KAJIAN PUSTAKA
8
9
dipengaruhi dengan cara umpan balik berupa motivasi yang lahir didalam
diri individu itu sendiri, Nykanen dkk (2019).
Dari paparan para ahli diatas peneliti dapat menyimpulkan locus of
control internal yakni keyakinan yang timbul dari dalam diri individu secara
utuh yang didasari oleh suatu motivasi yang tumbuh karena suatu perubahan
yang telah terjadi dalam suatu peristiwa. Peristiwa itu sendiri dapat berupa
kinerja, suatu reward, bahkan hasil siswa dalam menempuh mata pelajaran di
suatu sekolah, maka dari itu peneliti menggunakan varibel locus of control
internal dalam penelitiannya.
3. Karakteristik Locus Of Control Internal
Sarafino (dalam Aurelia, 2017:23) mengemukakan terdapat beberapa
karakteristik individu yang mempunyai locus of control internal yang kuat,
diantaranya :
a. Ekspektansi
Individu memiliki keyakinan tinggi atas tingkah lakunya yang akan
berdampak pada dirinya sendiri, Dampak tersebut diyakini dampak yang baik
sebagai suatu imbalan atas apa yang dilakukannya karena keyakinan yang
lahir dalam dirinya sendiri.
b. Kontrol
Individu yakin bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan hasil dari
kontrol dalam dirinya sendiri, maka individu tersebut akan cenderung lebih
berusaha lebih giat dari pada individu yang memiliki locus of control
eksternal, Sari dan Fakhruddiana (2012).
c. Mandiri
Hartati (2012) mengatakan bahwa individu yakin atas kemampuan
dirinya sendiri sebagai salah satu faktor perubahan dalam suatu peristiwa,
sehingga individu yang memiliki kendali internal yang baik cenderung lebih
sukses.
10
d. Bertanggung jawab
Individu memiliki rasa tanggung jawab yang besar atas peristiwa yang
dilaluinya, konsekuensi baik maupun buruk harus siap mereka terima, atas
dasar konsekuensi tersebut mereka akan berusaha lebih baik kedepannya
untuk hasil yang maksimal karena kontrol internal yang dimiliki serta
senantiasa selalu berpikiran positif ketika berperilaku (Ros Taylor, 2006:34).
4. Dampak Locus Of Control Internal Pada Individu
Setiap individu pasti memiliki lokus kendali internal yang berbeda-beda,
namun pada dasarnya atau pada umumnya dapat dikategorikan sebagai berikut
menurut Phares (dalam Aurelia, 2017:24) :
a. Sikap terhadap lingkungan
Individu yang memiliki lokus kendali internal yang tinggi, mereka
cenderung lebih aktif dan inovatif dalam mengumpulkan data guna
beradaptasi dengan lingkungan sekitar dengan tindakan yang baik, menurut
pendapat Ahmed (2018).
b. Perubahan sikap
Individu cenderung mampu bertahan atas dampak situasi di lingkungan,
perubahan sikap tersebut sesuai dengan kenginan dan kemampuan yang
dimiliki.
c. Perilaku menolong
Individu yang memiliki lokus kendali internal yang tinggi cenderung
memiliki rasa tolong menolong yang tinggi disbanding individu yang
memiliki lokus kendali eksternal yang tinggi, hal ini dijelaskan oleh Ibrahim
Tas (2018).
d. Pencapaian prestasi
Individu yang memiliki lokus kendali internal yang tinggi cenderung
memiliki tingkat kesuksesan atau pencapaian yang baik, karena mereka lebih
giat dalam memperbaiki diri dan mencari wawasan baru demi perubahan
dalam dirinya, manurut Krimizi dan Saricoban (2018).
11
Hasil Putu dan Apriliana (2018) dalam mengamati siswa selama 1 minggu
sebelum ujian di salah satu SMK di Kuta, Bali, terdapat beberapa siswa yang
melamun, berwajah pucat, bahkan sampai mengutarakan keresahannya yang
diungkapkan kepada gurunya ketika diingatkan tentang persiapan ujian dan
pelaksanaan ujian. Kondisi-kondisi tersebut dikatan wajar oleh Minarto (2018)
karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persiapan siswa ketika akan
menghadapi suatu ujian sehingga timbul rasa kecemasan meskipun setiap siswa
memiliki tingkat kecemasan yang berbeda, tingkatan itu sendiri tergantung kondisi
diri siswa dan keyakinan siswa dalam menghadapi suatu ujian.
Berdasarkan pemaparan para ahli, penulis mendapat kesimpulan bahwa
kecemasan merupakan suatu rasa tidak menyenangkan, gugup, gemetar,
kurangnya konsentrasi dan dapat berupa tekanan batin serta timbul anggapan
bahwa sesuatu yang buruk akan dialami seseorang. Meskipun demikian, rasa
cemas tersebut dapat hilang apabila seseorang mendapatkan informasi yang
membuat dirinya tenang dan aman. Kecemasan siswa dalam menghadapi ujian
kompetensi akan dapat berkurang setelah mereka sudah melaksanak ujian, dan
kecemasan akan hilang setelah mereka mengetahui dan mendapatkan nilai yang
menerut mereka memuaskan diri sesuai dengan kemampuanya.
2. Komponen Kecemasan
Kecemasan memang terdiri dari beberapa faktor, namun yang paling tampak
adalah faktor fisik dan mental. Dari faktor-faktor tersebut dapat diasumsikan
bahwa kecemasan ditandai oleh keadaan stress (Suhendri dkk, 2012). Stress itu
sendiri dapat berupa stress sosial, stress fisik, dan stress psikologi, maka dari itu
terdapat beberapa komponen mengenai kecemasan, diantaranya :
a. Kognitif
Acocella dkk (dalam Fatmawati, 2011:32) mengemukakan berdasakan
dari teori kognitif, masalah yang terjadi pada individu yang mengalami
kecemasan adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan intrepetasi
terhadap stimulus internal maupun eksternal. Individu yang mengalami
13
kecemasan akan melihat suatu hal yang tidak benar – benar mengancam
sebagai sesuatu yang mengancam. Pada dasarnya kecemasan muncul karena
kesadaran individu terhadap presepsi yang timbul didalam dirinya (Restiny,
2012:15).
Ketika seseorang dapat menurunkan rasa cemasnya maka orang tersebut
memiliki mekanisme pengendalian diri yang baik. Komponen kognitif ada
keterkaitannya dengan tahap pengenalan. Hal tersebut dapat terjadi karena
pada dasarnya manusia sejak lahir mempunyai keinginan yang harus dipenuhi
dan belum dapat dikomunikasikan secara baik seperti rasa lapar, kedinginan,
kepanasan dan kehausan, maka timbulah kecemasan yang berkesinambungan
karena kondisi tertentu dan akan terus berlanjut sesuai dengan perkembangan
dan pertumbuhan usia. Pada kecemasan itu sendiri dengan bertumbuhnya usia,
manusia akan menciptakan komukasi yang baik untuk memenuhi
kebutuhannya (Wahyuni, 2017). Dengan kata lain pada komponen kognitif ini
manusia dalam tahap pengenalan dan berkaitan dengan nalar serta proses
berfikir. Pada siswa yang mengalami kecemasan ini mereka mengalami
kecemasan awal karena presepsi yang mereka bangun, oleh karena itu timbul
gejala-gejala cemas seperti gemetar, tidak tenang jika diawasi guru ketika
ujian dan lain sebagainya.
b. Afektif
Secara garis besar pada afektif ini kecemasan muncul karena
terganggunya emosi seseorang, emosi itu sendiri berupa, semangat, motivasi,
nilai, serta perasaan. Namun pandangan lain dari Zulfikar dkk (2017)
mengemukakan bahwa manusia bebas menentukan emosinya sesuai
perasaannya masing-masing, namun dimana emosi mereka terganggu karena
suatu tekanan maka seseorang dapat menjadi lebih meningkat emosionalnya
seperti mudah tersinggung dan merasa kurang tenang. Biasanya siswa yang
mengalami kecemasan pada kompenen ini mengalami strees ringan seperti
mempunyai presepsi seolah-olah hal yang buruk akan terjadi sehingga timbul
14
pula gejala-gejala fisik seperti tangan gemetar, jantung berdebar, serta timbul
kecemasan menjelang ujian datang sehingga siswa sulit untuk belajar.
c. Motorik
Pada komponen ini didasari karena kemampuan fisik serta keterampilan
seseorang yang dapat diukur. Hubungannya dengan kecemasan karena pada
diri siswa kesiapan fisik serta keterampilan yang dimilikinya akan diukur
untuk menentukan suatu batasan tolak ukur kemampuan. Pada dunia
pendidikan ini masuk dalam Psikomotorik anak, yang biasanya banyak
terdapat pada pengamatan siswa jenjang menengah kejuruan, maka dari itu
komponen motorik ada kesinambungan dengan kecemasan siswa menjelang
ujian kompetensi pada jenjang menengah kejuruan.
Manusia yang telah belajar dapat dilihat dari perubahan perilaku dan
sikapnya, maka manusia tersebut dapat mengurangi tekanan berupa fisik
maupun batin akibat rasa cemas (Nahar, 2016). Siswa yang telah belajar dan
melatih keterampilan nantinya akan diukur kemampuannya barupa hasil
belajar. Hasil belajar sering disebut dengan nilai, nilai itu sendiri diperoleh
melalui suatu ulangan maupun ujian. Pada siswa SMK umunya untuk
memperoleh nilai keterampilan harus melewati suatu ujian kompetensi yang
wajib adanya selain ujian nasional. Maka dari itu tidak menutup kemungkinan
siswa mengalami kecemasan pula, pada kecemasan motorik ini tindai dengan
gejala-gejala fisik seperti siswa jantung berdebar cepat ketika menjelang ujian
kompetensi, dan sukar berbicara.
d. Somatik
Somatik ini umumnya tergambar dalam suatu gangguan pada kondisi
tubuh manusia, dimana manusia merasaa kelelahan berlebih sampai terganggu
konsentrasinya. Menjelang adanya ujian kompetensi, siswa yang mengalami
kecemasan yang sangat berlebih kemudian timbul gejala-gejala seperti
hilangnya konsentrasi, jantung yang berdebar terus menerus sampai
berkeringat jika mengetahui hal mengenai ujian tersebut.
15
3. Tingkat Kecemasan
Yusuf (dalam Asih, 2017:39) mengkategorikan tingkat rasa cemas menurut
komponen kecemasan yang dialami individu, diantaranya:
a. Tidak da kecemasan
Pada kondisi ini seseorang dalam keadaan normal, tidak mengalami
ketakukutan akibat suatu tekanan yang akan dihadapinya serta memiliki
pengendalian emosi yang baik sehingga tidak mudah tersinggung. Pada
tingkatan ini dimisalkan pada siswa yang sangat tenang saat menghadapi suatu
ujian kompetensi sehingga tidak menimbulkan rasa kecemasan dalam diri
siswa.
b. Kecemasan ringan
Dalam tingkat ini ditandai dengan meningkatnya kepekaan mendengar
dan memperhatikan. Kecemasan ini terjadi karena pengalam sehari-hari yang
dihadapinya sehingga individu meningkatkan presepsi kewaspadaanya akan
hal yang akan dihadapi. Hal ini dapat meningkatkan motivasi dalam belajar
dan semangat. Dimisalkan pada diri siswa yang akan menghadapi ujian
kompetensi, mereka cenderung meningkatkan belajar dalam arti guna
menghadapi ujian yang akan dihadapi tetapi hanya dalam batas wajar, tidak
timbul rasa tegang ataupun gangguan dalam konsentrasi.
c. Kecemasan sedang
Pada tingkat kecemasan sedang seseorang lebih mengedepankan hal
yang dirasa lebih penting dan mengesampingkan hal-hal yang kurang
diperlukan. Dalam kondisi ini kecemasan seseorang ditandai dengan gejala
fisik seperti gemetar dan berkeringat sebelum menghadapi sesuatu. Misal
pada siswa yang akan menghadapi ujian kompetensi, mereka belajar secara
giat seolah-olah mereka akan menghadapi sesuatu yang besar dan berarti serta
siswa yang mengalami kecemasan sedang ditandai dengan suatu kondisi fisik
tertentu seperti gemetar dan berkeringat sebelum menghadapi ujian, namun
setelah menjalani ujian mereka akan merasa tenang dan menguasai.
16
d. Kecemasan berat
Pada tingkat ini individu akan memfokuskan diri dan perilaku terhadap
hal yang akan dihadapinya dengan tujuan mengurangi ketegangan.
Kecemasan berat ini ditandai dengan adanya gejala fisik seperti tiba-tiba
pusing sampai kesulitan dalam tidur. Dengan alasan bahwa seseorang
memiliki presepsi akan hal buruk terjadi tidak menutup kemungkinan individu
yang memiliki tingkat kecemasan berat ini akan mudah pecah konsentrasinya
meskipun mereka memiliki persiapan diri yang baik sebelum menghadi suatu
kondisi. Dimisalkan pada siswa yang akan menghadapi ujian kompetensi,
mereka mengalami suatu tekanan yang berlebih atas presepsi buruk yang akan
terjadi, sehingga siswa yang akan menghadapi ulangan tersebut
konsentrasinya menjadi terganggu serta muncul gejala-gejala fisik seperti
melemahnya otot punggung, berkeringat secara terus menerus dan gemetar
diarea tangan dan kaki.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Lutfa dan Maliya (2008) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
kecemasan, diantaranya:
a. Usia
Semakin bertambahnya usia seseorang akan mampu mengendalikan
dirinya dalam menghadapi kecemasan, paling tidak dapat meminimalisir
kecemasan atau kemungkinan yang akan terjadi. Alasan tersebut ada karena
bertambahnya usia seseorang akan meningkatkan jiwa psikisnya.
b. Nilai budaya dan spiritual
Kedua nilai ini yakni nilai budaya dan nilai spiritual berdampak pada
kepribadian seseorang. Seseorang yang memiliki jiwa spiritual yang tinggi
dan baik berkemugkinan akan berpresepsi positif selalu atas suatu kejadian
yang akan dihadapinya, sehingga kedua hal ini dapat mempengaruhi
kecemasan seseorang.
17
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap kecemasan,
semakin tinggi penendikan seseorang maka mereka mampu menghadapi
kecemasan dengan baik. Cara menghadapinya dengan berfikir rasional dan
memecahkan masalah atas dasar informasi yang mereka gali berbekal dari
pengalaman, pengetahuan serta wawasan yang diperoleh selama menempuh
ranah dalam pendidikan tertentu. Maka dari itu pendidikan dapat menentukan
cara atau pola berfikir manusia.
d. Keadaan fisik
Seseorang yang mempunyai gangguan fisik seperti cacat, operasi,
penyakit badan, cenderung lebih mudah mengalami stress sehingga dapat
timbul rasa cemas. Keadaan lain seperti kelelahan dapat pula mempengaruhi
kecemasan seseorang karena jika seseorang mengalami kelelahan mudah
mengalami stress.
e. Pengalaman masa lalu
Baik buruknya suatu pengalaman yang dialami seseorang dapat
mempengaruhi kecemasan, karena suatu pengalaman dapat pula
mempengaruhi stress seseorang.
f. Pengetahuan
Pengetahuan mampu menambah kemampuan seseorang dalam
mengatasi suatu masalah, sehingga dapat menimalisir kecemasan yang
berlebih. Ketidaktahuan seseorang dapat menimbulkan tekanan tertentu
sehingga timbulah rasa cemas namun pengetahuan yang mereka punya dapat
digunakan untuk mengatasi masalh-masalah yang ada.
g. Dukungan sosial
Hadirnya interaksi dalam kehidupan dapat mengurangi kecemasan
seseorang akan tetapi lingkungan mempengaruhi area berfikir seseorang.
18