Anda di halaman 1dari 6

Tugas Teknologi Reproduksi Ternak

PROSES KAPASITASI SPERMATOZOA TERNAK

Oleh

LA SABARA

L1A116098

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
Proses kapasitasi spermatozoa ternak

Keberhasilan fertilisasi in vitro (FIV) tidak hanya dipengaruhi oleh oosit


saja, tetapi juga oleh spermatozoa yang digunakan untuk membuahinya. Metode
kapasitasi spermatozoa juga menentukan keberhasilan FIV. Telah diketahui bahwa
produksi spermatozoa oleh seekor pejantan (spermatogenesis) merupakan suatu
proses yang panjang, yang berlangsung di dalam testes, sampai kemudian hams
mengalami proses kapasitasi di dalam saluran reproduksi betina, sehingga
spermatozoa mampu menembus zona pelucida oosit dan akhirnya membentuk
zigot/embrio.
Proses kapasitasi merupakan suatu proses reaksi biokimia dan fisiologi yang
kompleks, termasuk pengbilangan suatu komponen yang berasal dari tubuli
semeniferi, epididimis, vas deferens dan seminal plasma yang diserap spermatozoa
melalui membran spermatozoa. Selama proses dari testes, melalui epididimis,
spermatozoa dimodifikasi hingga menjadi sel yang fertiLyang disimpan di ekor
epididimis hingga dilepaskan saat ejakulasi untuk menghindari kontaminasi oleh
urine. Satu hal yang penting bahwa proses pendewasaan dan modifikasi
spermatozoa terjadi pada permukaan. Spermatozoa yang meninggalkan testes dan
masuk ke kaput epididimis belum mampu melakukan penetrasi ke oosit. Proses
kapasitasi perlu untuk dapat melakukan penetrasi pada oosit. Sebelum melakukan
fertilisasi, spermatozoa harus melakukan migrasi melalui saluran reproduksi betina.
Dalam perjalanan ini permukaan spermatozoa dilindungi oleh glikoprotein sebagai
pelindung yang disekresi oleh epididimis dan berfungsi melindungi permukaan
spermatozoa ketika garnet diekspos seminal plasma saat ejakulasi. Proses kapasitasi
ini harus berjalan secara gradual (bertahap) untuk menghilangkan pelindung
tersebut dari permukaan spermatozoa terutama bagian akrosom.
sel kumulus sangat penting fungsinya untuk perkembangan cytoplasmic
yang normal dari oosit secara in vitro dan penting pada saat induksi reaksi akrosom
spermatozoa yang pada akhirnya akan meningkatkan derajat fertilisasi dan
perkembangan embrio selanjutnya. Pada penelitian tersebut digunakan medium BO
sebagai medium kapasitasi dan fertilisasi dengan konsentrasi spermatozoa 3-
4X10V ml yang diinseminasikan sebanyak 50 ml/5 0ml medium. Inkubasi oosit dan
spermatozoa selama 812 jam. Zigot dikultur di dalam medium TCM-199 dengan
suplementasi 0.4 mM Na piruvat, 5 mM hemicalcium laktat dan 3 mg/ml BSA.
Medium kultur diganti setiap 48 jam. Kemudian 120 jam setelah inseminasi, embrio
dipindahkan ke dalam medium kultur yang diberi suplemen 5,56 mM glukosa dan
teras dikultur hingga 168 jam setelah inseminasi. Hasil yang dicapai dengan metode
ini adalah 52% (2-8 sel), 23% (8-32 sel), 9% morula dan 4% blastosis dari 159 oosit
dengan kumulus yang kompak. Tetapi bila tanpa kumulus hanya diperoleh 50% (2-
8 sel), 2% (8-32 sel) dan tidak ada yang mencapai morula maupun blastosis.
Sedangkan Dominko dan First (1997) melaporkan bahwa oosit segera setelah
terlihat adanyapolar body (sekitar 16 jam dalam medium maturasi) dilakukan
inseminasi dan menghasilkan rasio jantan dan betina 33% vs 67% dan bila ditunda
sampai 8 jam kemudian baru diinseminasi ternyata menghasilkan embrio dengan
rasio jantan dan betina 64% vs 36%. Pada penelitian ini digunakan percoll gradient
(90% dan 45%) masing-masing 2 ml per lapis untuk memisahkan sperma motil.
Konsentrasi sperma untuk fertilisasi in vitro 1,0-2,5 x 106 spermatozoa/ml. Oosit
setelah diinseminasi dikultur dalam medium CR]aa.
Proses pembuahan biasanya terjadi di bagian kaudal ampula atau di
sepertiga atas tuba falopi. Sel telur masuk ke dalam ampula masih dalam keadaan
diselaputi oleh sel-sel granulosa yang dilepaskan oleh folikel de graaf, sel-sel
tersebut adalah sel kumulus ooporus. Dengan demikian masuknya sel
spermatozoa ke dalam sel telur pada saat sel telur menjalani pembelahan reduksi
pertama. jumlah sel spermatozoa yang ditumpahkan kedalam saluran sel kelamin
betina bisa ratusan hingga ribuan juta, tetapi yang berhasil sampai ke tempat
pembuahan relatif sedikit, mungkin tidak sampai lebih dari 1000 sel spermatozoa
Derajat kebuntingan rendah bisa diakibatkan dari tidak tepatnya
mengawinkan. Sel spermatozoa mengalami suatu perjalanan yang unik sebelum
berperan dalam proses pembuahan, selama perjalanan ini terjadi serentetan
perubahan pada sel spermatozoa untuk memperoleh kemampuan fertilisasi sel telur,
proses ini disebut kapasitasi, sel spermatozoa harus dapat mengenali, menempel
pada sel telur dan melakukan penetra-si pada sel telur. Demikian juga sel gamet
betina (oosit) harus mengalami serangkaian proses biologis alamiah hingga
matang, serta fertil dan disebut ovum atau sel telur. Masing-masing bergerak
saling mendekat dan bertemu di sentral sel . Peleburan kedua pronuklei dimulai
dengan proses penyusutan inti dan jumlah pronuklei ini menurun. Membran
pronuklei pecah dan menghilang, kromosom dari sel spermatozoa dan sel telur
bersatu (amfimiksis). Metafase proses mitosis pertama dari sel telur merupakan
tanda akhir dari peleburan ke dua jenis pronklei jantan dan betina (singami)
dan sekaligus merupakan akhir proses fertilisasi.
Sel telur yang telah dibuahi ini disebut zigot yang segera mengalami
proses pembelahan menjadi embrio. Proses pembuahan ini memerlukan waktu 12
jam pada kelinci, 16-21 jam pada domba, 20-24 jam pada sapi dan sekitar 36 jam.
Untuk masuk kedalam sel telur, sel sperma pertama-tama harus melewati : sel-
sel kumulus oophorus bila masih ada, menembus zona pellusida, selanjutnya
selaput (membrana) vitellin. Sel-sel kumulus dapat dile-wati oleh pergerakan sel
spermatozoa sendiri, dan diban-tu oleh enzim hyaluronidase untuk melarutkan
asam hyalu-ronik pada Cumulus oophorus. Enzim tersebut mendepolimerisasi
asam hyaluron-pro-tein. Hambatan selanjutnya adalah zona pellusida,
penem-busan ke dalam zona pellusida disebabkan karena sel spermatozoa
memiliki enzim, yang disebut zonalisin. Enzim ini telah diketemukan pada babi.
Sel telur bulu babi, menghasilkan fertisin, bahan ini bereaksi dengan antrif-
ertilisin yang dihasilkan oleh sel spermatozoa. Reaksi dari kedua bahan ini
menyebabkan sel spermatozoa melekat dengan zona pellusida dan menembusnya.
Setelah menembus lapisan-lapisan tersebut akrosoma yang telah menjadi longgar
selama kapasitasi akhirnya hilang dan membentuk perforatorium. Mungkin
aktivitas suatu enzim tertentu berhubungan dengan perforatorium yang
memungkinkan pene-robosan zona pellusida. Fase terakhir penetrasi sel telur,
meliputi pertautan kepala sel spermatozoa ke permukaan vitellin. Periode ini
sangat penting karena pada saat inilah terja-di aktivasi ovum, yang terangsang oleh
pendekatan sel spermatozoa, sel telur bangkit dari keadaan tidurnya dan terjadilah
perkembangan. Kepala sel spermatozoa dan pada beberapa species juga ekor dari
sel spermatozoa memasuki sel telur. Membran plasma sel spermatozoa dan sel
telur pecah kemudiaan bersatu membentuk selubung bersama. Sebagai akibatnya,
sperma memasuki vitellin dan selubung dari sel spermatozoa tersebut bertaut pada
membran vitel-lin. Pada alternatif lain, membran plasma sel spermatozoa dapat
pecah kemudian kepala sel spermatozoa yang telan-jang memasuki sel telur.
Bagian akhir proses pembuahan adalah menghilangnya anak-anak inti
berikut selaput-selaputnya, kromosom maternal mulai tampak, kemudian bersatu
menjadi satu kelompok. Pada fase tertentu selama puncak pekembangannya,
pronuklei jantan betina mengadakan kontak. Sesudah beberapa saat ke dua
pronuklei tersebut berkerut dan bersamaan dengan itu meleburkan diri. Nukleoli
tidak tampak lagi. Umur pronuk-leoli berkisar antara 10 - 15 jam menjelang
cleavage pertama, dua kelompok kromosom mulai kelihatan, masing-masing
adalah kromosom paternal dan maternal yang bersatu membentuk satu kelompok
yang memulai profase mitosis pertama dari cleavage. Sel telur yang telah
dibuahi menjalani cleavage petama untuk membentuk embrio dua sel. Setiap anak
sel kini mengandung jumlah kromosom diploid normal yang khas dari jenis hewan
tersebut, setengahya berasal dari sel spermatozoa dan setengahnya berasal dari sel
telur.
Lamanya fertilisasi jumlah interval waktu dari penetrasi sel spermatozoa
sampai waktu cleavage pertama tidak diketahui secara pasti pada ternak,
kemungkinan besar tidak lebih dari 24 jam. Lama pembuahan dihitung berdasarkan
waktu yang diperlukan sejak dimulai masuknya sel sperma ke dalam sel telur
sampai dengan dimulainya pembelahan sigot. Pada mamalia, satu sel spermatozoa
diperlukan untuk pembuahan, oleh karena itu untuk mencegah masuknya sel
spermatozoa yang lain, sel telur mempunyai dua sistem pertahanan, yaitu zona
pellusida dan selaput vitelin. Tahanan yaitu zona pellusida adalah perubahan zona
pellusida akibat melekatnya sel spermatozoa ke dalam selaput vitelin. Perubahan
ini mengakibatkan butir-butir korteks (cortical granules) yang terdapat pada selaput
vitellin dilepaskan ke arah zona pellusida dengan demikian antara ruang vitelin
dengan zona pellusida terdapat ruangan yang disebut ruangan perivitelin.
Ruangan perivitelin makin lama makin meluas dan permulaan perluasannya
dimulai dari tempat sel spermatozoa masuk.
Secara normal hanya satu sel spermatozoa yang memasuki sel
telur. Sering terlihat banyak sel spermatozoa bergerombol di sekeliling zona
pellusida, tetapi hanya satu sel kelamin jantan yang terdapat dalam sel telur. Dari
kenyatan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa zona pellusida dapat menjalani
beberapa perubahan sesudah masuknya sel spermatozoa petama dan menghalangi
pemasukan sel spermatozoa yang berikutntya. Perubahan ini disebut reaksi zona.
Reaksi zona tersebut terdiri dari suatu perubahan yang menyebar kesekeliling
zona. Sel spermatozoa pertama mengadakan kontak dengan permukaan vitellus
merangsang timbulnya perubahan tersebut yang dibawa oleh oleh beberapa zat
yang keluar dari vitellus ke arah zona. Mungkin zat tersebut dibebaskan dari
granula korteks pada sel telur yang menghilang sesudah sel spematozoa pertama
memasuki sel telur. Sel spermatozoa ekstra yang berhasil menembus zona
pellusida ke ruangan perivitellin disebut sperma suple-menter.Mekanisme
pertahanan lainya terhadap pemasukan lebih dari satu sperma ke dalam sel telur
diperlihatkan oleh vitellus sendiri dan disebut blokade vitellin atau blokade
terhadap polyspermia. Sperma yang telah dibuahi diambil secara aktif oleh vitellus,
akan tetapi segera sesudah itu permukaan vitellus tidak memberi respon terhadap
kontak dan tidak ada lagi sel spermatozoa yang diambil. Spermatozoa ekstra yang
berhasil memasuki vitellus, walaupun adanya reaksi zona dan blokade vitellin,
disebut sperma supernumeralia, dan sel telur dikatakan memperlihatkan
polyspermia. Efektivitas blokade vitellin berbeda-beda menurut species. Apabila
terdapat polyspermia, tetapi sel suplementer tidak diketemukan (pada babi dan
anjing), berarti blokade vitellin tidak ada atau ditunda sampai reaksi zona dimulai.
Sebaliknya pada jenis-jenis hewan seperti kelinci, dengan banyak spema
suplementer di dalam ruang peri vitellin tetapi tidak ada polyspermia, berarti
bahwa blokade vitellin terjadi secara cepat dan efektif.

Anda mungkin juga menyukai