Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DEMAM THYPOID

I. Konsep Penyakit Thypoid


1.1 Definisi/deskripsi penyakit Thypoid
Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di
berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan
subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah (Simanjuntak, C. H, 2010. Demam Tifoid, Epidemiologi dan
Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83).

Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi


salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman
yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi
kuman salmonella (Smeltzer & Bare. 2008. Keperawatan Medikal Bedah
II. Jakarta: EGC). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (Mansjoer, Arif. 2009. Kapita
Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.).

1.2 Etiologi
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan
salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk
batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah
dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 600
selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat
antibodi atau aglutinin yaitu :
- Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen
O (berasal dari tubuh kuman).
- Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H
(berasal dari flagel kuman).
- Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena
rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien
menderita tifoid. (Aru W. Sudoyo. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2009.
Ed V.Jilid III. Jakarta: interna publishing)

1.3 Tanda gejala


Tanda dan gejala klinik demam thypoid :
Keluhan:
Nyeri kepala (frontal) 100%
Kurang enak di perut 50%
Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%
Berak-berak 50%
Muntah 50%
Gejala:
Demam 100%
Nyeri tekan perut 75%
Bronkitis 75%
Toksik 60%
Letargik 60%
Lidah tifus (“kotor”) 40%
(Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 2007.)

a. Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris


reminten, suhu tubuh berangsur meningkat
b. Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering
pecah-pecah (ragaden), lidah ditutpi selaput putih kotor (coated
tongue, lidah limfoid) ujung dan tepinya kemerahan, biasanya disertai
konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan jarang kembung.
c. Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak
seberapa dalam, apatis sampai somnolen, jarang sopor, koma atau
gelisah
d. Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan
dan lebih singkat.
1.4 Patofisiologi
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke
dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana
asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti
aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin
H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan
mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus
halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian
menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan
jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,
merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel
limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan
ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati
dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan
limfe (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya


ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu
maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus
torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme
dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh
Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu
dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd
dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang
dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam
patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag
di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular
yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada
darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, Sumarmo S
Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).

1.5 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia
tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid,
jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas
normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada
komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi
dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi
bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi
demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari
beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium
yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media
biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik
adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia
berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada
minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya.
Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat
menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil biakan mungkin negatif.
e. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi
terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada
orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada
uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka
menderita tifoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap
kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat
kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari)
atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali
pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan
diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian,
bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid,
karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika,
sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM
dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis
klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:
1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan gejala demam,gangguan saluran cerna, gangguan
pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam
tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada
pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau
hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboraorium
yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H >
1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada
pemeriksaan biakan atau positif S.Thypi pada pemeriksaan
PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H >
1/640 (pada pemeriksaan sekali) (Widodo, D. 2007. Buku Ajar
Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI.

1.6 Komplikasi
Komplikasi intestinal :
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ilius paralitik

Komplikasi ekstra intestinal


1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma
uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan
arthritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningitis, polineuritis perifer.

1.7 Penatalaksanaan
a. Pencegahan
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci
tangan setelah dari toilet dan khususnya sebelum makan atau
mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang belum
dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih
dan hindari makanan pedas
b. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya
di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien
diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta
higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
c. Diet dan terapi Penunjang
1. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
2. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa
gejala meteorismus ( kembung perut), dan diet bubur saring pada
penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi
usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan
umum dan mempercepat proses penyembuhan. Cairan yang
adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
3. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala
mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan
dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual
lagi.
4. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan
tatalaksana tifoid adalah:
1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg
perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7
hari bebas panas.
2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400
mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim).
4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB,
selama 2 minggu.
5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa
100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama
3-5 hari.
6. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan
tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok
septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam
organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi.
(Widiastuti S, 2001).
7. Vit B komplek dan Vit C sangat diperlukan untuk menjaga
kesegaran dan kekuatan badan serta berperan dalam kestabilan
pembuluh kafiler.

1.8 Pathway
II. Rencana asuhan keperawatan klien dengan demam thypoid
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
- Keluhan Utama : demam
- Riwayat Keluhan Utama : demam yang tidak terlalu tinggi dan
berlangsung selama 3 minggu
- Keluhan yang menyertai : anoreksia, nyeri perut, nyeri kepala,
jual, muntah, batuk, diare.
Riwayat Kesehatan Dahulu
1. Riwayat Kehamilan / Persalinan
Prenatal
 Kondisi ibu saat hamil
 Ada kelainan / tidak, pecahnya ketuban dini
 Nutrisi yang dikonsumsi / obat-obatan yang dipakai
 Berapa kali priksa kehamilan di RS / puskesmas
 Dapat diimunisasi / tidak
Natal
 Lahir premature / aterm atau posaterm
 Lahir spontan / dengan alat atau spontan
 Letak bokong atau sungsang atau normal
 Ditolong oleh siapa
 Ada cacat bawaan
Neonatal
 Kondisi bayi waktu lahir
 BB / PB apgar score
 Warna kulit waktu lahir
 Ada masalah / tidak setelah lahir / aspirasi
Post Natal
 Lamanya ibu dirawat di RS setelah persalinan
 Bagaimana produksi ASI setelah persalinan
 Apa bayi bisa menetek dengan baik
2. Riwayat Tumbuh Kembang
Bagaimana riwayat tumbuh kembang bayi
3. Riwayat Imunisasi
Pola Kebiasaan
1. Pola pernafasan : frekuensi nafas cepat dan dangkal
2. Makan dan minum : tidak ada nafsu makan
3. Eliminasi : BAK : tidak terganggu
4. BAB : > 5 x /hari, konsistensi encer,
berbau busuk
5. Pergerakan yang berhubungan dengan sikap : aktivitas
terbatas karena kelemahan
6. Istirahat dan tidur : mengalami gangguan karena sering
defekasi
7. Memilih, mengenakan dan melepaskan pakaian : karena
adanya kelemahan tubuh maka pasien memerlukan bantuan
dalam mengenakan dan melepaskan pakaian
8. Suhu tubuh : terjadi peningkatan
9. Kebersihan dan kesegaran tubuh : perlu bantuan orang lain
dalam membersihkan tubuh
10. Mencegah dan menghindari bahaya : pasien rentang terhadap
bahaya karena kelemahan fisik
11. Beribadah sesuai keyakinan : umumnya pasien lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan
12. Komunikasi dengan orang lain : komunikasi terbatas karena
adanya kelemahan, adanya keterbatasan dalam mengerjakan
dan melaksanakan sesuai dengan kemampuan pasien
13. Berpartisipasi dalam bentuk rekreasi : pasien kurang
berminat dalam melakukan rekreasi
14. Belajar memuaskan keingintahuan yang mengarah pada
perkembangan kesehatan : pasien banyak bertanya-tanya
tentang penyakitnya

2.1.2 Pemeriksaan fisik : data focus


 KU : lemah
 Kesadaran : kompos mentis
 TTV : - Tekanan darah : meningkat
 Nadi : cepat
 Respirasi : cepat dan dangkal
 Suhu : meningkat
 Kepala : nyeri tekan, simetris
 Mata : simetris
 Hidung : simetris
 Mulut : bibir kering dan lidah beslag
 Ekstremitas : pergerakan terbatas
 Thoraks : normal
 Kulit : pucat
 Abdomen : nyeri tekan, kembung
 Berat badan : terjadi penurunan berat badan
 Anus : kemerahan karena seringnya defekasi
 Neurology : ada gerak reflek

2.1.3 Pemeriksaan penunjang :
 uji serologis
 darah
 isolasi kreman

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : hipertermia (00007)
2.2.1 Definisi
Suhu tubuh diatas kisaran normal diurnal karena kegagalan
termoregulasi
2.2.2 Batasan karakteristik
1. Apnea
2. Bayi tidak dapat mempertahankan menyusu
3. Gelisah
4. Hipotensi
5. Kejang
6. Koma
7. Kulit kemerahan kulit terasa hangat
8. Letargi
9. Postur abnormal
10. Stupor takikardi
11. Takipnea
12. Vasodilatasi
2.2.3 Faktor yang berhubungan
1. Agen farmaseutikal
2. Aktivitas berlebihan
3. Dehidrasi
4. Iskemia
5. Pakaian yang tidak sesuai
6. Peningkatan laju metabolisme
7. Penurunan perspirasi
8. Penyakit
9. Sepsis
10. Suhu lingkungan tinggi
11. Trauma

Diagnosa 2 : ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh


(00002)
2.2.4 Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
2.2.5 Batasan karakteristik
1. Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang BB ideal.
2. Bising usus hiperaktif
3. Cepat kenyang setelah makan
4. Diare
5. Gangguan sensasi rasa
6. Kehilangan rambut berlebihan
7. Kelemahan otot pengunyah
8. Kelemahan otot untuk menelan
9. Kerapuhan kapiler
10. Kesalahan informasi
11. Kesalahan persepsi
12. Ketidakmampuan memakan makanan
13. Kram abdomen
14. Kurang informasi
15. Kurang minat pada makanan
16. Membrane mukosa pucat
17. Nyeri abdomen
18. Penurunan BB dengan asupan makanan adekuat
19. Sariawan rongga mulut
20. Tonus otot menurun
2.2.6 Faktor yang berhubungan
1. Faktor biologis
2. Faktor ekonomi
3. Gangguan psikososial
4. Ketidakmampuan makan
5. Ketidakmampuan mencerna makanan
6. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
7. Kurang asupan makanan

Diagnosa 3: Nyeri Akut (00132)


2.2.7 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakkan jaringan aktual atau potensial atau yang
diganbarkan sebagai kerusakkan.
2.2.8 Batasan Karakteristik
Diaforesis
Dilatasi pupil
Ekspresi wajah
Fokus menyempit
Fokus pada diri sendiri
Keluhan tentang intensitas
Perubahan posisi
Putus asa
Sikap melindungi area nyeri
Sikap tubuh melindungi
2.2.9 Faktor yang berhubungan
Agens cidera biologis
Agens cidera fisik
Agens cidea kimiawai
Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan (00027)
2.2.10 Definisi
Penurunan cairan intravascular, interstisial, dan/atau intraseluler.
Ini mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan saja tanpa
perubahan kadar natrium.
2.2.11 Batasan Karakteristik
Haus
Kelemahan
Kulit kering
Memebran mukosa kering
Peningkatan frekuensi nadi
2.2.12 Faktor yang berhubungan
Kegagalan mekanisme regulasi
Kehilangan cairan aktif

Diagnosa 5: Intoleransi aktivitas (00092)


2.2.12 Definisi
Ketidakcukupan energy psikologis atau fisiologis untuk
mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-
hari yang harus atau ynag ingin dilakukan.
2.2.13 Batasan Karakteristik
Dispnea setelah beraktivitas
Keletihan
Ketidaknyamanan setelah beraktivitas
2.2.14 Faktor yang berhubungan
Gaya hidup kurang gerak
Imobilitas
Tirah baring
Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

Diagnosa 6: Konstipasi (00011)


2.2.10 Definisi
Penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai kesulitan atau
pengeluaran feses tidak tuntas dan/atau feses yang keras, kering,
dan banyak.
2.2.11 Batasan Karakteristik
Anoreksia
Nyeri abdomen
Feses cair
Bising usus hiperaktif
2.2.12 Faktor yang berhubungan
Fungsional
Kebiasaan defekasi tidak teratur
Kebiasaan menean dorongan defekasi
Mekanis
Abses rectal
Hemoroid
Farmakologis
Agens farmaseutikal
Penyalahgunaan laksatif
Fisiologis
Asupan cairan tidak cukup
Asupan serat tidak cukup
Psikologis
Depresi
Stress emosi

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : hipertermia (00007)
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan hpertermi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a. Suhu tubuh dalam rentan normal
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional
Terapi demam
R: penatalaksaan pasien yang mengalamihiperpireksia akibat faktor
selain lingkungan
Regulasi suhu
R: mencapai atau mempertahankan suhu tubuh dalam rentang
normal
Pemantauan TTV
R: mengumpulkan dan menganalisis data kardiovaskular,
pernapasan, dan suhu tubuh untuk menentukan serta mencegah
komplikasi

Diagnosa 2 : ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh


(00002)
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan nutrisi pasien apat terpenuhi dengan kriteria hasil:
a. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
b. Adanya peningkatan berat badan
c. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional
Manajemen gangguan makan
R: mencegah dan menangani pembatasan diet yang sangat ketat
dan aktivitas berlebihan atau memasukkan makanan dan minuman
dalam jumlah banyak kemudian berusaha megeluarkan semuanya
Manajemen elektrolit
R: meningkatkan keseimbangan elektrolit dan pencegahan
komplikasi akibat dari kadar elektrolit serum yang tidak normal
atau diluar harapan
Pemantauan elektrolit
R: mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur
keseimbangan elektrolit
Pemantauan cairan
R: pengumpulan dan analisis data pasien untuk mengatur
keseimbangan cairan
Manajemen cairan/elektrolit
R: mengatur dan mencegah komplikasi akibat perubahan kadar
cairan dan elektrolit
Manajemen nutrisi
R: membantu atau menyediakan asupan makanan dan cairan diet
seimbang

Terapi nutrisi
R: Pemerian makanan dan cairan untuk mendukung proses
metabolic pasien yang malnutrisi atau beresiko tinggi malnutrisi
Pemantauan nutrisi
R: mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mencegah
dan meminimalkan kurang gizi

Diagnosa 3: Nyeri akut


2.3.5 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan nyeri yang dirasakan klien berkurang dengan kriteria
hasil:
a. Nyeri klien berkurang
b. Klien tidak tampak mengeluh,
c. Ekspresi wajah klien tidak menunjukkan nyeri,
d. Klien tidak gelisah.
2.3.6 Intervensi keperawatan dan rasional
Kaji secara konprehensif terhadap, nyeri termasuk lokasi
R: mengetahu tingkat nyeri pasien
Obsevasi reaksi ketidaknyamanan
R: Untuk mengetahui ketidaknyamanan dirasakan pasien
Berikan informasi tentang penyebab nyeri
R: untuk mengetahui apakah terjadi penggurangan rasa nyeri.
Ajarkan cara teknik distraksi dan relaksai
R: Agar klien mampu mengurangkan nyeri menggunakan teknik
relaksasi distraksi.
Kolaborasi pemberian analgesic
R: Untuk mengurangi rasa nyeri pasien.

Diagnosa 4: kekurangan volume cairan


2.3.6 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan cairan dan elektrolit klien seimbang dengan kriteria
hasil:
a. Turgor kulit elastic (skala 5)
b. Intake dan output cairan seimbang (skala 5)
c. Membrane mucus lembab (skala 5)
d. Vital sign dalam rentang normal

2.3.7 Intervensi keperawatan dan rasional


Electrolyte monitoring
Identifkasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit
R: mengetahui penyebab untuk menentukan intervensi
penyelesaian
Monitoring adanya kehilangan cairan dan elektrolit
R: mengetahui keadaan umum pasien
Monitoring adanya mual, muntah, dan diare
Fluid management
Monitoring status hidrasi
R: mengetahui perkembangan rehidrasi
Monitoring keakuratan intake dan output cairan
R: evaluasi intervensi
Montoring pemberian terapi IV
R: rehidrasi optimal
Vital sign monitoring
Monitoring vital sign klien
R: mengetahui keadaan umum pasien

Diagnosa 5: intoleransi aktivitas


2.3.6 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kondisi klien stabil saat aktivitas dengan kriteria hasil:
Activity tolerance
Saturasi O2 saat aktivitas dalam batas normal
Vital sign dalam batas normal
Hasil EKG dalam batas normal
Fatigue level
Tidak nampak kelelahan
Tidak nampak lesu
Tidak ada penurunan nafsu makan
Tidak ada sakit kepala
Kualitas tidur dan istirahat dalam batas normal

2.3.7 Intervensi keperawatan dan rasional


Activity therapy
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk merencanakan,
monitoring program aktivitas klien
R: mengkaji setiap aspek klien terhadap terapi latihan yang
direncanakan
Bantu klien memilih aktivitas yang sesuai kondisi klien
R: aktivitas terlalu berat dan tidak sesuai dengan kondisi klien
dapat memperburuk toleransi terhadap latihan
Bantu klien untuk melakukan aktivitas/latihan fisik secara teratur
R: melatih kekuatan dan irama jantung selama aktivitas
Monitoring hasil EKG klien saat istirahat dan aktivitas (bila
memungkinkan dengan tes toleransi aktivitas)
R: EKG memberikan gambran yang akurat mengenai kondisi
jantung selama istirahat maupun aktivitas
Energy management
Tentukan pembatasan aktivitas klien
R: mencegah penggunaan energy yang berlebihan karena dapat
menimbulkan kelelahan
Tentukan penyebab kelelahan (perawatan, nyeri, pengobatan)
R: mengeidentifikasi pencetus kelelahan
Monitoring intake nutrisi yang adekuat ebagai sumber energy
R: mengetahui sumber asupan energy klien
Monitoring respon terapi oksigen klien
R: mengetahui efektifitas terapi o2 terhadap keluhan sesak selama
aktivitas
Diagnosa 6: Konstipasi
2.3.8 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan pasien dapat defekasi dengan teratur dengan kriteria
hasil:
a. Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari
b. Konsostensi feses lembut
c. Eleminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan

2.3.9 Intervensi keperawatan dan rasional


Constipation/impaction management
Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien untuk
menjalankannya
R: untuk mengembalikan keteraturan pola defekasi klien
Atur waktu yang tepat untuk defekasi klien seprti sesuadah makan
R: untuk memfasilitasi reflex defekasi
Berikan asupan nutrisi berserat seuai dengan indikasi
R: nutrisi serta tinggi untuk melancarkan eleminasi fekal
Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter per hari
R: untuk melunakkan eleminasi feses
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian laksatif atauenema
sesuai indikasi
R: untuk melunakkan feses
III. Daftar Pustaka

Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, jilid I. Media


Aesculapius : Jakarta. 2007.

Suriadi dan Yuliani, Rita. Asuhan Keperawatan pada anak. Cv Sagung Seto.
Jakarta : 2010.

Aru W. Sudoyo.(2009) Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed V.Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing

Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008.


Depkes RI, Jakarta

Nugroho, Susilo, (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha


Medika

Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media


Aesculapius.

Simanjuntak, C. H, (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan


Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.)

Sjamsuhidayat. (2008). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta.

Smeltzer & Bare. (2008). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC

Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Jakarta: IDAI)

Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI

Banjarmasin, Oktober 2017


Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(……………………………) (…………………………..)

Anda mungkin juga menyukai