Anda di halaman 1dari 5

Eksistensi Klausula Arbitrase dalam Putusan

Anotasi Putusan Mahkamah Agung Nomor 270/PK/PDT/2015

Arbitrase diberikan kewenangan absolut untuk mengadili perkara berdasarkan Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(“UUAAPS”). Kewenangan absolut itu berasal dari perjanjian tertulis yang dibuat para
pihak.

Kewenangan absolut adalah kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus


suatu perkara. Kewenangan tersebut berasal dari undang-undang.

Contohnya, Pengadilan Niaga tak berwenang mengadili perkara perceraian dua orang
beragama Islam. Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa dan memutus perkara
perceraian dua orang beragama Islam.

Walaupun arbitrase telah diberikan kewenangan absolut oleh UUAAPS, pada


praktiknya masih ada majelis hakim yang memeriksa dan memutus sengketa yang
mengandung klausula arbitrase. Putusan Mahkamah Agung Nomor 270/PK/PDT/2015
adalah salah satu contoh yang dapat digali.

Ringkasan Kasus Posisi

Pemerintah Kabupaten Bulungan cq Dinas Kebersihan, Pertamanan, Pemakaman dan


Penanggulangan Masalah Kebakaran (“Pemkab”) sebagai Penggugat melawan Chandra
Santosa (“CS”)

CS ditetapkan Pemkab memenangkan lelang pembuatan lanskap Taman Tepian Sungai


Kayan berdasarkan surat Pemkab nomor 870/32.I/DKPP tanggal 24 Oktober 2008.
Tanggal 27 Oktober 2008 ditandatangani kontrak antara Pemkab dengan CS berdasar
Surat Perjanjian Kerja Nomor 870/43.I/DKPP&PMK-SET/XX/2008

Berdasarkan Surat Penyerahan Lapangan dari Pemkab nomor 870/35.I/DKPP&PMK-


SET/XX/2008 tanggal 27 Oktober 2008 dan Surat Perintah Kerja Nomor
870/36.I/DKPP&PMK-SET/X/2008 tanggal 27 Oktober 2008, CS mulai bekerja.

CS telah selesai mengerjakan tahap STA 0+000 meter sampai dengan STA 0+600
meter. Namun pekerjaan berhenti pada titik STA 601 sampai dengan STA 1500. Hal itu
disebabkan pekerjaan penimbunan lokasi Dinas Pekerjaan Umum Bulungan belum
selesai.

CS telah berkomunikasi dengan Pemkab tentang kendala tersebut. CS harus membayar


upah pekerja yang telah disiapkan untuk titik STA 601 sampai dengan STA 1500.
Padahal pekerjaan belum bisa dilaksanakan.

Pekerjaan pemborongan diputuskan berdasarkan Surat Pemutusan Perjanjian Kerja


Nomor 870/412/DKPP&PMK-SET/XII/2008.
Untuk mengerjakan proyek tersebut, CS telah menghabiskan dana sebesar
Rp2.646.477.125,00 (dua milyar enam ratus empat puluh enam juta empat ratus tujuh
puluh tujuh ribu seratus dua puluh lima rupiah). Ditambah biaya pekerja sebesar
Rp584.400,00 (lima ratus delapan puluh empat juta empat ratus ribu rupiah).

Pada Surat Pemutusan Perjanjian kerja disepakati Pemkab hanya membayar sepanjang
yang telah dikerjakan. Namun sampai 18 April 2012, Pemkab belum membayar
kewajibannya.

CS juga merugi harus membayar bunga 3% (tiga persen) per bulan dari nilai pinjaman,
total senilai Rp96.938.314,00 (sembilan puluh enam juta sembilan ratus tiga puluh
delapan tiga ratus empat belas rupiah).

CS juga merugi kehilangan keuntungan 5% per bulan senilai total Rp161.593.856,00


(seratus enam puluh satu lima ratus sembilan puluh tiga delapan ratus lima puluh enam
rupiah). CS juga menderita kerugian moril berupa persepsi buruk dari perbankan
Kabupaten Bulungan bahwa CS tak mampu mengelola dana pinjaman.

Dari dasar gugatan tersebut, CS, diantaranya, meminta majelis hakim Pengadilan
Negeri Bulungan untuk mengabulkan beberapa hal. Pertama,mengabulkan semua
permohonan CS. Kedua, menyatakan sah dan berharga semua perjanjian CS dengan
Pemkab.

Ketiga, menyatakan CS telah melaksanakan seluruh kewajiban sampai


penandatanganan Surat Pemutusan Kontrak. Keempat, menyatakan Pemkab Bulungan
ingkar janji.

Kelima, menghukum Pemkab membayar biaya yang telah dikeluarkan untuk


mengerjakan proyek, mengganti kerugian bunga bank, mengganti rugi kehilangan
keuntungan, membayar uang paksa Rp.1000.000,00 (satu juta rupiah) dan membayar
biaya perkara.

Sikap Pengadilan

Atas permohonan tersebut, Pengadilan Negeri Tanjung Selor (“PNTS”) menerbitkan


Putusan Nomor 06/Pdt.G/2012/PN Tg.Slr. tanggal 26 Juli 2012, diantaranya, tiga
putusan. Pertama, mengabulkan seluruh gugatan CS. Kedua, menyatakan sah dan
berharga seluruh perjanjian.

Ketiga, menyatakan CS telah melaksanakan semua kewajiban perjanjian sampai dengan


pemutusan kontrak. Keempat, menyatakan Pemkab ingkar janji.

Kelima, menghukum Pemkab membayar biaya pekerjaan yang telah dikeluarkan dan
kerugian bunga bank. Keenam, menghukum Pemkab membayar biaya perkara
Rp2.441.000,00 (dua juta empat ratus empat puluh satu ribu rupiah).
Terhadap putusan PNTS tersebut, Pemkab mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
Kalimantan Timur (“PTKT”). PTKT menerbitkan Putusan Nomor 116/PDT/2012 KT
SMDA tanggal 21 Januari 2013, yang di antaranya menguatkan Putusan PNTS tersebut
dan menghukum Pemkab membayar biaya perkara Rp150.000,00 (seratus lima puluh
ribu rupiah).

Atas putusan PTKT tersebut, majelis kasasi Mahkamah Agung (“MA”) menerbitkan
Putusan Nomor 1646/K/Pdt/2013 tanggal 22 Oktober 2013 yang berisi dua hal.
Pertama, menolak permohonan kasasi CS dan Pemkab. Kedua, menghukum Pemkab
membayar ganti rugi Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Tidak puas dengan putusan kasasi MA, Pemkab mengajukan peninjauan kembali atas
putusan tersebut. Majelis hakim peninjauan kembali mempertimbangkan empat poin.
Pertama, telah terjadi kekhilafan dalam putusan PNTS, PTKT dan majelis hakim kasasi
MA.

Kedua, Kekhilafan tersebut disebabkan pada Surat Perjanjian Kerja Pasal 9 huruf b,
Pemkab dan CS ternyata telah mengikatkan diri pada klausula arbitrase. Berdasarkan
Pasal 134 HIR j.o. Pasal 3 j.o. Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUAAPS, pengadilan wajib
menyatakan diri tak berwenang jika para pihak terikat klausula arbitrase.

Ketiga, pernyataan tidak memilki kewenangan absolut dapat dinyatakan pada


pemeriksaan tingkat I, tingkat banding dan tingkat kasasi. Keempat, CS dihukum
membayar biaya perkara di semua tingkat pengadilan karena menjadi pihak yang kalah.

Dalam bagian “Mengadili”, majelis hakim peninjauan kembali memutuskan empat


putusan. Pertama, mengabulkan permohonan Pemkab. Kedua,membatalkan putusan
kasasi MA. Ketiga, menyatakan PNTS tidak berwenang mengadili perkara ini. Keempat,
menghukum CS membayar biaya perkara Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah).

Analisis

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.[1]

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau
suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.[2]

Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase.[3] Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan
hak para pihak untuk mengajukan penyelesaiana sengketa atau beda pendapat yang
termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.[4]
Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu
penyelesaian sengeta yang telah ditetapkan melalui arbtrase. Kecuali dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan undang-undang.[5]

Dalam perkara kepailitan, Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan


menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian
yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan
pernyataan pailit telah memenuhi syarat kepailitan.[6]

Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung Nomor 270/PK/PDT/2015 yang menolak


peninjauan kembali CS sudah tepat. Dalam Surat Perjanjian Kerja Pasal 9 huruf b,
Pemkab dan CS ternyata telah mengikatkan diri pada klausula arbitrase.

Dengan demikian, sengketa antara Pemkab dan CS harusnya diselesaikan di arbitrase


yang ditunjuk dalam perjanjian. Bukan di pengadilan negeri. Putusan majelis hakim
peninjauan kembali menghormati eksistensi arbitrase.

Perjanjian mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.[7]


Putusan peninjauan kembali dalam kasus ini konsisten dengan asas hukum perjanjian
tersebut. Majelis hakim memerintahkan CS dan Pemkab untuk tunduk pada klausula
arbitrase yang telah mereka sepakati dalam perjanjian.

Penolakan majelis hakim pengadilan umum untuk menolak sengketa yang telah
menunjuk arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa, mampu mengurangi beban
tumpukan perkara di Mahkamah Agung.

Simpulan

Putusan majelis hakim peninjauan kembali sudah tepat. Kesepakatan para pihak untuk
menunjuk arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa harus ditegakkan.
Kewenangan absolut arbitrase berdasarkan klausula atau perjanjian arbitrase juga
harus dihormati oleh institusi pengadilan lain.

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
Putusan Mahkamah Agung Nomor 270/PK/PDT/2015
[1] Pasal 1 ayat 1 UUAPS
[2] Pasal 1 ayat 3 UUAPS
[3] Pasal 3 UUAAPS
[4] Pasal 11 ayat (1) UUAAPS
[5] Pasal 11 ayat (2) UUAAPS
[6] Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
[7] Pasal 1338 KUHPerdata

Anda mungkin juga menyukai