TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan
diobati, yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang persisten, yang biasanya progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi kronis pada saluran udara dan paru – paru yang
meningkat terhadap partikel dan gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbiditas berkontribusi
terhadap keparahan pasien secara individual.
Istilah PPOK secara historis beranjak dari gabungan dua keadaan penyakit yang
sebelumnya dianggap terpisah; emfisema pulmoner dan bronkitis kronik (obstruktif). Kedua
keadaan ini digabungkan dalam satu definisi keadaan klinis dan fungsional karena keduanya
sering hadir bersamaan dan sulit dibedakan satu sama lain secara klinis. Karakteristik PPOK
adalah keluhan pernafasan seperti batuk, atau sesak nafas yang berhubungan dengan
obstruksi saluran nafas yang ireversibel atau reversibel minimal secara farmakologis yang
berlangsung progresif sejalan waktu dengan penurunan force expiratory volume in 1 second
(FEV – 1) rata – rata pertahun 33 – 69 mL. Karakter lain dari PPOK adalah eksaserbasi, yang
cenderung terjadi sekitar sekali setahun. Hanya 23% dari keseluruhan pasien dengan
obstruksi moderat atau berat yang bebas eksaserbasi selama tiga tahun.
Pada tahun 2002 jumlah penderita PPOK sedang hingga berat di negara – negara
Asia Pasifik memiliki angka prevalens 6,3%. Angka prevalens bagi masing-masing negara
berkisar 3,5-6,7%. Negara dengan prevalensi terkecil adalah Hongkong dan Singapura 3,5%,
sedangkan negara dengan prevalensi terbesar adalah Vietnam 6,7% dan China 6,5%.
Indonesia memiliki angka prevalens 5,6% 2. Pada tahun 2008 Amerika memiliki angka
prevalens bronkitis 4,3% dan prevalens emfisema 1,68%3. PPOK menjadi salah satu penyakit
dengan angka morbiditas yang tinggi di Selandia Baru pada tahun 2012 dengan proporsi 14%
penduduk usia 40 tahun ke atas dan pada tahun berikutnya diperkirakan akan mengalami
kenaikan.
2.1.3.1 Patologi
Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya seperti asap dari bahan bakar
menyebabkan inflamasi paru - paru. Inflamasi kronik pada paru – paru dapat menyebabkan
kerusakan jaringan parenkim dan mengganggu perbaikan dan mekanisme pertahanan normal
yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis ini menyebabkan
terperangkapnya udara dan keterbatasan aliran udara yang progresif.
Inflamasi kronik dengan peningkatan jumlah dan jenis sel inflamasi serta perubahan
struktural yang dihasilkan dari cedera berulang dan perbaikan, ditemukan di saluran napas,
parenkim paru dan pembuluh darah paru. Secara umum, perubahan ini meningkat dengan
keparahan penyakit dan menetap meskipun telah berhenti merokok.
2.1.3.2. Patogenesis
Pada saluran pernapasan pasien PPOK terjadi perubahan respon inflamasi pada
terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme peradangan ini mungkin berhubungan
2.1.3.3. Patofisiologi
Batuk kronik produktif yang disebabkan hipersekresi mukus adalah gambaran dari
bronkitis kronik. Hipersekresi mukus terjadi karena peningkatan jumlah sel goblet dan
pembesaran kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronik jalan napas. Hal ini
Gejala eksaserbasi pernafasan yang terjadi pada pasien dengan PPOK dapat dipicu
oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor lain yang tidak diketahui.
Selama eksaserbasi terjadi kekambuhan peradangan, peningkatan hiperinflasi dan
terperangkapnya udara, berkurangnya aliran ekspirasi, dan meningkatnya gejala sesak.
Penurunan dari VA/Q yang tidak normal, yang dapat mengakibatkan hipoksemia dan
hiperkapnia. Kondisi medis lainnya seperti pneumonia, tromboemboli, dan gagal jantung akut
dapat memperburuk eksaserbasi PPOK.
Banyak pasien dengan PPOK tetap tidak terdiagnosis hingga stadium lanjut. Gejala
PPOK sering tidak dikenali hingga telah terjadi gangguan yang signifikan dari berkurangnya
fungsi paru – paru. Diagnosis yang terlambat menyebabkan pasien mengalami perburukan
gejala klinis dan keterbatasan yang seharusnya dapat diringankan dengan pengobatan, selain
itu hilang pula kesempatan untuk mengurangi progresivitas PPOK.
Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan pada pasien – pasien yang memiliki
gejala sesak nafas, batuk kronis dan produksi sputum serta riwayat paparan terhadap faktor
risiko untuk penyakit ini. Spirometri diperlukan untuk membuat diagnosis klinis dalam
konteks tersebut.
Gejala karakteristik dari PPOK adalah sesak nafas yang bersifat progresif, disertai
gejala batuk, disertai produksi dahak kronik. Batuk kronis dan produksi dahak dapat
berkembang menjadi keterbatasan aliran napas yang dialami bertahun-tahun. Pada individu
yang terpapar faktor risiko dengan gejala yang sesuai PPOK sebaiknya diperiksa untuk
menemukan penyebab yang mendasari dan mengambil tindakan yang tepat.
Ada beberapa kuesioner yang divalidasi untuk menilai gejala pada pasien PPOK
yang digunakan untuk membedakan pasien dengan gejala yang lebih ringan dan pasien
dengan gejala yang lebih berat. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) telah merekomendasikan penggunaan modifikasi British Medical Research Council
(mMRC) suatu kuesioner pada sesak napas atau COPD Assessment Test ( CAT ), yang
keduanya memiliki cakupan yang lebih luas terhadap dampak PPOK pada kehidupan sehari-
hari dan kesejahteraan pasien. Skala gejala lain dapat juga digunakan, misalnya kuesioner
klinis PPOK.
Menurut Roisin gejala klinis PPOK eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi dua
yaitu gejala respirasi berupa sesak napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume
dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, napas yang dangkal dan cepat. Sedangkan
gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta
gangguan status mental pasien.
Tabel 2.5. Definisi Eksaserbasi PPOK dan Tipe Eksaserbasi yang Dikembangkan
Untuk Penelitian Antibiotik.
Prevalensi terjadinya mortalitas di rumah sakit pada pasien eksaserbasi akut dengan
komplikasi hiperkapnia dan asidosis diperkirakan10%. Kematian dalam 1 tahun mencapai
40% setelah mendapatkan bantuan alat pernafasan.
Tabel 2.6. Derajat Eksaserbasi PPOK Pada Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan.
Mild Eksaserbasi yang ditangani dengan antibiotik, namun tidak membutuhkan streoid sistemik. Tidak
dijumpai gagal nafas atau jika tidak ada pemeriksaan analisa gas darah dari gejala klinis pasien dapat
diasumsikan tanpa gagal nafas.
Moderate Eksaserbasi yang ditangani dengan kortikosteroid parenteral dengan atau tanpa antibiotik. Tidak
dijumpai gagal nafas atau jika tidak ada pemeriksaan analisa gas darah dari gejala klinis pasien dapat
diasumsikan tanpa gagal nafas.
Severe Gagal nafas tipe 1 dengan hipoksemia namun tanpa retensi karbondioksida dan tanpa asidosis. PaO2
<8 kPa
(60 mmHg), PaCO2 < 6 kPa (45 mmHg).
Very severe Gagal nafas tipe 2 dengan hipoksemia terkompensasi, retensi karbondioksida namun tanpa asidosis.
Pa O2< 8 kPa (60 mmHg), Pa CO2>6 kPa (45 mmHg) dan konsentrasi > 44nM (pH >7.35).
Life Threatening Gagal nafas tipe 2 dengan hipoksemia tidak terkompensasi, retensi karbondioksida dengan asidosis.
Pa O2< 8 kPa (60 mmHg), Pa CO2>6 kPa (45 mmHg) dan konsentrasi > 44nM (pH <7.35).
2. Mengurangi Resiko.
a) Mencegah progresivitas penyakit
b) Mencegah eksaserbasi
c) Mengurangi mortalitas
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala
atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil.
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh
keluarganya.
Spirometri adalah suatu alat yang digunakan mengukur hambatan aliran udara secara
objektif. Spirometri pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui apakah kerja pernafasan
seseorang mampu mengatasi kedua resistensi yang mempengaruhi kerja pernafasan kita yaitu
resistensi elastik dan non elastik sehingga dapat menghasilkan fungsi ventilasi yang optimal.
Resistensi elastik dihasilkan oleh sifat elastis paru ( tegangan permukaan cairan
yang membatasi alveolus dan serabut elastik yang terdapat diseluruh paru ) dan rongga toraks
( kemampuan meregang otot, tendon, dan jaringan ikat ). Resistensi non elastik dihasilkan
oleh tahanan gesekan terhadap aliran udara dalam saluran nafas, dalam jumlah kecil yang
juga disebabkan karena viskositas jaringan paru.
Parameter yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja pernafasan dalam
mengatasi kedua resistensi tersebut adalah volume paru, baik volume statik maupun dinamis.
Volume statis menggambarkan kemampuan kerja pernafasan dalam mengatasi resistensi
elastik, sedangkan volume dinamik mengukur kecepatan aliran udara dalam saluran
pernafasan dibandingkan dengan fungsi waktu yang digunakan untuk menilai kemampuan
kerja pernafasan mengatasi resistensi non elastik.
Adapun volume dinamis tersebut antara lain:
a. Kapasitas Vital Paksa / Force Vital Capacity (FVC) : Pengukuran kapasitas vital yang
didapat pada ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat mungkin.
b. Kapasitas Vital Lambat / Slow Vital Capacity ( SVC ) : Volume gas yang diukur pada
ekspirasi lengkap yang dilakukan secara berlahan setelah atau sebelum inspirasi
maksimal.
c. Volume Ekspirasi Paksa pada Detik Pertama/Force expiration Volume (FEV1) : Jumlah
udara yang dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu ekspirasi
maksimal setelah inspirasi maksimal (volume udara yang dapat di ekspirasi dalam waktu
standar selama pengukuran kapasitas vital paksa).
d. Maximal Voluntary Ventilation (MVV) : Jumlah
udara yang bisa dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 2 menit dengan bernafas cepat
dan dalam secara maksimal.
Puncak aliran ekspirasi diukur sendiri tetapi tidak dapat diandalkan untuk digunakan
sebagai satu-satunya test diagnostik, meskipun sensitivitasnya baik, namun spesifisitasnya
lemah. Pengukuran spirometri digunakan dalam penilaian perawatan kesehatan dan semua
2.3. Magnesium
Hubungan antara magnesium dengan kesehatan sudah mulai diketahui sejak 400
tahun yang lalu jauh sebelum magnesium dikenali sebagai elemen. Pada musim panas tahun
1618 yang kering di Inggris, seorang petani bernama Henry Wicker dari Epsom, Surrey
menggali sumur untuk memberi minum sapi – sapinya. Dia mendapati bahwa hewan – hewan
peliharaannya tidak mau minum dari sumur tersebut meskipun haus, karena rasa airnya yang
kesat dan pahit. Namun, air dari sumur tersebut dapat membantu pemulihan luka, ruam, dan
borok pada hewan dan manusia. Hal ini kemudian menjadi buah bibir masyarakat London
waktu itu dan banyak penduduk London datang ke Epsom sehingga Epsom menjadi kota spa
yang terkenal melebihi tempat lain yang lebih mewah pada masanya seperti sumur
Turnbridge di Kent karena garam dan airnya. Seorang dokter sekaligus botanis di London
yang bernama Nehemiah Grew meneliti bahwa garam dari air sumur tersebut juga memiliki
efek laksatif. Penemuan ini kemudian dipatenkan sebagai garam pencahar dan sebuah pabrik
didirikan di London untuk memperdagangkannya keseluruh dunia. Garam ini sampai
sekarang disebut “Epsom Salt” (garam Epsom) dan di daratan utama eropa disebut “Salt
Anglicum” atau garam inggris. Garam inggris adalah magnesium sulfat yang terhidrasi
(MgSO4). Magnesium diidentifikasi sebagai elemen pada tahun 1755 di Edinburgh oleh ahli
kimia Skotlandia Joseph Black. Pada tahun 1808 Sir Humphrey Davy pertama kali
mengisolasi elemen magnesium dengan metode elektrolisis.
Magnesium adalah kation terbanyak kedua pada sistem selular. Magnesium
memiliki banyak fungsi secara biologis, mulai dari peran struktural seperti melengkapi grup
senyawa bermuatan negatif misalnya fosfat di asam nukleat, kontrol aktivasi enzim atau
inhibisi, dan peran regulasi dengan memodulasi proliferasi sel, kelangsungan siklus sel dan
diferensiasi.
Regulator dari fungsi – fungsi selular dikatalisa oleh sekitar 500 jenis enzim yang
secara biokimia dikenal sebagai kinase yang terutama mengkoordinasi, mengontrol, dan
mengintegrasikan seluruh proses dalam jaringan yang rumit dalam keteraturan. Kinase
memiliki peran yang penting dalam transduksi sinyal dan produksi serta aksi dari second
messenger seperti c – AMP, diacylglycerol, calmodulin dan c – GMP. Kinase mengaktivasi
atau menghambat komponen/protein individual, menyalurkannya ke lokasi selular spesifik,