Anda di halaman 1dari 34

KREATIVITAS DI SEKOLAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Kreativitas


Dosen: Dr. Nurul Hidayah, S. Psi, M, Si, Psi.

Disusun Oleh:
KUSWOYO
NIM. 1708044053

MAGISTER SAINS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA
2018

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji dan syukur bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Atas segala
keberkahan, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul ”KREATIVITAS DI SEKOLAH”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua


pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada
Ibu Dr. Nurul Hidayah,S.Psi, M.Si, Psi. Penugasan pembuatan makalah ini
menjadi sarana belajar yang kreatif dalam mensistemasi keilmuan psikologi oleh
penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan rekan sejawat yang
senantiasa saling mensupport dan memotivasi untuk selesainya tugas perkuliahan.
Semoga kerjasama ini berlangsung hingga masa akhir perkulihan.

Tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesan sempurna dan terdapat kesalahan di sana sini oleh karena berbagai
faktor. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini dapat diperbaiki di kemudian hari. Penulis berharap agar
makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Yogyakarta, 29 Oktober 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................i

Kata Pengantar ...........................................................................................................ii

Daftar isi .................................................................................................................iii

BAB IPENDAHULUAN ...........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................4

A. Pengertian ................................................................................................4
1. Kreatifitas ...........................................................................................4
a. Definisi Kreatifitas .......................................................................4
b. Identitas Kepribadian Kreatif .......................................................5
c. Pengukuran Kreatifitas .................................................................7
2. Pendidikan ..........................................................................................9
3. Sekolah ...............................................................................................11
B. Hubungan antara Kreativitas dan Pendidikan ..........................................16
C. Menuju Sekolah Kreatif ...........................................................................18
1. Sekolah Konvensional ........................................................................18
2. Sekolah Progresif ...............................................................................19
3. Sekolah yang Kreatif-Inovatif ............................................................20

BAB III PENUTUP ...................................................................................................27

A. Kesimpulan ..............................................................................................27
B. Saran .........................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sosial terjadi interaksi antara perilaku individu dan


lingkungannya sesuai dengan karakteristik genetiknya. Dari interaksi kita dapat
melihat sifat kepribadian seseorang yang berbeda antara satu individu dengan
individu yang lain. Demikian pula, kreativitas awalnya berasal dari faktor genetik,
tetapi tidak dapat berkembang lebih lanjut secara pribadi. Oleh karenanya individu
membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai secara sosial, pendidikan dan
psikologis yang akan membantu mengembangkan kreativitas individu secara
positif. Menurut Torrance (1965), berpikir kreatif adalah proses di mana individu
menjadi sensitif terhadap masalah, memahami kesenjangan dan kekurangan dalam
informasi kemudian mencari solusi, menimbulkan pertanyaan dan hipotesis, tes
dan tes ulang validitas asumsi untuk modifikasi yang diperlukan dan kemudian
menyajikan hasil yang telah dicapai. Kreatifitas adalah suatu aktivitas kognitif
yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk
permasalahan dan tidak di batasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang
menurut kegunaannya), dengan demikian proses kreativitas bukan hanya sebatas
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat saja. (Solso, Machlin dan Machlin, 2008).
Kreativitas adalah konstruk psikologis yang sebagian dari genetika yang
menentukan pertumbuhan dan sebagian lagi dari lingkungan yang membuka
kemampuan manusia dan memungkinkannya untuk berkembang. Oleh karena itu,
ada ruang untuk lingkungan sekolah untuk meningkatkan kreativitas.
Studi telah menunjukkan peran penting yang dimainkan oleh faktor
lingkungan dalam pengembangan kemampuan kreatif (Domino, 1997; Irons,
1967; Smith, 1970; Richardson, 1988). Lingkungan individu memainkan peran
penting dalam pengembangan kreativitas seseorang terutama jika lingkungannya
aktif. Demikian pula, sekolah dianggap sebagai salah satu yang paling penting
faktor lingkungan yang membantu mengembangkan kreativitas secara
komprehensif dan holistik. Institusi sekolah memberi kesempatan individu, dalam

1
hal ini peserta didik, untuk mengembangkan kreativitas peserta didik. Terlebih hal
tersebut didukung secara sosial, secara fisik dan kognitif yang dapat secara positif
membedakan kepribadian kreatif.
Sekolah adalah salah satu institusi untuk pengembangan kreativitas
siswa. Sekolah membutuhkan upaya ekstra yang akan memungkinkannya
membangun kesadaran dan generasi kreatif yang akan mengimbangi cepatnya
perubahan dan perkembangan terkini di era ini era globalisasi, transformasi
ekonomi dan teknologi komunikasi informasi merupakan penemuan baru muncul
setiap hari, oleh karena itu, peran sekolah diperlukan dalam membimbing siswa
menuju kreativitas untuk mengambil keuntungan perkembangan modern.
Sebagaimana kita ketahui pembelajaran di abad mileneal ini diarahkan pada
output siswa yang mampu memenuhi empat kompetensi dasar yaitu: Critical
thingking/problem solving, Creativity/Innovation, Collaboration and
Communication.Sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pengembangan kreativitas pada anak, karena sekolah lah yang memberikan
pendidikan formal kepada anak sehingga anak mendapatkan pengetahuan serta
sekolah juga dapat mengembangkan tingkat kreativitas anak. Disini peran guru
sangat penting dalam mendidikan anak tidak hanya dalam pendidikan formal saja
tapi pendidikan moral dan cara bertingkah laku yang baik juga.
Penelitian telah menunjukkan bahwa kreativitas mengarah pada
perkembangan intelektual dan pertumbuhan otak, ketika kreativitas dipupuk
dengan baik oleh institusi yang bersangkutan. Sekolah dan institusi sosial lainnya
berperan aktif dalam mengembangkan kreativitas siswa melalui sumber daya yang
tersedia dan secara spesifik mereka membantu peserta didik untuk mencapai
tujuan yang direncanakan sesuai dengan kurikulum sekolah. Lingkungan sekolah
yang kreatif adalah lingkungan yang memaparkan peserta didik secara psikologis
dan sosial memfasilitasi kreativitas di mana pembelajar termotivasi untuk
menemukan hal-hal sendiri, mempromosikan semua yang diperlukan cara-cara
untuk kreativitas untuk membantu siswa mengembangkan sifat-sifat kepribadian
yang kreatif. Sekolah tidak boleh terjebak lagi kedalam iklim pendidikan
“diktaktor” yang memberangus kehendak bebas (free will) siswa dalam hal

2
kreativitas. Sekolah sudah selayaknya membuka diri terhadap kemajuan zaman
yang telah memberikan dampak terhadap materi, strategi dan segala hal yang
berkaitan dengan pengajaran dan pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk mengidentifikasi peran sekolah dalam menciptakan lingkungan yang akan
mengembangkan kreativitas siswa-siswinya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

1. Kreatifitas

a. Definisi Kreatifitas

Kreativitas menurut Mackinnon (1970) adalah kemampuan untuk


menciptakan dan mengekspresikan seluruh potensi unik dari individu. Mackinnon
dan Taylor (1988); Mooney 1963 (dalam Munandar 1988) menyarankan untuk
melihat kreativitas dari empat aspek yaitu: pribadi kreatif, proses kreatif, situasi
kreatif dan produk kreatif. Situasi kreatif dapat pula adalah sebagai faktor
pendorong kreatif. Sementara Roger (1982) mengemukakan bahwa kreativitas
sudah merupakan suatu kebutuhan sosial dari orang-orang yang kreatif. Roger
melontarkan berbagai kritik terhadap apa yang terjadi yang menghambat
kreativitas. Salah satunya adalah pendidikan, Rogers menyatakan bahwa
pendidikan cenderung merubah sikap konformis, stereotip individu bukan pemikir
yang bebas kreatif. Dari kritik tersebut jelas bahwa pendidikan yang ada termasuk
pendidikan di Indonesia belum membentuk anak didik menjadi seorang yang
kreatif.

Guilford (1967), berupaya menarik perhatian terhadap masalah kreativitas


dalam pendidikan, yaitu bahwa pengembangan kreativitas diterlantarkan dalam
pendidikan formal padahal ini amat bermakna bagi pengembangan potensi
individu secara utuh dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Para
lulusan hanya mampu memecahkan masalah sesuai dengan pembelajaran yang
diterima di kelas namun tidak mampu ketika menemukan masalah yang baru yang
sebelumnya tidak diketahui. Guilford menciptakan suatu teori yang menampilkan
semua kemampuan intelek manusia atau lebih dikenal dengan Model Struktur

4
Intelek yang melihat kepada hubungan intelegensi dengan kreativitas. Model
struktur intelek membedakan antara berpikir “konvergen” dan “divergen”.
Berpikir konvergen yang mendasari tes intelegensi tradisional dan kemampuan
berpikir divergen merupakan indikator kreativitas. Struktur intelek Guilford
terbagi menjadi tiga dimensi yaitu : (1) Operasi, terdiri dari kognisi, ingatan,
berpikir divergen, berpikir konvergen dan evaluasi; (2) Produk, terdiri dari unit,
kelas, hubungan, sistem, transpormasi dan implikasi; (3) Konten, terdiri dari
figural, simbolik, semantik dan perilaku.

Pengembangan kreativitas diperlukan saat ini, karena kreativitas


merupakan satu-satunya kemungkinan bagi suatu bangsa yang sedang
berkembang untuk dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dan untuk
dapat menghadapi masalah-masalah yang semakin kompleks. Individu, kelompok
atau suatu bangsa menurut Munandar (2009) harus mampu memikirkan,
membentuk cara-cara baru atau mengubah cara-cara lama secara kreatif agar
dapat “survive” dan tidak hanyut atau tenggelam dalam persaingan antar bangsa
dan Negara. Kreativitas perlu dipupuk sejak usia dini karena : (a) dengan
berkreasi orang dapat mewujudkan (mengaktualisasikan) dirinya dan perwujudan/
aktualisasi diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam manusia
(Maslow 1967); (b) berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat
bermacammacam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan
bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam
pendidikan karena sekolah lebih melatih penerimaan pengetahuan, ingatan dan
penalaran (Guilford 1967); (c) bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat
tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu; (d) kreativitaslah yang
memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya dengan ide baru,
penemuan baru dan teknologi baru.

b. Identitas Kepribadian Kreatif

Ciri-ciri kepribadian kreatif menurut Treffinger (1986) adalah memiliki


pribadi yang mampu mengorganisir tindakannya seperti memikirkan dengan
matang rencana inovatif atau produk orisinal yang akan dibuat sampai dengan

5
mempertimbangkan masalah-masalah yang akan timbul. Ciri-ciri kepribadian
kreatif antara lain: memiliki rasa humor yang tinggi, dapat melihat masalah dari
berbagai sudut tinjau, memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide/konsep,
memiliki rasa ingin tahu, kecendrungan untuk lebih tertarik pada hal-hal yang
rumit dan misterius, mandiri, penuh semangat, dan percaya diri (Munandar 2009).
Namun orang yang kreatif juga bisa memiliki sifat yang tidak kooperatif,
egosentris, terlalu asertif, kurang sopan, keras kepala, emosional, menarik diri dan
terlalu asertif. Ciri-ciri perilaku kreatif yang ditemukan pada orang-orang yang
memberi sumbangan kreatif yang menonjol terhadap masyarakat antara lain :
berani dalam pendirian, melit (ingin tahu), mandiri dalam berpikir, intuitif, ulet,
tidak bersedia menerima pendapat dari otoritas begitu saja.

Berpikir divergen dan konvergen, adalah dua hal cara berpikir yang
dimiliki oleh orang kreatif dimana kemampuan berpikir divergen lebih menonjol
dan merupakan bentuk pemikiran terbuka, yang menjajaki bermacam-macam
kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan atau masalah. Secara universal,
produk divergen yang dikaitkan dengan kemampuan spesifik dari Guilford (1967)
yang melibatkan lima proses kreatif adalah sebagai berikut : (a) kelancaran
(fluency) adalah kemampuan untuk memproduksi banyak gagasan; (b) keluwesan
(fleksibility) adalah kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam
pendekatan dan atau jalan pemecahan terhadap suatu masalah; (c) keaslian
(originalitas) adalah kemampuan untuk melahirkan gagasan-gagasan asli sebagai
hasil pemikiran sendiri dan tidak klise; (d) penguraian (elaboration) adalah
kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terperinci; (e) perumusan kembali
(redefinisi) adalah kemampuan untuk mengkaji/menilik kembali suatu persoalan
melalui cara dan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah lazim.
Kemampuan berpikir konvergen orang kreatif adalah kemampuan berpikir yang
berfokus pada tercapainya satu jawaban yang paling tepat terhadap suatu
persoalan atau masalah. Hal ini diperlukan untuk memilih aspek masalah yang
relevan dan membuang yang tidak relevan (selective encoding), mengkreasi
sistem koheren dari informasi yang berbeda serta mengintegrasikan informasi
baru dengan yang telah diketahui sebelumnya. Melalui cara berpikir yang lancar

6
dan fleksibel, orang kreatif mampu mengadaptasi hampir semua situasi agar
tujuannya tercapai. William (1979) mengembangkan pemikiran bahwa kreativitas
perlu dipupuk secara menyeluruh dan dimasukkan ke dalam kurikulum
pendidikan sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif
pada semua bidang kegiatan, terutama keterampilan kognitif dan afektif dalam
pengembangan kreativitas digabung dengan bidang tradisional yang diajarkan di
sekolah.

c. Pengukuran Kreativitas

Pengukuran kreativitas, dilakukan untuk mengetahui seseorang dapat


dikatakan kreatif melalui indikator-indikator tertentu. Indikator ciri dari kreativitas
dapat diamati dalam dua aspek yakni aspek aptitute dan nonaptitute. Ciri-ciri
aptitute adalah ciri-ciri yang berhubungan dengan kognisi atau proses berpikir,
sedangkan ciri-ciri nonaptitute adalah ciri-ciri yang lebih berkaitan dengan sikap
atau perasaan. Menurut Dacey (1989) berbagai alasan penting yang dikemukakan
dalam mengukur potensi kreatif antara lain : untuk tujuan pengayaan (enrichment)
yakni mengidentifikasi potensi kreatif anak; untuk perbaikan (remedial) yakni
menemukenali kemampuan kreativitas yang sangat rendah; untuk bimbingan
kejuruan yakni membantu siswa memilih jurusan pendidikan dan karier; untuk
penilaian program kegiatan yakni untuk memutuskan apakah dibutuhkan program
kreativitas; untuk mengkaji perkembangan kreativitas pada berbagai tahap
kehidupan yakni mengetahui pertumbuhan dan penurunan kreativitas pada
macam-macam tipe orang dan mengetahui masa puncak kreativitas (Terman 1959;
Davis 1992).

Mengukur potensi kreatif dilakukan melalui berbagai pendekatan yaitu :


pengukuran secara langsung, pengukuran tidak langsung, mengukur unsur-unsur
kreativitas, mengukur ciri kepribadian kreatif, pengukuran potensi kreatif secara
non-test dan pengukuran terhadap kinerja kreatif. Pengukuran tersebut dilakukan
melalui berbagai tes kreativitas yang telah dilakukan di laur negeri antara lain : tes
kemampuan divergen-Guilford (1967), tes kemampuan berpikir kreatif-Torancce
(1974), tes berpikir kreatif–produksi menggambar atau test for creative thinking

7
drawing production (Jellen dan Urban 1985), tes berpikir kreatif dengan bunyi dan
kata atau thinking creatively with sounds and words (Torrance, Khatena dan
Cunnington 1973), dan tes inventory Khatena-Torrance persepsi kreatif atau
Khatena-Torrance Creative Perception Inventory.Di Indonesia tes kreativitas
dilakukan oleh Munandar pada tahun 1977 dengan tes kreativitas verbal, tes
kreativitas figural, skala sikap kreatif, dan skala penilaian anak berbakat oleh
guru. Kreativitas verbal dan kreativitas figural dalam penelitian ini digunakan
untuk mengukur seberapa jauh kreativitas anak usia 10-11 tahun.

Tes kreativitas verbal diadaptasi dari model struktur intelek Guilford dan
kreativitas figural diadaptasi dari circle test Torrance. Guilford (1967)
mengemukakan bahwa kreativitas verbal adalah kemampuan berfikir divergen,
yaitu pemikiran yang menjajagi bermacam-macam alternatif jawaban terhadap
suatu persoalan yang sama besarnya atau kemampuan berpikir kreatif yang
mengukur aspek kelancaran, kelenturan, orisinalitas dan elaborasi (Munandar
2009). Menurut Torrance (Munandar 1999) kreativitas verbal adalah kemampuan
berpikir kreatif terutama mengukur kelancaran, kelenturan dan orisinalitas dalam
bentuk verbal yakni yang berhubungan dengan kata dan kalimat. Faktor yang
mempengaruhi kreativitas verbal adalah lingkungan yang responsif (keluarga,
sekolah, dan masyarakat) merupakan faktor utama terjadinya proses
perkembangan inteligensi dan merupakan dasar yang kuat untuk pertumbuhan
kreativitas verbal. Tes kreativitas verbal terdiri dari 6 sub-tes yang terdiri dari
permulaan kata, menyusun kata, membentuk kalimat tiga kata, sifat-sifat yang
sama, macam-macam penggunaan, dan apa akibatnya.

Kreativitas figural memberikan perspektif yang lebih luas dari


pengukuran kemampuan berpikir kreatif. Materi kreativitas figural sangat
sederhana dan tidak mahal penyelesainnya pun cukup singkat. Tes kreativitas
figural terdiri dari tiga sub-tes, yaitu tes bentuk, gambar yang tidak lengkap dan
tes lingkaran. Torrance (1967) mengatakan bahwa produk kreativitas figural
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan spatial ability seperti sepak bola
dan bola basket atau mengerjakan bangunan dan arsitektur. Cara berpikir menjadi

8
dasar membangun sikap-sikap kreatif yang imajinatif, memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi, teguh dengan ide yang dimiliki, percaya diri, antusias, intuitif,
konsisten, mandiri dan mampu memecahkan masalah dengan berbagai cara
dibutuhkan untuk membangun sikap dan perilaku kreatif. Keluarga dan sekolah
perlu menciptakan kondisi yang dapat memupuk daya kreatif individu dan
memberi kekuatan untuk mendorong tumbuhnya sikap-sikap kreatif. Karena
tumbuhnya kreativitas atau suatu kreasi yang diciptakan oleh seseorang individu
dipengaruhi oleh keluarga, sekolah, masyarakat dan kebudayaan tempat dimana
individu itu hidup dan bekerja (Soemardjan 1983).

2. Pendidikan

Pendidikan memberikan peran yang sangat penting dalam usaha


peningkatan kualitas sumber daya manusia, hal ini disebabkan pendidikan
merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Pendidikan bukanlah hal sederhana, karena selain sifatnya
yang kompleks, dinamis dan kontekstual, pendidikan adalah wahana pembentukan
diri seseorang secara keseluruhan. Pendidikan merupakan usaha yang sengaja
secara sadar dan terencana untuk membantu meningkatkan perkembangan potensi
dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai
seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat (Branata 1988). Peranan
pendidikan dalam pembentukan diri (Umiarso 2010) meliputi aspek
pengembangan kognitif berupa keterampilan akademik (membaca dan
matematika) dan keterampilan berfikir (kemampuan memecahkan masalah),
sementara pengembangan aspek sosial interpersonal memungkinkan individu
dapat bekerja dan hidup dalam kelompok secara kreatif, inisiatif, dan empati.

Pembentukan diri dilakukan di rumah dan sekolah. Sekolah menurut


Nazwar (dalam Indrawati 2009) sebagai tempat mendidik memiliki tugas dalam
memberikan bekal kepada peserta didik agar potensinya berkembang, wajar,
optimal dan bersifat adaptif dalam menghadapi berbagai permasalahan. Sekolah

9
juga harus terus melaksanakan berbagai upaya dalam mewujudkan pendidikan
yang berkualitas, melalui pengembangan pengajaran, penyediaan sarana
pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru
dan tenaga kependidikan lainnya. sehingga sekolah dapat membentuk manusia
yang mampu menghadapi masa depan dengan kreatif. Menurut Henderson (1959)
bahwa pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan,
sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial, lingkungan fisik dan
berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.

Pendidikan di Indonesia dicanangkan dalam program wajib belajar 9 tahun


yakni sekolah dasar 6 tahun dengan rentang usia 7 sampai 12 tahun dilanjutkan
dengan sekolah menengah pertama 3 tahun dengan rentang usia 13 sampai 15
tahun. Program pemerintah berikutnya adalah mencanangkan wajib belajar 12
tahun yakni dengan menambahkan 3 tahun di sekolah menengah atas dengan
rentang usia 16 sampai 18 tahun. Pemerintah meluncurkan program sekolah gratis
dengan harapan seluruh anak di Indonesia dapat menggunakan haknya dalam
pendidikan, karena melalui pendidikan, kualitas sumber daya manusia Indonesia
diharapkan dapat meningkat. Dalam PP No 19/2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 Tentang Standar Proses
Pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik.

Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan,


penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang
dilakukan antara siswa dengan pendidik sudah harus meninggalkan cara-cara dan
model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara
efektif dan efisien. Sekolah Dasar atau Elementary School adalah jenjang
pendidikan dasar pendidikan formal di Indonesia setelah Taman Kanak-kanak.

10
Jenjang pendidikan ini berada dibawah pengawasan Direktur Jenderal Pendidikan
Dasar Departemen Pendidikan Nasional. Sekolah Dasar yang selanjutnya
disingkat dengan SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang
penyelenggaraan serta pengelolaannya dikelola oleh pihak pemerintah yang
kemudian sekolah ini disebut sebagai sekolah negeri sementara yang dikelola oleh
pihak swasta melalui sebuah yayasan pendidikan disebut sekolah swasta, baik
yang berbasis agama maupun sekolah umum. Sekolah memiliki keunikan masing-
masing dalam merancang program dan metode pembelajaran, meski secara
keseluruhan sekolah menggunakan kurikulum dari Departemen Pendidikan
Nasional, namun pengembangan kegiatan diserahkan kepada masing-masing
sekolah untuk membuat dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang dapat
membangun pengetahuan, kecerdasan serta kreativitas anak didiknya. Menurut
Dewey, kurikulum di sekolah harus mencerminkan perkembangan manusia dalam
masyarakat yang dibarengi dengan praktek-praktek kegiatan langsung di kelas.
Dilihat dari kurikulum, kegiatan belajar mengajar, sistem penilaian, metode
pengajaran, dan manajemen sekolah maka empat sekolah terpilih dalam penelitian
ini, dibagi menjadi dua tipe sekolah yakni dua sekolah masuk dalam kategori
sekolah konvensional dan dua sekolah masuk dalam kategori sekolah progresif.

3. Sekolah

Kamrani (dalam Syafrudin 2008) menyatakan bahwa “Pendidikan


keluarga betul-betul menjadi basis bagi pendidikan di sekolah dan masyarakat,
sehingga sekolah dan masyarakat hanyalah bagian pelimpahan dan
tanggungjawab sebuah keluarga”. Meskipun orang tua memberi pengaruh utama
dan sumber daya utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, namun orang
tua bukan satusatunya pengaruh yang membentuk perilaku anak. Pengaruh
lingkungan seperti teman sebaya, tetangga, media massa serta sekolah juga
merupakan tempat yang akan mendukung pembentukan diri anak. Sekolah adalah
lembaga yang diberi kepercayaan oleh orang tua untuk mengembangkan potensi

11
anak. Sekolah diharapkan memberi pendidikan dan pengajaran yang diperlukan
oleh anak sebagai bekal dikemudian hari.

Menurut Bandura (1997) lingkungan sekolah yang baik mendorong


pertumbuhan psikologis dan memberikan kontribusi pada kualitas hidup. Dengan
demikian sekolah selain tempat mendidik, mengajar juga memiliki tanggungjawab
untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas seperti memberikan kenyamanan,
keamanan, kebebasan dan pemerataan pengetahuan bagi siswanya serta melatih
anak menjadi kreatif dan mandiri agar siap menghadapi semua perubahan di masa
depan. Lingkungan sekolah sebagai tempat dimana anak belajar banyak hal,
termasuk bagaimana anak mendapatkan dan membangun pengalaman
pengetahuannya. Dave (1963) mendefinisikan lingkungan pendidikan sebagai
"kondisi, proses dan rangsangan psikologis" yang mempengaruhi pencapaian
pendidikan anak. Pentingnya lingkungan sekolah, menurut Bandura (1997) karena
sekolah adalah tempat dimana anak mengembangkan kompetensi kognitif dan
mengakuisisi pengetahuan serta keterampilan dalam memecahkan masalah agar
dapat berpartisipasi secara efektif dimasyarakat dan selalu berlandaskan pada
tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa ”Pendidikan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.

Guru merupakan pendidik yang memiliki tugas utama mendidik,


mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan membentuk watak serta
kepribadian anak di sekolah. Guru memegang peran penting dalam menyiapkan
anak-anak menuju masa depan dengan kemandirian, kecakapan hidup,
ketangguhan dalam menghadapi berbagai masalah dengan kreatif. Guru akan
mentransfer semua keilmuannya termasuk kreativitas dalam memecahkan
masalah, karena dari guru yang kreatif akan memungkinkan tumbuh siswa yang
kreatif, pendapat tersebut sejalan dengan beberapa hasil penelitian mengenai

12
kreativitas (Evita Adnan 1995; Cropley 2001; Wijaya 1991), sikap guru dan
prestasi belajar anak menunjukkan kebermaknaan antara kreativitas guru dengan
prestasi belajar siswa sekolah dasar. Guru yang kreatif memiliki ciri-ciri perilaku
kreatif (Munandar 1999) antara lain: memiliki rasa ingin tahu, mau bekerja keras,
berani, memaksimalkan kemampuan intelektualnya, mandiri, dinamis, penuh
inovasi/gagasan dan daya cipta, bersedia menerima informasi, menghubungkan
ide dan pengalaman yang diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda, serta
cenderung menampilkan berbagai alternatif terhadap subyek tertentu.

Guru yang kreatif akan memprioritaskan metode dan teknik yang


mendukung berkembangnya kreativitas seperti keterampilan dalam merancang
pembelajaran, membuat pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbuka,
membuat pembelajaran yang dapat melibatkan keaktifan siswa, mengembangkan
sikap kerjasama antar siswa serta memiliki kemampuan menganalisa jawaban-
jawaban siswa dan mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia
untuk dimanfaatkan siswa dalam belajar. Namun kreativitas guru masih menjadi
salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia yakni rendahnya
kreativitas guru, sementara kreativitas guru dalam proses belajar mengajar
mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu hasil belajar siswa dan
menciptakan siswa yang kreatif (Wijaya 1991).

Kurikulum dan penciptaan pembelajaran yang active learning


memungkinkan pengembangan sikap dan perilaku kreatif anak, seperti
memberikan kebebasan pada anak untuk mengerjakan tugasnya sendiri,
memecahkan masalah, belajar secara berkelompok. Beberapa peneliti telah
membuat taksonomi belajar mengajar yang kreatif. Salah satunya yang banyak
diterapkan dalam kurikulum regular di Indonesia adalah taksonomi Bloom.
Taksonomi Bloom dalam ranah kognitif mencakup enam tingkat pemikiran, mulai
dari pengenalan sampai dengan proses pemikiran tertinggi (analisis, sintesis dan
evaluasi). Taksonomi Bloom digunakan sebagai cara untuk mengembangkan dan
mengevaluasi pertanyaan. Guru dapat menyusun kegiatan dengan memasukan
beberapa tingkat dalam setiap kegiatan yang disesuaikan dengan kemampuan dan

13
waktu konsentrasi anak. Guru juga dapat memilih metode pembelajaran yang
dapat mengaktifkan siswa di kelas seperti metode ekspositori, inkuiri, berbasis
masalah, peningkatan, kontekstual, kooperatif, PAIKEM, tanya jawab,
demostrasi, penemuan, karya wisata, diskusi, sosio drama, kerja kelompok,
latihan, dimana metode-metode tersebut dapat memunculkan kompetensi siswa
dalam empat hal yaitu critical thingking, creatif/inovatif, collabpration dan
Communication.

Metode pembelajaran seperti ini yang menurut NAEYC (National


Association for the Education of Young Children) merupakan pendidikan yang
patut sesuai dengan tahapan perkembangan anak yang memungkinkan
pengetahuan (Knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions) dan
perasaan (feelings) bekerja dengan baik (Megawangi 2010). Fasilitas juga dapat
mempengaruhi kreativitas anak, membantu pelaksanaan tugas di sekolah,
membantu kegiatan belajar anak, menurut Arter (1998) fasilitas juga mendukung
kelengkapan sumber dan kenyamanan lingkungan. Lingkungan fisik berupa
barang, sarana dan prasarana serta kelengkapan sumber belajar akan
mempengaruhi upaya peningkatan hasil belajar siswa. Belajar yang baik menurut
Gie (2002) hendaknya didukung oleh ketersediaan fasilitas belajar yang memadai
seperti: tempat belajar, alat tulis, buku-buku, penerangan yang cukup dan
kelengkapan peralatan praktek, perpustakaan, lapangan olahraga, ruang-ruang
praktek (ruang bahasa, ruang komputer, ruang kearsipan, ruang kegiatan ekstra
kurikuler dan sebagainya). Pendekatan yang telah digunakan dibeberapa
penelitian yang berhubungan dengan lingkungan sekolah, salah satunya adalah
pendekatan dimensi yang dikembangkan oleh Moos & Trickett (1974) dan Moos
(1979) yakni School Environment Scale (SES) atau skala lingkungan sekolah,
Classroom Environment Scale (CES) atau skala lingkungan kelas serta
pendekatan yang dikembangkan oleh Frasser (1990) yaitu Individual Classroom
Environment Questionare (ICEQ) atau kuesioner individu skala lingkungan kelas
yang menjadi landasan penelitian ini. Pendekatan ini terbagi menjadi 3 dimensi
yakni: dimensi hubungan (relationship), dimensi pertumbuhan pribadi (personal
growth) dan dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance).

14
Dimensi hubungan guru-siswa (relationship) adalah keterlibatan guru
dengan siswa yang saling mendukung dan membantu, serta mengekspresikan
kemampuan mereka secara bebas terbuka. Moos mengatakan bahwa dimensi ini
mencakup aspek afektif dari interaksi antara guru dengan anak didik. Skala yang
termasuk dalam dimensi ini diantaranya adalah: (a) interaksi hubungan gurusiswa
yakni timbal balik positif yang bersifat edukatif yang tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah disepakati bersama secara
efektif. Dimensi hubungan termasuk bagaimana hubungan antar siswa yang baik,
saling mengenal, bekerjasama, berartisipasi dalam kegiatankegiatan dan aktif
dalam memberikan pendapat; (b) dukungan guru, seperti guru memberikan
bantuan, mendorong siswa untuk menemukan ide-ide baru, memuji hasil karya
siswa dan memberikan rasa nyaman terutama ketika siswa mengalami kesulitan;
(c) kerjasama adalah keinginan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain
secara kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok melalui kegiatan berdiskusi,
mendiskusikan ide-ide kegiatan dan saling memberi semangat.

Dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth) adalah dimensi yang


berorientasi pada tujuan, dimensi ini membicarakan tujuan utama sekolah dalam
mendukung pertumbuhan atau perkembangan pribadi dan motivasi guru dalam
mendukung tumbuh dan kembang kreativitas anak. Yang termasuk dalam dimensi
ini antara lain : (a) kemandirian, yakni bentuk kepribadian yang terbebas dari
sikap ketergantungan, yang bukan sebagai pribadi yang tanpa sosialisasi
melainkan sebagai suatu kemandirian yang terarah melalui pengaruh lingkungan
(orang tua/pendidik) yang positif, seperti guru mendorong siswa untuk berpikir
sendiri dan guru memberi kebebasan pada siswa untuk membuat keputusan
sendiri; (b) orientasi pada tugas, seperti mengetahui langkah-langkah dalam
menyelesaikan tugas baik sendiri maupun berkelompok serta berusaha
menyelesaikannya; (c) berani mengambil resiko adalah berani memulai sesuatu
yang serba tidak pasti dan penuh resiko, seperti berani mencoba melakukan
sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya dan menemukan masalah
meskipun dengan hal yang berbeda. Dimensi manajemen kelas (class
management) membicarakan sejauh mana lingkungan sekolah mendukung

15
harapan, memperbaiki kontrol dan merespon perubahan melalui peraturan dan
pengaturan kelas. Skala-skala lingkungan sekolah yang termasuk dalam dimensi
ini antara lain : (a) organisasi kelas adalah suatu pola hubungan siswa di bawah
pengarahan guru untuk mengejar tujuan bersama, seperti mengatur ruang kelas
sehingga kelas dapat menjadi tempat untuk mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman belajar; (b) peraturan yakni sesuatu yang disepakati dan mengikat
sekelompok orang/lembaga dalam rangka mencapai suatu tujuan dalam hidup
bersama, seperti membuat peraturan kelas bersama dan mematuhinya.

B. Hubungan antara Kreativitas dan Pendidikan

Pembahasan kreativitas sebenarnya telah dilakukan sejak Plato (Cropley,


2004) dan ditemukan dalam bahasa Yunani, Yuda, Kristen dan tradisi Muslim,
(Craft, 2001) hingga samapai pada kepentingan kebijakanpeluncuran satelit,
"Sputnik 1", oleh Uni Soviet pada tahun 1957. Kegagalan yang diakui para
insinyur dari Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya dikaitkan
kurangnya kreativitas mereka yang menyebabkan Pertahanan Nasional Undang-
Undang Pendidikan (AS) untuk menerima konsep yang penting bagi
kesejahteraandan kelangsungan hidup masyarakat (Esquivel, 1995). Sejak itu ada
beberapa gerakan masif kreativitas dalam pendidikan (Wilson, 2005). Studi
terbaru tentang kreativitas, dimulai pada akhir 90-an (Jeffrey, 2005) dan sejak itu
berkembang (Turner-Bisset, 2007) di seluruh dunia, termasuk negara-negara
seperti USA and UK (Shallcross, 1981; Feldman dkk, 2006). Kebijakan- pembuat
telah menunjukkan antusiasme yang lebih berkelanjutan daripada
sebelumnya(Craft, 2006), yang telah menambah popularitasnya sebagai topik
debat (Dickhut, 2003) memindahkannya dari bahasan yang remeh temeh dalam
pendidikanmenjadi aspek inti pendidikan(Craft, 2005). Memupuk kreativitas
dalam pendidikan dimaksudkan untuk mengatasi banyak hal kekhawatiran tentang
cepatnya perubahan dunia. Terdapat semacam ambigu dalam hal ini, mengatasi
dunia yang cepat berubah dan menghadapi masa depan yang tidak pasti
(Parkhurst, 1999). Mungkin yang paling dominan argumen saat ini untuk

16
kebijakan adalah kebijakan ekonomi. Peran dari kreativitas dalam ekonomi
dipandang sebagai hal penting (Burnard, 2006) untuk membantu negara-negara
untuk mencapai pekerjaan yang lebih tinggi, ekonomi prestatif (Davies, 2002) dan
untuk mengatasi peningkatan kompetisi. Karena alasan inilah kreativitas tidak
bisa menjadi "ignored atau ditekan melalui sekolah "(Poole, 1980) atau
pembangunan dibiarkan menjadi "kesempatan dan mitologi" (NESTA, 2002).
Kreativitas menjadi subjek inklusi dalam pendidikan sebagai keterampilan hidup
mendasar(Craft, 1999) yang perlu dikembangkan untuk mempersiapkan generasi
mendatang (Parkhurst, 1999) sehingga mereka dapat bertahan hidup juga
berkembang di abad kedua puluh satu (Parkhurst, 2006). Mengembangkan
kreativitas anak-anak dalam pendidikan adalah mulai dari membangun modalitas
individu di mana, menurut Adam Smith bergantung pada "Kekayaan bangsa
(Walberg, 1988).

Pendidikan adalah proses yang senantiasa berjalan dalam kehidupan


manusia. Demikian halnya kreativitas merupakan proses yang jika dijalankan
dengan benar maka akan menghasilkan sesuatu yang sangat berharga. Wallas
(1926), dalam Solso (2008) menjelaskan ada empat tahapan dalam proses kreatif,
yaitu: Persiapan, inkubasi, iluminasi dan verifikasi.Pada tahap pertama, seseorang
mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan belajar berpikir, mencari
jawaban, bertanya kepada orang lain, dan sebagainya.Pada tahap kedua, kegiatan
mencari dan menghimpun data/informasi tidak dilanjutkan. Tahap inkubasi adalah
tahap di mana individu seakan – akan melepaskan diri untuk sementara dari
masalah tersebut, dalam arti bahwa ia tidak memikirkan masalahnya secara sadar,
tetapi “mengeramnya” dalam alam pra -sadar. Sebagaimana terlihat dari analisis
biografi maupun dari laporan tokoh seniman dan ilmuwan, tahap ini penting
artinya dalam proses timbulnya inspirasi yang merupakan titik mula dari suatu
penemuan atau kreasi baru berasal dari daerah pra – sadar. Sebagaimana terlihat
dari analisis biografi maupun dari laporan tokoh seniman dan ilmuwan, tahap ini
penting artinya dalam proses timbulnya inspirasi yang merupakan titik mula dari
suatu penemuan atau kreasi baru berasal dari daerah pra-sadar atau timbul dalam
keadaan ketidaksadaran penuh.Tahap ilumunasi adalah tahap timbulnya “insight”

17
atau “Aha – Erlebnis”, saat timbulnya inspirasi atau gangguan baru, beserta proses
– proses psikologi yang mengawali dan mengikuti munculnya inspirasi atau
gagasan baru.Tahap verifikasi atau evaluasi adalah tahap di mana ide atau kreasi
baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Disini diperlukan pemikiran kritis dan
konvergen. Dengan perkataan lain, proses divergensi (pemikiran kreatif) harus
diikuti oleh proses konvergensi (pemikiran kritis).

Keterkaitan antara kreativitas terhadap prestasi akademik, Yaghoob Nami,


Hossein Marsooli, dan Maral Ashouri (2014) dalam penelitiannya menemukan
adanya korelasi positif yang sangat signifikan antara kreativitas dengan prestasi
akademik, dimana pada subjek yang diteliti ditemuka kesimpulan bahwa presstai
akademik banyak dimiliki oleh subjek yang memiliki kreativitas tinggi. Meskipun
mereka menyarankan untuk melakukan penelitian pada subjek pada ruang dan
waktu yang berbeda mengingat banyak faktor yang menyebabkan bisa saja
menjadikan data berbeda.

C. Menuju Sekolah Kreatif

1. Sekolah Konvensional

Sekolah konvensional adalah sekolah yang memiliki metode pendidikan


dengan cara-cara lama (Megawangi et al. 2010). Menurut Dewey 1997; Weng
2000; Chandler 1998; kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah
konvensional bersifat satu arah, artinya selama proses belajar mengajar
berlangsung siswa bersikap pasif (mendengarkan) sementara guru yang aktif
(mengajar). Magnesen (dalam DePorter et al. 2007) menyatakan bahwa jika pada
proses belajar mengajar, siswa hanya mendengarkan saja maka sebenarnya siswa
hanya mampu menyerap 20 persen materi yang diberikan oleh guru. Konsep
belajar sekolah konvensional adalah siswa belajar dengan cara mengingat atau
menghafal tanpa memahami makna akan apa yang dihafalkan tersebut.

Menurut Bloom, proses mengingat atau menghafal berada pada lapisan


berpikir yang paling bawah dari taksonomi Bloom (Megawangi et al. 2010).

18
Pembelajaran, pemberian tugas, hafalan/drilling dan pekerjaan rumah lebih
berorientasi untuk mendapatkan nilai dan lulus ujian nasional. Materi
pembelajaran tidak terintegrasi antar satu pelajaran dengan pelajaran lainnya
sehingga materi yang diberikan tidak mendalam. Tidak terintegrasinya
pembelajaran menurut Megawangi menjadikan siswa tidak dapat melihat
keterkaitan materi satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya bahkan
siswa tidak mengerti apa relevansinya dengan kehidupan nyata. Penilaian atas
hasil kerja anak diberikan dalam bentuk angka, laporan perkembangan anak
diberikan dalam bentuk rangking. Pajangan hasil kerja anak sebagai sebuah
penghargaan dan prestasi sangat sedikit sekali dipajangkan bahkan jika adapun
bukan yang up to date.

2. Sekolah Progresif

Sekolah progresif, menurut Hadisusanto (dalam Sudiono 2008) adalah


sekolah yang memiliki prinsip memberikan kebebasan pada anak untuk dapat
berkembang secara wajar, menemukan pengalaman secara langsung sehingga
dapat merangsang minat belajar anak. Pembelajaran pada sekolah progresif
berorientasi pada proses dan kegiatan yang berpusat pada anak. Kegiatan
pembelajaran di sekolah progresif dilakukan dengan cara praktek langsung,
sehingga siswa mendapatkan pengetahuannnya secara langsung dan menemukan
masalah serta mengatasi masalah secara langsung.

Kegiatan pembelajaran diberikan untuk dapat mengajarkan bagaimana


siswa dapat mengatasi masalah dengan berbagai cara menyelesaikannya. Kegiatan
dilakukan baik sendiri maupun berkelompok. Tipe sekolah ini pada hakekatnya
mengajarkan kepada pendidik dan penyelenggara pendidikan untuk mendidik
bagaimana berpikir kritis, sistematis, ilmiah dan mampu menguji kebenaran dalam
ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah. Guru menjadi pembimbing kegiatan
belajar atau fasilitator dalam membangun pengetahuan anak dengan konsep dan
pertanyaan-pertanyaan yang harus diselidiki. Penilaian diberikan dalam bentuk
narasi dan tidak ada pemberian rangking kelas. Secara lebih lengkap perbedaan

19
antara dua tipe sekolah tersebut menurut Dewey (1997) dan Chandler (1998)
disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan sekolah konvensional dan sekolah progresif

Sekolah Konvensional Sekolah Progresif


Kegiatan belajar berpusat pada guru Kegiatan belajar berpusat pada anak
Jumlah siswa per kelas lebih besar Jumlah siswa per kelas lebih kecil
Kurikulum terpisah (mata pelajaran diajarkan Kurikulum terpadu (mata pelajaran
secaraterpisah) dikaitan dalam tema pelajaran)
Berorientasi pada produk (nilai/ujian Berorientasi pada proses Belajar dengan
Nasional) pengulangan Belajar dengan berbagai
kegiatan
Konsep disajikan sebagai fakta untuk Konsep disajikan sebagai pertanyaan yang
menghafal (pembelajaran dasar) harus diselidiki (pembelajaran mendalam)
Evaluasi kuantitatif (pengujian numerik) Authentic Assessment
Penilaian dalam bentuk angka dan rangking Penilaian dalam bentuk narasi dan tidak
dalam kelas ada rangking dalam kelas

3. Lingkungan sekolah yang kreatif-inovatif

Sekolah inovatif dapat didefinisikan sebagai sekolah yang mampu


meningkatkan dan mendukung siswanya untuk mengembangkan kreativitas yang
pada tujuan akhirnya mampu menghadapi tantangan di sepanjang kehidupannya.
Lingkungan inovatif yang memupuk inovasi berpikir adalah yang memberi
kebebasan dan keamanan sosial dan psikologis kepada para siswa. Hal itu dapat
dicapai dengan mengembangkan hubungan positif antara siswa dan guru dan
memberikan perhatian khusus pada kegiatan ekstra-kurikuler yang dapat

20
mengarah pada inovasi dengan memungkinkan siswa untuk menggunakan
kemampuan mereka dan memungkinkan membebaskan diri dari rutinitas
pengkajian ilmu-ilmu statis, mengekspresikan ide, pengalaman, pengembangan
imajinasi, dan mempromosikan rasa ingin tahu di kalangan peserta didik
(Angeloska, 1996). Lebih lanjut, lingkungan sekolah yang inovatif adalah
lingkungan yang mendorong siswa untuk melakukan diversifikasi jalur mereka
berpikir, ciptakan iklim yang akan membantu mereka menghibur sebanyak
mungkin ide pada saat yang sama bahkan jika ide yang dihasilkan bersifat
kontradiktif dalam proses mengembangkan pemikiran kreatif untuk menciptakan
toleransi dan penerimaan di antara para siswa, mendorong beragam ide,
menstimulasi pikiran siswa dengan pentingnya berpikir kreatif dan membuat
mereka akrab dengannya (Israel, 1995). Cromwell (1993) memandang hal tersebut
sebagi fitur dan sistem terbuka paling penting dari lingkungan sekolah inovatif
yang mengandung fleksibilitas dari proses penemuan, sistem ini tidak dibatasi
oleh hukum untuk membantu mengembangkan keterampilan diri.Temuan
penelitian kualitatif menunjukkan bahwa lingkungan sekolah yang inovatif
mengembangkan kapasitas siswa untuk menjadi kreatif, terbuka untuk penemuan
baru, membuat mereka imajinatif, berani untuk melihat dari perspektif yang
berbeda sementara kurangnya kreativitas menyebabkan ketidakmampuan siswa
untuk mengatasinya dengan tantangan. Menurut Shaughaessy (1991) lingkungan
sekolah yang inovatif adalah iklim sekolah yang membantu siswa bertanya
dengan pertanyaan mungkin dianggap aneh dan menciptakan aspek positif dalam
semua pertanyaan dan ide yang disajikan dan mendorong dan menghargai
kreativitas siswa dan secara teratur mendorong siswa untuk terus memberikan,
memberikan solusi kreatif mereka, dan memberikan penghargaan kepada
kreativitas mereka untuk meningkatkan perilaku inovatif mereka.

Banyak literatur menunjukkan bahwa ada dua faktor motivasi utama untuk
kerja inovatif yaitu kualitas dan orisinalitas (Maadi, 1965) dan diamati bahwa
lingkungan adalah faktor yang mendasari yang berkontribusi kreativitas orang dan
perkembangannya (Pluckier et al., 1994). Inovasi tidak ada secara inheren, ia nya
terletak pada berbagai tingkat di mana lingkungan memainkan peran penting

21
dalam perkembangannya. Inovasi adalah sebuah perilaku yang dapat dipelajari
yang membuat lingkungan sekolah lebih dari faktor-faktor lain dalam
mengembangkan jenis ini berpikir atas dasar bahwa lingkungan sekolah memang
mengadopsi program yang akan mengembangkan pemikiran inovatif dalam Selain
pengembangan kemampuan kreatif siswa (Maker, 1982). Lingkungan sekolah
sebagai arena latihan mengembangkan kreativitas adalah dengan mendidik kerja
tim sekolah, dan membuat siswa akrab dengan pentingnya kreativitas, kegiatan
kreatif, menemukan faktor-faktor anti-kreativitas, meningkatkan kepribadian
produktif mereka, mengaitkan pendidikan dengan kehidupan dalam konten,
metode, mengarahkan pemikiran ke hasil nyata, mengubah pengajaran tradisional
menjadi pengajaran partisipatif, memberikan perhatian khusus pada pemecahan
masalah, memberikan sebuah tingkat tantangan minimum yang tidak bertentangan
dengan keyakinan Islam dan persyaratan modern, memberikan kritik konstruktif,
memberikan pemahaman yang mendalam tentang masalah dan kemampuan
sekolah untuk mengembangkan elemen-elemen mendasar dalam kenyataan. Ada
sejumlah praktik yang memperbaiki lingkungan sekolah untuk mencapai
perkembangan inovasi di antara para siswa yaitu; diskusi kelompok di ruang
kelas, belajar proses kemandirian di dunia pendidikan, laboratorium ilmiah
khusus, guru harus diizinkan untuk bebas di kelas, mendorong siswa untuk
mengajukan pertanyaan dan memberi mereka kesempatan untuk melatih kritik
konstruktif, bermanfaat tanggapan dan produk baru yang ditambahkan ke isi
kursus, berikan perhatian pada pertanyaan esai, atau setidaknya mencapai
keseimbangan antara pertanyaan obyektif dan esai.

Alfuhaigi (2015) dalam jurnal ilmiahnya untuk pengembangan kreativitas


dan keunggulan di tingkat sekolah harus ada komponen-komponen berikut:

1. Siswa dan perilaku inovatif: Dengan mempelajari faktor kreativitas siswa,


dapat disimpulkan bahwa, ada sebuah hubungan antara kreativitas dan
keturunan dan hubungan antara kreativitas dan kecerdasan yang menentukan
pengembangan atribut dan keterampilan siswa yang mampu berinovasi.

22
2. Inovatif guru: Tidak ada keraguan bahwa guru adalah salah satu elemen
paling penting dari proses pendidikan. Seorang guru harus memastikan
bahwa informasi dan ide yang disampaikan kepada siswa adalah benar dan
orisinal sehingga mereka dapat berpikir lebih baik daripada guru itu sendiri,
jadi guru perlu diberikan hal baru informasi dan memperoleh keterampilan
baru agar dapat melakukan proses pengajaran, para guru diharapkan
berprestasi dan inovator yang lebih tinggi.
3. Program dan Kurikulum: program dan kurikulum sangat penting dalam
mengembangkan kreativitas siswa dan memperdalam kesadaran siswa
sejalan dengan waktu modern yang kita tempati.
4. Manajemen sekolah: Administrasi sekolah harus efektif dan mampu
menangani pengetahuan baru global dan lokal berdasarkan pemikiran yang
tercerahkan dan metode demokratis dan memberi kesempatan dan
kebebasan untuk mendorong inovasi dan menghargai inovasi.
5. Bangunan sekolah: sekolah yang kaya dalam hal pembelajaran, fasilitas
modern, laboratorium, informasi teknologi komunikasi, workshop, ruang
teater, olahraga adalah sekolah yang mampu memberikan hal positif
lingkungan secara kreatif untuk mempersiapkan siswa tingkat kinerja yang
sangat baik.

Faktor-faktor yang mengarah pada pengembangan lingkungan sekolah


kreatif yang paling menonjol (Alfuigi, 2015) adalah:Iklim sekolah yang menerima
ide-ide baru, memberikan setiap kesempatan siswa untuk membuktikan dirinya
sendiri, mendorong dan memotivasi siswa untuk menemukan iklim yang sangat
baik untuk kreativitas, memberi siswa kesempatan dari jejak dan kesalahan untuk
melihat terulangnya ide-ide baru, memperkuat delegasi otoritas di antara para
siswa, Menerima pemikiran kolektif di antara para siswa, membawa siswa ke
metodologi pemikiran ilmiah, membiasakan siswa untuk imajinasi dan
kemampuan untuk mengamati.

Sementara itu Krlyn Adam (2005) memberikan saran dan rekomendasi


untuk dunia pendidikan kaitannya menciptakan iklim kreativitas, yaitu: 1.

23
Rancang kurikulum pendidikan yang mempromosikan ketiga komponen "sukses
kecerdasan”: Sebagaimana dijelaskan Sternberg, model pendidikan saat ini
umumnya mendukungpengembangan satu jenis pemikiran analitis. Ini perlu
diseimbangkan dengan fokus pada aspek sintetis, analitis dan praktis dari
kecerdasan yang sukses, terutama sebagai kombinasi dari tiga hasil dalam
kreativitas. Penggunaan latihan berpikir divergen, tantangan terbuka seperti yang
diajukan oleh program PBL dan alat berpikir yang diusulkan oleh organisasi
seperti Pusat Pembelajaran Kreatif semua dapat memainkan peran dalam
pengembangan aspek kreatif yang sukses. 2. Promosikan Keputusan untuk
Menjadi Kreatif dan Proses Meta-Kognisi Kreatif: Mengikuti saran Sternberg
bahwa salah satu atribut yang konsisten di antaraorang yang berhasil kreatif ada
keputusan eksplisit untuk mengejar jalur kreatif, program pendidikan tidak hanya
bertujuan untuk meningkatkan kreativitas siswa, tetapi harus juga langsung
mengajarkan siswa tentang bidang kreativitas itu sendiri sehingga mereka
memperoleh kesadaran eksplisit tentang potensi kreatif mereka sendiri, serta dan
pemahaman tentang metode peningkatan. Dengan pengetahuan ini, mereka berdua
bisa memberi informasi keputusan untuk mengejar aktivitas kreatif dan pada saat
yang sama, kontrol dan pengarahan yang lebih baik pengembangan kemampuan
mereka. Ini meta-kognisi dari proses kreatif seharusnya juga melibatkan
kesadaran eksplisit dari keterampilan praktis yang terlibat dalam kreativitas
seperti proses mengelola emosi seseorang, kemampuan seseorang untuk bertahan
dalam menghadapi tantangan, mengumpulkan sumber daya kognitif, mempelajari
kekuatan dan kelemahan seseorang serta mengelola waktu mengalokasikannya
untuk pengajaran kreatif. Keterampilan dalam hal tersebut dapat dan harus
didiskusikan secara eksplisit di kelas. 3. Membina lingkungan kelas dan
pendekatan pedagogis yang kondusif terhadap motivasi intrinsik: Bantulah siswa
menemukan gairah mereka dan lindungi mereka daridampak yang berpotensi
merusak dari penghargaan, motivasi ekstrinsik dan pengalaman kegagalan. Upaya
untuk membantu siswa mengembangkan gairah juga harus melibatkan promosi
kepercayaan diri, ketekunan dan pengambilan risiko. Jika perlu, izinkan siswa
untuk mendefinisikan masalah mereka sendiri dan melakukan penilaian sendiri

24
atas upaya mereka dan hasil, daripada selalu memiliki pekerjaan yang ditentukan
dan dievaluasi oleh guru. Kita seringmerasakan rasa ingin tahu siswa, motivasi
dan kreativitas yang tertahan oleh lingkungan pendidikan. Pemahaman yang lebih
dalam tentang bagaimana dan mengapa ini terjadi dan cara untuk memperbaikinya
diperlukan. 4. Meningkatkan penggunaan masalah dan pembelajaran berbasis
proyek di kelas: Dieksekusi dengan benar, program PBL (Practice Based
Learning) telah menunjukkan janji yang signifikan untuk meningkatkan berbagai
kemampuan berpikir, termasuk berpikir kreatif dan membantu menghubungkan
pendidikan untuk pengalaman kehidupan nyata yang relevan, tidak jelas. Koneksi
ini sangat penting untuk terlibat siswa dan meningkatkan motivasi, serta
membantu mengembangkan keterampilan berpikir penting untuk "intelijen yang
sukses" sebagaimana didefinisikan oleh Sternberg. Ulasan yang lebih dalam dari
beberapa program PBL yang lebih dihormati serta prinsip PBL yang efektif dan
dampaknya pada kreativitas akan menjadi kunci untuk memahami cara terbaik
untuk menerapkan rekomendasi ini. Semakin erat kaitan proyek-proyek ini
dengan kehidupan nyata siswa dan lingkungan menjadi lebih berarti. 5. Sejajarkan
kembali sistem pengujian berisiko tinggi untuk mencerminkan kebutuhan untuk
fokus pada kreativitas: Memukul keseimbangan yang tepat antara memastikan
bahwa ruang kelas fokus pada keterampilan dasar, tetapi bahwa guru masih
memiliki waktu dan otonomi untuk berbagai kegiatan sehingga pengujian
keterampilan ini tidak mengesampingkan pengejaran kreatif. Pada saat yang sama,
jika apa akan diuji adalah apa yang diajarkan, memastikan bahwa sekolah
memiliki tanggung jawab untuk kreativitas mereka untuk kinerja dalam
keterampilan dasar. Sementara berbagai tes untuk kreatif berpikir ada, metode
yang paling tepat untuk menilai kreativitas adalah meninjau hasil kreatif itu
sendiri. Portofolio, demonstrasi dan pameran siswa kerja adalah metode yang
cocok untuk memastikan bahwa proyek-proyek kreatif dimasukkan ke dalamnya
mengajar dan belajar. 6. Promosikan integrasi kursus kewirausahaan ke dalam
kurikulum K-12 (K-13): Kursus-kursus ini mungkin paling sesuai di tingkat SMP
dan SMA dan harus berbasis proyek atau berorientasi aksi dan pengalaman. Satu
tujuan kursus semacam itu harus membantu siswa menemukan apakah wirausaha

25
itu benar untuk mereka. 7. Integrasi lebih lanjut permainan dan mainkan ke dalam
pendidikan: Seperti yang didiskusikan oleh Daniel Pink, bermain memiliki peran
sentral dalam proses kreatif. Selain itu, faktor kenikmatan terlibat dalam
permainan memiliki potensi untuk meningkatkan motivasi dan minat di antara
siswa, dengan demikian membuka pintu untuk aliran dan kreativitas. 8.
Tingkatkan penggunaan pembelajaran interdisipliner: Pelajaran yang menjangkau
banyak subjekarea akan membiasakan siswa dengan konsep tautan yang terpisah
konsep atau disiplin untuk menemukan ide-ide baru di persimpangan bidang.
Terutama di kelas atas, memiliki siswa bekerja dalam tim di mana beragam bakat,
minat dan gaya berpikir diwakili akan menawarkan latihan dalam dinamika
kelompok yang memimpin untuk inovasi organisasi. 9. Tingkatkan konseling
karir dan peluang untuk eksplorasi karier: Yang terbesarpotensi keberhasilan
kreatif akan terletak di antara siswa yang menemukan semangat dan menyelam
mereka ke dalamnya di awal kehidupan. Implikasi potensial dari sudut pandang
ini adalah bahwa pendidikan sistem harus memberikan fokus yang lebih besar
untuk membantu siswa mengidentifikasi bidang minat - daerah di mana mereka
dapat mencapai keadaan aliran yang mengarah ke pertumbuhan keterampilan dan
kepercayaan diri, negara-negara di mana kreativitas berkembang.

26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dunia yang terus berkembang berakibat pada perubahan yang
cepat di berbagai sektor kehidupan. Untuk terus mempertahankan
kelestarian hidup dan eksistensinya manusia dituntut memiliki kreatifitas.
Kreatifitas menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk kompetensi yang
harus dimiliki individu saat ini. Kreativitas dapat dibentuk dalam tiga
ranah sosial kehidupan manusia. Ketiga ranah tersebut adalah keluarga,
sekolah dan masyarakat. Makalah fokus pada pembahasan yang kedua,
dimana lingkungan sekolah selayaknya menjadi tempat siswa menciptakan
dan mengembangkan daya kreativitasnya, mengingat pada saat seseorang
masuk pada lingkungan seluruh aspek psikologis mengalami
perkembangan pesat, baik kemampuan intelegnsi dan kemampuan emosi,
termasuk didalamnya kreatifitas. Seiring dengan pesatnya perubahan dunia
terutama karena pengaruh revolusi pada bidang tehnologi dan komunikasi,
maka dunia pendidikan sudah selayaknya mengikuti cepatnya
perkembangan tersebut.
Sekolah, dalam kaitannya dengan menciptakan output siswa yang
yang kompeten dengan daya kreatifitas tinggi. Sekolah harus membuka
diri terhadap perkembangan baik dalam kurikulum, metode dan tehnik

27
mengajar maupun cara-cara memberikan pembimbingan terhadap peserta
didik. Sekolah selayaknya menjadi progresif dan tidak lagi fokus pada cara
cara lama (konvensional). Iklim sekolah harus lebih fokus pada
keterbukaan dengan menerima ide-ide baru, memberikan setiap
kesempatan siswa untuk membuktikan dirinya sendiri, mendorong dan
memotivasi siswa untuk menemukan iklim yang sangat baik untuk
kreativitas, memberi siswa kesempatan dari jejak dan kesalahan untuk
melihat terulangnya ide-ide baru, memperkuat delegasi otoritas di antara
para siswa, Menerima pemikiran kolektif di antara para siswa, membawa
siswa ke metodologi pemikiran ilmiah, membiasakan siswa untuk
imajinasi dan kemampuan untuk mengamati.
Lingkungan inovatif yang memupuk inovasi berpikir adalah yang
memberi kebebasan dan keamanan sosial dan psikologis kepada para
siswa. Hal itu dapat dicapai dengan mengembangkan hubungan positif
antara siswa dan guru dan memberikan perhatian khusus pada kegiatan
ekstra-kurikuler yang dapat mengarah pada inovasi dengan memungkinkan
siswa untuk menggunakan kemampuan mereka dan memungkinkan
membebaskan diri dari rutinitas pengkajian ilmu-ilmu statis,
mengekspresikan ide, pengalaman, pengembangan imajinasi, dan
mempromosikan rasa ingin tahu di kalangan peserta didik.lingkungan
sekolah yang inovatif adalah lingkungan yang mendorong siswa untuk
melakukan diversifikasi jalur mereka berpikir, ciptakan iklim yang akan
membantu mereka mengelaborasi sebanyak mungkin ide pada saat yang
sama bahkan jika ide yang dihasilkan bersifat kontradiktif dalam proses
mengembangkan pemikiran kreatif untuk menciptakan toleransi dan
penerimaan di antara para siswa, mendorong beragam ide, menstimulasi
pikiran siswa dengan pentingnya berpikir kreatif dan membuat mereka
akrab dengannya.

B. Saran

28
Makalah ini diuraikan sebatas memberikan gambaran idealis
bagaimana seharusnya iklim kreativitas di sekolah sekolah saat ini.
Sumber makalah ini disamping dari berbagai literatur yang kredibel, juga
di sintesa dari berbagai karya dan jurnal penelitian yang berkaitan dengan
sekolah kreatif. Penelitian tersebut dilakukan diberbagai wilayah negara
dan teritorial yang berbeda, sehingga menghasilkan perbedaan dalam hasil
penelitiannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan berbagai pandangan
positif yang ada tentang kreatifitas sekolah tersebut diperlukan penelitian
lebih kanjut untuk dapat menemukan generalisasi hasil penelitian terkait
dengan kreativitas dalam lingkungan sekolah yang dapat dipakai diseluruh
masyarakat dunia. Sekolah sudah seharusnya fokus pada keterbukaan
hubungan guru, siswa dan pihak terkait untuk menciptakan iklim kreatif
disekolah, sehingga sekolah disamping mendewasakan wawasan dari sisi
pengetahuan juga dapat menjadi harapan siswa dan orangtua siswa sebagai
wadah pendewasaan diri untuk menghadapi tantangan riil kehidupan di
dunia nyata.

29
DAFTAR PUSTAKA

Alfuhaigi, Sari Salem. (2015). School Environment and Creativity Development.


Journal of Education and Instructional Studies in The World. Volume:
5 Issue: 2 Article: 05 ISSN: 2146

Fasko, Daniel, Jr. (2001). Education and Creativity. Creativity Research Journal.
Vol. 13, Nos. 3 & 4, 317–32
Jensen, Eric. (2008). Brain-Based Learning: Pembelajaran Berbasis Otak
Paradigma Pengajaran Baru. Penerbit. Jakarta: Pustaka Pelajar

Kwek, S.H. (2011). Innovation in the Classroom: Design Thinking for 21st
Century Learning.
Retrievedfromhttp://www.stanford.edu/group/redlab/cgibin/publicatio
ns_resources

Munandar,Utami. (1999). Kreativitas dan keberbakatan: strategi mewujudkan


potensi kreatif dan bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

Munandar, S.C. Utami. (1993). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak


sekolah: petunjuk bagi para guru dan orang tua. Jakarta: Gramedia
Pustaka utama

Nami, Yaghoob., Marsooli, Hossein., Ashouri, Maral. (2013). The Relationship


Between Creativity and Academic Achievement. Procedia - Social
and Behavioral Sciences 114 (2014) 36 – 39
Shaheen, Robina. (2010). Creativity and Education. Creative Education 2010.
Vol.1, No.3, 166-169

Richardson, A. G. (1988). Classroom learning environment and creative


performance. Some differences among Caribbean territories.
Educational ResearchJournal:, p27-224.

Robert L. Solso, Otto H. Maclin, M. Kimberly Macli.(2009).Psikologi Kognitif.


Jakarta:Penerbit
Erlangga

30
31

Anda mungkin juga menyukai