Anda di halaman 1dari 3

Peran Mohammad Hatta dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia

1. Pra-Kemerdekaan (1932-1945)

Hatta kembali dari Belanda setelah menyelesaikan ujian doktoralnya pada tanggal 5 Juli 1932.
Hatta bersikap keras terhadap komunis dan menolak bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Sehingga,
pada tanggal 25 Pebruari 1934, ia bersama Sjahrir ditangkap dan dibuang ke Digul, kemudian ke Banda
Neira (1936). Di masa pembuangan inilah Hatta aktif menulis artikel-artikel yang dikirimkannya ke
beberapa surat kabar (salah satunya Panji Islam di Medan). Selain itu, ia juga bercocok tanam, serta
mendidik sesama tahanan dan pemuda setempat.

Setelah Perang Pasifik pecah (Desember 1941), Sjahrir dan Hatta dipindahkan ke Sukabumi. Lalu,
Pemerintah Jepang membawanya ke Jakarta untuk diajak kerjasama. Ia bertugas memberikan saran
terhadap Pemerintah Jepang terkait kebijakan-kebjakan yang akan diberlakukan untuk rakyat Indonesia.
Pada akhir Juni 1943, lembaga yang bersifat politik dibentuk atas nama “Tyuo Sangi-in”, dengan tujuan :
”memberi jawaban atas pertanyaan pemerintah dan mengajukan usul-usul kepada pemerintah”. Hatta
menjabat sebagai wakil ketua (18-21 Juni 1945). Dalam sidang-sidangnya, lembaga ini banyak
merumuskan usul-usul yang berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia.

BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945.
Peran Hatta dalam BPUPKI terlihat dalam :

1) Soal pembukaan yang biasa dirujuk dengan piagam Jakarta

Dalam hal ini Hatta tidak banyak berkomentar. Ia cenderung mengambil jalan tengah antara pandangan
tokoh-tokoh nasionalis dan Islam.

2) Soal bentuk negara

Hatta menekankan perlunya otonomi luas bagi daerah. Apalagi dengan ribuan pulau yang bertebaran
serta suku yang beragam di Indonesia.

3) Soal hak asasi

Ia berpendapat, hal-hal yang sangat dasar dari hak asasi perlu dicantumkan dalam UUD. Usulan ini
diterima oleh peserta sidang dan untuk selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945.

4) Soal ekonomi
Hatta merumuskan ekonomi Indonesia berdasarkan solidaritas dan kekeluargaan, serta ditangani
langsung oleh negara. Selanjutnya, Hatta menjabat sebagai wakil ketua di PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945.

2. Masa Revolusi (1945-1949)

- Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Pada tanggal 16 Agustus 1945, Hatta dan Soekarno (bersama istrinya, Fatmawati dan putranya,
Guntur yang berusia 9 bulan) berangkat ke Rengasdengklok. Sehari sebelumnya, Soebadjo Sastrosatomo
dan Soebianto mendatangi kediamannya. Keduanya menegaskan pendirian mereka untuk merebut
kemerdekaan Indonesia dari tangan Jepang. Di Rengasdengklok, Hatta mencoba meyakinkan Soekarni
bahwa apa yang direncanakan para pemuda akan terbentur pada realitas.

Pada malam harinya, diadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di
kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol ,Jakarta. Sidang yang berakhir pada tanggal 17
Agustus 1945 pukul 03.00 dini hari tersebut menghasilkan secarik kertas proklamasi. Pagi harinya, pukul
10.00, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pada
tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta berdiskusi dengan Ki Bagus Hadikoesoemo,
Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan terkait penghapusan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta. Para tokoh tersebut menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan
menghilangkan tujuh kata tersebut.

- Hatta sebagai wakil Presiden

Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin
menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali
perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu
berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pih Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947,
Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot
bernama Abdullah. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada
PBB agar Belanda dihukum.
- KMB (Konferensi Meja Bundar)

Pada tanggal 23 Agustus 1949 – 2 November 1949, KMB dilaksanakan di Den Haag. Utusan dari
RI diketuai oleh Hatta. Dalam sidang tersebut, ia berhasil menyusutkan luar negeri sebesar f 3.167 juta
dan hutang dalam negeri sebesar f 2.956 juta menjadi f 4.300 juta. Adapun masalah Irian Barat, akhirnya
terpecahkan pada tanggal 1 November 1949, dengan kompromi bahwa pemindahan Kedaulatan Irian
Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun sejak konferensi tersebut. Hatta mengatakan, dengan
adanya KMB, seakan-akan RI sudah diakui de jure oleh dunia Internasional, jauh lebih baik dari masa-masa
sebelumnya.

3. Pasca-Kemerdekaan (1950-1956)

Hatta membentuk kabinet RIS pada tanggal 20 Desember 1949, banyak terdiri dari orang-orang
yang lebih cenderung kepada keahlian daripada motivasi politik belaka. Hatta menghadapi berbagai
persoalan, contohnya Pemberontakan Westerling di Jawa Barat (Januari 1950) dan Pemberontakan Andi
Aziz di Makassar (April, 1950).

Sebagai perdana menteri merangkap menteri luar negeri, Hatta berupaya mewujudkan politik
bebas aktif. Ia menolak PKI dan politik perjuangan kelas yang tidak kenal damai. Dalam bidang ekonomi,
Hatta merasa perlu dengan pinjaman luar negeri.

Pada 17 Agustus 1950, Hatta dikukuhkan sebagai wakil presiden. Ia melayangkan surat
mempertanyakan keputusan kabinet jika dirasanya tidak tepat. Ia mengingatkan Menteri Perekonomian
Boerhanoedin agar tidak mendahulukan pengusaha baru yang mempunyai hubungan dengan partai
daripada pengusaha lama yang berpengalaman. Dalam menghadapi masalah tentara, ia meyerahkan
penyelesaiannya kepada pemimpin angkatan. Ia menjaga betul agar angkatan bersenjata tidak
dipengaruhi secara politis, kecuali politik nasional yang tidak dipermasalahkan di negara kita. Pada Juli
1956, Hatta mengirim surat kepada DPR, bahwa ia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Pidato
Soekarno pada tanggal 28 Oktober, “Marilah sekarang kita kubur semua partai”, yang menunjukkan
bahwa ia memiliki konsep baru tentang demokrasi yang disebutnya Demokrasi Terpimpin, semakin
memperteguh keinginan Hatta tersebut.

Anda mungkin juga menyukai