Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Care management dan care manager adalah istilah yang tidak asing
dalam pelayanan kesehatan di berbagai level institusi pelayanan kesehatan sejak
primer hingga tersier. Care management sesungguhnya adalah salah satu
bentuk integrasi pelayanan kesehatan yang paling sering digunakan di seluruh
belahan dunia. Integrasi pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan yang terus
menjadi keniscayaan seiring dengan kompleksitas kebutuhan pasien, carer, dan
komunitas oleh karena meningkatknya burden penyakit kronik da
komorbiditas, maupun kasus-kasus sensitif lainnya. Beragam definisi integrasi
pelayanan kesehatan berkembang sesuai konteksnya, oleh karena itu tidak
ada single definition yang mutlak. Secara umum integrasi pelayanan kesehatan
adalah kolaborasi atau menggabungkan beberapa komponen pelayanan atau
bahkan organisasi-organisasi itu sendiri untuk menjalankan proses bersama
guna mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama yang dimaksud di antaranya
dapat berupa peningkatan outcome kesehatan pasien atau peningkatan status
kesehatan komunitas (ACMA, 2016).

Care management sebagai bentuk spesifik integrasi pelayanan


kesehatan menekankan pada komunikasi dan koordinasi penggunaan sumber
daya-sumber daya secara efektif dan berkesinambungan. Komunikasi dan
koordinasi ini berlaku untuk lintas profesi/ bagian dalam suatu instansi
kesehatan maupun antar tingkat kesehatan seperti pada primary
care dengan secondary care, atau bahkan dengan social care support di luar
institusi kesehatan (WHO, 2016).

Dalam implementasinya scope aktivitas dalam care management cukup


beragam tergantung dari bentuk kolaborasi dan tujuan yang ingin dicapai. Pada
umumnya care management meliputi aktivitas-aktivitas pokok sebagai berikut
(ACMA, 2016).
1. Edukasi

Dalam hal ini pelayanan harus memastikan dan meyediakan edukasi yang
relevan terhadap kemajuan efektif perawatan, level pelayanan yang sesuai,
dan transisi pasien yang aman (rujukan/ rujuk balik intern dan antar fasilitas
kesehatan). Dalam hal ini juga harus diidentifikasi adanya kendala-kendala
yang timbul dalam proses komunikasi kepada pasien/ carer/ petugas
kesehatan, maupun masyarakat.

2. Care coordination

Pelayanan kesehatan harus memiliki metode definitif untuk menapis


atau menilai kebutuhan pasien terhadap care management. Pada care
management dipastikan pasien mendapatkan pelayanan yang sesuai
meliputi skrining atau identifikasi risiko, assessment, sequencing (runtut
sesuai kebutuhan), dan terkomunikasikan dengan baik.

3. Compliance

Care management berperan memastikan pelayanan kesehatan yang


diberikan patuh pada kebijakan kesehatan yang ada, seperti peraturan
perundangan, aturan akreditasi, bahkan platform pembiayaan kesehatan
yang ada agar tetap efektif dan efisien.

4. Transition management

Manajemen transisi sebenarnya berjalan di dalam organisasi itu sendiri,


seperti saat pre-admisi, pemindahan dari unit gawat darurat ke bangsal,
pemindahan ke unit spesialistik lain, dan lain sebagiainya. Manajemen
transisi juga diperlukan saat pasien membutuhkan pelayanan di instansi
kesehatan lain, seperti rujukan dari puskesmas ke rumah sakit, dan lain
sebagainya bahkan manakala pasien dan keluarga membutuhkan komunitas
yang mendukung dalam perawatan kesehatannya. Case manager berperan
memastikan komunikasi dan proses transisi berjalan baik melalui
perencanaan transisi dan monitoring/ follow up prosesnya.
5. Utilization management

Dalam hal ini care manager harus memastikan penggunaan sumber daya
sesuai dengan kebutuhan medis (tidak over maupun under-utilization),
tepat waktu (tidak premature maupun delay utlization), serta sesuai dengan
kebijakan pembiayaan kesehatan seperti BPJS di Indonesia.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran utama case


manager adalah sebagai berikut (NHS Institute for Innovation and
Improvement, 2006).

1. Assessment kebutuhan pasien dan keluarga/ pendamping

2. Menyusun plan perawatan/ pelayanan yang sesuai

3. Organizing dan menyesuaikan proses pelayanan di atas

4. Monitoring kualitas pelayanan

5. Maintain hubungan/ kontak dengan pasien dan keluarga/ pendamping

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Pasal

29 huruf b menjelaskan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan

kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan

mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah

sakit. Pasal 40 ayat (1) UU nomor 44 tahun 2009 juga menyebut bahwa dalam

upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi

secara berkala minimal tiga tahun sekali. (Kemenkes, 2009) Dari undang

undang tersebut diatas akreditasi rumah sakit penting untuk dilakukan dengan

alasan agar mutu dan kualitas diintegrasikan dan dibudayakan ke dalam sistem

pelayanan di rumah sakit ditambah lagi BPJS mensyaratkan bekerjasama

dengan rumah sakit yang sudah terakreditasi. Permenkes No 12 Tahun 2012


Tentang Akreditasi Rumah Sakit menyebutkan bahwa akreditasi adalah

pengakuan terhadap Rumah Sakit yang diberikan oleh lembaga independen

penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri, setelah dinilai bahwa

rumah sakit itu memenuhi standar pelayanan rumah sakit yang berlaku untuk

meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit secara berkesinambungan.

(Kemenkes, 2012) Permenkes 56 pasal 76 ayat (2) tahun 2014 tentang

klasifikasi dan perijanan rumah sakit menyatakan bahwa

Akreditasi merupakan persyaratan untuk perpanjangan izin dan

perubahan kelas rumah sakit. (Kemenkes, 2014) Proses akreditasi rumah sakit

penting karena akreditasi mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat

terutama yang berhubungan dengan keselamatan pasien dan peningkatan mutu

pelayanan di rumah sakit. Sumber daya manusia (SDM) memegang peranan

yang sangat dominan dalam aktivitas atau kegiatan rumah sakit, terutama

paramedis. Berhasil atau tidaknya sebuah rumah sakit dalam mencapai tujuan

akreditasi sangat tergantung pada kemampuan sumber daya manusianya dalam

menjalankan tugas-tugas yang diberikan. Oleh karena itu, setiap manajemen

rumah sakit perlu memikirkan bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk

mengembangkan kemampuan pegawai lainnya agar dapat mendorong

kemajuan untuk tercapai tujuan akreditasi rumah sakit. (Aditama, 2013) Dalam

setiap organisasi, paramedis/pegawai lainnya bekerja selalu tergantung pada

pimpinan. Bila pimpinan tidak memiliki kemampuan memimpin, maka tugas-

tugas yang sangat kompleks tidak dapat dikerjakan dengan baik. Apabila

pimpinan mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, sangat


memungkin rumah sakit tersebut dapat mencapai tujuannya. Suatu rumah sakit

membutuhkan pemimpin yang efektif, yang mempunyai kemampuan

mempengaruhi perilaku anggotanya atau anak buahnya. (Restiawati, 2013)


BAB II
TINJAUAN TEORI
A. leader” Pemimpin (leader) adalah orang yang memimpin. Sedangkan pimpinan
merupakan jabatannya. Dalam pengertian lain, secara etimologi istilah
kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” yang artinya bimbing atau tuntun.
Dari “pimpin” lahirlah kata kerja “pemimpin” yang artinya membimbing dan
menuntut. Davies (2009) menyatakan bahwa leadership is about direction setting
and inspiring others to make the journey to a new and improved state of school.
Kepemimpinan adalah tentang pengaturan pimpinan dan menginspirasi orang lain
untuk melakukan suatu pekerjaan kepada sesuatu yang baru dan memajukan
organisasi sekolah

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sudah banyak ahli
kesehatan membuat batasan kesehatan masyarakat. Secara kronologis batasan-
batasan kesehatan masyarakat mulai dengan batasan yang sangat sempit samapi
batasan yang luas seperti yang kita anut saat ini dapat diringkas seperti berikut ini.
Batasan yang paling tua, dikatakan bahwa kesehatan adalah upaya-upaya untuk
mengatasi masalah-masalah sanitasi yang mengganggu kesehatan. Dengan kata lain
kesehatan masyarakat adalah sama dengan sanitasi. Kesehatan masyarakat adalah
ilmu dan seni
DAFTAR PUSTAKA

ACMA. (2016). American Case Management Association. Retrieved from


http://www.acmaweb.org/section.aspx?sID=5

Elmi, Bachrul. 2002. Keuangan pemerintah Daerah otonom di Indonesia. Jakarta:


UI-Press.
Utami, Sri Tjahyani Budi, 2003. Modul Mata Pencemaran Udara dan Kesehatan.
Depok: FKM-UI.
Yanuarta, Hendra. 2002. Skripsi: Kesiapan Pembiayaan Kesehatan di Dinas
Kesehatan Kabupaten Lampung Barat pada Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Depok: FKM-UI (S. 2562).
Yurisca, Ariend. 2002. Skripsi: Pola Pembiayaan Kesehatan OKI Jakarta Setelah
Otonomi Daerah. Depok: FKM-UI (S. 2586).
Modul Aspek kebijakan kesehatan: Keadilan, privatisasi & bantuan internasional
oleh Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc. Ph.D.
World Health Organisation (WHO). 2000. The world health report: health system:
improving performance (p. 1-125).
Trisnantoro Laksono, Budi Andiyanto, dkk.Kebijakan Subsidi Di RSUD prof. dr.
h.m. chatib quzwain Setelah Menjadi Badan Layanan Umum Daerah (blud)
Kabupaten Sarolangunm(Vol:7, p-196)
Nugroho, Riant. 2017. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai