Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

MATA KULIAH: ETIK KEPERAWATAN DAN HUKUM KESEHATAN

“KONSEP HUKUM KESEHATAN”

DI SUSUN OLEH: KELOMPOK 1

1. KHENIVA DIAH A 1921312031


2. TESTCIA ARIFIN 1921312032
3. MUTIA DWI S 1921312012
4. APRIYANTI 1921312013
5. RISNA MELIYANI 1921312006
6. SELAMAT REZA F 1921312026
7. REZKY PRADESSETIA 1921312021
8. DARMA WIDYAWATI 1921312009
9. LEO AGUSTINO 1921312020

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta kemudahan yang berlimpah, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah etik keperawatan dan hukum kesehatan: “Konsep tentang
Hukum Kesehatan”.
Salawat Kepada Rahmatan lil’alamin, Rasulullah SAW yang telah
membawa kita menuju alam yang penuh pengetahuan. Semoga Rahmat selalu
tercurah buat beliau, keluarga dan seluruh pengikutnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Untuk
itu kami membutuhkan kritikan dan saran yang membangun demi penyempurnaan
makalah kami kedepannya. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua. Atas semua perhatian pembaca, kami ucapkan terimakasih.

Padang, Desember 2019


Hormat kami,

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI ..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1.2 Tujuan ..........................................................................................
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................
2.1 UU Kesehatan no 36 tahun 2009 tentang kesehatan .....................
2.2 Peremenkes RI no 12 tahun 2013 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik keperawatan ..........................................
2.3 Pengaruh hukum terhadap perkembangan profesi keperawatan ...
2.4 Sumber utama hukum di keperawatan ..........................................
2.5 Perbedaan hukum substantif dan hokum prosedural antara
hukum pidana dan hukum perdata ................................................
2.6 Perbedaan antara hukum kontrak dan hukum gugatan .................
2.7 Hukum pidana yang berlaku untuk keperawatan ..........................
2.8 Prosedur hukum pidana.................................................................
2.9 Penerapan perubahan melalui proses melobi ................................
2.10 Cara mengatasi dilema hukum dan etis di keperawatan ...............
BAB PENUTUP.........................................................................................
3.1 Simpulan .......................................................................................
3.2 Saran .............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pandangan masyarakat atas hukum yang beragam telah menimbulkan
berbagai persepsi pula tentang hukum. Hukum dalam arti peraturan perundang-
undangan yang dikenal oleh masyarakat sebagai undang-undang umumnya diberi
pengertian sebagai pengatur. Oleh karena itu aturan aturan di bidang kesehatan
dikenal sebagai hukum kesehatan, meskipun hukum kesehatan mungkin lebih luas
lagi cakupannya dari itu. Dalam pandangan yang lebih luas sebagaimana
dikatakan oleh cicero, yaitu dimana setiap masyarakat disitu ada hukum.
Demikian halnya dengan praktek penyelenggaraan kesehatan, yang
tentunya pada setiap kegiatannya memerlukan pranata hukum yang dapat
menjamin terselengaranya penyelenggaraan kesehatan. Pranata hukum yang
mengatur penyelenggaraan kesehatan adalah perangkat hukum kesehatan. Adanya
perangkat hukum kesehatan secara mendasar bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara kesehatan
maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.
Di Indonesia hukum kesehatan berkembang seiring dengan dinamika
kehidupan manusia, dia lebih banyak mengatur hubungan hukum dalam
pelayanan kesehatan, dan lebih spesifik lagi hukum kesehatan mengatur antara
pelayanan kesehatan dokter, rumah sakit, puskesmas, dan tenaga-tenaga kesehatan
lain dengan pasien. Karena merupakan hak dasar yang harus dipenuhi, maka
dilakukan pengaturan hukum kesehatan, yang di Indonesia dibuat suatu aturan
tentang hukum tersebut, yaitu dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Hukum Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hukum kesehatan di
Indonesia diharapkan lebih lentur (fleksibel dan dapat mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
Munculnya kasus – kasus pelayanan kesehatan yang terjadi di tengah –
tengah lapisan masyarakat dalam hal masalah kesehata dan bnyaknya kritikan –
kritikan yang muncul terhadap pelayanan kesehatan itu merupakan indikasi bahwa

4
kesadaran hukum oleh masyarakat dalah hal masalah kesehatan semakin
meningkat pula.
Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat tidak mau lagi menerima begitu
saja cara pelayanan yang kurang efisien yang akan dilakukan para tenaga medis
kesehatan kepada masyaraakat, akan tetapi menjalani bagaimana pemberian
pelayanan kesehatan kepada masyarakat itu harus dilakukan, serta bagaimana
masyarakat harus bertindak sesuai denagn hak dan kepentinganya apabila mereka
menderita kerugian akibat dari kelalaian pelayanan kesehatan yang pada
dasarnya adalah kesalahan atau kelalaian pelayan kesehatan merupakan suatu hal
yang penting untuk di bicarakan dalam hal ini yang di sebabkan akibat dari
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tersebut yang
mempunyai dampak yang sangat merugikan, selain merusak atau mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap profesi pelayanan kesehatan, juga menimbulkan
kerugian terhadap pasien atau masyarakat.
Maka untuk itu di dalam memahami ada tidak adanya kesalahan ataupun
kelalaian yang dilakuakan tenaga medis , maka hal itu harus dihadapkan dengan
kewajiban profesi disamping harus pula memperhatikan aspek hukum yang
mendasari terjadinya hubungan hukum antara tenaga kesehatan dengan pasien.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui UU Kesehatan no 36 tahun 2009 tentang kesehatan
2. Mengetahui Peremenkes RI no 12 tahun 2013 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik keperawatan
3. Mengetahui pengaruh hukum terhadap perkembangan profesi
keperawatan
4. Mengetahui sumber utama hukum di keperawatan
5. Mengetahui perbedaan hukum substantif dan hukum prosedural antara
hukum pidana dan hukum perdata
6. Mengetahui perbedaan antara hukum kontrak dan hukum gugatan
7. Mengetahui hukum pidana yang berlaku untuk keperawatan
8. Mengetahui prosedur hukum pidana
9. Mengetahui penerapan perubahan melalui proses melobi
10. Mengetahui cara mengatasi dilema hukum dan etis di keperawatan.

5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Kesehatan yang merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan untuk diwujudkan bagi bangsa Indonesia. Dalam upaya untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan
dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan
masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah
maupun masyarakat. Oleh karena itu dalam perkembangan, tuntutan, dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat UU yang sebelumnya No 23 tahun
1992 diganti dengan Undang Undang tentang Kesehatan yang baru No 36
tahun 2009.
Pada UU No. 36 Tahun 2009 ini terdiri dari 22 bab yang mengatur
secara jelas dan lengkap setiap aspek dalam kesehatan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Mulai dari pengertian-pengertian
penting dalam asas dan tujuan, hukukm kesehatan, hak dan kewajiban,
sumber daya dibidang kesehatan, upaya pertahanan kesehatan, tanggung
jawab pemerintah, kesehatan ibu dan bayi, anak, remaja, lanjut usia, gizi,
penyakit menular dan tidak menular, kesehatan jiwa, kesehatan lingkungan,
kesehatan kerja, informasi kesehatan, pembiyaan kesehatan, pengelolaan
kesehatan, peran serta masyarakat, pembinaan dan pengawasan sampai ke
tindak pidana dalam pelanggaran kesehatan dan berbagai hal lain yang
terkait dengan kesehatan yang diatur dalam setiap babnya.
Pada Bab 18 pembinaan dan pengawasan pasal 188 dijelaskan tentang
tindakan administratif yang diambil jika tenaga kesehatan yang melanggar
ketentuan dalam undang-undang ini. Tindakan administratif yang dimaksud
yaitu peringatan secara tertulis dan pencabutan izin sementara atau izin tetap
terhadap tenaga kesehatan yang melanggar ketentuan tersebut.
Selanjutnya pada bab 19 tentang penyidikan dijelaskan bahwa selain
penyidik polisi, pegawai pemerintahan di bidang kesehatan juga berhak
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan. Penyidikan

6
yang dimaksud yaitu pemerikasaan atas kebenaran terhadap laporan,
pemerikasaan terhadap orang yang bersangkutan, melihat keterangan bukti
dari orang yang sehubungan dengan tindak pidana, dan menghentikan
penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya
tindak pidana di bidang kesehatan .
Berikutnya pada bab 20 ketentuan pidana mengatur mengenai
hukuman tindak pidana di bidang kesehatan diantaranya fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama
terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat, Setiap orang yang tanpa
izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional, orang yang dengan
sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh, setiap orang yang
dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan dan masih
banyak hal lainnya dijelaskan pada setiap pasalnya.
2.2 Permenkes RI No 12 Th 2013 Tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Keperawatan
Dalam masa transisi professional keperawatan di Indonesia, sistem
pemberian izin praktik diwujudkan untuk semua perawat baik bagi lulusan
akademi, sarjana keperawatan maupun program master keperawatan dengan
lingkup praktik sesuai dengan kompetensi masing-masing. Didalam
Peraturan menteri kesehatan tentang izin dan penyelenggaraan praktik
perawat,yang dimaksud perawat adalah seseorang yang telah lulus
pendidikan perawat baik didalam maupun diluar negri sesuai dengan
perawatan perundang-undangan, fasilitas pelayanan kesehatan tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif perlu adanya surat izin praktik perawat yang
selanjutnya disingkat SIPP sebagai bukti tertulis yang diberikan kepada
perawat untuk melakukan praktik keperawatan secara perorangan ataupun
berkelompok yang dibuat sesuai standar pedoman yang dipergunakan
sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar
pelayanan, standar profesi dan standar prosedur operasional selanjutnya
diperlukan Surat Tanda Registrasi (STR) bukti tertulis yang diberikan oleh
pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifika

7
kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
persyaratan pengurusan izin bisa dilihat di Undang-Undang Keperawatan.
Dalam menjalankan praktik perawat mempunyai hak yaitu;
a. Memperoleh perlindaungan huku dalam melaksanakan praktik
keperawatan sesuai standar
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan atau
keluarganya
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi
d. Menerima imbalan jasa profesi
e. Memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang
berkaitan dengan tugasnya.
Kewajibannya;
a. Menghormati hak pasien,
b. Melakukan rujukan
c. Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-undangan
d. Memberikan informasi tentang maslaah kesehatan pasien dan
pelayanan yang dibutuhkan
e. Meminta persetujuan tindakan keperawatan yang dilakukan
f. Melakukan pencatatan asuhan keperwatan secara sistematis \
g. Mematuhi standar
Tujuan Praktik Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui
kolaborasi dengan system klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan
asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada
berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan
berkelompok.

8
Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan
pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan
mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.
2.3 Pengaruh Hukum Terhadap Perkembangan Profesi Keperawatan
Perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan kesehatan
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang diatur dalam PP No.
32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Bahkan dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan, tenaga perawat merupakan jenis tenaga kesehatan
terbesar yang dalam kesehariannya selalu berhubungan langsung dengan
pasien dan tenaga kesehatan lainnya (Praptianingsih, 2006).
Namun di dalam menjalankan tugasnya tak jarang perawat
bersinggungan dengan masalah hukum. Bahkan profesi perawat sangat
rentan dengan kasus hukum seperti gugatan malpraktik sebagai akibat
kesalahan yang dilakukannya dalam pelayanan kesehatan. Terlebih lagi
bahwa perawat bukan lagi sekedar tenaga kesehatan yang pasif. Bahkan di
New York sejak tahun 1985 melalui suatu kepeutusan Pengadilan Tinggi
diakui bahwa perawat bukan lagi menjadi petugas kesehatan yang pasif,
tetapi penyedia jasa perawatan kesehatan yang desisif dan asertif (Cecep
Triwibowo, 2010).
Dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya
perubahan status yuridis dari “perpanjangan tangan” menjadi “kemitraan”
atau “kemandirian”, seorang perawat juga telah dianggap bertanggung
jawab hukum untuk malpraktik keperawatan yang dilakukannya,
berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan tanggung
jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni dalam bentuk
malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik keperawatan
(Cecep Triwibowo, 2010).
2.4 Sumber Utama Hukum di Keperawatan
Sumber-Sumber Hukum:
Undang-undang, mempunyai dua arti, yaitu:

9
1) Formal atau sempit UU adalah setiap peraturan atau ketetapan
yangdibentuk oleh alat perlengkapan negara yang diberi kekuasaan
membuat UU dan diundangkan sebagaimana mestinya.
2) Material, adalah setiap peraturan atau ketetapan yang isinya berlaku
mengikat kepada umum atau semua orang dalam suatu daerah
ataugolongan tertentu (Def dr Prof. Buys, dikutip oleh Mudjiono,1991).
Sumber hukum keperawatan, yaitu:
1. UU Kesehatan No.23/1992,
a. Pasal 32, Ayat 2,3,4 & 5
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan
pengobatan dan atau perawatan.
(3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang
dapat dipertanggungjawabkan.
b. Pasal 50
(1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan dan melakukan
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan/ atau kewenangan
tenaga kesehatan yg bersangkutan.
c. Pasal 53
(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak-hak pasien.
(4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.

10
d. Pasal 54
(1) Terhadap tenaga kesehatan yg melakukan kesalahan atau kelalaian
dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 ditentukan oleh Majlis disiplin tenaga kesehatan
e. Pasal 55
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian
yg dilakukan oleh tenaga kesehatan
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dlm ayat 1 dilaksanakan sesuai
dgn peraturan perundang-undangan yg berlaku.
f. Pasal 73
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yg
berkaitan dgn prnyelenggaraan upaya kesehatan.
g. Pasal 77
Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga
kesehatan &/ atau sarana kesehatan yg melakukan pelanggaran thdp
ketentuan undang-undang ini.
2. PP RI No.32/1996, tentang tenaga kesehatan
3. Kep Menkes 1239/2001, tentang registrasi & praktik perawat
2.5 Perbedaan Hukum Substantif dan Hukum Prosedural
Hukum substantif adalah perundang-undangan atau hukum tertulis
yang mengatur hak dan kewajiban orang-orang yang tunduk pada hukum
tersebut. Hukum substantif mendefinisikan hubungan hukum seseorang
dengan orang lain atau di antara mereka dan negara. Hukum substantif
mengatur hak-hak serta tugas seseorang dalam segala tindkan
danperilakunya di asyarakat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-
prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya
melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah
bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil
(hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar
substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti
hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan

11
keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang
tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-
prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus
menjamin kepastian hukum.
Sedangkan hukum prosedural mengendalikan/mengontrolperilaku dari
badan pemerintah (terutama pengadilan) sebagai badan yang mendirikan
dan mendorong aturan-aturan hukum substantif. Sebuah undang-undang
ataskejahatan melakukan pembunuhan, sebagai contoh, adalah termasuh
aturan hokum substantif. Tetapi aturan yang menerangkan peruatan
percobaan tindak kejahatan adalah termasuk prosedural.
Karena hukum acara merupakan sarana untuk menegakkan aturan-
aturan substantif, ada berbagai jenis hukum prosedural, sesuai dengan
berbagai jenis hukum substantif. Hukum Pidana adalah cabang dari hukum
substantif berurusan dengan hukuman bagi pelanggaran terhadap publik dan
memiliki sebagai konsekuensinya prosedur kriminal , yang menunjukkan
bagaimana sanksi hukum pidana harus diterapkan. Hukum privat substantif,
yang berkaitan dengan hubungan antara orang pribadi (yaitu, non-
pemerintah), apakah individu atau badan hukum, telah sebagai
konsekuensinya aturan prosedur sipil. Karena objek proses pengadilan
adalah untuk sampai pada kebenaran dengan menggunakan bukti-bukti
terbaik yang tersedia, harus ada hukum-hukum prosedural bukti untuk
mengatur presentasi saksi, dokumentasi, dan bukti fisik (Mahrus Ali, 2011).
2.6 Perbedaan Hukum Kontrak dan Hukum Gugatan
Hukum kontrak dilakukan adalah melindungi, membela dan
memeriksa kontrak-kontrak yang dibuat antara orang-orang, lembaga,
kelompok, organisasi, dll berada di bawah system hukum sipil dan dianggap
bagian dari hukum sekitarnya kewajiban, atau 'hukum kewajiban
(Sudarto,1997). Hukum kontrak meliputi undang – undang atau peraturan
diarahkan untuk menegakkan janji-janji tertentu.
Torts (Hukum gugatan) adalah kesalahan sipil diakui oleh hukum
sebagai dasar untuk gugatan. Kesalahan ini mengakibatkan cedera atau
kerugian yang menjadi dasar klaim oleh pihak yang dirugikan. Sementara

12
beberapa torts juga kejahatan diancam dengan pidana penjara, tujuan utama
dari gugatan hukum adalah untuk menyediakan bantuan bagi kerusakan
yang terjadi dan mencegah orang melakukan bahaya yang sama. Orang yang
terluka bisa menuntut perintah untuk mencegah kelanjutan dari perilaku
menyakitkan atau untuk kerusakan moneter (Wirjono Prodjodikorro, 1962).
2.7 Hukum Pidana Berlaku untuk Perawatan
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak
pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap
yang melakukannya. Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara
hukum pidana seorang perawat baru dapat dimintai pertanggungjawaban
apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum; dalam hal ini apabila
perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang
tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No. 148/2010.
b. Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang
memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara
kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya
seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan
pasien.
c. Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena
kealpaan (culpa). Kesalahan disini bergantung pada niat (sengaja) atau
hanya karena lalai. Apabila tindakan tersebut dilakukan karena niat dan
ada unsur kesengajaan, maka perawat yang bersangkutan dapat dijerat
sebagai pelaku tindak pidana. Sebagai contoh seorang perawat yang
dengan sadar dan sengaja memberikan suntikan mematikan kepada pasien
yang sudah terminal. (disebut dengan tindakan euthanasia aktif).
d. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak
ada alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya
melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan pembenar. Sebagai
contoh perawat yang menjalankan peran terapeutik atau yang
melaksanakan delegated medical activities dengan beranggapan perintah

13
itu adalah sebuah tindakan yang benar. Tindakan tersebut tidak menjadi
benar namun alasan perawat melakukan hal tersebut dapat dimaafkan.
Cakupan Hukum Pidana Tentang Perilaku Perawat adalah sebagai berikut:
1) Tindak pidana terhadap nyawa
2) Tindak terhadap tubuh
3) Tindak pidana yang berkenaan dengan Asuhan Keperawatan semata
untuk tujuan komersial
4) Tindak pidana yang berkenaan dengan pelaksanan Asuhan
Keperawatan tanpa keahlian atau kewenangan
5) Tindak pidana yang berkenaan dengan tidak dipenuhinya persyaratan
administrative
6) Tindak pidana yang berkenaan dengan hak atas informasi
7) Tindak pidana yang berkenaan dengan produksi dan peredaran alat
kesehatan dan sediaan informasi
8) Mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya.
2.8 Prosedur Proses Pidana
Jalur untuk mengetahui adanya suatu tindak pidana adalah melalui:
a. Pengaduan, yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak
menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan
yang merugikan (Pasal 1 butir 25 KUHAP)
b. Laporan, yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena
hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang
berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya
peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP)
Proses dan mekanisme penyelesaian perkara pidana menurut KUHAP
meliputi 3 (tiga) tahapan, sebagai berikut :
1. Tahap pemeriksaan di tingkat penyidikan
Penyelidikan adalah serangkian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
perbuatan pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk

14
mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat
terang tentang perbuatan pidana yang terjadi, guna menemukan
tersangkanya.
Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik memiliki
kewajiban dan kewenangan. Penyelidik karena kewajibannya memiliki
kewenangan antara lain sebagai berikut:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana; (Pasal 5 KUHAP)
2. Mencari keterangan dan barang bukti;(Pasal 5 KUHAP)
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri; (Pasal 5 KUHAP)
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-
jawab. (Pasal 5 KUHAP)
5. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
a) penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penahanan;
b) pemeriksaan dan penyitaan surat;
c) mengambil sidik jari dan memotret seorang;
d) membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
(Pasal 5 KUHAP)
6. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut diatas. (Pasal 5
KUHAP)
7. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah
penyidik berwenang melakukan penangkapan. (Pasal 16 ayat (1)
KUHAP)
Dimulainya Penyidikan Dalam hal penyidik telah memulai
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan
perbuatan pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut
Umum (Vide Pasal 109 ayat (1) KUHAP)
Pemberitahuan dimulainya penyidikan dilakukan dengan SPDP
(Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan), yang dilampiri :

15
 Laporan polisi
 Resume BAP saksi
 Resume BAP Tersangka
 Berita acara penangkapan Berita acara penahanan
 Berita acara penggeledahan
 Berita acara penyitaan.
Kegiatan-kegiatan Pokok dalam Penyidikan :
 Penyelidikan : serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
perbuatan pidana, guna menentukan dapat tidaknya dilakukan
penyidikan.
 Penindakan : setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap
orang atau barang yang ada hubungannya dengan perbuatan
pidana yang terjadi.
 Pemeriksaan : kegiatan untuk mendapatkan keterangan,
kejelasan dan keidentikan Tersangka dan atau saksi atau
barang bukti, maupun unsur-unsur perbuatan pidana yang
terjadi, sehingga peranan seseorang atau barang bukti dalam
perbuatan pidana itu menjadi jelas
 Penindakan : setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap
orang atau barang yang ada hubungannya dengan perbuatan
pidana yang terjadi, yang dapat berupa :
a) Pemanggilan
b) Penangkapan
c) Penahanan
d) Penggeledahan
e) Penyitaan,
 Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan
keterangan, kejelasan dan keidentikan Tersangka dan atau
saksi atau barang bukti, maupun unsur-unsur perbuatan pidana
yang terjadi, sehingga jelas peranan atau kedudukan seseorang

16
atau barang bukti dalam perbuatan pidana yang terjadi menjadi
jelas.
Para penyidik kemudian membuat BAP yang kemudian
diserahkan ke jaksa penuntut umum untuk dipelajari dan diteliti
kelengkapannya sebagai dasar untuk membuat surat dakwaan. Apabila
penuntut umum menilai bahwa BAP tersebut telah lengakap, maka
penuntut umum akan membuat surat dakwaan dan dilanjutkan ke
tahap penuntutan.
2. Tahap penuntutan
Pasal 1 butir 7 KUHAP menyatakan bahwa penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Dalam KUHAP diatur tentang wewenang penuntut umum (Pasal
14 KUHAP)
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk
datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;

17
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang
ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan
Tahap ini dimulai dengan pembukaan sidang pengadilan,
dimana hakim memanggil terdakwa dan memeriksa identitas terdakwa
dengan teliti. Adapun proses jalannya persidangan dalam hukum acara
pidana adalah sebagai berikut:
1) Sidang I: pembacaan surat dakwaan
2) Sidang II : ekspedisi (jika ada)
3) Sidang III : tangapan jaksa penuntut umum (JPU)
4) Sidang IV: tanggapan atas tangapan jaksa penuntut umum
(JPU)
5) Sidang V: putusan sela
6) Sidang VI :pembuktian (pemeriksaan saksi/saksi ahli)
7) Sidang VII : pembacaan tuntutan(Requisitoir)
Requisitoir merupakan gambaran dari tuntutan Penuntut
Umum yang akan dimintakan kepada hakim, dapat berupa
tuntutan pemidanaan, tuntutan pembebasan dari segala
dakwaan (Vrijspraak), pelepasan (Ontslag van
Rechtsvervolging).
Fungsi Requisitoir :
a) Untuk menentukan, apakah Terdakwa terbukti
melakukan perbuatan pidana yang didakwakan, dan
apakah Terdakwa bersalah atau tidak
b) Menjadi filter pidana yang akan dijatuhkan hakim
8) Sidang VIII: pembacaan pembelaan (Pledoi)
9) Sidang IX: pembacaan replik (tanggapan dari JPU atas pledoi
PH)

18
10) Sidang X : pembacaan duplik (tanggapan dari PH atas replik
dari JPU)
11) Sidang IX: Pembacaan putusan
Setelah terdakwa menerima vonis atau putusan hakim, ia
masih memiliki upaya hukum. Terdapat dua upaya macam
hukum yang dapat ditempuh oleh terdakwa, yaitu:.
1. Upaya hukum biasa
a. Banding yaitu upaya hukum yang dapat diajukan baik
oleh terdakwa maupun penuntut umum apabila
merasa tidak puas terhadap putusan pengadilan
tingkat 1. Permohonan banding diatur pada Pasal 233
KUHAP
b. Kasasi yaitu upaya hukum yang dapat diajukan baik
oleh terdakwa maupun penuntut umum apabila
merasa tidak puas terhadap putusan pengadilan pada
tingkat II, melalui pengadilan tingkat pertama yang
mengadili perkara tersebut. Permohonan kasasi diatur
pada Pasal 245 KUHAP
c. Perlawanan (Verzet)
 Perlawanan terhadap putusan hakim yang bersifat
penetapan (diatur pada pasal 156 KUHAP)
 Perlawanan terhadap putusan verstek
Perlawanan ini diajukan terdakwa apabila pada
sidang pertama hakim menjatuhkan putusan tanpa
kehadiran terdakwa (diatur pada Pasal 214
KUHAP)
2. Upaya hukum luar biasa
Upaya hukum ini dilakukan terhadap putusan hakim yang
telah berkekuatan hukum tetap
a. Peninjauan kembali (PK)

19
Upaya hukum ini hanya dapat diajukan oleh terpidana
atau ahli waris dari terpidana. Alasan untuk
mengajukan PK diatur dalam Pasal 263 KUHAP
b. Kasasi demi kepentingan hukum (KDKH)
Upaya hukum ini hanya dapat diajukan oleh Jaksa
Agung. Tujuan dari upaya hukum ini hanya untuk
memperbaiki redaksional tertentu dari putusan dan
pertimbangan hukum yang tidak tepat, agar tidak
terjadi kesalahan penahanan dikemudian hari. Isi
putusan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan.
2.9 Menerapkan perubahan melalui proses melobi
Lobi merupakan aktivitas interpersonal dan komunikasi yang
dilakukan biasanya berdasarkan kedekatan pribadi. Mengingat sifatnya yang
informal dan bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan.
Lobi adalah pendekatan yang dilakukan agar terjadi kerjasama antara kita
dengan sasaran lobi dan itu kegiatan melobi adalah suatu bentuk pendekatan
yang tidak resmi.
Proses Keperawatan mengalami berbagai tantangan perubahan seiring
dengan perkembangan kemajuan ilmu dan tehnologi. Dalam perkembangan
pengambilan keputusan terhadap etik dan hukum keperawatan mengalami
berbagai dilema antara persepsi budaya daerah, budaya kerja dan juga
berbagai kepentingan lainnya.
Untuk penyelesaian berbagai masalah, tantangan dalam profesi
kesehatan maupun keperawatan diperlukan kemampuan untuk melobi
menggunakan kemampuan komunikasi maupun pendekatan persuasif
lainnya. Sedangkan negosiasi adalah proses tawar menawar antara kita
dengan sasaran lobi untuk mencapai suatu kesepakatan. Negosiasi tidak
akan terjadi apabila salah satu pihak mempunyai wewenang atau kuasa
secara sepihak untuk memaksakan suatu keputusan kepada pihak lain.
Masing-masing pihak ada kemungkinan untuk membujuk pihak lain untuk
memodifikasi posisi awal mereka. Tidak ada gunanya memulai negosiasi
jika pihak yang satu mempunyai keyakinan bahwa posisi pihak lain sama

20
sekali tidak dapat diubah. Peranan komunikasi dalam kehidupan manusia
terlihat sangat penting. Kesalahan dalam melakukan komunikasi antar
pribadi dalam hal ini melakukan lobbying sering membawa akibat fatal,
hubungan dan masa depan yang sudah dibangun bisa hancur hanya karena
gagal dalam melakukan lobbying dengan pihak lain.
Komunikasi yang Efektif dalam melakukan lobi dan negosiasi, pihak
yang berdebat bisa lebih saling memahami, dapat diperkirakan perbedaan di
antara mereka dapat dikurangi dan melalui perundingan mungkin dapat
dicapai persetujuan. Memahami dan menyetujui adalah dua hal yang sama
sekali berlainan. Pada situasi lobi dan negosiasi tindakan mempengaruhi
orang lain merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, termasuk di
dalamnya berusaha mempengaruhi sikap orang lain dan berusaha agar orang
lain memahami ucapan kita.
Dalam lobi, menjadi rahasia umum bahwa seseorang dapat memilih
kata yang tepat, mempersiapkan jauh sebelumnya dan mengemukakannya
dengan tepat pula, maka akan menghasilkan komunikasi yang prima.
Namun, keefektifan komunikasi secara keseluruhan masih memerlukan
suasana psikologis yang positif dan penuh kepercayaan . Kemampuan
membaca feedback sangatlah penting untuk seorang pelobi yang sedang
melakukan negosiasi. Gunanya agar kita segera mengambil tindakan apakah
kita perlu menindaklanjuti negosiasi ini, menunda atau bahkan
menghentikannya sama sekali karena pekerjaan menjadi sia-sia kalau kita
meneruskannya. Perubahan dapat terjadi apabila aktivitas lobbying
mendapatkan respon positif dari pihak lainnya. Pada kegagalan lobbying
dapat menimbulkan konflik dalam pengambilan keputusan tidakan
perawatan selanjutnya.
2.10 Cara Mengatasi Dilema Hukum dan Etis di Keperawatan
Menurut Geoffrey (1994) kerangka pemecahan dilema etik banyak
diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses
keperawatan/ pemecahan masalah secara ilmiah, antara lain :
a. Teori Megan Tentang Model Pemecahan Masalah

21
Menurut Megan ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah
dalam dilema etik antara lain :
1) Mengkaji situasi
2) Mendiagnosa masalah etik moral
3) Membuat tujuan dan rencana pemecahan
4) Melaksanakan rencana
5) Mengevaluasi hasil
b. Teori Kozier Et Al Kerangka Pemecahan Dilema Etik
Menurut Kozier et al menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik
adalah sebagai berikut :
1) Mengembangkan data dasar
Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan
informasi sebanyak mungkin meliputi :
a) Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana
keterlibatannya
b) Apa tindakan yang diusulkan
c) Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
d) Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari
tindakan yang diusulkan.
2) Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi
tersebut.
3) Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang
direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau
konsekuensi tindakan tersebut.
4) Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa
pengambil yang tepat
5) Mendefinisikan kewajiban perawat.
6) Membuat keputusan
c. Model Murphy dan Murphy
1) Mengidentifikasi masalah kesehatan
2) Mengidentifikasi masalah etik
3) Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan

22
4) Mengidentifikasi peran perawat
5) Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin
dilaksanakan
6) Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap
alternatif keputusan
7) Memberikan keputusan
8) Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga
sesuai dengan falsafah umum untuk perawatan klien
9) Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak
dan menggunakan informasi tersebut untuk membantu membuat
keputusan berikutnya.
d. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel (1981)
Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan
etik:
1) Mengumpulkan data yang relevan
2) Mengidentifikasi dilema
3) Memutuskan apa yang harus dilakukan
4) Melengkapi tindakan
e. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981)
1) Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan,
keputusan yang diperlukan, komponen etis dan petunjuk
individual.
2) Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
3) Mengidentifikasi Issue etik
4) Menentukan posisi moral pribadi dan professional
5) Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang
terkait.
6) Mengidentifikasi konflik nilai yang ada
f. Berdasarkan kerja dari Van Hoose and Paradise (1979), Kitchener
(1984), Stadler (1986), Haas and Malouf (1989), Forester-Miller and
Rubenstein (1992), dan Sileo and Kopala (1993) kedalam praktik,
sequential, tujuh tahap, dan model ‘ethical decision making’.

23
1) Mengidentifikasi Masalah
2) Mengaplikasikan kode etik ACA
3) Menentukan asal dan dimensi dilema
4) Menentukan tindakan yang potensial
5) Mempertimbangkan semua konsekuensi yang mungkin terjadi
dan menetukan tindakan yang tepat.
6) Evaluasi tindakan yang telah dilakukan
7) Mengimplementasikan tindakan yang telah ditentukan

24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum kesehatan secara umum diatur dalam suatu regulasi yang
dibuat berdasarkan kepentingan publik. Pengaturan tentang kesehatan saat
ini diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan. Adapun materi muatan yang terkandung dalam
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut meliputi 4
(empat) obyek, yaitu : 1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya
kesehatan; 2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan; 3.
Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan; 4. Pengaturan yang
berkaitan dengan komoditi kesehatan. Secara umum hukum kesehatan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan mengedepankan beberapa anatara lain : prinsip
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif serta
norma-norma agama. Sedangkan mengenai bentuk regulasi hukum
kesehatan selain diatur dalam suatu undang-undang yang mengatur secara
umum dan khusus di bagian-bagian tentang kesehatan juga diatur dalam
berbagai regulasi khusus yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi
bidang kesehatan dan berbagai kode etik. Diantaranya adalah kode etik
profesi, kode etik usaha dan berbagai standar operasional yang dibuat
dalam rangka penyelenggaraan upaya kesehatan.
3.2 Saran
Dengan makalah ini diharapkan pembaca dapat mengerti dan
memahami mengenai hukum keperawatan dan penerapannya.

25
DAFTAR PUSTAKA
Cecep Tribowo. 2010. Hukum Keperawatan, Panduan Hukum dan Etika bagi
Perawat. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Geoffrey, H. 1994. Ethical in nursing. New York : Press (padstow) Ltd.
Kitab Undang Hukum Acara Pidana
Lachman, V. D. 2006. Applied ethics in nursing. United State of America: Bang
Printing.
Miller, H. F., & Davis, T. 1996. A practitioner's guide to ethical decision making.
American Counseling Association
Permenkes RI No 12 Th 2013 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Keperawatan
Penelitian, P., Pengembangan, D. A. N., Hukum, S., & Pengantar, K. (2011).
Laporan akhir tim penyusunan kompendium hukum kesehatan.
Praptianingsih, Sri. 2006. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan
Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Robbin. Judge. 2013. Organizational Behavior by Pearson Education, Inc.,
publishing as Prentice Hall. Manufactured in the United States of America.
One Lake Street, Upper Saddle River, New Jersey
Tappen, M.R., Sally A. Weiss, Diane K.W. 2005. Essentials of Nursing
Leadership and Management. 3 rd Ed. Philadelphia : FA. Davis Company
Tubbs L. Stewary dan Sylvia Moss. 2005. Human Communication. PT Remaja
Rosdakarya. Bandung
Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

26

Anda mungkin juga menyukai