Anda di halaman 1dari 2

Press Release: Militerisme dan Potensi Impunitas dalam Kabinet

Hari ini, Rabu 23 Oktober 2019, Presiden Jokowi mengumumkan nama-nama para menteri dalam
Kabinet Indonesia Maju yang akan membantunya menjalankan pemerintahan periode 2019-2024.

Terkait dengan nama-nama Menteri dalam kabinet tersebut, Human Rights Working Group (HRWG)
melihat ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi, yaitu:

1. Jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) yang
pada periode sebelumnya ditempati oleh mantan Panglima ABRI yang diduga pelaku
pelanggaran HAM masa lalu, Wiranto, kini ditempati oleh Mochammad Mahfud MD. Atas hal ini,
HRWG memandang hal ini sebagai sebuah terobosan Presiden untuk tak lagi mengisi jabatan
Menko Polhukam dengan orang-orang yang berlatarbelakang militer, terlebih mereka yang
selama ini terindikasi diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Posisi sipil
dalam jabatan Menko Polhukam ini penting karena dapat berimplikasi pada berubahnya
pendekatan-pendekatan militeristik yang represif selama ini seperti pada kasus Papua menjadi
pendekatan yang lebih sipil. Hal ini diharapkan menjadi sinyal baik dalam penanganan sistem
politik, hukum dan keamanan di Indonesia, terutama komitmen untuk penyelesaian kasus
pelanggaran HAM masa lalu.

2. Diangkatnya mantan Pangkostrad Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet


Indonesia Maju sebagai sebuah kemunduran. Seperti halnya Wiranto, Prabowo juga adalah
seorang politisi yang berlatarbelakang militer dengan indikasi kuat sebagai pelanggar HAM berat
masa lalu. Dipilihnya terduga pelanggar HAM masa lalu sebagai menteri dikhawatirkan akan
memunculkan pelanggaran-pelanggaran HAM baru, terlebih Indonesia sampai saat ini belum
juga meratifikasi International Criminal Court (ICC) yang mengatur soal pendekatan atau
penggunaan militer dalam konteks pelanggaran HAM. Selain itu, dipilihnya terduga pelanggar
HAM sebagai menteri juga dikhawatirkan akan membuat semakin mandeknya penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang memang sejak periode pertama
pemerintahan Jokowi belum ada penyelesaiannya karena kuatnya resistensi dari internal
pemerintah sendiri. Kekhawatiran ini juga didasari pada pidato pelantikan Presiden pada 20
Oktober 2019 lalu yang sama-sekali tak menyinggung soal HAM di dalamnya.

3. Jabatan Menteri Agama yang dipercayakan pada Fachrul Razi juga perlu mendapat perhatian.
Fachrul Razi merupakan Perwira Tinggi TNI AD dengan jabatan terakhir Wakil Panglima TNI.
Kebaruan ini menjadi catatan, di satu sisi potensial menyelesaikan permasalahan keberagamaan
yang selama ini muncul dan melindungi kelompok minoritas secara tegas, namun di sisi yang lain
dikhawatirkan akan banyak melakukan pendekatan militeristik dalam penanganan isu-isu
beragama di Indonesia. Selama perspektif diskriminatif dan sektarian masih digunakan oleh
pemerintah, maka posisi ini potensial mengancam kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Meski demikian, HRWG menegaskan agar isu toleransi, hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas harus menjadi prioritas utama
Kementerian Agama.

4. Dipilihnya kembali Luhut Binsar Panjaitan yang juga mantan Perwira Tinggi TNI AD sebagai
menteri di kabinet baru Jokowi juga perlu diperhatikan. Apalagi, kementerian yang dipimpinnya
merupakan kementerian baru yaitu Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang
merupakan perubahan dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Dengan nomenklatur
baru, kementerian ini diubah untuk memiliki kewenangan di bidang penanganan investasi di
Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintahan yang baru memberi perhatian
dalamporsi besar terhadap investasi. Dikhawatirkan, alih-alih mewujudkan realisasi investasi
yang mengacu pada nilai-nilai yang menjunjung HAM, hal ini justru akan potensial memilih
pendekatan yang cenderung militeristik dalam memastikan realisasinya.

5. Diangkatnya Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri juga perlu digarisbawahi. Di satu sisi,
peran dan pengalaman Tito Karnavian dalam penanganan isu terorisme dan radikalisme
seharusnya dapat dijadikan modalitas untuk lebih melindungi kelompok rentan dan marjinal dari
minoritas agama atau keyakinan yang selama ini menjadi korban dari gerakan-gerakan radikal
tersebut. Namun, di sisi lain, pengangkatan Tito Karnavian yang sebelumnya adalah Kapolri
sebagai Mendagri menjadikannya potensial akan kemungkinan digunakannya pendekatan
keamanan yang semakin menguat terutama dalam hal pengawasan kelompok-kelompok yang
dianggap mengganggu stabilitas keamanan Negara dan sebagaunya. Terlebih, di masa
jabatannya sebagai Kapolri, Tito masih memiliki pekerjaan rumah yang belum diselesaikan.
Selain belum selesainya pengungkapan kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan,
Kepolisian Republik Indonesia di era Tito juga terindikasi terlibat dalam pelanggaran HAM terkait
penanganan demonstrasi 21-22 Mei 2019 juga demonstrasi 24-30 September 2019 di mana
polisi diduga menggunakan kekerasan berlebihan atau excessive use of force.

Demikian pernyataan ini kami buat untuk menjadi perhatian bersama.

Jakarta, 23 Oktober 2019

Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG

081282958035

Anda mungkin juga menyukai