Anda di halaman 1dari 12

Definisi

Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan
peningkatan KGD akibat terjadinya resistensi insulin dan tidak mencukupinya respon
kompensasi sekresi insulin. Resistensi insulin adalah kerja insulin yang tidak adekuat pada sel
– sel target, yaitu hati, otot dan jaringan adiposa akibat kelainan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein.

Hipoglikemi adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
gejala-gejala otonom seperti adanya whipple’s triad yaitu terdapat gejala-gelaja hipoglikemia,
kadar glukosa darah yang rendah, dan gejala berkurang dengan pengobatan. Hipoglikemi
ditandai dengan adanya penurunan kadar glukosa darah < 70 mg/dL. Keadaan hipoglikemia
yang berat dan berlangsung lama mengakibatkan keadaan yang fatal. Ditandai dengan keadaan
pusing, penurunan kesadaran, hingga kejang (PERKENI, 2015).

Patofisiologi

Pada DM tipe 2, sel beta pankreas tetap memproduksi insulin bahkan melebihi
kadar normal (hiperinsulinemia), tetapi pemakaian glukosa di perifer menurun akibat jumlah
reseptor insulin di permukaan sel berkurang.(24) Hiperinsulinemia mendorong sel beta untuk
bekerja lebih keras. Pada akhirnya, sel-sel beta tersebut menjadi lelah dan mati sehingga
menyebabkan produksi insulin semakin menurun.(25) Hal ini melibatkan penurunan
sensitivitas insulin pada tujuh organ dan jaringan, termasuk pankreas, hati, otot rangka,
jaringan adiposa, otak, saluran pencernaan, dan ginjal. Hati merupakan organ utama yang
bertanggung jawab untuk memproduksi glukosa. Produksi dan pelepasan glukosa hepatik ke
dalam sirkulasi melibatkan proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Pada pasien DM tipe 2,
hati memproduksi glukosa secara berlebih karena menjadi resisten terhadap efek penekanan
insulin.(26)

Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan.


Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah
melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat disebabkan
antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya pelepasan insulin
dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi karena malproduksi insulin dari
pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah hipoglikemia terjadi, efek yang
paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu makan dan stimulasi masif dari saraf
simpatik yang menyebabkan takikardi, berkeringat, dan tremor (Silbernagl dan Lang,
2010).

Ketika terjadi hipoglikemia tubuh sebenarnya akan terjadi mekanisme


homeostasis dengan menstimulasi lepasnya hormon glukagon yang berfungsi untuk
menghambat penyerapan, penyimpanan, dan peningkatan glukosa yang ada di dalam
darah. Glukagon akan membuat glukosa tersedia bagi tubuh dan dapat meningkatkan
proses glikogen dan glukoneogenesis. Akan tetapi, glukagon tidak memengaruhi
penyerapan dan metabolisme glukosa di dalam sel (Carrol, 2007).

Gambar 4. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia (Cryer, 2011).

Selain itu, mekanisme tubuh untuk mengompensasi adalah dengan


meningkatkan epinefrin, sehingga prekursor glukoneogenik dapat dimobilisasi dari
sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan. Tubuh melakukan
pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan menaikkan asupan karbohidrat
secara besar-besaran. Mekanisme pertahanan ini akan menimbukan gejala neurogenik
seperti palpitasi, termor, adrenergik, kolinergik, dan berkeringat. Ketika hipoglikemia
menjadi semakin parah maka mungkin juga dapat terjadi kebingungan, kejang, dan
hilang kesadaran (Cryer, 2011).

Hipoglikemia berat didefinisikan sebagai hipoglikemia yang tidak dapat di


tangani oleh mekanisme homeostasis tubuh. Pada kondisi ini orang yang terkena
hipoglikemia berat dapat kehilangan kesadaran atau merasa kebingungan. Walaupun
penderita hipoglikemia berat akan terlihat sadar, tapi penderita akan terlihat lethargik
(kelelahan) dan emosional. Hal ini disebabkan karena glukagon tidak dapat
mengompensasi adanya insulin yang berlebihan. Sehingga terkadang ketika
seseorang mengalami hipoglikemia berat dibutuhkan penyuntikkan glukagon.
Penyuntikkan glukagon ini dapat diberikan dengan orang terdekat yang dilatih atau
tenaga medis terlatih (Nelms et al, 2007).
Faktor risiko

Beberapa faktor dapat meningkatkan resiko terjadikan hipoglikemia pada pasien DM


dengan terapi insulin, salah satunya ialah gangguan kecemasan. Angka kejadian hipoglikemia
dengan gangguan kecemasan 9 kali lebih tinggi dibandingkan hipoglikemia dengan episode
normal dari kecemasan. Usia muda juga merupakan factor resiko terjadinya hipoglikemi
berhubungan dengan kurangnya pemahaman mengenai tanda dan gejala dari hipoglikemia,
sedangkan pada orang tua juga dapat terjadi akibat factor penuaan sehingga kurang memahami
tanda dan gejala hipoglikemia. Pencegahan terhadap hipoglikemia berat dipengaruhi oleh
pengawasan orang tua atau pengasuh penderita DM terhadap intake makanan, dosis insulin,
dan pengaturan latihan atau kegiatan penderita. Lamanya penyakit yang diderita dan pernah
mengalami episode hipoglikemia berat juga merupakan faktor resiko dari kejadian hipoglikemi
(Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic approach, 2011).

Glibenklamid merupakan obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea


generasi II yang potensi hipoglikemiknya lebih besar dibandingkan golongan
sulfonilurea generasi I (tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid, dan klorpropamid)11.
1. Mekanisme Kerja
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogeus, kerjanya
merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β Langerhans pankreas.
Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada
membran sel-sel β yang menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini
akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan
masuk sel β, merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi
insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C. Kecuali itu
sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar. Pada penggunaan jangka
panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan hipoglikemia.11
2. Farmakodinamik
Memiliki efek hipoglikemik yang poten (200 kali lebih kuat daripada
Tolbutamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makan
yang ketat. Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal.
3. Farmakokinetik
Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat diberikan
per oral. Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstra sel. Dalam
plasma sebagian besar pada protein plasma terutama albumin (70-99%).
Studi menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif menunjukkan
bahwa, glibenklamid diserap sangat baik. Mula kerja (onset) glibenklamid:
kadar insulin serum mulai meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis
tunggal. Kadar puncak dalam darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar
mulai menurun, 24 jam setelah pemberian, kadar dalam plasma hanya tinggal
sekitar 5%.
Masa kerja sekitar 15-24 jam. Metabolisme glibenklamid sebagian besar
berlangsung dengan jalan hidroksilasi gugus sikloheksil yang menghasilkan
satu metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif.
Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans,
metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan metabolit
lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang diakumulasi,
hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar diekskresi
melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja.
Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang
apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian dihentikan, obat akan
bersih keluar dari serum setelah 36 jam.
Diagnosa

Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah rendah tetapi
menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak semua pasien diabetes
mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia.
Tatalaksana

Penanganan hipoglikemia tergantung pada derajat keparahan hipoglikemia itu sendiri.


Hipoglikemia ringan hingga sedang lebih mudah ditangani yaitu dengan intake oral karbohidrat
aksi cepat seperti minuman glukosa, tablet, atau makanan ringan. Hipoglikemia derajat berat
memerlukan tindakan segera dan khusus (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).

Dekstrosa
Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi glukosa oral seperti pada pasien penurunan
kesadaran, kejang, atau perubahan status mental dapat diberikan cairan dekstrosa secara intra
vena baik perifer maupun sentral. Konsentrasi dekstrosa 50% pada air dapat diberikan pada
pasien dewasa, sementara dekstrosa dengan konsentrasi 25% biasa digunakan sebgai terapi
pada pasien anak. Perlu diperhatikan pada cairan dekstrosa 50% dan 25% dapat menyebabkan
nekrosis jaringan jika diberikan pada jalur intra vena yang tidak benar, oleh karena itu, cairan
tersebut harus diberikan pada jalur IV yang paten (Treatment of severe diabetic hyplogicemia
with: an underutilizes therapeutic approach, 2011).

Glukagon
Glukagon merupakan lini pertama terapi hipoglikemi pada pasien hipoglikemi dengan
terapi insulin karena glukagon merupakan hormon utama pengatur insulin. Tidak seperti
dekstrosa, glukagon diberikan melalui subkutan atau intra muskular. Hal ini menjadi penting
karena glucagon dapat dijadikan pilihan terapi selagi menunggu paramedic datang untuk
memberikan dekstrosa (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glucagon efektif dalam menyediakan kembali
glukosa darah dan dapat mengembalikan kesadaran, serta sifatnya aman dalam penanganan
hipoglikemia berat baik diberikan secara intra vena, subkutan, ataupun intra muskular.
Glukagon yang diberikan secara parenteral biasa diberikan pada pasien DM tipe 1 dengan
riwayat hipoglikemia berat. Glukagon yang diberikan secara intra vena biasa diberikan pada
pasien hipoglikemia berat dengan DM tipe 2.

Mengingat bahwa glukagon menstimulasi sekresi insulin berkaitan dengan glikogenolisis


maka sangat perlu diperhatikan pemberian glukagon pada pasien DM tipe 2 dengan terapi
insulin atau dengan komplikasi tertentu. Glukagon sangat tidak disarankan diberikan secara
infus intra vena atau dengan pasien yang menggunakan sulfonilurea; pada pasein tersebut lebih
baik diberikan glukosa secara bolus kemudian diikuti dengan infus hingga efek dari
sulfonilurea telah habis.

Mual dan muntah sering dilaporkan sebagai efek samping terhadap penggunaan glucagon
dengan dosis >1mg, namun menurut penelitian yang pernah dilaporkan sangat jarang
membahas tentang kejadian mual dan muntah tersebut, selain itu mual dan muntah tetap akan
dapat terjadi walaupun tanpa penggunaan glukagon. Ada juga laporan mengenai reaksi alergi
setelah pemberian glukagon, namun hal ini biasanya terjadi apabila glukagon diberikan sebagai
terapi selain untuk hipoglikemia (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).

Manajemen Hipoglikemia Menurut Perkeni

Stadium permulaan (sadar)

1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop atau permen 
gula murni
(bukan pemanis pengganti gula) atau gula diet atau gula 
diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara
3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak 
sadar)
5. Cari penyebab 


Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)

1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus 
intravena
2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan 
glukometer:
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dextrose 40%
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
3. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dextrose 40%
4. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip 
Dextrose 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs 
setiap 2 jam,
dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, 
pertimbangkan mengganti infuse
dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam,
dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, 
pertimbangkan mengganti infuse
dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%

7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam :

8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti


adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama
12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5-2
g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain kesadaran menurun.

Komplikasi

Komplikasi dari pada gangguan tingkat kesadaran yang berubah selalu dapat menyebabkan
gangguan pernafasan, selain itu hipoglikemia juga dapat mengakibatkan kerusakan otak akut,
hipoglikemia berkepanjangan parah bahkan dapat menyebabkan gangguan neuropsikologis
sedang sampai dengan gangguan neuropsikologis berat karena efek hipoglikemia berkaitan
dengan system saraf pusat yang biasanya ditandai oleh perilaku dan pola bicara abnormal
(jevon, 2010) dan menurut Kedia (2011) hipoglikemia yang berlangsung lama bisa
menyebabkan kerusakan otak yang permanen, hipoglikemia juga dapat menyebabkan koma
sampai kematian.
Prognosis

Prognosis hipoglikemia dinilai dari penyebab, nilai glukosa darah, dan waktu
onset. Apabila bersifat simtomatik dan segera diobati memiliki prognosis baik (dubia
et bonam) dibandingkan dengan asimtomatik tanpa segera diberikan oral glucose
(dubia et malam) (Hamdy, 2013).
Daftar pustaka

1. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2007.
2. Price, Sylvia A. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2014.
3. Powers CA. Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th. North America: Medical
Publishing Division Mc Graw-Hill. 2005.
4. American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia. Defining and reporting
hypoglycemia in diabetes. Diabetes Care 2005.
5. Manaf, A. Buku Ilmu Ajar Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing. 2014.
6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, Jakarta: PB. PERKENI. 2015.
7. American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) Diabetes Mellitus
Clinical Practice Guidelines Task Force. AACE Medical guidelines for clinical
practice for the management of diabetes mellitus. Endo Pract. 2007;13(Supl 1).
8. American Diabetes Association. ADA position statement : standard of medical
care in diabetes. Diab Care. 2005;29(suppl. 1):S4-S42.
9. Ganiswarna S. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI. 2000.
10. Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

Anda mungkin juga menyukai