleh syariat yang didasarkan pada ketentuan Allah swt.
yang sumber utamanya adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an ini diterjemahkan oleh
Rasulullah saw. dalam kehidupannya, serta tetap dalam pengarahan dan
pengawasan Allah swt. Sikap Rasullah terhadap pengamalan Al-Qur’an
dituangkan dalam ucapan dan diamnya yang dapat ditelusuri dari sunah
Nabi Muhammad saw. Dalam menentukan hukum kontemporer, kaum
fukaha menerjemahkan prinsip hukum tadi dalam merespon hal-hal yang
belum jelas dalam Al-Qur’an dan Hadist melalui qiyas, mencari contoh
padanannya saat kehidupan Rasul, dan melalui ijma’ atau kesepakatan
ulama dalam naungan suatu kedaulatan atau pemerintahan (ulil amri
minkum).
Islam mengatur secara jelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan dalam kehidupan atau dalam bisnis. Al-Qur’an menyebutkan
yang hak dan yang batil, antara yang hak dengan yang batil jangan
dicampur. Jadi, laksanakan sesuatu yang diyakini benar dan halal. Islam
mengenal jenis perbuatan yang diklasifikasikan dalam bentuk berikut, yaitu
wajib (sesuatu yang harus dilakukan dan berdosa jika tidak dilaksanakan),
sunah (berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan), halal
(sesuatu yang boleh dilakukan), mubah (tidak dianjurkan dan tidak
dilarang), makruh (tidak sepenuhnya dilarang tetapi sebaiknya

4
Ibid, hlm. 169-174.

7
ditinggalkan), dan haram (semua yang dianggap merusak dan merugikan
serta harus ditinggalkan).
Muhammad (2006) yang dikutip dari Yusuf Qardhawi menjelaskan
beberapa prinsip Islam mengenai penentuan halal dan haram sebagai
berikut :
a. Prinsip dasarnya semua kegiatan muamalat diperbolehkan.
b. Hanya Allah yang berhak melarang dan mengesahkan sesuatu itu
boleh atau tidak.
c. Melarang yang halal dan membolehkan yang haram adalah syirik.
d. Larangan atas sesuatu didasarkan pada sifat najis dan merusak.
e. Apa yang halal diperbolehkan dan yang haram dilarang.
f. Yang mendorong menuju yang haram adalah haram.
g. Menganggap yang haram adalah halal dilarang.
h. Niat yang baik tidak membuat yang haram menjadi halal.
i. Hal yang meragukan dianjurkan dihindari.
j. Yang haram terlarang bagi siapapun.
k. Suatu keharusan menuntut perlunya kekecualian.
Diluar Prinsip diatas, sebenarnya juga diwajibkan atau dianjurkan
melakukan sesuatu untuk mendukung kegiatan yang wajib atau yang
dianjurkan (sunah) yang sesuai dengan dengan syariat Islam, kepentingan
umum, dan ibadah, misalnya membuat kapal terbang, tekstil, parfum,
kosmetik, computer, pendidikan, dan sebagainya.
Berikut beberapa ketentuan yang ditetapkan dalam Islam yang jelas dan
tetap hukumnya (Qardhawi, 2001), adalah :
a. Dibenarkannya pemilikan pribadi dan jamaah serta memeliharanya.
b. Ketentuan tentang pewarisan diatur secara jelas.
c. Adanya perbedaan tingkat manusia dan rezekinya.
d. Kewajiban berinfak dijalan Allah.
e. Haramnya berperilaku kikir, mubazir, dan hidup bermewah-mewah.

8
f. Haramnya riba.
g. Tidak dibenarkan melakukan penimbunan barang dan
mempermainkan harga.
h. Larangan memakan harta orang lain secara batil, termasuk harta
anak yatim.
i. Menghalalkan yang baik.
j. Mengharamkan yang buruk.
k. Anjuran bekerja.
l. Anjuran berjalan dimuka bumi dan sebagainya
2. Ketentuan Fiqh Tentang Haram
Dalam Ushul Fiqh, muamalat menetapkan bahwa standar dalam
menentukan halal dan haram dalam jual beli, misal “semua kegiatan
muamalat boleh, kecuali yang secara jelas dilarang oleh Allah swt”.
Berbeda dengan fikih, ibadah hanya diperintahkan yang boleh dikerjakan.
Jadi, dalam kegiatan jual beli ini, etikanya adalah semua boleh, kecuali yang
secara terang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam Al-Qur’an
disebutkan beberapa larangan dalam bisnis, yaitu :
a. Jangan mengambil hak orang lain secara batil.
b. Jangan melakukan riba.
c. Tidak melakukan jual beli saat khatib naik mimbar.
d. Tidak melakukan bisnis secara gharar dan maysir.
e. Tidak melakukan kegiatan perjudian.
f. Tidak melakukan bisnis yang dilarag agama.
g. Tidak melakukan kecurangan dalam berbagai bentuk, misalnya
curang dalam mutu, iklan, timbangan, dan sebagainya.
h. Tidak melakukan kegiatan pemborosan.
Kemudian, dalam fikih dikenal juga beberapa pedoman yang dapat
dipakai dalam menentukan halal-haramnya suatu kegiatan ekonomi,
misalnya :

9
a. Memudahkan pekerjaan, bukan menyulitkan.
b. Melaksanakan amar makruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi
munkar (menghindari hal yang tidak baik).
c. Mengutamakan pencegahan yang tidak baik dari pada mengajak
pada kebaikan.
d. Sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan yang baik (wajib,
sunah), maka hukumnya juga baik (wajib. Sunah).
e. Memikul mudharat yang lebih kecil untuk menghindari mudharat
yang lebih besar.
f. Memikul mudharat yang khusus untuk menghindari mudharat yang
umum.
g. Meninggalkan hal-hal yang meragukan.
3. Praktik Bisnis Yang Diharamkan
Beberapa praktik bisnis yang dilarang dalam Al-Qur’an dan Hadis dapat
dikemukakan sebagai berikut :
a. Melaksanakan sistem ekonomi ribawi.
b. Mengambil hak dan harta orang secara batil.
c. Kecurangan mengurangi timbangan/takaran.
d. Menipu atau mengurangi kualitas.
e. Memproduksi serta menjual barang haram yang merusak jiwa,
badan, dan masyarakat, misalnya minuman keras, narkotik, rokok,
dan sejenisnya.
f. Melaksanakan dan membantu pelaksanaan yang dilarang, seperti
judi.
g. Berbisnis dalam ketidakpastian, seperti ijon, menjual barang yang
tidak jelas (gharar).
h. Melakukan berbagai bentuk penipuan.
i. Penimbunan barang untuk mengambil keuntungan.

10
j. Melakukan transaksi jual beli barang sebelum masuk pasar atau
sebelum penjual mengetahui pasar.
k. Melakukan berbagai kegiatan monopoli, oligopoly, kartel, dan
monopsoni yang merugikan masyarakat.
l. Melaksanakan persaingan tidak sehat.
m. Melakukan kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme negative.
n. Melakukan berbagai kegiatan pemborosan dan tidak efisien.
o. Hedonism yang menimbulkan lupa mengingat Tuhan.
p. Melakukan berbagai kegiatan spekulasi.
Muhammad (2006) mengemukakan beberapa bisnis yang diharamkan,
antara lain produksi dan perdagangan alkohol, obat terlarang, binis patung,
bisnis barang-barang haram, bisnis pelacuran, bersifat gharar (tidak pasti),
dan menggunakan bisnis bagi hasil yang dilarang.
Kegiatan mengemis dan memberatkan orang lain sebenarnya
dibolehkan, tetapi dianjurkan untuk tida dilakukan.
Secara khusus, hal-hal yang dilarang dalam jual beli dapat dikemukakan
sebagai berikut :
a. Larangan menjual/membeli barang yang tidak dapat dihitung pada
waktu penyerahan secara syara’ dan rasa. Jual beli tersebut sama
dengan gharar (penipuan). Dalam hadis diriwayatkan Ahmad dari
Ibnu Mas’ud r.a., “Janganlah kalian membeli ikan yang berada di
dalam air, sesungguhnya yang demikian itu penipuan.”
b. Jual beli dengan batil. Ayat Al-Qur’an menyebutkan, “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS.
An-Nisaa’: 29)
c. Jual beli mudhtar (terpaksa). Orang yang menjual barangnya dengan
harga dibawah standar karena terpaksa (karena berhutang/ untuk

11
mencukupi kebutuhannya), maka jual beli ini tidak sampai dilarang,
hanya makruh. Orang yang seperti ini disyariatkan dibantu dan diber
qirad (pinjaman lunak) sehingga ia terbebaskan dari belenggu
kesulitan yang menimpanya. Dalam sebuat atsar, perkataan Ali r.a.,
“Akan datang suatu masa, sebagian orang beruang menggigit apa
yang ada ditangannya, suatu perbuatan yang tak pernah
diperintahkan.
d. Jual beli sandiwara atau talji’ah. Jika seseorang takut akan orang
zalim terhadap hartanya, kemudian dia menjual hartanya untuk
menghindari gangguan si zalim, dan melakukan akad jual dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku biak syarat maupun rukunnya,
maka jual beli seperti ini tidak sah karena kedua belah pihak
sebenarnya tidak bermaksud melakukan jual beli, ibaratnya hanya
sandiwara.
e. Larangan banyak bersumpah dalam berbisnis/ jual beli. Sabda
Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya
dari Abu Hurairah, “Sumpah itu melariskan barang dagangan, tetapi
menghapus keberkahannya.”
f. Larangan jual beli di masjid. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan
Imam Syafii membolehkan jual beli dimasjid, tetapi
memakruhkannya. Hadis Rasul, “Jika kamu melihat orang yang
berjual beli di masjid maka katakanlah semoga Allah tidak akan
memberikan untuk dari perdagangannya.”
g. Larangan jual beli saat azan jum’at. Al-Qur’an menyebutkan,”Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengikuti Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (QS Al-Jumu’ah: 9)

12
h. Larangan menimbun barang sehingga harga meningkat. Berikut
beberapa hadis tentang larangan menimbun barang ini.
1) HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Muslim dari Muammar,
“Siapa yang melakukan penimbunan, ia dianggap bersalah.”
2) “Sejelek-jeleknya hamba adalah penimbun. Jika ia mendengar
barang murah ia murka, dan jika barang menjadi mahal ia
bergembira.”
3) HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Umar, “Orang-oramg jalib
(orang yang menawarkan barang dan menjualnya denga harga
ringan) itu diberi rizki dan penimbun dilaknat.
i. Larangan menyembunyikan cacat. Berbagai hadis menyebutkan :
1) HR. Ibnu Majah, Daruquthni, Al-Hakim, Ath-Thabrani,
“Seorang muslim itu saudara orang muslim, tidak halal bagi
seorang muslim menjual kepada saudaranya barang cacat
kecuali ia jelaskan.”
2) “Siapa yang menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan
kami.”
j. Larangan menjegat kafilah (pembeli dan penjual) dijalan. Dalam
hadist disebutkan, HR. Abu Hurairah dan Muslim, “Janganlah kamu
mencegat kafilah yang membawa dagangan dijalan, siapa yang
melakukan itu dan membeli darinya, jika (kafilah) tersebut tiba di
pasar, ia boleh berikhtiar.”
k. Larangan tanajusy (berbisik). Tanajusy dikategorikan sebagai
ghubun (curang), yaitu menaikkan harga dengan memasang orang
yang berpura-pura ingin beli. Dalam hadis riwayat Bukhari dan
Muslim, Rasulullah melarang tanajusy (berbisik)
l. Larangan menuai barang yang tidak dapat diserahkan. Jula beli ini
dilarang karena seseorang menjual barang yang tidak dapat ia
serahkan sebab barang itu pada hakikatnya bukan miliknya. Jadi,

13
jual beli tersebut menjadi gharar atau petualangan. HR. Ahmad
Ashabussunan dan disahihkan oleh At-Turmudzi dan Ibnu Hibban,
“Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu.”
m. Larangan jual beli atas pembelian saudara. HR. Bukhari dan
Muslim, “Janganlah sebagian di antara kamu membeli atas
pembelian sebagian yang lain.” Dari Abu Hurairah Rasul saw.
bersabda, “Janganlah seorang muslim menawar atas tawaran
saudara.”
n. Jual beli barang secara taqsith (kredit dan dengan penambahan harga
yang dikelompokkan sebagai tindakan riba). ini bukan seperti
penjualan murabahah, tetapi jual beli yang didasarkan pada
penambahan harga akibat pembayaran tangguh, Dalam murabahah,
tambahan harga bukan karena kredit, tetapi karena jual beli sehingga
perbedaan itu disebut margin atau keuntungan yang sah dalam
Islam. Islam juga melarang memonopoli air, padang rumput, dan
api. Air, rumput, dana pi itu adalah symbol kepentingan umum yang
sangat dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, unsur ini harus
dilindungi dan tidak dapat menjadi penguasaan privat.5
D. Cara-cara Terlarang Yang Tidak Diperbolehkan Oleh Islam Dalam
Mengembangkan Kepemilikan Harta
Syariah Islam telah menjadikan masalah pengembangan kepemilikan
terikat dengan hukum-hukum tertentu yang tidak boleh dilanggar. Syariah
Islam telah melarang individu untuk mengembangkan kepemilikan hartanya
dengan cara-cara tertentu, antara lain :
1. Perjudian

5
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis Dalam Prespektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2011),
hlm. 133-139.

14
Syariat telah melarang secara tegas perjudian. Bahkan syariah
menganggap harta yang diperoleh melalui perjudian sebagai harta yang
haram dimiliki.
Allah SWT telah menyebutkan adanya konsekuensi buruk akibat
minuman keeras dan berjudi, yaitu munculnya permusuhan kebencian di
kalangan para pemabuk dan penjudi, bahkan bisa menyebabkan jauh dari
mengingat Allah dan mengingat waktu shalat.
Yang termasuk dalam kategori perjudian adalah kertas undian, apapun
bentuk dan sebab yang dipergunakan untuk membuatnya; juga pertaruhan
dalam perlombaan kuda. Harta hasil perjudian hukumnya haram dan tidak
boleh dimiliki.
2. Riba
Syariah telah melarang secara tegas riba, berapapun jumlahnya, baik
sedikit ataupun banyak. Harta hasil riba jelas-jelas haram. Tidak seorang
pun boleh memilikinya. Harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya
jika mereka telah diketahui.
Sifat yang tampak pada riba adalah adanya suatu keuntungan yang
diambil oleh pemakan riba, yang sebetulnya merupakan hasil dari
eksploitasi atas tenaga orang lain. Riba itu semacam kompensasi/upah yang
diperoleh tanpa harus mencurahkan tenaga sedikitpun dan harta yang
dihasilkan riba dijamin mendatangkan untung, dan tidak mungkin rugi. Ini
jelas bertentangan dengan kaidah, “Al-Gharam bi al-ghamanam (kerugian
itu selalu bergandengan dengan keuntungan).”
Karena itu, mendapatkan harta melalui perseroan (yang islami, ed.),
semisal mudharabah dan musaqat dengan segala macam persyaratannya,
adalah mubah (boleh). Pasalnya, komunitas masyarakat bisa mengambil
manfaat dari praktik semacam ini tanpa harus mengeksploitasi sedikit pun
tenaga orang lain. Bahkan, praktik semacam ini merupakan salah satu
sarana yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan tenaga mereka

15
sendiri; mereka bisa menderita kerugian ataupun mendapatkan keuntungan.
Ini jelas berbeda dengan riba.
Namun demikian, pengharaman riba tetap hanya ditentukan oleh nash.
Nash ini tidak mengandung ‘illat (alasan) apapun. Memang, as-Sunnah
telah menjelaskan secara tegas harta-harta yang termasuk riba. Hanya saja,
kadang-kadang masih terbersit dalam benak kita, bahwa pemilik harta itu
telah menyimpan hartanya. Kadang-kadang dia tidak bersedia meminami
orang yang butuh untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan tersebut terus
mendesaknya sehingga harus ada sarana untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Padahal kebutuhan tersebut pada saat ini banyak ragamnya. Lalu
ada riba sebagai penyangga perdagangan, pertanian dan industry yang ada.
Karena itu, dibuatlah bank-bank untuk beroperasi dengan riba, karena tidak
ada sarana yang lain selain riba, sebagaimana tidak ada sarana lain bagi
pelaku riba untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya selain dengan riba.
3. Al-Ghabn al-Fahisy
Al-Ghabn menurut bahasa bermakna al-khada’ (trik). Dikatakan,
‘Ghabanahu ghabn[an] fi al-bay’I wa asy syira,” maknanya: ”Khada’ahu
wa ghalabahu.” (Dia benar-benar melakukan trik dalam jual-beli, yaitu
memperdaya sekaligus menekannya), “Ghabana Fulan[an],” maknanya,
“Naqashahu fi ats-tsaman wa ghayyarahu,” (Dia melakukan trik terhadap
si Fulan, yaitu mengurangi dan mengubah harganya). “Fa huwa ghabin wa
dzaka maghbun,” (Karena itu, dia adalah pelaku trik, sedangkan si Fulan
adalah pihak yang terpedaya).
Ghabn adalah menjual/membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi
dari harga rata-rata, atau dengan harga yang lebih rendah dari harga rata-
rata. Ghabn yang keji, secara syar’i hukumnya memang haram. Sebab,
keharamannya telah ditetapkan berdasarkan hadis yang sahih, yang
mengandung tuntunan yang tegas untuk meninggalkannya.

16
Imam al-Bukhari menuturkan hadis dari Abdullah bin Umar ra, bahwa
pernah ada seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi saw, bahwa dia telah
melakukan trik dalam jual-beli. Beliau bersabda:
“Apabila kamu menjual maka katakanlah, “Tidak ada khilabah.” (HR
al-Bukhari).6
4. Tadlis dalam Jual-Beli
Tadlis adalah salah satu penipuan dalam berdagang, merupakan bentuk
ketidakjujuran seorang pedagang dalam menjalankan usahanya. Tadlis ini
bisa terjadi dalam empat hal, yakni kuantitas (jumlah), kualitas (mutu),
harga, dan waktu penyerahan.
Tadlis dalam kuantitas adalah seperti pedagang yang mengurangi
takaran (timbangan) barang dijualnya. Contoh, beras yang ditimbang
mestinya 1 kg ternyata tidak sampai 1 kg.
Tadlis dalam kualitas adalah seperti yang menyembunyikan cacat
barang yang ditawarkannya. Misalnya pedagang buah yang
menyembunyikan sebagian buahnya yang kurang bagus dan dicampur
dengan yang bagus supaya cepat terjual. Penjual buku yang cacat tapi
dibilang bagus, dan lain-lain.
Tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan
pembeli akan harga pasar dengan menaikkan harga produk di atas harga
pasar. Misalnya, taksi yang menawarkan jasanya kepada turis asing dengan
menaikkan harga diatas normal.
Tadlis yang terakhir ialah tadlis waktu penyerahan, misalnya seorang
pemimpin proyek yang berjanji akan menyelesaikan dan menyerahkan
proyeknya setelah 6 bulan mengerjakannya, padahal dia mengetahui bahwa

6
Taqiyudin an Nabhani, Sistem Ekonomi Islam (An-Nizham al-Istishadi fi Al-Islam), (Bogor:
Al Azhar Press, 2010), hlm. 249-258.

17
proyek ini tidak akan selesai selama 6 bulan dan tidak akan bisa diserahkan
kepada pemiliknya.7
5. Penimbunan
Penimbun adalah orang yang sengaja menumpuk barang dagangan
karena menunggu saat harga barang-barang tersebut naik sehingga dia bisa
menjualnya dengan harga yang tinggi, yang mengakibatkan warga setempat
sulit untuk membelinya.
Adapun keadaan penimbun sebagai orang yang menumpuk barang-
barang dengan menunggu waktu harga naik semata-mata karena makna kata
hakara menurut bahasa adalah istabadda (bertindak sewenang-wenang).
Yang termasuk kedalam makna kata tersebut adalah praktik kesewenang-
wenangan dengan menahan barang dagangan agar kelak dijual dengan
harga mahal. Kalimat “Ihtakara as-syay’a” menurut makna bahasa
bermakna “Jama’ahu wa ihtabasahu intidhar[an] li ghilaa’ihi fa yabii’u bi
al-katsir (mengumpulkan sesuatu dan menahannya dengan menunggu
harganya naik, lalu menjualnya dengan harga yang tinggi).”
Disebut penimbunan jika memenuhi syarat, yakni sampai pada batas
yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang ditimbun.
Pasalnya, fakta penimbunan memang tidak akan terjadi selain dalam
keadaan semacam ini. Seandainya penumpukan barang tidak menyulitkan
warga setempat untuk membelinya maka penimbunan barang tersebut tidak
terjadi. Kesewenang-wenangan terhadap barang tersebut hingga bisa dijual
dengan harga mahal juga tidak terjadi.
Atas dasar ini, syarat terjadinya penimbunan bukanlah semata-mata
pembelian barang, tetapi semata-mata menumpuk barang dagangan dengan
menunggu harga naik agar bisa menjualnya dengan harga yang mahal.

7
Munir, “Pengertian Tadlis Dalam Prespektif Islam”, diakses dari
https://darunnajah.com/tadlis-dalam-perspektif-islam/, pada tanggal 17 Februari 2019 pukul 11.05.

18
Inilah yang dianggap sebagai penimbunan, baik menimbun dengan cara
memborong atau karena hasil
6. Mematok Harga
Allah swt. telah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli
dengan harga yang dia sukai. Ibn Majah menuturkan hadis dari Abu Said
yang mengatakan, bahwa Nabi saw. pernah bersabda :
“Sesungguhnya jual-beli itu (sah karena) sama-sama suka.” (HR. Ibn
Majah)
Namun, ketika negara mematok harga untuk umum maka Allah telah
mengharamkan, Allah melarang tindakan memberlakukan harga tertentu
barang dagangan untuk memaksa masyarakat agar melakukan transaksi
jual-beli sesuai dengan harga patokan tersebut. Karena itulah pematokan
harga dilarang.
Pematokan harga bermakna bahwa seorang penguasa atau wakilnya,
atau siapa saja dari kalangan pejabat pemerintahan yang memiliki
wewenang untuk mengatur urusan kaum muslim, memerintahkan kepada
pelaku/ pedagang dipasar agar mereka menjual barang-barang dengan harga
yang telah dipatok. Mereka dilarang untuk menaikkan harganya dari harga
patokan sehingga mereka tidak bisa menaikkan harganya dari harga yang
dipatok ataupun menurunkannya agar mereka tidak bisa saling menjatuhkan
pedagang lain.
Islam secara mutlak telah mengharamkan pematokan harga. Pematokan
harga merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang harus diadukan kepada
penguasa agar mau menghilangkannya. Pengharaman atas tindakan
mematok harga bersifat umum untuk semua bentuk barang, tanpa
dibedakan antara barang makanan pokok atau bukan makanan pokok.
Faktanya, pematokan harga memang membahayakan, bahkan termasuk
sangat membahayakan umat dalam segala keadaan, baik dalam kondisi
perang maupun damai. Sebab, pematokan harga bisa membuka pasar secara

19
sembunyi-sembunyi , orang-orang akan melakukan jual-beli disana dengan
penjualan dibawah tangan, yang tidak diketahui oleh negara, bahkan jauh
dari pengawasan negara. Inilah yang biasanya disebut dengan pasar gelap.
Akibatnya, harga melambung tinggi, dan barang-barang haya bisa
dijangkau oleh orang-orang kaya, sementara yang miskin tidak. Pematokan
harga juga bisa berpengaruh terhadap konsumsi barang, dan selanjutnya
akan berpengaruh terhadap produksi barang, bahkan boleh jadi
mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi.
Selain itu orang-orang akan dikuasai oleh kekayaan mereka. sebab,
kepemilikan meraka atas harta bermakna bahwa mereka memiliki
kekuasaan atas harta mereka. Namun dengan adanya pematokan harga,
harta kekayaan justru terhalang untuk bisa mereka kuasai (miliki). Ini tentu
tidak dibolehkan, kecuali dengan nash syariah. Padahal, dalam hal ini, tidak
ada satu nash syariah pun yang memiliki barang dengan membuat patokan
harga tertentu, sekaligus melarang mereka untuk menaikkan atau
meurunkan harganya.8

8
Op.cit, Taqiyudin an Nabhani, hlm. 262-269.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Etika bisnis dalam Islam adalah segala kegiatan usaha yang dilakukan
suatu individu ataupun organisassi untuk mencari keuntungan atau laba dengan
jalan atau cara-cara yang sesuai dengan syariat Islam.
Mekanisme suka sama suka adalah panduan dari garis Al-Qur’an dalam
melakukan kontrol terhadap perniagaan yang dilakukan.
Islam mengatur secara jelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan dalam kehidupan atau dalam bisnis. Al-Qur’an menyebutkan yang
hak dan yang batil, antara yang hak dengan yang batil jangan dicampur.
Dalam Ushul Fiqh, muamalat menetapkan bahwa standar dalam
menentukan halal dan haram dalam jual beli, misal “semua kegiatan muamalat
boleh, kecuali yang secara jelas dilarang oleh Allah swt”. Berbeda dengan
fikih, ibadah hanya diperintahkan yang boleh dikerjakan. Jadi, dalam kegiatan
jual beli ini, etikanya adalah semua boleh, kecuali yang secara terang dilarang
oleh Allah dan Rasul-Nya.
Beberapa cara terlarang yang tidak diperbolehkan oleh islam dalam
mengembangkan kepemilikan harta atau melakukan kegiatan usaha,
diantaranya: perjudian, riba, al-ghabn al-fahisy, tadlis dalam jual beli,
penimbunan, dan mematok harga.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca. Apabila ada kritik dan saran yang ingin di sampaikan, silahkan
sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dimaafkan dan dimaklumi,
karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah dan khilaf.
Terima kasih.

21
DAFTAR PUSTAKA

An-Nabhani, Taqiyudin. Sistem Ekonomi Islam (An-Nizham al-Istishadi fi Al-Islam).

Bogor: Al Azhar Press, 2010.

Badroen, Faisal. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: kencana prenada media group,

2012.

Harahab, Sofyan S. Etika Bisnis Dalam Prespektif Islam. Jakarta: Salemba Empat,

2011.

Munir. “Pengertian Tadlis Dalam Prespektif Islam). Diakses dari https://darunnajah.

com/tadlis-dalam-perspektif-islam/ pada tanggal 17 Februari 2019 pukul 11.05.

“Pengertian Bisnis”. Diakses dari https://bisnissecaraumum.blogspot.com/2015/11/

pengertian-bisnis-bisnis-suatu.html?m=1 pada tanggal 17 Februari 2019 pukul

01.09.

Wikipedia. “Pengertian Etika”. Diakses dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/etika

pada tanggal 17 Februari 2019 pukul 00.57.

22

Anda mungkin juga menyukai