Anda di halaman 1dari 17

PANDUAN

PENOLAKAN RESUSITASI/DO NOT RESUSCITATE


(DNR)
DI RUMAH SAKIT TEJA HUSADA

JALAN PANGLIMA SUDIRMAN NOMOR 73 KEPANJEN, MALANG

TELP/FAX (0341) 396273. EMAIL: teja.husada@yahoo.com

2019

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... 1

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR ................................................................................ 2

BAB I DEFINISI ......................................................................................................... 4

BAB II RUANG LINGKUP ...........................................................................................6

BAB III TATA LAKSANA ............................................................................................. 10

BAB IV DOKUMENTASI ............................................................................................ 13

BAB V PENUTUP ...................................................................................................... 14

LAMPIRAN .................................................................................................. ............ 15

1
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TEJA HUSADA
NOMOR: 37/PER/DIR/III/2019
TENTANG
PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI
DO NOT RESUSCITATE (DNR)

DIREKTUR RUMAH SAKIT TEJA HUSADA

Menimbang :
a. bahwa rumah sakit bertanggung jawab menyediakan proses yang mendukung
hak-hak pasien dan keluarganya selama dirawat.
b. bahwa Rumah Sakit menghormati keinginan dan pilihan pasien untuk tidak
memberikan pernapasan buatan dan meneruskan atau menghentikan
perawatan yang mempertahankan denyut kehidupan.
c. bahwa agar hak pasien mengenai penolakan resusitasi/Do Not Resuscitate (DNR)
dapat dilaksanakan dengan baik, perlu adanya Peraturan Direktur Rumah Sakit
Teja Husada sebagai landasan.
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a,b dan c,
perlu dengan Peraturan Direktur Rumah Sakit Teja Husada.

Mengingat :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Akreditasi Rumah Sakit.

2
MEMUTUSKAN

Menetapkan :

KESATU : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TEJA HUSADA TENTANG PANDUAN


PENOLAKAN RESUSITASI/DO NOT RESUSCITATE (DNR);

KEDUA : Memberlakukan Panduan Penolakan Resusitasi/Do Not Resuscitate (DNR) di


Rumah Sakit Teja Husada ini sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan ini;

KETIGA : Dimonitor dan dievaluasi oleh bidang pelayanan medik dan keperawatan;

KEEMPAT : Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya dan apabila di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan dalam ketetapan ini akan diadakan
perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Kepanjen-Malang
Pada tanggal 8 Maret 2019
RS Teja Husada
Direktur,

dr. Fajar Nazri, MMRS

Tembusan:
1. Komite Medik
2. Komite Keperawatan
3. Bidang Pelayanan Medik Dan Keperawatan
4. Instalasi Rawat Jalan
5. Instalasi Rawat Inap
6. Instalasi Gawat Darurat
7. Arsip

3
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TEJA HUSADA
NOMOR : 37/PER/DIR/II/2019
TANGGAL : 8 MARET 2019
TENTANG PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI /DO NOT RESUSCITATE (DNR)

PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI/DO NOT RESUSCITATE (DNR)

BAB I
DEFINISI

Resusitasi merupakan segala bentuk usaha medis, yang dilakukan terhadap


mereka yang berada dalam keadaan darurat atau kritis, untuk mencegah kematian.
CPR atau Cardiopulmonary Resuscitate adalah suatu prosedur medis yang
digunakan untuk mengembalikan fungsi jantung (sirkulasi dan pernafasan spontan
pasien bila pasien mengalami kegagalan jantung maupun pernafasan). CPR melibatkan
ventilasi paru (mulut ke mulut atau mulut ke hidung) dan kompresi dingin dada untuk
mempertahankan perfusi ke jaringan organ vital selama dilakukan upaya-upaya untuk
mengembalikan respirasi dan ritme jantung yang spontan.
Rumah Sakit Teja Husada Kepanjen mengedepankan dan menghormati hak-hak
pasien dan keluarga. Untuk itu tindakan CPR ini juga tidak lepas dari persetujuan pasien
dan keluarga setelah diberi penjelasan oleh dokter penanggung jawab pelayanan. Pasien
dan keluarga berhak untuk menolak dilakukannya CPR saat pasien mengalami henti
jantung dan henti nafas (DNR).
DNR atau Do Not Resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat dan
tenaga medis emergensi tidak akan melakukan usaha CPR bila pernafasan maupun
jantung pasien berhenti. Jika pasien mengalami henti jantung dan atau bernafas,
lakukan asesmen segera untuk mengindentifikasi penyebab dan memeriksa posisi
pasien, patensi jalan nafas, dan sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup
dasar maupun lanjutan. DNR tidak berarti semua tata laksana/penanganan aktif
terhadap kondisi pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya

4
terapi intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua
perawatan mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali.
Pasien DNR biasanya sudah memberikan tanda untuk melarang melakukan
resusitasi biasanya terdapat pada baju, di ruang perawatan ataupun di pintu masuk,
sudah ada tanda tulisan “DNR”. Pasien DNR tidak benar-benar mengubah perawatan
medis yang diterima. Pasien masih diperlakukan dengan cara yang sama. Semua ini
berarti bahwa jika tubuh pasien meninggal (berhenti bernapas, atau jantung berhentik
berdetak) tim medis tidak akan melakukan CPR.
Menjadi DNR tidak berarti obat berhenti untuk diberikan. Ketika dokter dan
perawat berhenti berfokus pada pengobatan dan mulai fokus pada tindakan
penghiburan yang disebut Perawatan Paliatif.
Henti Jantung adalah suatu kondisi dimana terjadi kegagalan jantung secara
mendadak untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat. Hal ini disebabkan oleh
fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless electrical activity (PEA). Untuk mendapatkan CPR
yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera mungkin (< 3 menit setelah kejadian henti
jantung. Jika pasien ditemukan tidak bernafas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil
dilatasi maksimal, hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidak perlu dilakukan
tindakan resusitasi.
Tujuan umum panduan ini adalah untuk menyediakan suatu proses dimana
pasien atau keluarga bisa memilih prosedur nyaman dalam hal bantuan hidup oleh
tenaga medis dalam kasus henti jantung atau henti nafas. Tujuan khusus panduan ini
antara lain:
a. Untuk menghormati hak pasien dan keluarga
b. Agar petugas kesehatan (perawat, dokter, tenaga medis emergensi) mengetahui
bahwa pasien tersebut sudah memutuskan DNR sehingga tidak melakukan usaha
CPR bila henti nafas atau henti jantung.

5
BAB II
RUANG LINGKUP

2.1 Pertimbangan Status DNR


DNR diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu:
1. Sudah tidak ada harapan hidup walaupun pasien itu masih sadar, misal pasien
dengan kanker stadium empat parah, jadi rasanya tidak perlu resusitasi.
2. Pasien dengan penyakit kronis dan terminal.
3. Pasien dengan kontra indikasi CPR ataupun pasien yang dicap eutanasia
(dibiarkan mati ataupun suntik mati karena kehidupan yang sudah tidak
terjamin).
4. Kaku mayat.
5. Dekapitasi yaitu suatu tindakan untuk memisahkan kepala janin dari tubuhnya
dengan cara memotong leher janin dapat lahir per vaginam. Dekapitasi
dilakukan pada persalinan yang macet pada letak lintang dan janin sudah
meninggal.
6. Dekomposisi.
7. Lividitas dependen.
8. Jelas trauma kepala atau tubuh yang masif tidak memungkinkan untuk hidup
(pastikan pasien tidak memiliki tanda-tanda vital).

2.2 Prinsip
1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah dibuat
keputusan secara lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi (DNR).
2. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.
3. Komunikasi yang baik sangat penting.
4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti
napas/henti jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis
lakukan jika hal ini terjadi.
5. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan
penyakit pasien, prosedur CPR, dan hasil yang mungkin terjadi.

6
6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada DPJP yang
bertanggung jawab atas pasien. Jika terdapat keraguan dalam mengambil
keputusan, dapat meminta saran dari Ketua Komite Medik.
7. CPR tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:
a. CPR dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan fungsi
pernapasan pasien.
b. Pasien dewasa yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha CPR.
c. Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai pengambilan
keputusan untuk tidak melakukan tindakan CPR.
d. Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan alasan
kuat.
e. Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal/sekarat, dimana
tindakan CPR tidak dapat menunda fase terminal/kondisi sekarat pasien dan
tidak memberikan keuntungan terapeutik (risiko/bahayanya melebihi
keuntungannya).
- Contoh henti jantung/napas yang dialami pasien merupakan kejadian
alamiah akibat penyakit terminal yang diderita. Pada kasus ini, CPR
mungkin dapat mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara
sementara tetap kondisi keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti
jantung/napas akan terjadi kembali, yang merupakan bagian dari proses
alamiah dan tidak dapat terhindarkan dari proses sekarat/kematian
pasien.
- Melakukan CPR pada kasus diatas akan membahayakan/merugikan
pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip ‘do no
harm’
8. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.
9. Pengambilan keputusan DNR harus menjadi langkah terbaik untuk pasien dan
harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara etika
untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani perawatan
paliatif (dimana usaha CPR adalah sia-sia).

7
10. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan tergantung
dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi dapat dilakukan
oleh dokter spesialis, dokter umum, atau perawat yang bertugas. Staf harus
memberitahukan hasil diskusi tersebut dengan pasien kepada Dokter
Penanggung Jawab Pasien (DPJP).
11. Jika pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan
pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien
(yang kompeten secara mental).
12. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam medis
pasien.
13. Di rekam medis, harus tercantum:
a. Tulisan ‘pasien ini tidak dilakukan resusitasi’ atau ‘DNR’.
b. Tulis tanggal dan waktu pengembilan keputusan.
c. Indikasi/alasan tindakan DNR.
d. Batas waktu berlakunya instruksi DNR.
e. Nama dokter penanggung jawab pasien (DPJP).
f. Ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien (yang mengambil
keputusan).
Contoh:
- Tanggal 18 Maret 2010
- Pukul 10.30 WIB
- Tidak dilakukan CPR.
- Indikasi: syok kardiogenik.
- Batas waktu: 24 jam.
14. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi
DNR, misalnya: keganasan fase terminal.
15. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas dimana terdapat
kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah yang
kompeten.
16. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan CPR, penanganan dan tata laksana
pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.
17. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:

8
a. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian/penderitaan
yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi keuntungan
dilakukannya terapi.
b. Pasien yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha CPR.
c. CPR bertentangan dengan keputusan dini/awal yang dibuat oleh pasien,
yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan untuk
mempertahankan hidup pasien.

9
BAB III
TATA LAKSANA

Untuk menentukan status DNR ini diperlukan konsultasi dan kesepakatan para
dokter yang merawat pasien dan tentu saja persetujuan dari keluarga pasien. Karena
apabila menurut para dokter yang merawat si pasien bahwa keadaan pasien sudah tidak
memungkinkan untuk dapat bertahan/survive dan status DNR diperlukan, tetapi
keluarga pasien tidak menghendaki status DNR tersebut, maka status DNR tidak dapat
diberikan. Karena hal itu dapat dianggap neglectingpatient, dan pihak keluarga dapat
menuntut dokter yang merawat pasien dan rumah sakit tempat pasien dirawat. Jadi
sebelum menentukan DNR, maka keluarga pasien perlu diberitahu tentang keadaan
pasien.
Tetapi keluarga pasien sendiri yang meminta status DNR, walaupun pasien masih
sadar. Pertimbangan mereka biasanya karena mereka tidak ingin pasien mengalami
kesakitan, mengingat bagaimanapun juga keadaan pasien yang sudah parah, atau
karena pasien sudah lanjut usia. Diperhatikan juga bahwa proses resusitasi itu
sebenarnya memang menyakitkan. Tubuh yang sudah sakit parah atau renta diberikan
kompresi jantung/DC shock, pasti sakit sekali. Makanya keluarga pasien yang meminta
DNR atau dibiarkan meninggal dengan tenang.
Prosedur pelaksanaan DNR, yaitu:
1. DNR dilakukan berdasarkan permintaan dari pasien atau keluarga pasien
dalam kondisi sadar penuh.
2. Apabila ada permintaan DNR dari pasien yang dirawat di RS Teja Husada
Kepanjen, petugas memberikan formulir DNR untuk diisi oleh pasien dengan
kesadaran penuh dan tanpa paksaan.
3. Meminta informed consent dari pasien atau walinya.
4. Mengisi formulir DNR. Tempatkan salinan pada rekam medis pasien dan
serahkan juga salinan pada pasien dan keluarga.
5. Petugas menandai secara khusus di berkas rekam medis pasien tersebut.
6. Dapat juga meminta pasien mengenakan gelang DNR di pergelangan tangan
atau kaki (jika memungkinkan).

10
7. Seluruh petugas medis, apabila menemui pasien dalam kondisi henti jantung
dan henti nafas, dilarang melakukan tindakan resusitasi pada pasien yang di
berkas rekam medisnya ditandai dengan tanda DNR dan gelang ungu (DNR).
8. Tinjau kembali status DNR secara berkala dengan pasien atau walinya, revisi
bila ada perubahan keputusan yang terjadi dan catat dalam rekam medis. Bila
keputusan DNR dibatalkan, catat tanggal terjadinya dan gelang DNR
dimusnahkan.
9. Perintah DNR harus mengcakup hal-hal di bawah ini:
a. Diagnosis.
b. Alasan DNR.
c. Kemampuan pasien untuk membuat keputusan.
d. Dokumentasi bahwa status DNR telah ditetapkan dan oleh siapa.
10. Perintah DNR dapat dibatalkan dengan keputusan pasien sendiri atau dokter
yang merawat, atau oleh wali yang sah. Dalam hal ini, catatan DNR di rekam
medis harus pula dibatalkan dan gelang DNR (jika ada) dimusnahkan.

Tata cara peninjauan ulang mengenai keputusan DNR dilakukan sebagai berikut:
1. Keputusan mengenai DNR ini harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin,
terutama jika terjadi perubahan apapun terhadap kondisi dan keinginan
pasien atau walinya.
2. Frekuensi peninjauan ulang ini harus ditentukan oleh DPJP .
3. Peninjauan ulang dilakukan setiap 7 hari sekali, tetapi dapat juga dilakukan
setiap hari pada kasus-kasus tertentu.
4. Peninjauan ulang ini dipengaruhi oleh diagnosis pasien, potensi perbaikan
kondisi, dan respon pasien terhadap terapi/pengobatan.

Tata cara pembatalan keputusan DNR, sebagai berikut:


1. Permintaan DNR diputuskan batal dan tidak berlaku, jika ada sebagai berikut:
- Pasien sadar dan menyatakan bahwa pasien ingin diresusitasi.
- Keberatan atau perselisihan dari anggota keluarga atau wali.
- Pertanyaan/perselisihan tentang keabsahan perintah DNR.

11
2. Jika instruksi DNR tidak lagi berlaku, bagian pembatalan di formulir DNR harus
dilengkapi/diisi. Dituliskan tanggal dan ditandatangani oleh DPJP, pasien/wali
pasien, dan saksi-saksi.
3. Pembatalan ini harus dengan jelas dicatat di dalam rekam medis pasien.
4. Komunikasikan antar perawat dan DPJP ketika timbang terima antar shift.
5. Berikan tanda silang penanda DNR di rekam medis.
6. Lepaskan gelang ungu (DNR) yang melekat pada tubuh pasien.

12
BAB IV
DOKUMENTASI

1. Keputusan untuk tidak melakukan CPR harus dicatat di rekam medis pasien
dan di formulir DNR. Formulir DNR harus diisi dengan lengkap dan disimpan
di rekam medis pasien.
2. Alasan diputuskannya tindakan DNR dan orang yang terlibat dalam
pengambilan keputusan harus dicatat di rekam medis pasien dan formulir
DNR. Keputusan harus dikomunikasikan kepada semua orang yang terlibat
dalam aspek perawatan pasien, termasuk dokter gigi, dan lain-lain.
3. Formulir DNR harus berada di Berkas Rekam Medis sehingga semua tenaga
medis mengetahui bahwa pasien tidak boleh dilakukan CPR ketika pasien
terjadi henti nafas atau henti jantung.
4. Keputusan DNR harus diberitahukan saat pergantian petugas/timbang
terima ke petugas/unit lainnya.
5. Di rekam medis, harus dicatat juga mengenai hasil diskusi dengan pasien
dan keluarga mengenai keputusan untuk tidak melakukan resusitasi.
6. Dokumentasi dan komunikasi yang efektif akan memastikan bahwa
petugas/unit lain mengetahui instruksi DNR ini (jika pasien ditransfer ke
unit lain).
7. Petugas ambulans yang terlibat dalam transfer juga harus mengetahui akan
instruksi DNR ini.

13
BAB IV
PENUTUP

Demikian Panduan Penolakan Resusitasi/Do Not Resuscitate (DNR) di RS Teja


Husada disusun dengan harapan dapat menjadi acuan untuk melakukan perbaikan
dalam rangka peningkatan mutu dan keselamatan pasien dalam hal pelayanan pasien di
RS Teja Husada.
Ditetapkan di Kepanjen-Malang
Pada tanggal 8 Maret 2019
RS Teja Husada
Direktur,

dr. Fajar Nazri, MMRS

14
PERMOHONAN PENOLAKAN RESUSITASI
DO NOT RESUSCITATE (DNR)
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSTH/SPO/ADM/16 - 1/1
Tanggal Terbit Ditetapkan
8 Maret 2019 Direktur
SPO
dr Fajar Nazri, MMRS
Pengertian Permintaan untuk tidak melakukan resusitasi atau pesan untuk dokter
dan perawat agar tidak melakukan tindakan CPR (Cardio Pulmonary
Resuscitation) ketika pasien mengalami henti nafas dan henti jantung.
Tujuan 1. Menghargai nilai yang dianut pasien, agama dan preferensi
budaya.
2. Mengikutsertakan pasien dan keluarga dalam aspek pelayanan.
3. Memberikan respon pada hal psikologis, emosional, spiritual dan
budaya pasien dan keluarganya.
4. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait pelayanan
kesehatan kepada pasien.
Kebijakan Peraturan Direktur RS Teja Husada Nomor 37/PER/DIR/III/2019
tentang Panduan Penolakan Resusitasi/Do Not Resuscitate (DNR)
Prosedur 1. Petugas mengevaluasi kondisi pasien.
2. Pasien dengan indikasi prognosis buruk, harus diinformasikan
mengenai risiko yang mungkin akan dialaminya. Ada kejelasan
dari DPJP kepada pasien/wali tentang resiko pasien yang dalam
keadaan darurat dapat terjadi henti jantung dan henti nafas.
3. Meminta pertimbangan pasien/wali pasien untuk melakukan
resusitasi atau menolak resusitasi (DNR), jika dalam keadaan
darurat pasien membutuhkan tindakan CPR. Jika pasien atau
keluarga pasien meminta untuk menolak resusitasi (DNR), maka
permintaan pasien atau keluarga dihormati.
4. DPJP mengisi lengkap rekam medis pasien dan juga memberikan
formulir DNR kepada pasien atau walinya. Formulir
ditandatangani DPJP, pasien/wali, dan saksi-saksi.
5. Salinan diberikan kepada pasien/walinya.
6. Petugas menandai secara khusus di berkas rekam medis pasien
tersebut.
7. Petugas memberikan gelang ungu (DNR) sebagai penanda bahwa
pasien tersebut memiliki permintaan untuk tidak dilakukan
resusitasi.
8. Seluruh petugas , apabila menemui pasien dalam kondisi henti
jantung dan henti nafas, dilarang melakukan tindakan resusitasi
pada pasien yang di berkas rekam medisnya ditandai dengan
tanda DNR dan gelang ungu (DNR).
Unit terkait IGD
HCU
IRNA

15
PEMBATALAN PENOLAKAN RESUSITASI
DO NOT RESUSCITATE (DNR)
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSTH/SPO/ADM/17 - 1/1
Tanggal Terbit Ditetapkan
8 Maret 2019 Direktur
SPO

dr Fajar Nazri, MMRS


Pengertian Permintaan untuk membatalkan keputusan tidak melakukan
resusitasi atau pesan untuk dokter dan perawat agar melakukan
tindakan CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) ketika pasien
mengalami henti nafas dan henti jantung.
Tujuan 1. Menghargai nilai yang dianut pasien, agama dan preferensi
budaya.
2. Mengikutsertakan pasien dan keluarga dalam aspek pelayanan.
3. Memberikan respon pada hal psikologis, emosional, spiritual dan
budaya pasien dan keluarganya.
4. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait pelayanan
kesehatan kepada pasien.
Kebijakan Peraturan Direktur RS Teja Husada Nomor 37/PER/DIR/III/2019
tentang Panduan Penolakan Resusitasi/Do Not Resuscitate (DNR)
Prosedur 1. Permintaan DNR diputuskan batal dan tidak berlaku, jika ada
sebagai berikut:
- Pasien sadar dan menyatakan bahwa pasien ingin
diresusitasi.
- Keberatan atau perselisihan dari anggota keluarga atau wali.
- Pertanyaan/perselisihan tentang keabsahan perintah DNR.
2. Jika instruksi DNR tidak lagi berlaku, bagian pembatalan di
formulir DNR harus dilengkapi/diisi. Dituliskan tanggal dan
ditandatangani oleh DPJP, pasien/wali pasien, dan saksi-saksi.
3. Pembatalan ini harus dengan jelas dicatat di dalam rekam medis
pasien.
4. Komunikasikan antar perawat dan DPJP ketika timbang terima
antar shift.
5. Berikan tanda silang penanda DNR di rekam medis.
6. Lepaskan gelang ungu (DNR) yang melekat pada tubuh pasien.
Unit terkait IGD
HCU
IRNA

16

Anda mungkin juga menyukai