Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi – Fisiologi
Vertebra merupakan tulang tak beraturan yang membentuk punggung dan
mudah digerakan. Fungsinya yaitu menahan kepala dan anggota tubuh yang lain,
melindungi organ-organ vital, sebagai tempat melekatnya tulang iga dan tulang
panggul, serta menentukan sikap tubuh. Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33
vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal 5, sacral 5 dan coccygeus 4).
Setiap vertebra terdiri dari:
1. Corpus/body
2. Pedikel
3. Prosessus artikularis superior dan inferior
4. Prosessus transversus
5. Prosessus spinosus
Diantara vertebra ditemui diskus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous),
yang berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian:
1. Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus fibrosus.
2. Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus.
Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya:
1. Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi).
2. Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi).
3. Lig kapsulare, antara proc sup dan inferior.
4. Lig intertransversale.
5. Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae.
6. Lig supra dan interspinosus.
Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila
terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut
(Mansjoer, Arif, et al. 2000).
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan
jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah,
jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak,
perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan
kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur
tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi
pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku
kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah
raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang
vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).

C. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
(Harsono, 2000).

D. Patofisologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh
dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina
Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis,
tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan
dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi
pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan
dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan
mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun
torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat
kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi,
menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,
tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami
medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.Akibat trauma terhadap tulang
belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla
spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan
adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah.
Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat
terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di
medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan
ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung
pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).
Hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan
bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak
tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur
dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat
terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma
kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat
tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat
mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang
bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis
traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka
gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya
arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik
motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema
aaanastomosis anterial anterior spinal.

E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan, gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal
dari tempat kerusakan disertai shock spinal.Sshock spinal terjadi pada kerusakan
mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat.
Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya
adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi
rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal
pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi
otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik
dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya,
sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya
terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak
sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang
terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas
kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh
dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa
tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas
atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan
anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks
anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).

G. Fase Penyembuhan Tulang


1. Tahap pembentukan hematom
Dalam 24 jam perta ma mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk
kearea fraktur. Suplai darah meningkat, terbentuklah hematom yang berkembang
menjadi jaringan granulasi sampai hari kelima.
2. Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari , hematom akan mengalami organisasi. Terbentuk
benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi
dan invasi fibroblast dan osteoblast yang akan menhasilkan kolagen dan proteoglikan
sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang
rawan.
3. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi
lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Perlu waktu 3-4 minggu agar
frakmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus
4. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang
melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai
tulang benar-benar bersatu. Proses ini memerlukan waktu 3-4 bulan.
5. Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodeling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang. Dengan aktifitas osteoblas dan osteoclas,
kalus mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)

I. Penatalaksanaan Medis
Pembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum:
1. Fraktur Stabil
a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
b. Burst fraktur
c. Extension
2. Fraktur tak stabil
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing fraktur
Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang
belakang tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat
mengakibatkan fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah
yang mobil yaitu VC4.6 dan Th12-Lt-2.

Perawatan:
1. Fraktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan
sembuh.
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
• Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
• Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra

1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)


Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus,
terutama simple kompressi.
2) Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika
dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
a) Laminektomi
mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis,
menghilangkan kompresi medulla dan radiks.
b) fiksasi interna dengan kawat atau plate
c) anterior fusion atau post spinal fusion
3) Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek
bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut dipasang
keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita
disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400
cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor
dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b) Manuver crede
c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
d) Gravitasi/ mengubah posisi
4) Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya
vaskularisasi didaerah tersebut.

Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis


Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
“wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan
pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma
dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability.
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
1) Dislokasi feset >50%
2) Loss of paralelisine dan feset.
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada
kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah
mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal
cord.

Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis


Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan
terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera
diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik
lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek
defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal
masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya
transeksi medula spinalis.
J. Komplikasi (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal
union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi
palsu dengan sedikit gerakan (non union).
3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu
lama dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi
karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan
mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak
ditangani segera.
ASUHAN KEPERAWATAN GADAR

1. KESIAP-SIAGAAN:
Pada fase ini dibagi menjadi pra rumah sakit dan fase rumah sakit
a. Fase pra rumah sakit
Koordinatir antara ambulans 119 dengan rumah sakit dapat memperbaiki kualitas
penanggulangan pasien gawat darurat. Idealnya ambulans 119 dapat memberi tahu R.S
yang dituju mengenai triage dan biomekanik kecelakaan pasien sebelum meninggalkan
tempat kejadian atau waktu perjalanan. Tindakan awak ambulans hanya imobilisasi dan
transportasi pasien ke IGD yang sesuai dengan triange pasien, yaitu IGD level 1, 2 dan
level 3.
b. Fase rumah sakit
Desain ruangan dan penyediaan alat atau obat harus di persiapkan untuk
menanggulangi pasien gawat darurat terkait secara efesien.
2. TRIAGE
Triage adalah seleksi klien sesuai dengan kebutuhan terapi. Terapi yang
dilakukan sesuai dengan prioritas A, B, C (A airway dengan kontrol vertebra sevikal, B
breathing dan C circulation dengan kontrol pendarahan).
Triage dapat di lakukan dengan di rumah sakit maupun dilapangan supaya tidak
melakukan kesalahan adalah memilih rumah sakit yang dituju ,dua tipe trage yaitu;
a. Bila jumlah klien tidak melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan. Dalam
keadaan ini pasien dengan keadaan paling gawat atau cedera multiple didahulukan
menanggulanginya(selection of problem)
b. Bila jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan dalam keadaan
ini klien yang mempunyaikemungkinan hidup didahulukan penanggulangannya,
disini dilakukan adalah “selection of pasients”
3. PRIMARY SURVEY
Disini dilakukan identifikasi keadaan yang membahayakan klien dan segera
ditanggulangi.
A = “Airway”
Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebrae servikalis. Jalan nafas
dipertahankan dengan melakukan “chin lift” atau “jaw thrust” dapat juga dengan
memasang “guedel” pada klien dengan multiple trauma dan trauma tumpul di atas
klavikula kita harus mengagap dan memperlakukan seakan ada fraktur dari vertebra
servikalis dengan memasang “neck collar” sampai dibuktikan negatif. Hasil
pemeriksaan neurologi yang negatif tidak menyingkirkan ada cedera servikal. Karena
itu sebaiknya dibuat X-ray crosstable lateral cervical spino atau swimmer view dan
menilai ketujuh vetebra servikal.
B = “Breathing dan Ventilasi”
Sebaiknya thoraks harus dapat dilihat semuanya untuk melihat ventilasi. Jalan
nafas yang bebas tidak menjamin ventilasi yang cukup, pertukaran udara yang cukup
diperlukan untuk oksigenisasi yang cukup. Bila ada gangguan instabilitas
kardiovaskuler, respirasi atau kelainan neurologis. Maka kita harus melakukan ventilasi
dengan alat “bag valve” yang disambungkan pada masker atau pipa endrokeal.
Oksigenisasi atau ventilasi yang cukup pada klien trauma termasuk memberikan
volume dan konsentrasi oksigen (12 liter per menit) yang cukup. Pernafasaan yang
melebihi 20 kali / menit menandakan gangguan respirasi.

C = “Circulation”
Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan yang segera
tidak diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:
a) kesadaran menurun
b) warna kulit pucat,kelabu menandakan kehilangan darah lebih dari 30%
c) nadi cepat dan lemah,ireguler merupakan pertanda hipovolume
Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke torniket karena
akan mengakibatkan metabolisme anaerobe.sedangkan pada pendarahan tungkai atau
abdomend diatasi dengan memakai MAST.
D = “ Disability”
Pada akhir primary survey dilakukan pemeriksaan neurologis untuk
menentukan:
a) Kesadaran
Kesadaran ditentukan dengan metode AVPU:
A-“Alert”
V-“bereaksi pada vokal stimuli”
P-“bereaksi pada pain stimuli”
U-“unresponsive”
b) Pupil
c) Reaksi reflek
Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada “primary survey” atau “seconder
survey”. Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien menunjukkan kelainan
intrakranial, dengan demikian kita harus menilai ulang :
a. Oksigenisasi
b. Ventilasi
c. Perfusi
Kehilangan kesadaran dapat disebabkan oleh A-I-U-E-O
A-“alkohol”
I-“injury atau infeksi”
U-“uremia”
E-“ epilepsi”
O-“ opium “ atau other drag
Dapat juga “don”t forget them”
D “diabetes”
F “ fever”
T “trauma”
E = “Eksposure”
Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus diselimuti
untuk menghindari hipotermi.
4. SECONDARY SURVEY
Secondary survey tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi
sudah dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Yang dilakukan dalam secondary
survey adalah anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan
pemeriksaan fisik dari kepala sampai ke ujung kaki.
Pengkajian secondary survey meliputi :
a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan
menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil,
ptosi
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan
mengalami deformitas pada daerah trauma
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))

5. DIAGNOSA dan INTERVENSI KEPERAWATAN


Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt, tanda
sianosis –

Intervensi keperawatan :
1) Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk
mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2) Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik
sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan
sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3) Kaji fungsi pernapasan.
Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial,
karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4) Auskultasi suara napas.
Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang
berakibat pnemonia.
5) Observasi warna kulit.
Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan
segera
6) Kaji distensi perut dan spasme otot.
Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
7) Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai
ekspektoran.
8) Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.
Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk
mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
9) Pantau analisa gas darah.
Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh :
hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
10) Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan
isufisiensi pernapasan.
11) Lakukan fisioterapi nafas.
Rasional : mencegah sekret tertahan
b. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelumpuhan
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1) Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan
pengobatan individu.
2) Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin
3) Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit
atau kompensasi.
Rencana tindakan :
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur, aktivitas
yang kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.
2) Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang
disesuaikan dengan klien.
Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka
rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam memfokuskan perhatian dan
meningkatkan koping dengan batasan tersebut.
3) Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki
mekanika tubuh.
4) Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut
Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena yang statis
dan kemungkinan terbentuknya trombus.
5) Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya
berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
c. Nyeri akut b.d adanya cedera
Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol
Kriteria hasil :
1) Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2) Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan
3) Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti
keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.
Rencana tindakan :
1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau
memperberat. Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 – 10.
Rasional : Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar untuk
perbandingan dan evaluasi terhadap terapi.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi fowler
dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi telentang dengan
atau tanpa meninggikan kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.
Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan klien untuk
menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan intervertebralis.
3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan
Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme
otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis
yang terkena.
4) Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau
atau diraih klien.
Rasional : Menurunkan resiko peregangan saat meraih
5) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Rasional : Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot dan
meningkatkan proses penyembuhan.
6) Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan
yang tepat.
Rasional : Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.
7) Berikan kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah klien
Rasional : Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama dalam keadaan
sakit dan dirawat.
8) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau matras.
Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang menurunkan
spasme.
9) Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)
Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri
d. Kerusakan integritas kulit b.d tirah baring lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit
dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1) Menunjukan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit memudahkan penyembuhan
sesuai indikasi.
2) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/ penyembuhan lesi terjadi
Rencana tindakan :
1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.
Rasional : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin
disebabkan oleh alat traksi/ gibs.
2) Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas
kerutan.
3) Ubah posisi dengan sering
4) Gunakan tempat tidur busa, bulu domba, bantal apung atau kasur udara sesuai
indikasi.
e. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada
usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi
alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan :
1) Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus
mungkin tidak ada selama syok spinal.
2) Observasi adanya distensi perut.
3) Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan
gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
4) Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
5) Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus
f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan
individu.
Rencana tindakan :
1) Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih
Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan intervensi
itu diperlukan.
2) Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih
Rasional : Menandakan adanya retensi urine
3) Tingkat pemberian cairan
Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal
4) Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan air hangat diarea
suprapubis.
g. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan
status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
Tujuan : Adaptasi klien efektif
Kriteria hasil :
1) Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.
2) Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping
3) Mendemonstrasikan pemecahan masalah
Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat anxietas pasien.
Rasional : Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang
2) Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur
Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan atas
pengetahuan.
3) Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya
Rasional : Meningkatkan koping yang sedang dihadapi
4) Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.
Rasional : Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab untuk meningkatkan
penyembuhan.
5) Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.
Rasional : Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar memungkinkan untuk
mempertahankan sesuatu yang dapat klien lakukan.
6) Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial, psikoterapi dan
sebagainya.
Rasional : Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada perubahan dan memberikan
sumber – sumber untuk mengatasi masalah.
h. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi
2) Mempertahankan posisi fungsional
3) Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
4) Menunjukan teknik aktivitas
Rencana tindakan :
1) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan persepsi pasien
terhadap imobilisasi.
Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan dari persepsi diri tentang
keterbatasan fungsi actual, memerlukan informasi untuk meningkatkan kemajuan
kesehatan.
2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi
Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali
perhatian dan membantu menurunkan isolasi sosial.
3) Intruksikan pasien untuk dibantu dalam rentang gerak aktif dan pasif pada
ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus
otot.
4) Dorong penggunaan latihan isometik tanpa menekuk sendi atau menggerakan
tungkai, dan mempertahankan masa otot.
Rasional : Kontraksi otot isometik tanpa menekuk sendi membantu kekuatan otot
5) Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, rehabilitasi spesial
Rasional : Berguna dalam membuat akktifitas individual latihan
i. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsional teratasi.
Kriteria Hasil : Mengungkapkan penerimaan efek penggunaan obat pada fungsi seksual.
Rencana Tindakan :
1) Kaji informasi pasien tentang saat ini dan biarka pasien menggambarkan masalah
dengan bahasanya sendiri.
Rasional : Menentukan tingkat pengetahuan pasien yang menjadi kebutuhan
2) Diskusikan prognosis untuk disfungsi seksual misalnya impotent atau hasrat seksual
rendah.
Rasional : Impoten diatasi dengan pantangan dari obat, pada kira-kira 25% yang
kembali berfungsi normal adalah lambat, 5 % tetap impotent.

6. REEVALUSI PASIEN
Pada pasien trauma harus direevaluasiterus menerus sehingga tidak ada
simptom baru yang terlewatkan. Penanggulangan rasa sakit merupakan bagian dari
penanggulangan trauma tetapi pemakaian opiat akan mengkaburkan tanda-tanda
kelainan neurologis dan dapat mengakibatkan gangguan pernafasan. Karena itu
pemakaiannya harus hati-hati monitor kesadaran dan produksi urine (0,5-1 cc/kg
BB/jam pada orang dewasa dan 1cc /kg BB/ jam pada anak-anak) adalah yang
terpenting, selain tanda-tanda vital lainnya, karena menunjukkan perfusi jaringan.

7. PENANGGULANGAN DEFINITIF
Penanggulangan selanjutnya dipakai konsep “total care“ sehingga semua
masalah dapat diprediksi dan ditanggulangi sebelum terjadi.

Anda mungkin juga menyukai