Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

2.1.1 Definisi PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan
diobati, yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang persisten, yang biasanya progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi kronis pada saluran udara dan paru – paru yang
meningkat terhadap partikel dan gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbiditas berkontribusi
terhadap keparahan pasien secara individual.

Istilah PPOK secara historis beranjak dari gabungan dua keadaan penyakit yang
sebelumnya dianggap terpisah; emfisema pulmoner dan bronkitis kronik (obstruktif). Kedua
keadaan ini digabungkan dalam satu definisi keadaan klinis dan fungsional karena keduanya
sering hadir bersamaan dan sulit dibedakan satu sama lain secara klinis. Karakteristik PPOK
adalah keluhan pernafasan seperti batuk, atau sesak nafas yang berhubungan dengan
obstruksi saluran nafas yang ireversibel atau reversibel minimal secara farmakologis yang
berlangsung progresif sejalan waktu dengan penurunan force expiratory volume in 1 second
(FEV – 1) rata – rata pertahun 33 – 69 mL. Karakter lain dari PPOK adalah eksaserbasi, yang
cenderung terjadi sekitar sekali setahun. Hanya 23% dari keseluruhan pasien dengan
obstruksi moderat atau berat yang bebas eksaserbasi selama tiga tahun.

2.1.2. Epidemiologi PPOK

Pada tahun 2002 jumlah penderita PPOK sedang hingga berat di negara – negara
Asia Pasifik memiliki angka prevalens 6,3%. Angka prevalens bagi masing-masing negara
berkisar 3,5-6,7%. Negara dengan prevalensi terkecil adalah Hongkong dan Singapura 3,5%,
sedangkan negara dengan prevalensi terbesar adalah Vietnam 6,7% dan China 6,5%.
Indonesia memiliki angka prevalens 5,6% 2. Pada tahun 2008 Amerika memiliki angka
prevalens bronkitis 4,3% dan prevalens emfisema 1,68%3. PPOK menjadi salah satu penyakit
dengan angka morbiditas yang tinggi di Selandia Baru pada tahun 2012 dengan proporsi 14%
penduduk usia 40 tahun ke atas dan pada tahun berikutnya diperkirakan akan mengalami
kenaikan.

Tingginya proporsi perokok di Indonesia yaitu 65,9% dari penduduk laki-laki


berusia 15 tahun keatas dan 4,2% wanita berusia 15 tahun keatas serta pemakaian rokok yang

Universitas Sumatera Utara


terlalu dini menyebabkan tingginya penyakit yang disebabkan rokok, salah satunya PPOK.
Namun tidak ada data nasional yang menjelaskan prevalensi penderita PPOK di Indonesia.
Pada tahun 2000 di RS Persahabatan Jakarta PPOK menduduki peringkat ke-5 dari seluruh
penderita yang dirawat jalan dan peringkat ke-4 dari seluruh penderita yang dirawat. Pada
tahun 2007 terjadi peningkatan jumlah penderita 3 kali lebih besar dari tahun 2000.Hasil
survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan (PPM & PL)di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukkan
PPOK berada di urutan pertama dengan proporsi 35%, diikuti asma bronkial (33%), kanker
paru (30%) dan lainnya (2%).Pada tahun 2010 Dinas Kesehatan Yogyakarta menyatakan
PPOK menduduki peringkat ke-4 penyebab kematian.

Data PPOK yang tersedia menunjukkan variasi bermakna dikarenakan perbedaan –


perbedaan dalam metode survei, kriteria diagnostik, dan pendekatan analitik. Estimasi
prevalensi ter-rendah adalah yang berdasarkan pelaporan dokter atas diagnosis PPOK atau
keadaan yang serupa. Misalnya, sebagian besar data nasional menunjukkan bahwa kurang
dari 6% populasi dewasa diketahui menderita PPOK. Hal ini menggambarkan luasnya under
– recognition dan underdiagnosis PPOK.

2.1.3 Patologi, Patogenesis, dan Patofisiologi

2.1.3.1 Patologi

Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya seperti asap dari bahan bakar
menyebabkan inflamasi paru - paru. Inflamasi kronik pada paru – paru dapat menyebabkan
kerusakan jaringan parenkim dan mengganggu perbaikan dan mekanisme pertahanan normal
yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis ini menyebabkan
terperangkapnya udara dan keterbatasan aliran udara yang progresif.

Inflamasi kronik dengan peningkatan jumlah dan jenis sel inflamasi serta perubahan
struktural yang dihasilkan dari cedera berulang dan perbaikan, ditemukan di saluran napas,
parenkim paru dan pembuluh darah paru. Secara umum, perubahan ini meningkat dengan
keparahan penyakit dan menetap meskipun telah berhenti merokok.

2.1.3.2. Patogenesis

Pada saluran pernapasan pasien PPOK terjadi perubahan respon inflamasi pada
terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme peradangan ini mungkin berhubungan

Universitas Sumatera Utara


dengan genetik namun belum dipahami sepenuhnya. Peradangan pada paru-paru dapat
berlanjut walaupun sudah berhenti merokok, sehingga diduga bahwa auto-antigen dan mikro
organisme persisten memainkan peranan. Stres oksidatif dan kelebihan proteinase di paru-
paru menyebabkan perubahan lebih lanjut pada peradangan paru.

Stres oksidatif merupakan mekanisme penting dalam patogenesis PPOK. Biomarker


stres oksidatif meningkat dalam pengeluaran napas, dahak dan sirkulasi sistemik pasien
PPOK. Stres oksidatif semakin meningkat pada PPOK eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan
oleh asap rokok dan partakel inhalasi lainnya dilepaskan dari aktivitas sel-sel inflamasi
seperti makrofag dan neutrofil.

Terdapat bukti kuat adanya ketidakseimbangan fungsi protease yang memecah


komponen jaringan ikat dan anti - protease yang melindungi paru pada pasien PPOK.
Beberapa protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan sel epitel meningkat pada pasien
PPOK dan protease – protease tersebut berinteraksi satu sama lain. Protease ini
menghancurkan elastin, komponen utama jaringan ikat parenkim paru sehingga menyebabkan
gambaran emfisema yang irreversibel.

2.1.3.3. Patofisiologi

Keterbatasan aliran udara dan terperangkapnya udara akibat peradangan dan


penyempitan saluran napas di perifer menyebabkan penurunan FEV1. Rusaknya parenkim
karena emfisema juga berkontribusi untuk terbatasnya aliran udara karena berkurangnya
elastisitas. Kombinasi dari keduanya semakin memperberat ke terperangkapan udara selama
ekspirasi, mengakibatkan hiperinflasi.

Hiperinflasi didefinisikan sebagai peningkatan volume udara yang tersisa di paru-


paru pada akhir ekspirasi spontan, functional residual capacity (FRC) atau end-expiratory
lung volume (EELV) meningkat di atas normal.

Abnormalitas pertukaran udara berupa gangguan ventilasi-perfusi (VA/Q) dapat


mengakibatkan hipoksemia, dan hiperkapnia pada PPOK. Gangguan ventilasi menyebabkan
retensi karbondioksida, yang diperberat dengan berkurangnya perfusi.

Batuk kronik produktif yang disebabkan hipersekresi mukus adalah gambaran dari
bronkitis kronik. Hipersekresi mukus terjadi karena peningkatan jumlah sel goblet dan
pembesaran kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronik jalan napas. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


tidak selalu berhubungan dengan keterbatasan aliran udara. Tidak semua pasien dengan
PPOK memiliki gejala hipersekresi mukus.

Hipertensi pulmonal pada PPOK disebabkan oleh vasokonstriksi arteri pulmonalis


kecil yang mengalami hipoksia, perubahan struktural berupa hiperplasia intima dan hipertrofi
otot polos, serta hilangnya ruang kapiler paru karena emfisema. Respon inflamasi pembuluh
darah paru pada PPOK mirip dengan respon inflamasi saluran napas. Hipertensi pulmonal
berat dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan.

Gejala eksaserbasi pernafasan yang terjadi pada pasien dengan PPOK dapat dipicu
oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor lain yang tidak diketahui.
Selama eksaserbasi terjadi kekambuhan peradangan, peningkatan hiperinflasi dan
terperangkapnya udara, berkurangnya aliran ekspirasi, dan meningkatnya gejala sesak.
Penurunan dari VA/Q yang tidak normal, yang dapat mengakibatkan hipoksemia dan
hiperkapnia. Kondisi medis lainnya seperti pneumonia, tromboemboli, dan gagal jantung akut
dapat memperburuk eksaserbasi PPOK.

Gambar 2.1 Diagram Patogenesis dan Patofisiologi PPOK.

Universitas Sumatera Utara


2.1.4. Diagnosa

Banyak pasien dengan PPOK tetap tidak terdiagnosis hingga stadium lanjut. Gejala
PPOK sering tidak dikenali hingga telah terjadi gangguan yang signifikan dari berkurangnya
fungsi paru – paru. Diagnosis yang terlambat menyebabkan pasien mengalami perburukan
gejala klinis dan keterbatasan yang seharusnya dapat diringankan dengan pengobatan, selain
itu hilang pula kesempatan untuk mengurangi progresivitas PPOK.

Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan pada pasien – pasien yang memiliki
gejala sesak nafas, batuk kronis dan produksi sputum serta riwayat paparan terhadap faktor
risiko untuk penyakit ini. Spirometri diperlukan untuk membuat diagnosis klinis dalam
konteks tersebut.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pemeriksaan screening spirometri


pada populasi risiko tinggi, 19 – 24% ternyata menderita PPOK dengan proporsi signifikan
mengalami keterbatasan aliran udara.

Kriteria spirometri ditetapkan untuk keterbatasan aliran udara pasca-bronkodilator


adalah perbandingan FEV1/FVC kurang dari 0.70. Kriteria ini sederhana, independen dari
nilai referensi dan telah digunakan dalam berbagai bentuk uji klinis sebagai bukti dasar dari
beberapa rekomendasi pengobatan yang digunakan.Meskipun spirometri pasca-bronkodilator
diperlukan untuk diagnosis dan penilaian keparahan PPOK, namun penggunaanya untuk
mengukur derajat reversibilitas dari keterbatasan aliran napas ( misalnya, mengukur FEV1
sebelum dan sesudah bronkodilator atau kortikosteroid ) tidak lagi dianjurkan.

Gejala karakteristik dari PPOK adalah sesak nafas yang bersifat progresif, disertai
gejala batuk, disertai produksi dahak kronik. Batuk kronis dan produksi dahak dapat
berkembang menjadi keterbatasan aliran napas yang dialami bertahun-tahun. Pada individu
yang terpapar faktor risiko dengan gejala yang sesuai PPOK sebaiknya diperiksa untuk
menemukan penyebab yang mendasari dan mengambil tindakan yang tepat.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Daftar Manifestasi dan Temuan Klinis Yang Disederhanakan Dari Keadaan –
Keadaan Lain Yang Juga Menyebabkan Sesak Nafas.

PPOK Grade 1 PPOK Grade 4 Asthma Penyakit paru Penyakit obesitas


– 2 (-3) (dengan intersisial jantung
emfisema) kongestif
Simtom Batuk, dahak, Sesak nafas, Episode Sesak nafas, Sesak nafas, Sesak nafas
sesak nafas batuk, dahak sesak nafas batuk Ortopnoe,
edema
Riwayat Perokok, Perokok, Alergi, onset Debu organik Penyakit
penyakit onset onset simtom atau inorganik, jantung
penyakit saat penyakit saat sering < 30 efek samping penyebab
usia >40 usia > 40 tahun obat,
tahun tahun kolagenosis
Temuan fisik Normal, atau Suara nafas Hanya saat Suara nafas Suara nafas IMT > 40
suara nafas volum rendah, serangan: tambahan yang tambahan Kg/m2
tambahan perkusi suara nafas tidak kontinu yang tidak
yang kontinu hipersonor, tambahan kontinu
suara nafas yang kontinu
tambahan
yang kontinu
Foto ronsen Normal Diafragma Normal Infiltrat Pembuluh Diafragma
dada letak rendah, retikular atau darah paru letak tinggi
batasan paru reticulonodular tampak lebih
– paru jelas,
menjadi kardiomegali
samar
Spirometri FEV1/FVC < FEV1/FVC < FEV1 rendah VC dan FVC Normal, VC dan FVC
batas bawah batas bawah atau menurun, mungkin berkurang,
normal atau normal atau Mendekati FEV1/FVC dengan FEV1/FVC
< 0.7 <0.7, FEV1 normal >Batas bawah berkurangnya >Batas
dibawah setelah normal atau VC bawah
35% prediksi, bronkial >0.7 dan FVC normal atau
VC spasmolisis; >0.7
dan FVC normal
dibawah diantara
normal serangan
Volume Residual Residual Normal Kapasital total Normal Kapasitas
static volum normal volum paru menurun paru total
atau sedikit meningkat menurun
meningkat bermakna
Pemeriksaan Peningkatan Penurunan Tes Kapasitas difusi Normal Kapasitas
fungsi paru hambatan kapasitas provokasi menurun difusi
lanjutan aliran udara difusi bronkial normal
positif
Gas darah Dapat Hipoksemia, Dapat Hipoksemia Hipoksemia Normal
dijumpai dapat juga dijumpai dan asidosis
hipoksemia dijumpai hipoksemia pada
hiperkapnia dan dekompensasi
hiperkapnia yang berat
saat status dan akut
asmatikus

Universitas Sumatera Utara


Terhadap pasien baru dan diduga menderita PPOK, harus ditanyakan :

a) Riwayat paparan terhadap faktor resiko


b) Riwayat kesehatan terdahulu
c) Riwayat keluarga PPOK atau penyakit pernapasan kronik yang lain
d) Riwayat eksaserbasi PPOK atau rawat inap karena gangguan pernafasan
sebelumnya.
e) Adanya komorbiditas
f) Dampak penyakit pada kehidupan pasien
g) Keadaan sosial dan tersedianya dukungan keluarga terhadap pasien
h) Kemungkinan untuk mengurangi faktor risiko, terutama berhenti merokok

Ada beberapa kuesioner yang divalidasi untuk menilai gejala pada pasien PPOK
yang digunakan untuk membedakan pasien dengan gejala yang lebih ringan dan pasien
dengan gejala yang lebih berat. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) telah merekomendasikan penggunaan modifikasi British Medical Research Council
(mMRC) suatu kuesioner pada sesak napas atau COPD Assessment Test ( CAT ), yang
keduanya memiliki cakupan yang lebih luas terhadap dampak PPOK pada kehidupan sehari-
hari dan kesejahteraan pasien. Skala gejala lain dapat juga digunakan, misalnya kuesioner
klinis PPOK.

Tabel 2.2 Modifikasi British Medical Research Council (mMRC).

Grade Deskripsi sesak nafas


0 Saya hanya merasa sesak nafas bila beraktivitas berat
1 Saya merasa sesak nafas bila bergegas pada jalan yang rata atau berjalan
sedikit mendaki
2 Pada jalan yang rata, saya berjalan lebih pelan daripada orang seusia saya
karena merasa sesak nafas, atau saya harus berhenti sejenak untuk menarik
nafas saat berjalan dengan irama saya sendiri
3 Saya berhenti untuk menarik nafas setelah sekitar 100 depa atau setelah
beberapa menit pada jalan yang rata
4 Saya terlalu sesak nafas untuk meninggalkan rumah, atau saya merasa sesak
nafas bahkan saat berpakaian

Spirometri secara khusus digunakan untuk menentukan klasifikasi keterbatasan


aliran udara berdasarkan cut off poin. Derajat keterbatasan aliran udara dikaitkan dengan
peningkatan prevalensi eksaserbasi dan risiko kematian. Tabel di bawah ini menunjukkan
klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3.Penilaian Dari Keterbatasan Aliran Udara Pada PPOK.
( Berdasarkan Post Bronkodilator FEV1 )

FEV1 merupakan suatu penilaian yang sangat penting terhadap derajat


keparahan PPOK, dimana kegunaannya diperlihatkan oleh berbagai penelitian. Fletcher dan
Peto telah melakukan penelitian sejak 30 tahun yang lalu dengan mengukur FEV1 setiap 6
bulan selama 8 tahun yang terdiri dari 792 laki-laki pekerja, mendapati penurunan FEV1 yang
progresif dari waktu ke waktu pada pasien PPOK seiring dengan bertambahnya usia.

Francios et al menemukan bahwa nilai FEV1 secara statistik berhubungan dengan


derajat keparahan pada PPOK. Donaldson et al menemukan bahwa derajat keparahan PPOK
berhubungan dengan frekuensi eksaserbasi. Pasien dengan PPOK berat (GOLD derajat III)
memiliki frekuensi eksaserbasi 3,43 % pertahun dibandingkan PPOK sedang (GOLD
derajatII) dengan kejadian 2,68 % pertahun dimana p = 0.029. penelitian lainnya oleh
Paggiaro et al menemukan bahwa pasien pasien PPOK dengan FEV1 >60% prediksi,
mengalami eksaserbasi1,6 ± 1,5% pertahun, dibandingkan FEV 40 - 59% prediksi yang
mengalami eksaserbasi 1,9 ±1,8 %, dan FEV1< 40% prediksi yang mengalami eksaserbasi
2,3 ±1,9%.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.4. COPD Asessment Test (CAT).

(Skor CAT <10 gejala ringan, skor CAT>10 gejala berat)

Universitas Sumatera Utara


2.1.5. PPOK eksaserbasi akut

PPOK eksaserbasi akut adalah peristiwa akut yang ditandai dengan


memburuknya gejala pernapasan pasien yang melebihi variasi normal sehari-hari dan
menyebabkan perubahan dalam pengobatan. Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat
ditandai dengan gejala yang khas seperti sesak nafas yang semakin bertambah, batuk
produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum. Terkadang dapat juga
memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, fatigue dan gangguan susah tidur.

Menurut Roisin gejala klinis PPOK eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi dua
yaitu gejala respirasi berupa sesak napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume
dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, napas yang dangkal dan cepat. Sedangkan
gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta
gangguan status mental pasien.

Tabel 2.5. Definisi Eksaserbasi PPOK dan Tipe Eksaserbasi yang Dikembangkan
Untuk Penelitian Antibiotik.

Tipe Simtom Simtom tambahan


1 Peningkatan volume sputum
Peningkatan purulensi sputum
Peningkatan gejala dispnu
2 2 dari gejala berikut :
a) Peningkatan volume sputum
b) Peningkatan purulensi sputum
c) Peningkatan gejala dispnu
3 Hanya 1 dari gejala berikut: a) Nyeri tenggorokan atau sekret hidung dalam 5
a) Peningkatan volume sputum hari ini
b) Peningkatan purulensi sputum b) Demam tanpa penyebab lain.
c) Peningkatan gejala dispnu c) Peningkatan wheezing
d) Peningkatan batuk
e) Peningkatan laju nafas > 20%.
f) Peningkatan denyut jantung > 20%.

Prevalensi terjadinya mortalitas di rumah sakit pada pasien eksaserbasi akut dengan
komplikasi hiperkapnia dan asidosis diperkirakan10%. Kematian dalam 1 tahun mencapai
40% setelah mendapatkan bantuan alat pernafasan.

Universitas Sumatera Utara


Penyebab tersering pada eksaserbasi akut adalah infeksi pada saluran pernafasan
trakeobronkial (virus dan bakteri) dan polusi udara, namun pada sekitar sepertiga kasus
eksaserbasi akut tidak dapat diketahui penyebabnya. Peranan infeksi bakteri pada PPOK
eksaserbasi masih kontroversi, tetapi penelitian terbaru menyatakan setidaknya 50 %
penderita mempunyai populasi bakteri yang tinggi pada saluran nafas bagian bawah.

Tingkat terjadinya eksaserbasi sangat bervariasi antara pasien. Prediktor terbaik


adalah dengan menilai riwayat peristiwa seringnya eksaserbasi sebelum diobati. Keparahan
eksaserbasi biasanya diklasifikasikan sebagai ringan saat gejala eksaserbasi pernafasan
membutuhkan pengobatan inhalasi terhadap pasien, moderat ketika gejala eksaserbasi
pernafasan membutuhkan intervensi medis termasuk pemberian antibiotik dan steroid oral,
dan berat saat gejala eksaserbasi pernafasan memerlukan rawat inap.

Tabel 2.6. Derajat Eksaserbasi PPOK Pada Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan.

Mild Eksaserbasi yang ditangani dengan antibiotik, namun tidak membutuhkan streoid sistemik. Tidak
dijumpai gagal nafas atau jika tidak ada pemeriksaan analisa gas darah dari gejala klinis pasien dapat
diasumsikan tanpa gagal nafas.
Moderate Eksaserbasi yang ditangani dengan kortikosteroid parenteral dengan atau tanpa antibiotik. Tidak
dijumpai gagal nafas atau jika tidak ada pemeriksaan analisa gas darah dari gejala klinis pasien dapat
diasumsikan tanpa gagal nafas.
Severe Gagal nafas tipe 1 dengan hipoksemia namun tanpa retensi karbondioksida dan tanpa asidosis. PaO2
<8 kPa
(60 mmHg), PaCO2 < 6 kPa (45 mmHg).
Very severe Gagal nafas tipe 2 dengan hipoksemia terkompensasi, retensi karbondioksida namun tanpa asidosis.
Pa O2< 8 kPa (60 mmHg), Pa CO2>6 kPa (45 mmHg) dan konsentrasi > 44nM (pH >7.35).
Life Threatening Gagal nafas tipe 2 dengan hipoksemia tidak terkompensasi, retensi karbondioksida dengan asidosis.
Pa O2< 8 kPa (60 mmHg), Pa CO2>6 kPa (45 mmHg) dan konsentrasi > 44nM (pH <7.35).

Modifikasi British Medical Research Council (mMRC) atau skala CAT


direkomendasikan untuk menilai gejala, dengan tingkat mMRC ≥ 2 atau skor CAT ≥ 10
menunjukkan tingkat gejala berat. Cut off ini harus digunakan sebagai indikator. Tujuan
utamanya adalah untuk memisahkan pasien dengan beban gejala yang berat dari gejala
ringan. Ada dua metode untuk menilai resiko eksaserbasi. Salah satunya adalah metode
berbasis populasi menggunakan klasifikasi spirometri GOLD dengan kategori GOLD 3 atau
GOLD 4 menunjukkan risiko berat. Metode lain didasarkan pada riwayat eksaserbasi dimana
pasien yang mengalami eksaserbasi dua atau lebih pertahun menunjukkan risiko berat.
Keterangan tentang mMRC, skala CAT dan klasifikasi spirometri berdasarkan kriteria

Universitas Sumatera Utara


GOLD sudah dijelaskan sebelumnya. Pada gambar dibawah ini diterangkan bagaimana
penilaian kombinasi pengobatan terhadap PPOK.

Gambar 2.2. Gabungan Penilaian Dari PPOK.

Keterangan Gambar 2.2. Gabungan Penilaian dari PPOK


Pertama, nilai gejala dan tentukan apakah pasien termasuk kotak sisi kiri dengan gejala
sedikit (seperti yang ditunjukkan oleh tingkat mMRC 0 - 1atau CAT<10) atau kotak sisi
kanan dengan gejala banyak (seperti yang ditunjukkan oleh tingkat mMRC>2 atau CAT>10).
Selanjutnya,nilai risiko eksaserbasi untuk menentukan apakah pasien milik kotak bagian
bawah beresiko rendah atau kotak bagian atas beresiko tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan
salah satu dari dua metode: (1) Menggunakan spirometri untuk menentukan tingkatan GOLD
keterbatasan aliran udara (GOLD 1 dan 2 mengindikasikan risiko rendah, sedangkan GOLD
3 dan 4 menunjukkan risiko tinggi); atau (2) Menilai jumlah eksaserbasi pasien yang dimiliki
sebelumnya dalam 12 bulan (nol atau satu menunjukkan risiko rendah, sedangkan dua atau
lebih eksaserbasi menunjukkan risiko tinggi).

Universitas Sumatera Utara


Saat ini, diagnosis eksaserbasi dilakukan secara eksklusif berdasarkan presentasi
klinis pasien yang mengeluh terjadinya perubahan gejala akut (dispnu, batuk, dan produksi
sputum) yang berada di luar keadaan normal yang bervariasi dari hari ke hari. Penilaian dari
suatu eksaserbasi didasarkan pada riwayat penyakit terdahulu dan keluhan klinis yang
memberat pada pasien. Di masa depan dibutuhkan biomarker yang memungkinkan untuk
diagnosis dan etiologi yang lebih tepat.

2.1.6. PPOK Stabil


Tujuan dari penatalaksanaan PPOK Stabil adalah untuk mempertahankan fungsi
paru, meningkatkan kualitas hidup, mencegah eksaserbasi akut terhadap pasien PPOK.
Dikatakan PPOK stabil bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik.
b) Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg.
c) Dahak jernih tidak berwarna.
d) Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK ( hasil spirometri ).
e) Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan.
f) Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

Tujuan terapi untuk PPOK Stabil adalah:


1. Mengurangi gejala
a) Meredakan gejala
b) Meningkatkan toleransi terhadap latihan
c) Meningkatkan status kesehatan

2. Mengurangi Resiko.
a) Mencegah progresivitas penyakit
b) Mencegah eksaserbasi
c) Mengurangi mortalitas
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala
atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil.
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh
keluarganya.

Universitas Sumatera Utara


Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a. Menjaga PPOK tetap stabil
b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualitas hidup.
Penatalaksanaan di rumah juga ditujukan bagi penderita PPOK berat yang harus
menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.
Adapun penatalaksanaan PPOK stabil dibagi atas:
1. Penatalaksanaan PPOK stabil ringan.
2. Penatalaksanaan PPOK stabil sedang dan berat.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3. Penatalaksanaan PPOK stabil ringan

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.4. Penatalaksanaan PPOK Stabil Sedang – Berat

Universitas Sumatera Utara


2.2. Spirometri

Spirometri adalah suatu alat yang digunakan mengukur hambatan aliran udara secara
objektif. Spirometri pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui apakah kerja pernafasan
seseorang mampu mengatasi kedua resistensi yang mempengaruhi kerja pernafasan kita yaitu
resistensi elastik dan non elastik sehingga dapat menghasilkan fungsi ventilasi yang optimal.
Resistensi elastik dihasilkan oleh sifat elastis paru ( tegangan permukaan cairan
yang membatasi alveolus dan serabut elastik yang terdapat diseluruh paru ) dan rongga toraks
( kemampuan meregang otot, tendon, dan jaringan ikat ). Resistensi non elastik dihasilkan
oleh tahanan gesekan terhadap aliran udara dalam saluran nafas, dalam jumlah kecil yang
juga disebabkan karena viskositas jaringan paru.
Parameter yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja pernafasan dalam
mengatasi kedua resistensi tersebut adalah volume paru, baik volume statik maupun dinamis.
Volume statis menggambarkan kemampuan kerja pernafasan dalam mengatasi resistensi
elastik, sedangkan volume dinamik mengukur kecepatan aliran udara dalam saluran
pernafasan dibandingkan dengan fungsi waktu yang digunakan untuk menilai kemampuan
kerja pernafasan mengatasi resistensi non elastik.
Adapun volume dinamis tersebut antara lain:
a. Kapasitas Vital Paksa / Force Vital Capacity (FVC) : Pengukuran kapasitas vital yang
didapat pada ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat mungkin.
b. Kapasitas Vital Lambat / Slow Vital Capacity ( SVC ) : Volume gas yang diukur pada
ekspirasi lengkap yang dilakukan secara berlahan setelah atau sebelum inspirasi
maksimal.
c. Volume Ekspirasi Paksa pada Detik Pertama/Force expiration Volume (FEV1) : Jumlah
udara yang dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu ekspirasi
maksimal setelah inspirasi maksimal (volume udara yang dapat di ekspirasi dalam waktu
standar selama pengukuran kapasitas vital paksa).
d. Maximal Voluntary Ventilation (MVV) : Jumlah
udara yang bisa dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 2 menit dengan bernafas cepat
dan dalam secara maksimal.
Puncak aliran ekspirasi diukur sendiri tetapi tidak dapat diandalkan untuk digunakan
sebagai satu-satunya test diagnostik, meskipun sensitivitasnya baik, namun spesifisitasnya
lemah. Pengukuran spirometri digunakan dalam penilaian perawatan kesehatan dan semua

Universitas Sumatera Utara


pelayanan kesehatan yang merawat pasien dengan PPOK harus memiliki kemampuan
spirometri.

2.3. Magnesium

Hubungan antara magnesium dengan kesehatan sudah mulai diketahui sejak 400
tahun yang lalu jauh sebelum magnesium dikenali sebagai elemen. Pada musim panas tahun
1618 yang kering di Inggris, seorang petani bernama Henry Wicker dari Epsom, Surrey
menggali sumur untuk memberi minum sapi – sapinya. Dia mendapati bahwa hewan – hewan
peliharaannya tidak mau minum dari sumur tersebut meskipun haus, karena rasa airnya yang
kesat dan pahit. Namun, air dari sumur tersebut dapat membantu pemulihan luka, ruam, dan
borok pada hewan dan manusia. Hal ini kemudian menjadi buah bibir masyarakat London
waktu itu dan banyak penduduk London datang ke Epsom sehingga Epsom menjadi kota spa
yang terkenal melebihi tempat lain yang lebih mewah pada masanya seperti sumur
Turnbridge di Kent karena garam dan airnya. Seorang dokter sekaligus botanis di London
yang bernama Nehemiah Grew meneliti bahwa garam dari air sumur tersebut juga memiliki
efek laksatif. Penemuan ini kemudian dipatenkan sebagai garam pencahar dan sebuah pabrik
didirikan di London untuk memperdagangkannya keseluruh dunia. Garam ini sampai
sekarang disebut “Epsom Salt” (garam Epsom) dan di daratan utama eropa disebut “Salt
Anglicum” atau garam inggris. Garam inggris adalah magnesium sulfat yang terhidrasi
(MgSO4). Magnesium diidentifikasi sebagai elemen pada tahun 1755 di Edinburgh oleh ahli
kimia Skotlandia Joseph Black. Pada tahun 1808 Sir Humphrey Davy pertama kali
mengisolasi elemen magnesium dengan metode elektrolisis.
Magnesium adalah kation terbanyak kedua pada sistem selular. Magnesium
memiliki banyak fungsi secara biologis, mulai dari peran struktural seperti melengkapi grup
senyawa bermuatan negatif misalnya fosfat di asam nukleat, kontrol aktivasi enzim atau
inhibisi, dan peran regulasi dengan memodulasi proliferasi sel, kelangsungan siklus sel dan
diferensiasi.
Regulator dari fungsi – fungsi selular dikatalisa oleh sekitar 500 jenis enzim yang
secara biokimia dikenal sebagai kinase yang terutama mengkoordinasi, mengontrol, dan
mengintegrasikan seluruh proses dalam jaringan yang rumit dalam keteraturan. Kinase
memiliki peran yang penting dalam transduksi sinyal dan produksi serta aksi dari second
messenger seperti c – AMP, diacylglycerol, calmodulin dan c – GMP. Kinase mengaktivasi
atau menghambat komponen/protein individual, menyalurkannya ke lokasi selular spesifik,

Universitas Sumatera Utara


atau menghambat interaksinya dengan zat lain sehingga terbentuk jalur produksi yang teratur.
Untuk menyampaikan perintah, enzim kinase memberikan label pada lokasi spesifik didalam
protein/komponen dengan grup fosfat (PO3-) melalui proses fosforilasi. Sumber grup fosfat
polar tersebut adalah ATP dan enzim kinase hanya dapat berikatan dengan kompleks “Mg –
ATP”, sehingga enzim kinase dapat membelah grup γ fosfat yang kemudian ditransferkan ke
molekul resipien. Fosforilasi adalah proses selektif ion radical electron spin yang merubah
(mengaktifkan) suatu molekul yang inaktif menjadi bentuk yang fungsional sehingga dapat
melakukan proses biologis atau biokimia yang spesifik dan sebaliknya. Sekitar 30% protein
fungsional tubuh diaktivasi oleh enzim kinase yang dependen magnesium.
Dari sudut pandang evolusi, peran magnesium pada biologi sel hewan sangat
berhubungan erat dengan ion bivalen lainnya, yaitu kalsium. Kebutuhan magnesium
berkembang bersamaan dan berkompetisi dengan kalsium. Magnesium telah dianggap
sebagai penghambat kalsium alami. Jaringan yang dapat ter-eksitasi, termasuk otot polos
bronkial, memerlukan pembangkitan perbedaan potensial elektrokemikal di sepanjang
membran sel untuk dapat menyebabkan kontraksi otot. Hal ini dimodulasi oleh aliran kalsium
masuk ke dalam sel atau keluar menuju ekstra sel .
Secara fisiologis, magnesium berperan penting dalam homeostasis elektrolit karena
perannya dalam aktivasi ATP/ATPase pumps seperti Na+/K+ pump, Na+/Ca++ pump,
Na+/Mg++ dan Mg++/Ca++ pump. Defisiensi magnesium menyebabkan gangguan dan
mengurangi efektivitas dan aktivitas pump. Defisiensi magnesium kronik lama - kelamaan
akan menyebabkan gangguan patologis dan ketidakseimbangan elektrolit misalnya
hipokalemia dan/atau hipokalsemia refrakter. Keadaan ini tidak dapat dikoreksi dengan terapi
subtitusi kalium atau kalsium saja namun pemberian magnesium diperlukan untuk mencapai
perbaikan. Sehingga perlu menjadi perhatian bahwa magnesium adalah elektrolit yang
berperan besar pada homeostasis elektrolit – elektrolit utama seperti Na+. K+, dan Ca++.
Magnesium juga diperlukan untuk kekuatan dan kepadatan tulang, metabolisme protein,
karbohidrat dan lemak, penggunaan, penyimpanan dan transfer energi (bioenergetik, dan
metabolisme energi oksidatif).
Lebih dari setengah magnesium ekstra selular ada dalam bentuk ion bebas dan
sisanya terdapat dalam bentuk terikat protein atau berikatan dengan anion. Immanuel dan
Iriani (2006) melakukan penelitian pada 114 peserta donor darah yang sehat di Unit Transfusi
Darah Daerah (UTDD) Budhyarto PMI DKI Jakarta menemukan bahwa nilai rujukan untuk
magnesium serum atau plasma yang normal adalah 1,3 – 2,0 mEq/L dan kadar magnesium
eritrosit adalah 4,46 – 7,10 mEq/L. Meskipun kadar magnesium serum tidak menggambarkan

Universitas Sumatera Utara


kadar magnesium tubuh, tetapi saat ini yang dikenal luas penggunaannya adalah magnesium
serum. Magnesium eritrosit dinilai lebih sensitif dibandingkan magnesium serum karena
dapat mewakili penilaian status magnesium intrasel. Diperkirakan antara 53% hingga 57%
total magnesium tubuh berada di tulang. Sekitar 30 – 70 % magnesium dari makanan diserap
oleh usus pada kondisi ideal dengan faktor cadangan magnesium negatif dan dan keasaman
lambung yang tinggi meningkatkan absorpsi. Asupan harian yang disarankan berkisar antara
320 – 400 mg/hari (6 mg/Kg/berat badan perhari) dan kebutuhannya meningkat pada kondisi
kehamilan, menyusui, dan beban fisik reguler, yang meningkatkan kehilangan magnesium di
urin dan keringat. Diet yang sehat rata – rata mengandung 250 mg magnesium (120 mg per
1000 kalori). Biji –bijian, kacang – kacangan cenderung mengandung magnesium lebih tinggi
dibandingkan buah dan daging, dan diabsorpsi dengan baik di jejunum atau ileum, meskipun
penyerapan di jejunum tergantung kadar vitamin D. Biji – bijian yang sudah dibersihkan dari
kulit ari dan tepung putih biasanya berkadar magnesium rendah. Garam laut yang belum
disuling banyak mengandung magnesium sekitar 12% sehingga rasanya pahit, proses
penyulingan memurnikan garam dapur sehingga mengandung 99% natrium klorida dan
sedikit magnesium. Sumber magnesium lain yang tidak kalah pentingnya adalah air. Kadar
magnesium di air minum bervariasi berdasarkan daerah dan sumber air minum. Kesadahan
air (hardness of water) disebabkan oleh kalsium dan magnesium terlarut yang biasanya
dinyatakan dengan kuantitas kalsium karbonat yang ekuivalen dalam mg/L (misalnya
kesadahan 100mg/L mengandung 40 mg/L kalsium atau magnesium elemental dan 60 mg
dalam bentuk terkarbonasi). Air yang mengandung >200 mg/L ekuivalen kalsium karbonat
disebut air dengan kesadahan tinggi (hard water) sedangkan air dengan kandungan <50 mg/L
kalsium karbonat disebut air dengan kesadahan rendah (soft water). Kadar magnesium pada
air dengan kesadahan yang tinggi (hard water) lebih tinggi 5 – 20 kali dibandingkan dengan
kadar magnesium pada air dengan kesadahan rendah (soft water) dan konsumsi air dengan
kesadahan yang lebih tinggi berpotensi untuk mencukupi hingga 30% kebutuhan magnesium
harian.
Sekitar 10% magnesium dari makanan hilang melalui sekresi saluran cerna,
meskipun hal ini dapat meningkat pada kondisi diare atau keadaan malabsorpsi. Ekskresi
renal juga berperan pada keseimbangan magnesium dengan hanya 3% difiltrasi oleh
glomerulus, meskipun sebagian besar diserap kembali pada tubulus proksimal (30%) dan
loop of Henle (65%). Obat yang sering digunakan seperti digoxin, aminoglikosida, dan
diuretik loop maupun thiazide dapat menyebabkan peningkatan buangan magnesium ginjal.

Universitas Sumatera Utara


Usia merupakan faktor fisiologis yang penting pada keseimbangan magnesium
karena penyerapan magnesium di usus menurun dan kehilangan magnesium di urin
meningkat sejalan dengan usia baik pada laki – laki maupun perempuan. Sebagai akibatnya
defisiensi magnesium lebih sering terjadi pada usia lanjut daripada usia muda. Insiden
defisiensi juga bervariasi secara signifikan dari satu daerah ke daerah lainnya karena
perbedaaan kadar magnesium di air minum yang menyumbang hingga 30% dari kebutuhan
harian magnesium.
Meskipun mudah untuk diperiksa, kadar magnesium plasma tidak selalu berkorelasi
dengan kadar cadangan tubuh maupun dengan kondisi penyakit. Defisiensi yang berat dapat
tidak bergejala. Hipomagnesemia sering dijumpai, terutama pada pasien rawatan kritis
dengan prevalensi mencapai 65%. Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa 43% pasien yang
dirawat di instalasi perawatan intensif dengan asma berat mengalami hipomagnesemia.
Sementara oleh Alamoudi et al pada sebuah penelitian yang melibatkan 93% pasien asma
kronis yang stabil, menunjukkan bahwa 27% pasien tersebut mengalami hipomagnesemia
dan pasien – pasien ini lebih sering harus dirawat di rumah sakit (40%) dibandingkan dengan
pasien – pasien dengan kadar magnesium normal (hanya 11.8%).
Defisiensi magnesium dapat pula diikuti dengan aktivasi sel – sel makrofag,
neutrofil, dan sel – sel endotelial. Makrofag dalam hal ini sepertinya teraktivasi secara
endogen dan dapat berkontribusi pada peningkatan produksi sitokin – sitokin proinflamasi.
Defisiensi magnesium menyebabkan peningkatan Substansi – P (SP) yang mencetuskan
pelepasan histamin dan selanjutnya mencetuskan pelepasan sitokin – sitokin proinflamasi
seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tissue necrosis factor-α (TNF-α). Selain
itu juga terjadi peningkatan kalsium intraselular. Hal ini sejalan dengan proses inflamasi pada
asma. Magnesium mungkin memiliki efek anti – inflamasi langsung, terutama pada dosis
yang relevan secara klinis, dengan menghambat peningkatan neutrofil saluran nafas melalui
efek negatifnya terhadap influks kalsium.
Batas dosis terapi magnesium tinggi, dan pada kondisi ginjal yang normal efek
samping jarang terjadi. Suplementasi magnesium oral dapat menyebabkan efek samping
ringan seperti diare dan mulas – mulas. Tanda – tanda awal toksisitas magnesium pada
pemberian intravena mencakup muntah – muntah, mual, perasaan hangat, flushing, hipotensi,
bradikardi dan aritmia jantung lainnya, mengantuk, pandangan ganda, bicara tidak jelas
(slurred speech), dan kelemahan. Efek samping biasanya terjadi pada kadar plasma
magnesium 3,5 – 5 mmol/L. Hiporefleksia (hilangnya refleks patela), kelumpuhan otot, henti
nafas, dan henti jantung hanya terjadi pada konsentrasi plasma yang sangat tinggi (5 – 15

Universitas Sumatera Utara


mmol/L). Toksisitas magnesium diperberat dengan hipokalsemia, hiperkalemia, dan uremia.
Kalsium glukonas bermanfaat sebagai antidote yang efektif pada toksisitas magnesium.

2.3.1. Magnesium pada PPOK Stabil


Pada sebuah penelitian yang melibatkan 22 pasien dengan COPD stabil terlihat
bahwa pemberian 2 gram magnesium sulfat menyebabkan peningkatan kekuatan otot
pernafasan dan penurunan hiperinflasi paru – paru. Namun, tidak ditemukan efek pada FEV1
yang signifikan. Penelitian lain yang lebih kecil, menunjukkan perbaikan FEV1 (dari 1.44L
menjadi 1.67 L dalam waktu 60 menit), jika magnesium tersebut diberikan dalam bentuk
nebulisasi sebagai adjuvant theraphy dengan salbutamol pada pasien pasien yang stabil.
Sebuah penelitian oleh Emelyanov menunjukkan bahwa kadar magnesium eritrosit secara
signifikan berhungan dengan PC20 terhadap asetilkolin (PC20 merupakan konsentrasi
provokatif zat bronkokonstriktor – dalam hal ini asetilkolin –yang menyebabkan penurunan
FEV1 20% dari nilai awal). Hal ini menunjukkan bahwa kadar magnesium intraselular
menyebabkan kepekaan saluran nafas yang berlebihan (airway hyperresponsiveness).
Sebuah penelitian oleh Ruljancic et al pada tahun 2007 pada 46 pasien dengan
PPOK stabil, 24 subjek perokok tanpa PPOK, dan 37 subjek sehat tanpa riwayat merokok
menemukan konsentrasi magnesium ion sel yang aktif secara fisiologis pada sel
polimorfonuklear kelompok pasien PPOK lebih rendah secara signifikan dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang sehat dan tidak merokok. Konsentrasi total kalsium serum
dan rasio total kalsium serum dibandingkan terhadap total magnesium serum secara
signifikan lebih tinggi pada pasien dengan PPOK. Hal ini menunjukkan defisiensi magnesium
relatif dan peningkatan aktivitas kalsium pada pasien PPOK . Rasio total kalsium serum
dibandingkan dengan total magnesium serum juga pada kelompok perokok tanpa PPOK juga
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat tanpa riwayat
merokok. Hal ini semakin menunjukkan hubungan antara merokok dengan resiko PPOK.
Berdasarkan hal ini Ruljancic et al berkesimpulan bahwa peran sel polimorfonuklear dalam
patogenesis PPOK berhubungan dengan penurunan konsentrasi magnesium ion dan
peningkatan rasio kalsium serum total dibandingkan dengan magnesium serum total
(defisiensi magnesium relatif dibandingkan dengan kalsium) yang mengakibatkan
peningkatan pembentukan radikal bebas dan terjadinya proses pro – inflamasi yang
diakibatkan aktivasi leukosit yang inadekuat. Hasil ini juga memunculkan kemungkinan
bahwa kadar magnesium pada sel polimorfonuklear mungkin dapat dijadikan penanda resiko
PPOK pada perokok yang harus diteliti lebih lanjut pada kelompok sampel penelitian yang

Universitas Sumatera Utara


lebih besar. Ruljancic et al juga mengemukakan bahwa suplementasi magnesium pada pasien
– pasien dengan PPOK stabil mungkin dapat memperbaiki gejala dan mengurangi angka
kejadian eksaserbasi karena magnesium berperan melindungi dari stres oksidatif, regulasi
aktivasi leukosit, dan memiliki efek relaksasi pada otot polos bronkial.
Silajiya et al pada tahun 2016 menemukan bahwa pada pasien – pasien yang baru
menjalani operasi jantung dengan PPOK yang diberi nebulisasi magnesium sulfat mengalami
perbaikan laju ekspirasi puncak, laju pernafasan dan saturasi oksigen secara signifikan.

2.3.2. Magnesium pada PPOK eksaserbasi


Kshirsagar et al pada tahun 2014 melakukan penelitian pada 100 pasien dengan
PPOK eksaserbasi dan menemukan bahwa 78% pasien dengan PPOK eksaserbasi mengalami
hipomagnesemia dengan kadar magnesium serum rata – rata 1.58±0.3 mg/dl. Hubungan
antara hipomagnesemia pada PPOK eksaserbasi dengan derajat GOLD II dan III signifikan
secara statistik pada penelitian ini namun tidak signifikan pada GOLD I dan IV.
Sebuah penelitian oleh Azis et al pada tahun 2005 di St. Joseph’s Regional Medical
Centre New Jersey menunjukkan bahwa kadar magnesium plasma pasien dengan PPOK
eksaserbasi (0.77 ± 0.10 mmol/L) lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan kadar
magnesium serum pasien PPOK stabil (0.91 ± 0.10 mmol/L).
Penelitian lainnya oleh Surya Prakash Bhatt et al pada tahun 2008 pada 100 pasien
menunjukkan bahwa prediktor tunggal frekuensi kunjungan pasien adalah kadar magnesium
serum. Dimana pada penelitian ini kadar magnesium serum pasien – pasien yang sering
membutuhkan rawatan rumah sakit (lebih dari 3 kunjungan pertahun) adalah 1.77 ±
0.19mEq/L sedangkan kadar magnesium serum pada pasien – pasien yang jarang
membutuhkan kunjungan ke rumah sakit (kurang dari 3 kunjungan pertahun) adalah 1.86 ±
0.24 mEq/L. Diketahui juga bahwa 90 % pasien – pasien yang menjadi sampel penelitian
tersebut adalah perokok (33 %) atau dengan riwayat merokok (57 %).
Penelitian oleh Singh et al (2012) pada 50 pasien PPOK eksaserbasi menemukan
bahwa 17 pasien (34%) dengan hipomagnesemia, dan 33 pasien (66%) normomagnesemia.
Pasien - pasien hipomagnesemia tersebut 88% diantaranya dengan derajat GOLD II – III
sedangkan pasien normomagnesemia 55% diantaranya juga dengan derajat GOLD II – III.
Pasien dengan hipomagnesemia rata – rata lebih lama menderita PPOK (6.94±3 tahun) dan
gejala eksaserbasi yang lebih lama (> 8 hari). Tiga orang pasien dengan hipomagnesemia
(17,64%) membutuhkan ventilasi mekanik. Pasien – pasien dengan hipomagnesemia 64%
diantaranya membutuhkan perawatan lebih lama dari 7 hari sedangkan pada pasien – pasien

Universitas Sumatera Utara


dengan normomagnesemia 57,57%. Sehingga disimpulkan hipomagnesemia sering dijumpai
pada pasien PPOK eksaserbasi terutama yang terlambat mendapat penanganan di rumah
sakit. Pasien – pasien dengan hipomagnesemia ini juga lebih sering pada tahap penyakit yang
lanjut, membutuhkan rawatan lebih lama di rumah sakit, dan lebih sering memerlukan
ventilasi mekanik.
Penggunaan preparat magnesium untuk terapi tambahan pada PPOK eksaserbasi
juga telah diteliti dengan hasil yang bervariasi. Solooki et al (2014) melakukan penelitian
pada 30 orang pasien dengan PPOK eksaserbasi yang dibagi menjadi dua kelompok A
(kasus) dan B (kontrol) secara acak. Kedua kelompok diberi pengobatan standar ditambah
dengan 2 gram magnesium sulfat dalam larutan normal Saline (kelompok kasus A) dan
pengobatan standar ditambah dengan plasebo (kelompok kontrol B). Penelitian ini
menemukan bahwa pemberian magnesium sulfat intravena pada PPOK eksaserbasi tidak
menunjukkan efek bronkodilasi yang signifikan dan tidak mempengaruhi lama rawatan.
Sedangkan Mukerji et al (2015) melakukan penelitian pada 30 pasien PPOK eksaserbasi yang
dibagi menjadi kelompok kasus (pengobatan bronkodilator standar dan magnesium intravena
2 mg) dan kelompok kontrol (pengobatan bronkodilator standar dan plasebo). Pada penelitian
ini didapati perbaikan FEV1 dan FVC secara signifikan lebih besar pada kelompok yang
mendapatkan magnesium intravena dibandingkan dengan kelompok yang hanya
mendapatkan pengobatan standar saja.
2.4. Kerangka Teori

Gambar 2.5. Kerangka Teori.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai